Iman, Emas, dan Kekaisaran: Tuduhan Motivasi Duniawi Penyebaran Gereja Katolik

Sejak awal, Gereja Katolik adalah organisasi misionaris. Ketika Yesus naik ke surga, Ia memerintahkan murid-murid-Nya untuk 'Pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku, baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.' (Matius 28:19-20). Para Rasul, termasuk Santo Paulus sebagai misionaris terbesar dalam sejarah Gereja

By Tim DKC

6 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Di dunia modern, terutama dalam ranah akademik, sering kali dianggap bahwa para misionaris Katolik dari abad-abad lalu memiliki motivasi tersembunyi. Para sinis, sekularis, dan ateis tidak dapat membayangkan bahwa seseorang akan menghadapi kesulitan besar demi kebaikan jiwa manusia. Mereka cenderung berasumsi bahwa para misionaris tersebut didorong oleh keinginan untuk mendapatkan kekayaan atau memenuhi ambisi kerajaan Eropa. Namun, apakah benar tidak ada yang rela menanggung kesulitan seperti itu hanya karena cinta kepada Tuhan dan sesama?

Gereja Sebagai Organisasi Misionaris

Sejak awal, Gereja Katolik adalah organisasi misionaris. Ketika Yesus naik ke surga, Ia memerintahkan murid-murid-Nya untuk “Pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku, baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” (Matius 28:19-20). Para Rasul, termasuk Santo Paulus sebagai misionaris terbesar dalam sejarah Gereja, melaksanakan perintah ini dengan cinta yang tulus kepada Tuhan dan jiwa-jiwa yang ingin mereka selamatkan.

Mereka yang menjadi misionaris, Seperti yang dikatakan oleh St. Jean de Brébeuf (1593-1649), misionaris bagi penduduk asli Amerika Utara, “Yang pasti, saya terkadang begitu lelah sehingga tubuh saya tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Namun pada saat yang sama jiwa saya dipenuhi dengan kebahagiaan yang luar biasa saat saya menyadari bahwa saya menderita ini demi Tuhan. Tidak seorang pun dapat mengetahui perasaan ini kecuali ia telah mengalaminya.” Para “petualang Tuhan” mempertaruhkan segalanya untuk menyebarkan Injil sebagaimana diperintahkan Yesus, dan mereka mengasihi orang-orang yang mereka kabari Injil bahkan ketika orang-orang yang sama itu menganiaya mereka sebagai balasannya.

Contoh Inspiratif: Ramon Lull

Beato Ramon Lull (1232-1316) adalah salah satu contoh nyata misionaris yang luar biasa. Ia lahir di Majorca, Spanyol, dan menjadi seorang Fransiskan. Ramon mempelajari berbagai disiplin ilmu dan menulis banyak karya teologis. Ia merasa terpanggil untuk menginjili umat Muslim, sehingga ia belajar bahasa Arab dan mempelajari Al-Quran.

Meskipun ditangkap, dihukum, bahkan hampir dibunuh beberapa kali selama misinya di Afrika Utara, Ramon tidak pernah menyerah. Di usia 82 tahun, ia kembali ke Afrika dan akhirnya meninggal akibat serangan massa. Dedikasinya tidak didasarkan pada keinginan akan kekayaan atau kekuasaan, tetapi pada cinta kepada Tuhan dan umat manusia.

Misionaris di Era Reformasi Katolik

Kegiatan misionaris merupakan bagian integral dari Reformasi Katolik. Kegiatan tersebut difokuskan pada dua bidang: negara-negara yang sebagian besar beragama Protestan dan koloni-koloni baru yang didirikan di luar negeri selama “Zaman Penjelajahan”. Santo Petrus Kanisius (1521-1597) dari Yesuit dikenal sebagai “Rasul Kedua di Jerman” karena ia diutus ke sana oleh Santo Ignatius Loyola (1491-1556) untuk membawa kembali kaum Protestan ke Gereja. Petrus menulis katekismus singkat untuk tujuan tersebut yang akhirnya diterbitkan dalam tiga versi berbeda untuk audiens yang berbeda, melalui 200 edisi, dan diterjemahkan ke dalam lima belas bahasa. Alih-alih terlibat dalam polemik, Petrus mencari titik temu dengan kaum Protestan, yang disebutnya “saudara-saudara yang terpisah”. Teladan dan ajarannya membantu banyak dari mereka menjadi Katolik.

Misionaris lain untuk Protestan adalah St. Fransiskus de Sales (1567-1622), yang pada tahun 1594 menjadi sukarelawan untuk bekerja di kota Jenewa dan sekitarnya, sebuah benteng Calvinis. Beberapa tahun kemudian ia ditahbiskan sebagai uskup Jenewa, tetapi terpaksa tinggal di Annecy, Prancis. Fransiskus menulis banyak traktat dan pamflet yang menjelaskan iman Katolik, memberikan instruksi kateketis, dan terkenal sebagai pembimbing rohani. Kasihnya kepada orang miskin dan asketismenya yang rendah hati menarik banyak Protestan kepadanya; sebagai hasilnya, ribuan dari mereka datang ke Gereja. Misionaris seperti Fransiskus dan Petrus Kanisius memiliki motif spiritual, bukan yang material.

Aktivitas misionaris selama Reformasi Katolik juga difokuskan pada daerah-daerah di mana Injil belum diberitakan. Gereja “tidak akan membiarkan dirinya hanya disibukkan dengan tugas-tugas rekonstruksi dan pertahanan… apa yang telah hilang di Eropa akan dipulihkannya di tempat lain, di seluruh dunia.” St. Fransiskus Xaverius (1506-1552), salah satu pendiri Serikat Yesus, berperan penting dalam menyebarkan Injil ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak diinjili. Selama kurun waktu sepuluh tahun, ia menempuh perjalanan puluhan ribu mil ke India, Nugini, Filipina, Jepang, dan sebuah pulau di lepas pantai Cina. Setelah tiba di India pada tanggal 6 Mei 1542, “dalam kurun waktu 30 hari, Fransiskus mempertobatkan lebih banyak umat Hindu daripada yang telah dilakukan oleh semua pendahulunya dari Portugis dalam kurun waktu 30 tahun.”

Fransiskus tidak hanya peduli dengan penyebaran Injil; ia menulis beberapa surat kepada Raja John III dari Portugal untuk memprotes perlakuan buruk terhadap orang-orang India oleh para penjajah Portugis. Di Jepang, Fransiskus Xaverius bekerja keras untuk mengembangkan Imam Katolik pribumi—sebuah usulan radikal pada saat itu dan menjadi fasih berbahasa Jepang serta mempelajari budayanya untuk menjadi penginjil yang lebih efektif. Sayangnya, Fransiskus Xaverius meninggal di lepas pantai Cina pada tahun 1552. Misionaris Jesuit lainnya, Matteo Ricci (meninggal tahun 1611), menggunakan pengetahuan ilmiahnya untuk menyebarkan Injil di Cina, membuat jam, bola dunia, dan peta untuk menarik orang Cina ke dalam Iman. Ricci adalah ahli dalam “metode akomodasi,” di mana para misionaris akan mengadopsi pakaian dan adat istiadat setempat (yang tidak bertentangan dengan Injil) untuk menarik orang yang bertobat.

Kesimpulan

Kisah-kisah para “petualang Tuhan” ini menunjukkan bahwa para misionaris besar Gereja Katolik didorong oleh cinta kepada Tuhan dan sesama. Mereka menanggung penderitaan besar, bukan demi kekayaan atau tanah, tetapi demi memenuhi panggilan ilahi untuk membawa jiwa-jiwa kepada Kristus. Inilah misi sejati Gereja yang berakar dalam kasih dan pelayanan.

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya