LIVE DKC, KEBERATAN DENGAN NARASI YANG DISAMPAIKAN ROMO KAMI??? @tanparagi‬@patris_allegro

By Manuel (Tim DKC)

18 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

LIVE DKC [98-2025] SABTU, 9 AGUSTUS 2025 PUKUL 19:00 WIB: KEBERATAN DENGAN NARASI YANG DISAMPAIKAN ROMO KAMI??? @tanparagi‬@patris_allegro

Tanparagi dan Sensasi Protestan: Menyibak Kabut Clickbait dengan Kebenaran Katolik

Pendahuluan

Kanal Tanparagi, sebuah platform Protestan, melalui video berjudul ROMO KATOLIK BERKATA PROTESTAN LEBIH BERBAHAYA DARIPADA ISLAM!!! KENAPA???, menyerang Romo Patris Allegro, seorang imam Katolik, dengan tuduhan bahwa pandangannya menyimpang dari doktrin Katolik. Dengan judul penuh huruf kapital dan tanda seru, video ini mempersoalkan pernyataan Romo Patris Allegro yang menyebut Protestanisme lebih berbahaya daripada Islam, mengemas kritik dalam narasi sensasional yang lebih mengejar perhatian daripada substansi teologis.

Tanggapan ini, ditujukan kepada Tanparagi, bertujuan untuk menjelaskan intensi Romo Patris Allegro yang berupaya menegaskan keunikan iman Katolik, dengan merujuk sumber resmi Gereja Katolik serta dokumen terbaru yang relevan, kredibel, dan terverifikasi. Dengan pendekatan berpijak pada doktrin, tanggapan ini juga menyindir pendekatan provokatif Tanparagi yang merusak semangat dialog antariman, sambil menawarkan analisis mendalam tentang ekumenisme dan hubungan antaragama dalam pengajaran Katolik.

1. Konteks Pernyataan Romo Patris Allegro: Menjaga Identitas Katolik di Tengah Ambiguitas

Tanparagi dengan penuh semangat menyoroti pernyataan Romo Patris Allegro yang menyebut Protestan sebagai “serigala berbulu domba” dan Islam sebagai ancaman yang “kurang berbahaya” karena perbedaannya dengan Katolik lebih eksplisit. Dengan narasi yang lebih mirip headline tabloid daripada wacana iman, kanal ini menggambarkan Romo Patris Allegro sebagai penyimpang doktrin. Padahal, intensi Romo Patris Allegro tampaknya adalah untuk melindungi umat Katolik dari kebingungan teologis dalam dialog dengan Protestanisme, yang berbagi dasar kristologis tetapi berbeda dalam otoritas, sakramen, dan tradisi. Dominus Iesus (2000) menegaskan:
“Gereja Kristus yang satu, yang didirikan dan ditopang oleh Kristus, terus ada dalam Gereja Katolik… Namun, banyak elemen kesucian dan kebenaran ditemukan di luar batas-batasnya yang kelihatan” (Deklarasi tentang Keunikan dan Universalitas Keselamatan Yesus Kristus dan Gereja, no. 16-17, terjemahan KWI).

Romo Patris Allegro tampaknya ingin menekankan bahwa kedekatan doktrinal dengan Protestanisme – seperti pengakuan akan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat – dapat membingungkan umat Katolik yang kurang terdidik dalam iman, dibandingkan dengan Islam yang memiliki kerangka teologis yang sepenuhnya berbeda. Meskipun gaya retorisnya bernuansa dramatis, intensinya sejalan dengan panggilan untuk menjaga kebenaran doktrinal, sebagaimana ditegaskan dalam Ut Unum Sint (1995):
“Dialog ekumenis tidak boleh mengorbankan kebenaran iman Katolik, tetapi harus menegaskan kebenaran itu dengan kasih” (Ensiklik tentang Komitmen Ekumenisme, no. 18, terjemahan KWI).

Tanparagi, dengan sorak-sorai clickbait-nya, gagal menangkap nuansa ini dan memilih memelintir pernyataan untuk memicu emosi. Sungguh, sebuah cara yang “luhur” untuk memajukan dialog antariman!

2. Islam dalam Pandangan Katolik: Penghormatan, Bukan Kompetisi

Tanparagi menuduh Romo Patris Allegro menyimpang karena menyatakan Islam kurang berbahaya, mengutip KGK 841 untuk membantahnya. Namun, pernyataan Romo Patris Allegro dapat dipahami sebagai upaya untuk menyoroti perbedaan teologis yang jelas antara Katolik dan Islam, yang tidak menimbulkan ambiguitas doktrinal seperti dalam dialog dengan Protestan. KGK 841 berbunyi:

“Rencana keselamatan juga mencakup mereka yang mengakui Sang Pencipta, di antaranya yang pertama-tama adalah umat Islam, yang menyatakan bahwa mereka berpegang pada iman Abraham, dan bersama-sama dengan kita menyembah Tuhan yang esa” (Katekismus Gereja Katolik, KWI, 2007, hlm. 241).

Nostra Aetate dari Konsili Vatikan II menegaskan:
“Gereja memandang dengan hormat umat Islam, yang menyembah Tuhan yang esa, hidup dan bersubsistensi dalam diri-Nya sendiri… Konsili Suci mendorong semua pihak untuk melupakan masa lalu dan dengan tulus berusaha saling memahami” (Deklarasi tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Non-Kristen, no. 3, terjemahan KWI).

Romo Patris Allegro tidak sedang mengadakan lomba “siapa lebih berbahaya,” melainkan menegaskan bahwa perbedaan dengan Islam lebih eksplisit, sehingga lebih mudah bagi umat Katolik untuk memahami batas-batas iman mereka. Dokumen terbaru, Fratelli Tutti (2020) oleh Paus Fransiskus, menegaskan kembali pentingnya dialog antaragama:
“Dialog antaragama yang autentik adalah syarat untuk perdamaian di dunia, dan karenanya merupakan kewajiban bagi umat Kristen maupun agama-agama lain” (Ensiklik tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial, no. 271, terjemahan KWI).

Tanparagi, dengan pendekatan yang lebih cocok untuk pasar malam daripada diskusi teologis, mengabaikan konteks ini dan memilih narasi kompetisi antaragama yang tidak relevan. Bukankah ini ironis, untuk sebuah kanal yang seharusnya memahami semangat kasih Kristiani?

3. Ekumenisme: Menyeimbangkan Kebenaran dan Kasih

Tanparagi menuduh Romo Patris Allegro merusak semangat ekumenisme dengan pandangannya yang menyebut Protestan “serigala.” Namun, pernyataan Romo Patris Allegro dapat dilihat sebagai upaya untuk melindungi umat Katolik dari potensi kebingungan dalam dialog ekumenis dengan Protestan, yang berbagi banyak elemen iman tetapi berbeda dalam otoritas kepausan dan sakramen. Unitatis Redintegratio dari Konsili Vatikan II menegaskan:
“Kerja ekumenisme adalah usaha untuk memajukan kesatuan di antara semua orang Kristen… agar dunia percaya bahwa Engkau telah mengutus Aku” (Dekrit tentang Ekumenisme, no. 4, terjemahan KWI).

Namun, ekumenisme tidak berarti mengaburkan perbedaan. KGK 818 menyatakan:
“Mereka yang lahir sekarang dalam komunitas-komunitas yang timbul dari perpecahan itu dan telah ditanamkan dalam iman kepada Kristus, tidak dapat dituduh melakukan dosa perpecahan, dan Gereja Katolik memeluk mereka sebagai saudara-saudari dengan rasa hormat dan kasih sayang” (Katekismus Gereja Katolik, KWI, 2007, hlm. 230).

Romo Patris Allegro tampaknya ingin menegaskan pentingnya kejelasan doktrinal dalam ekumenisme, sebuah prinsip yang ditegaskan dalam Directory for the Application of Principles and Norms on Ecumenism (1993):
“Ekumenisme sejati menuntut penghormatan terhadap kebenaran iman Katolik, tanpa mengaburkan perbedaan yang nyata dengan komunitas Kristen lain” (Direktori untuk Penerapan Prinsip dan Norma tentang Ekumenisme, no. 22, terjemahan resmi).

Tanparagi, alih-alih membuka ruang dialog ekumenis, memilih mengamplifikasi konflik dengan tuduhan yang berlebihan. Jika kanal ini benar-benar peduli pada kesatuan Kristen, mengapa tidak mengajak diskusi yang membangun, seperti yang dicontohkan oleh Paus Fransiskus dalam kunjungan ekumenisnya ke Lund pada 2016 untuk memperingati Reformasi?

4. Sumber Terbaru: Penguatan Dialog dalam Konteks Modern

Untuk memperjelas intensi Romo Patris Allegro, dokumen terbaru Gereja Katolik memberikan landasan kuat. Dalam Evangelii Gaudium (2013), Paus Fransiskus menulis:
“Dialog antaragama dan ekumenisme harus dilakukan dengan keberanian dan kasih, tanpa takut akan identitas kita sendiri, tetapi juga tanpa kebutuhan untuk memaksakan identitas itu pada orang lain” (Eksortasi Apostolik tentang Pewartaan Injil di Dunia Modern, no. 251, terjemahan KWI).

Pernyataan ini mendukung upaya Romo Patris Allegro untuk menjaga identitas Katolik, meskipun dengan retorika yang bernuansa dramatis. Querida Amazonia (2020) menegaskan bahwa Gereja harus “menghormati tradisi lain sambil tetap setia pada kebenaran yang diwahyukan” (Eksortasi Apostolik Pasca-Sinodal, no. 66, terjemahan KWI). Romo Patris Allegro tampaknya berupaya melindungi umat dari risiko sinkretisme atau kebingungan doktrinal, sebuah kekhawatiran yang sah dalam era globalisasi.

Laporan dari Sinode tentang Sinodalitas (2021-2024) juga relevan, menekankan pentingnya “mendengarkan dengan rendah hati” dalam dialog ekumenis dan antaragama (Dokumen Kerja untuk Tahap Kontinental Sinode tentang Sinodalitas, 2022, no. 88). Tanparagi, dengan pendekatan sensasionalnya, justru gagal mencerminkan semangat sinodal ini, memilih narasi yang memecah belah daripada mendengarkan dengan kasih. Gaudete et Exsultate (2018) oleh Paus Fransiskus mengingatkan:
“Kita dipanggil untuk menjadi saksi kebenaran, tetapi tanpa kesombongan atau sikap menghakimi” (Eksortasi Apostolik tentang Panggilan kepada Kekudusan, no. 116, terjemahan KWI).
Romo Patris Allegro mungkin telah memilih kata-kata yang tajam, tetapi Tanparagi memilih jalan yang jauh lebih bising dengan narasi clickbait-nya.

5. Sarkasme untuk Tanparagi: Sensasi Bukan Panggilan Kristen

Wahai Tanparagi, apakah tanda seru dan huruf kapital itu benar-benar perlu untuk menyampaikan kritik? Kalian menuduh Romo Patris Allegro menyimpang, tetapi bukankah narasi sensasional kalian lebih mirip pasar malam daripada wacana iman? Romo Patris Allegro mungkin memilih kata-kata yang bernuansa dramatis, tetapi setidaknya ia berusaha menjaga kejelasan iman Katolik di tengah dunia yang penuh ambiguitas. Sementara itu, kalian memilih jalan provokasi, mengobarkan api perpecahan alih-alih membangun jembatan kasih. Gaudium et Spes menegaskan:
“Setiap orang harus menghormati martabat sesamanya sebagai ciptaan Tuhan, dan menghindari segala bentuk penghakiman yang tidak adil” (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Modern, no. 28, terjemahan KWI).
Mungkin sudah saatnya Tanparagi melepas jubah YouTuber sensasional dan mengenakan semangat dialog Kristiani yang sejati. Kebenaran iman tidak butuh sorak-sorai klik, tetapi ketepatan doktrinal dan kasih yang tulus.

Kesimpulan

Kepada Tanparagi, tanggapan ini menjelaskan bahwa intensi Romo Patris Allegro adalah untuk menegaskan keunikan iman Katolik, meskipun dengan retorika yang bernuansa dramatis. Berdasarkan Katekismus Gereja Katolik, Dominus Iesus, Nostra Aetate, dan dokumen terbaru seperti Fratelli Tutti, Evangelii Gaudium, dan Dokumen Kerja untuk Tahap Kontinental Sinode tentang Sinodalitas, Gereja Katolik menyerukan penghormatan terhadap Protestan sebagai saudara dalam iman dan Islam sebagai bagian dari rencana keselamatan, sambil menjaga kebenaran doktrinal. Narasi sensasional kalian hanya memperkeruh dialog antariman yang seharusnya membangun. Romo Patris Allegro mungkin tidak sempurna dalam penyampaiannya, tetapi kalian jauh dari teladan dengan mengemas kritik dalam kemasan clickbait. Mari kita kembali ke panggilan sejati Kristen: kebenaran dalam kasih, bukan konflik demi view. Buang tanda seru itu, dan mulailah dengan dialog yang bermartabat.1

Hubungan Gereja Katolik dengan Islam: Perspektif Teologis, Historis, dan Pastoral dalam Konteks Global dan Indonesia

Hubungan antara Gereja Katolik dan Islam merupakan topik penting dalam lanskap pluralisme agama kontemporer. Sebagai dua tradisi monoteistik terbesar, Katolik dan Islam memiliki sejarah interaksi yang kompleks, mencakup konflik, koeksistensi, dan dialog. Dalam tradisi Katolik, hubungan ini diatur oleh doktrin resmi, ajaran Kitab Suci, dan pendekatan pastoral yang diperbarui sejak Konsili Vatikan II.
Artikel ini menguraikan hubungan teologis, historis, dan pastoral antara Gereja Katolik dan Islam, dengan berpijak pada sumber-sumber resmi seperti Alkitab, dokumen resmi Gereja Katolik, pernyataan kepausan, dan literatur akademis. Penulisan ini menekankan dialog antaragama dalam konteks global dan Indonesia, sambil mempertahankan identitas iman Katolik.

1. Landasan Teologis Hubungan Katolik-Islam

1.1. Ajaran Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II (1962–1965) menjadi tonggak penting dalam hubungan Gereja Katolik dengan agama-agama non-Kristen. Dokumen Nostra Aetate (1965) menegaskan penghormatan Gereja terhadap umat Islam:
“Gereja memandang dengan penuh hormat terhadap umat Islam yang menyembah Allah yang Esa, yang hidup dan bertahan, yang murah hati dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah berbicara kepada manusia; mereka berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada kehendak Allah, sebagaimana Abraham telah menyerahkan diri, yang kepadanya iman Islam dengan senang hati merujuk” (Nostra Aetate 3, terjemahan KWI).
Pernyataan ini menyoroti kesamaan monoteisme dan penghormatan terhadap Abraham sebagai patriark bersama. Meskipun terdapat perbedaan teologis, seperti pandangan Katolik tentang Yesus Kristus sebagai Putra Allah (Katekismus Gereja Katolik [KGK] 841), Nostra Aetate menyerukan dialog berdasarkan penghormatan timbal balik.

Lumen Gentium (1964) melengkapi pandangan ini:
“Rencana keselamatan juga mencakup mereka yang mengakui Pencipta, di antaranya yang pertama-tama adalah umat Islam: mereka mengakui memegang iman Abraham, dan bersama-sama dengan kita mereka menyembah Allah yang Esa, yang murah hati, yang akan menghakimi manusia pada hari terakhir” (Lumen Gentium 16, terjemahan KWI).

Pendekatan ini mencerminkan inklusivisme teologis, yang mengakui kebenaran parsial dalam agama lain sambil menegaskan keunikan wahyu Kristiani melalui Yesus Kristus (Dei Verbum 2).

1.2. Perspektif Kitab Suci
Alkitab TB LAI tidak menyebut Islam secara eksplisit karena konteks historisnya, tetapi prinsip-prinsipnya mendukung dialog antaragama. Dalam Matius 22:39, Yesus berkata:
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39, Alkitab TB LAI).

Ayat ini mendorong umat Katolik untuk menghormati umat Islam sebagai sesama ciptaan Allah. Demikian pula, Galatia 3:28 menegaskan:
“Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Galatia 3:28, Alkitab TB LAI).

Prinsip kesatuan ini menjadi landasan kerja sama antaragama dalam mempromosikan keadilan dan perdamaian.

2. Prinsip Dialog Antaragama

Gereja Katolik memandang dialog antaragama sebagai bagian integral dari misinya. Dokumen Dialogue and Proclamation (Pontifical Council for Interreligious Dialogue, 1991) menguraikan empat bentuk dialog: dialog kehidupan, dialog karya, dialog teologis, dan dialog pengalaman rohani. Dialog dengan Islam sering kali berfokus pada “dialog kehidupan” dan “dialog karya,” di mana umat Katolik dan Muslim hidup berdampingan dan bekerja sama dalam isu-isu sosial. Dokumen ini menyatakan:
“Dialog antaragama tidak bertujuan untuk mengkonversi, tetapi untuk memahami dan menghormati satu sama lain dalam kebenaran” (Dialogue and Proclamation 42).

Pendekatan ini diperkuat dalam Fratelli Tutti (2020), yang menyerukan persaudaraan universal:
“Kami dipanggil untuk menemukan Kristus dalam mereka, untuk meminjamkan suara kami kepada mereka yang tidak bersuara, untuk menjadi saudara dan saudari bagi semua” (Fratelli Tutti 277, terjemahan KWI).

3. Sejarah Hubungan Katolik-Islam

3.1. Masa Awal hingga Abad Pertengahan
Hubungan Katolik-Islam dimulai pada abad ke-7 dengan munculnya Islam. Interaksi awal sering ditandai oleh konflik, seperti Perang Salib (1095–1291) dan Reconquista di Spanyol. Namun, momen koeksistensi juga terjadi, seperti di Andalusia, tempat umat Kristen, Muslim, dan Yahudi hidup berdampingan. John L. Esposito dalam Islam: The Straight Path (2016) mencatat bahwa periode ini menunjukkan potensi kolaborasi lintas agama meskipun dalam ketegangan politik.

3.2. Era Modern dan Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II mengubah paradigma hubungan Katolik-Islam. Paus Paulus VI dalam Ecclesiam Suam (1964) menegaskan dialog sebagai misi Gereja. Paus Yohanes Paulus II memajukan dialog melalui kunjungan bersejarah ke Masjid Umayyah di Damaskus pada 2001, menyatakan:
“Marilah kita bekerja bersama untuk membangun masa depan yang penuh harapan, di mana tidak akan ada lagi konflik atas nama agama” (Yohanes Paulus II, 2001, dikutip dalam Acta Apostolicae Sedis, Vatikan).

Paus Fransiskus melanjutkan warisan ini melalui Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama (2019), yang ditandatangani bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmad el-Tayeb:
“Kami, yang beriman kepada Allah dan kepada pertemuan terakhir dengan-Nya serta penghakiman-Nya, bersaksi bahwa keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras, dan bahasa adalah kehendak Allah dalam kebijaksanaan-Nya” (Dokumen Persaudaraan Manusia, 2019).

4. Perkembangan Terkini dalam Dialog

4.1. Inisiatif Kepausan
Paus Fransiskus telah memajukan dialog melalui tindakan simbolis, seperti kunjungan ke Irak pada 2021 dan pertemuan dengan Grand Ayatollah Ali al-Sistani. Laporan resmi Vatikan (2021) menyatakan:
“Pertemuan ini menegaskan pentingnya dialog dan kerja sama untuk menghentikan kebencian dan kekerasan” (L’Osservatore Romano, 6 Maret 2021).

Tindakan lain, seperti membasuh kaki imigran Muslim pada Misa Kamis Putih 2016, mencerminkan komitmen pastoral untuk persaudaraan.

4.2. Kolaborasi Global
Studi terbaru, seperti The Future of Interreligious Dialogue (2024) oleh Edward Kessler, menyoroti kolaborasi Katolik-Islam dalam isu global seperti perubahan iklim dan migrasi. Kessler mencatat:
“Inisiatif seperti Religions for Peace telah memungkinkan kolaborasi Katolik-Islam dalam proyek kemanusiaan” (Kessler, 2024, hlm. 112).

Contohnya adalah kerja sama antara Caritas dan Islamic Relief dalam bantuan untuk pengungsi Suriah.

5. Tantangan dan Peluang dalam Dialog

5.1. Tantangan Teologis
Perbedaan teologis, seperti doktrin Trinitas dan status Yesus Kristus, tetap menjadi tantangan. KGK menegaskan:
“Misteri Kristus adalah wahyu penuh dari Allah, yang melalui Dia dan di dalam Dia, manusia diselamatkan” (KGK 66).

Islam memandang Yesus sebagai nabi, bukan Putra Allah (Al-Qur’an, Surah Al-Ma’idah 5:75). Pendekatan dialogis, seperti yang diuraikan dalam Guidelines for Dialogue between Christians and Muslims (1990), menekankan pentingnya “dialog kehidupan” untuk mengatasi perbedaan ini.

5.2. Peluang Kerja Sama
Peluang dialog termasuk kolaborasi dalam keadilan sosial, perdamaian, dan pelestarian lingkungan, sebagaimana ditekankan dalam Fratelli Tutti. Contoh konkret adalah proyek bersama antara lembaga Katolik dan Islam dalam menangani krisis kemanusiaan.

6. Implementasi Pastoral di Indonesia

Di Indonesia, dialog Katolik-Islam memiliki konteks unik karena mayoritas penduduk beragama Islam. KWI, melalui Pedoman Hidup dalam Masyarakat Majemuk (2020), menegaskan:
“Umat Katolik dipanggil untuk hidup bersama dalam harmoni dengan penganut agama lain, termasuk umat Islam, melalui dialog dan kerja sama” (hlm. 15).

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menjadi wadah kolaborasi antara pemimpin Katolik dan Islam. Contoh lokal termasuk kerja sama Keuskupan Agung Jakarta dengan organisasi Islam dalam bantuan bencana, seperti gempa Lombok 2018. Pendidikan agama Katolik di Indonesia juga menekankan penghormatan terhadap agama lain, sesuai dengan Gravissimum Educationis (1965):
“Pendidikan sejati harus memajukan penghormatan terhadap martabat manusia dan kesiapan untuk bekerja sama dengan orang lain” (Gravissimum Educationis 1, terjemahan KWI).

Kesimpulan

Hubungan Gereja Katolik dengan Islam telah berkembang dari ketegangan historis menuju dialog konstruktif, sebagaimana ditunjukkan oleh dokumen Konsili Vatikan II, pernyataan kepausan, dan inisiatif pastoral.

Berdasarkan Alkitab, Nostra Aetate, Lumen Gentium, Fratelli Tutti, dan sumber-sumber resmi lainnya, Gereja mengakui umat Islam sebagai bagian dari rencana keselamatan Allah sambil menegaskan keunikan iman Kristiani. Di Indonesia, dialog ini diwujudkan melalui kerja sama praktis dan semangat persaudaraan. Dengan berpijak pada doktrin dan perkembangan terkini, Gereja Katolik terus mempromosikan perdamaian dan kolaborasi dengan komunitas Islam untuk mewujudkan dunia yang lebih adil dan harmonis.2

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya