Protestan dan Roh Antikristus: Antara Perpecahan dan Harapan Persatuan

By Purnomo

6 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Protestan dan Roh Antikristus: Antara Perpecahan dan Harapan Persatuan

Sebuah Refleksi Apologetik dan Ajakan Ekumenis


Pendahuluan: Provokasi atau Kebenaran Teologis?

Menyebut Protestan sebagai antikristus terdengar kasar dan memicu emosi. Namun, apakah klaim ini sekadar retorika? Ataukah ada dasar teologis-historis yang serius di baliknya? Kita perlu jujur: istilah ini tidak dimaksudkan untuk mengutuk pribadi, melainkan untuk mendiagnosis sebuah realitas rohani yang melawan kehendak Kristus.

Kristus berdoa, “Supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh 17:21). Ia mendirikan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, lengkap dengan struktur otoritas, sakramen, dan magisterium. Ketika Reformasi abad ke-16 melepaskan diri dari struktur ini, mereka bukan hanya meninggalkan manusia, tetapi menolak tatanan ilahi.

Tulisan ini akan mengupas secara sistematis:

  1. Apa arti antikristus dalam Alkitab dan Tradisi
  2. Bagaimana prinsip-prinsip Reformasi menolak tatanan keselamatan
  3. Mengapa ini disebut sebagai “roh antikristus” secara eklesiologis
  4. Bagaimana Konsili Trente menanggapi
  5. Mengapa jawaban Katolik bukan kebencian, tetapi dialog ekumenis

1. Antikristus: Makna Alkitabiah dan Tradisi

Istilah antikristus muncul dalam surat Yohanes:

1 Yoh 2:18: “Anak-anakku, sekarang adalah saat yang terakhir, dan seperti yang telah kamu dengar, antikristus akan datang; bahkan sekarang banyak antikristus telah muncul.”

2 Yoh 1:7: “Banyak penyesat telah muncul… mereka tidak mengaku Yesus Kristus datang sebagai manusia; itulah penyesat dan antikristus.”

Awalnya, antikristus menunjuk pada individu atau ajaran yang menyangkal inkarnasi Kristus. Namun, Bapa Gereja memperluas pemahaman ini. St. Agustinus menulis:

“Antikristus adalah siapa pun yang menentang Kristus dan Gereja-Nya.” (De Civitate Dei, XX)

Gereja adalah Tubuh Kristus (Ef 1:23). Menolak Gereja berarti menolak bagian dari rencana Kristus. Maka, antikristus bukan sekadar orang ateis, tetapi setiap sistem yang melawan kesatuan yang Kristus doakan.


2. Reformasi: Awal Retakan yang Jadi Jurang

Reformasi abad ke-16 sering dibungkus dengan narasi heroik: “melawan korupsi Gereja demi kebenaran.” Memang, ada penyalahgunaan jabatan yang perlu diperbaiki. Namun, solusi Reformasi bukan pembaruan dari dalam, melainkan pemutusan diri dari Gereja yang Kristus dirikan.

Dua prinsip yang menjadi fondasi Reformasi:

a. Sola Scriptura

Mengajarkan bahwa hanya Alkitab yang berotoritas. Ini berarti menolak Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Padahal, Alkitab sendiri tidak pernah mengklaim diri sebagai satu-satunya sumber iman.

Pertanyaan kritis: Siapa yang memutuskan kanon Kitab Suci? Gereja. Ironisnya, prinsip ini menghantam tangan yang memberinya Kitab Suci.

Akibatnya:

  • Kebebasan tafsir tanpa kendali → ribuan denominasi lahir
  • Fragmentasi iman → Setiap orang bisa jadi “gereja” sendiri

b. Sola Fide

Mengajarkan pembenaran oleh iman saja tanpa perbuatan. Konsekuensinya: sakramen direduksi menjadi simbol, karya kasih dianggap sekunder. Padahal, Kitab Suci berkata:

“Iman tanpa perbuatan adalah mati.” (Yak 2:26)


3. Mengapa Disebut Roh Antikristus?

Mari berhati-hati: tidak semua Protestan adalah antikristus. Banyak yang tulus dan kudus. Namun, ajaran yang:

  • Menolak otoritas yang Kristus tetapkan (Mat 16:18-19)
  • Memecah Tubuh Kristus
  • Mengabaikan sakramen sebagai saluran rahmat

adalah sikap yang anti terhadap karya Kristus yang menghendaki kesatuan. Yohanes menulis:

“Setiap roh yang tidak mengaku Yesus datang sebagai manusia, bukan berasal dari Allah. Itu adalah roh antikristus.” (1 Yoh 4:3)

Penerapan Eklesiologis

Jika diterapkan dalam eklesiologi: Roh yang menolak realitas inkarnasi Kristus yang berlanjut dalam sakramen dan Gereja adalah roh antikristus. Dengan kata lain: menolak Gereja sama dengan menolak bentuk historis Kristus yang terus hadir.


4. Konsili Trente: Jawaban Gereja yang Tegas dan Reformis

Bagaimana Gereja menanggapi? Konsili Trente (1545–1563) tidak menjawab dengan kekerasan, melainkan dengan:

Dogmatisasi Kebenaran Iman:

  • Menolak sola fide (Kan. 9–12): Keselamatan melibatkan iman dan kasih
  • Menolak sola scriptura: Tradisi Suci dan Magisterium dijaga bersama Kitab Suci
  • Menegaskan 7 sakramen dan Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi

Reformasi Internal:

  • Memperbaiki disiplin rohani klerus
  • Mewajibkan pendidikan imam dalam seminari

Konsili ini menunjukkan bahwa Gereja mampu mengakui kelemahan, tetapi tidak kompromi pada kebenaran.


5. Mengapa Kita Perlu Bicara tentang Ini Sekarang?

Hari ini, ada dua bahaya:

⚠️ Relativisme

“Semua sama, semua jalan menuju Tuhan.”

⚠️ Fundamentalisme Kebencian

“Mereka musuh kita.”

Keduanya salah. Kebenaran harus dikatakan, tetapi dalam kasih. Kita tidak bisa pura-pura bahwa perpecahan ini bukan masalah. Kristus menghendaki kesatuan. Persatuan bukanlah “opsi tambahan”, tetapi syarat kesaksian dunia (lih. Yoh 17:21).


6. Jalan Ekumenis: Dari Luka ke Penyembuhan

Konsili Vatikan II, melalui Unitatis Redintegratio, menegaskan:

Unsur kekudusan ada dalam komunitas Protestan: Alkitab, iman pada Kristus, baptisan

Mereka adalah saudara dalam Kristus melalui baptisan

Dialog harus jujur: bukan basa-basi, tetapi mencari kesatuan yang Kristus kehendaki

Dialog ini bukan kompromi doktrinal, tetapi kembali pada kebenaran yang penuh. Persatuan sejati hanya terjadi jika kita bersama dalam Ekaristi, iman, dan otoritas yang sama.


Kesimpulan: Dari Polemik ke Profetik

Apakah Protestan antikristus? Tidak secara pribadi, tetapi sistem teologi mereka menolak rencana Kristus untuk Gereja. Dalam arti ini, ia mengandung roh antikristus—sebuah kekuatan yang melawan kesatuan Tubuh Kristus.

Namun, jawaban kita bukan benci, melainkan kebenaran dalam kasih. Kita harus mengajak saudara-saudari Protestan:

“Kembalilah ke rumah, karena Kristus menghendaki kita satu.”

Seperti doa Yesus:

“Supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus Aku.” (Yoh 17:21)


Soli Deo Gloria

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya