Protestan anti kesatuan gereja??? ‪@Reformed21TV‬, live#75 -06-2025

40,000 denominasi tidak berarti Protestan tidak mementingkan persatuan. Kenapa denominasi baru bisa terbentuk? Yang ke-1) contohnya GRII di Indonesia tidak memiliki sumber daya besar seperti Gereja Roma, ini bukan keterpecahan tetapi tetap mengamini kesatuan gereja, Protestan secara usia ¼ Gereja Roma tetapi jumlah jemaatnya ½ dari Gereja Roma; yang ke-2) perbedaan di dalam hal kebenaran, seperti Gereja Katolik Roma dan Ortodoks Timur berkenaan dengan Roh Kudus, Gereja Protestan berkenaan dengan doktrin keselamatannya/ surat indulgensia (justification by faith), Gereja Reformed Baptist berkenaan dengan baptisan anak, selam dan percik. Ini tidak sepenuhnya berbeda; aspek already meliputi pengakuan iman, dan Alkitab sama, doa kita ke Tuhan yang sama juga; sedangkan aspek not yet/ denominasi dan pengajaran yang berarti sebagai murid, pengertian kita memang terbatas, contohnya pada pandangan tentang baptisan percik, selam dan anak.

By Manuel (Tim DKC)

18 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

LIVE DKC [75-2025] SELASA, 10 JUNI 2025 PUKUL 19:00 WIB: PROTESTAN ANTI KESATUAN GEREJA??? @Reformed21TV

Pengantar Erick & Pak Lurah Tim DKC

Berdasarkan sensus di NKRI, jumlah jemaat Protestan secara keseluruhan (± 20.9 juta jiwa/ 7.40% dari total populasi) lebih banyak daripada Katolik (± 8.6 juta jiwa/ 3.07% dari total populasi); total populasi di NKRI = 282,4 juta jiwa. Akan tetapi kesatuan umat Protestan seperti apa? Tidak ada kesatuannya, selalu tercerai berai.

Kita punya banyak tugas, tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit, dan kita disini mewartakan, fokus dalam Kekristenan karena masih banyak jiwa-jiwa yang kebingungan.

Merespon Video Podcast ”Obrolan Gereja yang Satu, Kudus, Katolik & Apostolik | FOKUS Q\&A #37”

Dalam podcast ini Vik. Chias Wuysang (Reformed 21) sebagai pewawancara dengan narasumber Pdt. Hendry Ongkowidjojo, Th.D. (Dosen Perjanjian Baru STT Reformed Injili Internasional) berdiskusi mengenai kesatuan gereja (Yohanes 17:21 – ”Supaya mereka semua menjadi satu”).

Menurut Pdt. Hendry dari survey yang mengatakan ada begitu banyak denominasi Protestan yang begitu banyak, secara kategori besarnya tidak seperti itu. Secara kategori besarnya jauh lebih kecil, yaitu sekitar 20 kategori besar. Yang terjadi adalah di beberapa kategori besar tersebut memiliki banyak denominasi, sebagai contohnya Reformed (Prebysterian) di Amerika ada PC USA (Prebysterian Church United States of America) dan OPC (Ortodox Prebysterian Church), ini sudah dihitung dua denominasi. Begitu juga di GRII, dihitung denominasi berbeda meskipun tidak satu organisasi bukan karena meminta dana melainkan karena swadaya jemaat.

40,000 denominasi tidak berarti Protestan tidak mementingkan persatuan. Kenapa denominasi baru bisa terbentuk? Yang ke-1) contohnya GRII di Indonesia tidak memiliki sumber daya besar seperti Gereja Roma, ini bukan keterpecahan tetapi tetap mengamini kesatuan gereja, Protestan secara usia ¼ Gereja Roma tetapi jumlah jemaatnya ½ dari Gereja Roma; yang ke-2) perbedaan di dalam hal kebenaran, seperti Gereja Katolik Roma dan Ortodoks Timur berkenaan dengan Roh Kudus, Gereja Protestan berkenaan dengan doktrin keselamatannya/ surat indulgensia (justification by faith), Gereja Reformed Baptist berkenaan dengan baptisan anak, selam dan percik. Ini tidak sepenuhnya berbeda; aspek already meliputi pengakuan iman, dan Alkitab sama, doa kita ke Tuhan yang sama juga; sedangkan aspek not yet/ denominasi dan pengajaran yang berarti sebagai murid, pengertian kita memang terbatas, contohnya pada pandangan tentang baptisan percik, selam dan anak.

Selain itu Teologia bagi yang meyakini adalah sesuatu yang sangat berharga/ kurang disadari oleh mereka yang kurang meyakininya, sebagai contohnya Gereja Roma dan Ortodoks Timur berpisah karena perbedaan pendapat tentang Roh Kudus. Mengkritik itu gampang, menegur itu sulit, kita perlu untuk mengerti dan menghargai sudut pandang masing-masing baru kemudian kita bisa akur.

Apabila kita mengekskomunikasi seorang umat lainnya, apakah itu sikap yang lebih menghargai kesatuan karena kita berada di atas dan tidak bisa salah? Luther bukan ingin melepaskan diri, tidak menolak diskusi dan sudah siap tetapi pihak Roma yang sudah mengadili di saat Luther menghadap.

Tanggapan Tim DKC

Ini betul-betul manipulasi sejarah, seolah-olah Luther dihadapkan dalam persidangan, melainkan Keuskupan Meinz menindaklanjuti dengan memanggil Luther, tidak diindahkan dan menghadap ke Tahta Suci, dikeluarkan Bula, dikasih waktu 60 hari tetapi Bula tersebut malah dibakar oleh Luther

Luther sudah diakui oleh Gereja Roma kepakarannya tetapi tidak diberikan waktu untuk berdiskusi oleh Gereja Roma, melainkan langsun diekskomunikasi, apakah itu sikap yang lebih menghargai Kesatuan. Jangan-jangan dalam Gereja Katolik sudah ada perbedaan doktrinal, misalnya.

Sudah ada pak, banyak skismatik bermunculan dalam Gereja Katolik mulai dari masalah sunat sampai dengan tahun 1517 yang akhirnya menjadi heretic kekal.

Betulkah ekskomunikasi dalam Gereja Roma terkait doktrinal semuanya? Ada juga yang terkait liturgi.

Di Gereja kami ada ketaatan, beda dengan Protestan, junjungan Pak Pendeta bukan Martin Luther, melainkan Johannes Calvin yang terdistorsi ajaran Swingly dan membaca ajaran Luther. Argumentasi Bapak satir tapi ngawur.

Membentuk denominasi baru itu tidak gampang, yang mencari-cari problem kemungkinan besar tidak akan berkembang. Yang pertama karena perluasan wilayah, kedua karena perbedaan doktrinal, karena faktor politik, dan faktor ekonomi, misalkan harus memberikan perpuluhan. Kita harus lebih berhati-hati karena gereja bukan franchise, lebih baik ganti nama. Sejauh mana denominasi induk itu bijaksana, apakah pembagian suaranya ke denominasi yang lebih kecil.

Sebagai kesimpulan, ini bukan hal yang ideal, tetapi di sisi lain isu gereja bukanlah isu yang ringan. Apakah dengan ekskomunkasi lebih menghargai persatuan? Ini adalah ketidakidealan selama Tuhan masih mengijinkan karena kita masih berproses dalam dunia berdosa.

Tuhan tidak pernah mengijinkan perpecahan. Iman yang Bapak dapatkan dari ekskomunikasi/ anathemasit/ relativisme.

Kita harus mengakui ini situasi reformasi, kita tidak bisa kembali ke masa lalu, ini adalah situasi emergency/ ketidakidealan yang masih diijinkan Tuhan.

Sejak lahirnya ecumenical movement, gereja justru lebih banyak pecah (R.C. Sproul), bagaimana tanggapan Pak Hendry?

Pertanyaan yang paling penting adalah gereja yang terpecah yang masuk dalam ecumenical movement atau gereja yang tidak ikut dalam ecumenical movement? “Di luar saya tidak ada yang benar”, apakah pernyataan ini benar?

Anda bicara tentang EENS, beranikah mengeluarkan pernyataan ”di luar Gereja Reformed tidak ada keselamatan?”

Isu gereja adalah sebuah isu yang kompleks, yang penting kita bersatu, kesatuan macam apa ini? Dalam Manhattaan Project, R.C Proul menolak menandatangani dan sepertinya mencampurkan special dan common grace. Ecumenical movement di jaman sekarang harus jelas dan tidak bisa dipaksakan.

Membedah Argumen Perpecahan Protestan: Sebuah Tanggapan Katolik

Video “Obrolan Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, & Apostolik FOKUS Q\&A #37” oleh Reverend Dr. Ongkowijoyo berupaya menyelimuti perpecahan Protestan dengan jubah “keberagaman yang wajar,” tetapi dari lensa Gereja Katolik, ini hanyalah upaya sia-sia untuk menyamarkan luka menganga pada Tubuh Kristus. Mari kita bedah argumen ini dengan ketajaman kebenaran katolik, yang telah teruji dua milenium melalui suksesi apostolik, Magisterium, dan pengorbanan para martir.

Reduksi Denominasi: Ilusi Kerapian dalam Kekacauan

Pertama, soal “memahami denominasi” dan usaha mereduksi 40.000 pecahan Protestan ke dalam “kategori utama” seperti Reformed, Lutheran, atau Pentakosta. Upaya ini mungkin terdengar rapi, tetapi kenyataannya mengerikan. Ribuan kelompok, meski dikelompokkan, adalah bukti kekacauan akibat menolak batu karang Petrus (Matius 16:18).

Katekismus Gereja Katolik menegaskan, “Kristus menganugerahkan kesatuan kepada Gereja-Nya; kesatuan ini bersemayam tak tercabut dalam Gereja Katolik” (KGK 820). Dr. Ongkowijoyo boleh memoles statistik, tetapi Protestantisme tetap sebuah mozaik pecah belah, reruntuhan dari meja perjamuan yang satu, hancur oleh keangkuhan manusia yang mengutamakan penafsiran pribadi di atas otoritas ilahi.

Sumber Daya dan Ekspansi Regional: Dalih yang Lemah untuk Perpecahan

Alasan “sumber daya dan ekspansi regional” untuk denominasi baru adalah pengakuan lemah akan kegagalan Protestan mencapai kesatuan. Gereja Methodist di Medan dan Surabaya berpisah karena urusan logistik? Betapa rapuh! Gereja Katolik, dengan jaringan keuskupan global, memelihara miliaran jiwa di bawah satu Paus, satu iman, satu baptisan (Efesus 4:5).

Lumen Gentium menegaskan, “Gereja Katolik, yang dipimpin penerus Petrus dan para uskup dalam persekutuan, mewujudkan kesatuan penuh Gereja Kristus” (Lumen Gentium 8). Sementara Protestantisme terhuyung-huyung oleh batasan regional, Gereja Katolik hidup sebagai “katolik” – universal – sejak Pentakosta, bukti nyata kehendak Kristus.

Perbedaan Doktrinal: Pemberontakan terhadap Tradisi Apostolik

“Perbedaan doktrinal” tentang baptisan bayi versus orang percaya atau pemercikan versus penyelaman bukan variasi yang patut dirayakan, melainkan pemberontakan terhadap Tradisi Apostolik. Santo Ireneus bersaksi, “Gereja, meski tersebar di seluruh dunia, memelihara iman Rasul dengan satu hati dan jiwa” (Adversus Haereses, 3.4.1). Baptisan bayi, dipraktikkan sejak awal, ditegaskan Santo Agustinus: “Tradisi baptisan bayi berasal dari Rasul, siapa yang berani menentangnya?” (De Baptismo, 4.24.31). Prinsip sola scriptura Protestan, yang rapuh, memunculkan ribuan penafsiran, mengejek doa Yesus: “Supaya mereka semua menjadi satu” (Yohanes 17:21). Kebenaran bukanlah barang lelang untuk diperebutkan sesuka hati.

Faktor Politik dan Ekonomi: Skandal dalam Jubah Rohani

Faktor “politik dan ekonomi” yang memicu denominasi baru adalah skandal telanjang. Gereja lokal memisah karena kantong mereka penuh, menolak dana pusat? Ini bukan gereja, melainkan perusahaan berbaju rohani!

Konsili Trente menegaskan, “Gereja yang satu, didirikan Kristus, tak dapat dipecah oleh ambisi atau keserakahan manusia” (Sesi IV, Dekret tentang Kitab Suci dan Tradisi, 1546). Gereja Katolik, meski dihuni orang berdosa, dijaga Magisterium, sementara Protestantisme seolah memuja perpecahan sebagai “pertumbuhan.” Ironi pahit: mereka yang menolak otoritas justru tunduk pada pasar.

Klaim “Persatuan di Tengah Keberagaman”: Berdiri di Atas Pasir

Klaim “persatuan di tengah keberagaman” berdiri di atas pasir. Berbagi Pengakuan Iman Rasuli dan Alkitab? Baik, tetapi jika setiap kelompok mengukir tafsiran sendiri, apa artinya? KGK menyingkap, “Perpecahan iman dan penolakan otoritas melukai kesatuan Gereja” (KGK 817). Dunia mungkin melihat Kristen “satu” di layar ponsel,

tetapi Tuhan melihat Tubuh-Nya tercabik. Santo Siprianus menegur, “Tak ada keselamatan di luar Gereja; dia yang memecah kesatuan tak dapat mengaku beriman” (De Unitate Ecclesiae, 6). Persatuan sejati bukan dongeng, melainkan ketaatan kepada Gereja Kristus.

Gerakan Ekumenis dan Penolakan Sproul: Kekacauan Protestan

Terakhir, pandangan tentang Gerakan Ekumenis dan penolakan R.C. Sproul terhadap “Proyek Manhattan” mengungkap kekacauan Protestan. Gereja Katolik, via Unitatis Redintegratio, mendukung ekumenisme, tetapi tegas: “Persatuan sejati tak mengorbankan warisan iman Rasul” (UR 11). Sementara Sproul tersesat dalam debat “kasih karunia umum” dan “khusus,” Gereja Katolik berdiri kokoh sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Timotius 3:15). Protestantisme tenggelam dalam angin doktrin, sementara Katolik menjaga depositum fidei.

Saudara-saudara Protestan, berhentilah membungkus perpecahan dalam jubah “keberagaman.” Ribuan denominasi bukan tanda vitalitas, melainkan kegagalan menaati Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. Yesus mendirikan satu Gereja, bukan pasar gagasan. Pulanglah ke pangkuan Ibu Gereja, sebagaimana Lumen Gentium menyeru, “Semua dipanggil ke kesatuan katolik ini” (Lumen Gentium 13). Kebenaran tak bisa ditawar; pintu Petrus terbuka – jangan menyesal di hari akhir.1

Tayangan Video Philip Mantova tentang ”Curi Domba VS Curi Rumput”

Bagaimana tanggapan Pak Pdt. Hendry tentang video ini?

Sekte-Sekte Calvinis

Calvinis dalam perkembangannya terbagi menjadi banyak sekte-sekte lainnya – sebenarnya, kita dapat mengatakan bahwa dari setiap sekte, akan bermunculan seribu lainnya, dan itulah yang terjadi, terutama di Inggris, di mana Anda bisa menemukan hampir tidak anggota keluarga mempunyai kepercayaan yang sama. Kita akan membahas tentang sekte utama yang dijelaskan oleh Noel Alexander dan Gotti.

Ini adalah Reformed, yang muncul di Prancis, di Palatinate, di Swiss, dan Flanders, dan hal ini, secara umum, mengikuti doktrin Calvin dan ajarannya. Di Inggris dan Skotlandia mereka disebut kaum Puritan, dan selain itu, ditemukan di antara para pengikutnya yang lain disebut Independen, Presbiterian, Anglo-Calvinis, Piscatorian, Arininian, dan Gomoris.

Yang paling kaku dari samua Calvinis adalah kaum Puritan, yang membenci samua yang tidak mengikuti cara berpikir mereka sendiri, membenci umat Katolik khususnya, dan bahkan tidak suka berdoa di gereja yang dikuduskan oleh mereka. Mereka menolak Keuskupan – ritus, upacara, dan Liturgi, baik Katolik maupun Gereja Anglikan, bahkan tidak memelihara Doa Bapa Kami. Mereka dalam memelihara hari Minggu persis sebagaimana orang Yahudi memelihara hari Sabat. Mereka bukan teman bangsawan, tetapi melalui kemampuan mereka, Charles I dibawa ke blok mereka tahun 1649.

Kaum Independen & Presbiterian percaya banyak hal sama dengan Puritan, tetapi sistem pemerintahan gereja mereka berbeda. Ketika Oliver Cromwell menjadi Pelindung Inggris, dia adalah seorang Independen. Mereka percaya hanya apa yang mereka suka, dan tidak mengenal adanya superior yang mempunyai otoritas kuasa untuk mengajar mereka. Menurut mereka, kekuatan tertinggi itu ada di setiap sekte. Mereka tidak mengakui dan tidak akan izinkan bergabung ke Dewan Gereja Universal. Mereka tidak mengizinkan siapa pun untuk berkhotbah yang tidak mengikuti doktrin mereka. Mereka merayakan “Perjamuan” pada hari Minggu; tetapi mereka tidak menerima “Perjamuan”, atau Pembaptisan, selain dari sekte mereka sendiri. Mereka merayakan Perjamuan, dengan cara mereka sendiri, tanpa katekismus, khotbah, atau nyanyian; dan mereka adalah nenek moyang dari samua sekte lain yang menyerbu Inggris, sebagai Anabaptis, Antinomian (yang menolak samua hukum), murid dari John Agricola, dan Anti-Scripturis, yang sama sekali menolak Kitab Suci, membual bahwa mereka memiliki samangat para Nabi dan Rasul.2

Tayangan Video Pst. Postinus Gulo, OSC. dan Pst. Herry Sailan, OSC

Dalam video yang diambil di Vatikan, Roma ini, Pst. Gulo mengatakan bahwa pendidikan calon imam terdiri dari 2 tahun Filsafat dan 4 tahun Teologi (KHK 250).

Bagi yang tertarik bergabung menjadi imam OSC, silakan kirim surat ke Provinsial OSC dengan alamat Jalan Nias No. 2, Bandung 40117 atau bisa menghubungi Novisiat OSC melalui Pst. Nana (Magister).

Dikatakan juga bahwa menurut KHK 1031, mereka yang menerima tahbisan imam harus berusia minimal 25 tahun, ini berarti misalkan lulus SMA usia 18 tahun, kemudian 6 tahun belajar/ pendidikan pasti sudah 24 tahun. Kalau di OSC, ketika masuk di OSC, ada 2 tahun masa novisiat, setelahnya menempuh S1 selama 4 tahun, masa pastoral 1 tahun di paroki/ seminari/ biara, kalau lulus melanjutkan S2 Teologi selama 2 tahun, pastoral lagi selama 1 tahun sekaligus tahbisan diakonal, setelah tahbisan diakonal, 6 bulan berikutnya ditahbiskan menjadi seorang imam. Jadi arat-rata di OSC 10 tahun baru bisa menjadi imam dan secara usia sudah dewasa/ matang dan siap terjun di umat/ berbagai macam karya kerasulannya.

Protestantisme: Evaluasi Kredibilitas dari Perspektif Ajaran Gereja Katolik melalui Berbagai Aspek

Protestantisme, yang meletus dari ‘gejolak’ Reformasi abad ke-16 di tangan Martin Luther, Ulrich Zwingli, dan John Calvin, mengibarkan bendera “sola scriptura” (hanya Alkitab), “sola fide” (hanya iman), dan “sola gratia” (hanya kasih karunia). Namun, dari kacamata Gereja Katolik, gerakan ini bagaikan kapal kertas di tengah badai: penuh ambisi, tapi rawan karam di lautan kontradiksi. Tulisan ini meneliti kredibilitas Protestantisme melalui lensa teologis, historis, eklesiologis, dan soteriologis, mengungkap kelemahannya berdasarkan ajaran Katolik yang kokoh dan bukti nyata.

1. Aspek Teologis: Doktrin yang Berderit

Protestantisme bersikukuh “sola scriptura” menjadikan Alkitab otoritas tunggal iman. Sayangnya, Alkitab tak pernah berbisik soal ini. Gereja Katolik menegaskan Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium—otoritas pengajaran Gereja—bersatu menyangga kebenaran. Konsili Trente menegaskan, “Kebenaran Injil disampaikan melalui Kitab Suci dan Tradisi, yang berasal dari para Rasul dan dijaga Gereja” (Denzinger, 2012, hlm. 1501). Tanpa Magisterium, tafsir Alkitab jadi liar, melahirkan ribuan denominasi Protestan yang saling cakar—sebuah parade kacau, seolah tiap orang adalah paus dengan Alkitab di tangan.

Lalu ada “sola fide,” klaim keselamatan hanya butuh iman. Ini tersandung pada Yakobus 2:24: “Manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” Iman harus berpadu dengan kasih, menurut ajaran Katolik (Konferensi Waligereja Indonesia, 1997, KGK 1814). Protestantisme, dengan mencampakkan karya, seolah menjajakan tiket murah ke surga—nyaman, tapi goyah di hadapan logika ilahi.

2. Aspek Historis: Memutus Tali Warisan

Reformasi, dipicu 95 Tesis Luther pada 1517, menolak otoritas kepausan dan Tradisi. Namun, sejarah membuktikan Gereja Katolik menjaga iman awal. Konsili Roma, di bawah Paus Damasus I, merumuskan kanon awal Alkitab pada 382 M, diperkuat Konsili Hippo (393 M) dan Kartago (397 M) (Agustinus, ca. 397 M/2005). St. Agustinus menegaskan, “Saya tidak akan percaya pada Injil kecuali otoritas Gereja Katolik mendorong saya” (Agustinus, ca. 397 M/2005, 5.6).

Bukti nyata, seperti amal kepada janda di Roma abad ke-2, mencerminkan iman yang menyatu dengan karya. St. Klemens dari Roma menulis, “Kita dibenarkan bukan hanya oleh apa yang kita percayai, tetapi juga oleh apa yang kita lakukan” (Klemens dari Roma, ca. 96 M/2005, bab. 30).

Protestantisme, muncul 1.500 tahun kemudian, bagaikan remaja yang membuang album keluarga demi dongeng baru – penuh gairah, tapi tak berakar.

3. Aspek Eklesiologis: Pecahan yang Mengaga

Protestantisme memecah Gereja, dimulai dengan ekskomunikasi Luther pada 1521 oleh Paus Leo X (Decet Romanum Pontificem). Lahir pula Lutheran, Calvinis, Anabaptis, dan ribuan sekte, melawan doa Yesus: “Supaya mereka semua menjadi satu” (Yohanes 17:21). Gereja Katolik, lewat suksesi apostolik dari St. Petrus, menjaga kesatuan, diperkuat konsili seperti Roma (382 M) dan Nicea (325 M) (Konsili Vatikan II, 1964, hlm. 9).

Zwingli dan Calvin bertikai soal Ekaristi, Anabaptis menolak baptis bayi. Protestantisme bagaikan armada tanpa kapten, masing-masing kapal berlayar acak. Gereja Katolik tetap teguh sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Timotius 3:15), utuh dan tak tergoyahkan.

4. Aspek Soteriologis: Jalan Berisiko bagi Jiwa

Dalam hal keselamatan, Protestantisme rapuh. Banyak aliran mereduksi Ekaristi jadi simbol, menolak firman Yesus: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagimu” (Lukas 22:19). Pengakuan Dosa diabaikan, padahal Yesus berfirman, “Kepada siapa kamu mengampuni dosa-dosanya, dosa-dosa itu diampuni” (Yohanes 20:23). St. Ignatius menegaskan, “Ekaristi adalah daging Juruselamat kita Yesus Kristus” (Ignatius dari Antiokhia, ca. 107 M/2005, bab. 7). Sakramen menyalurkan rahmat, kunci keselamatan (Konferensi Waligereja Indonesia, 1997, KGK 1815).

Protestantisme, dengan “sola fide” dan penolakan sakramen, bagaikan pelancong yang membuang peta dan kompas, bertaruh sampai tujuan dengan keyakinan kosong. Jiwa berisiko tersesat tanpa rahmat dan karya nyata.

5. Kesimpulan: Pilihan yang Goyah

Protestantisme rapuh di segala aspek: teologis, doktrinnya pincang tanpa Tradisi; historis, ia memutus warisan Konsili Roma 382 M; eklesiologis, ia menceraikan kesatuan Gereja; soteriologis, ia membahayakan jiwa tanpa sakramen. Gereja Katolik, dengan akar apostolik, konsili-konsili, dan ajaran dua milenium, berdiri kokoh, menyatukan Kitab Suci, Tradisi, dan rahmat untuk menuntun jiwa kepada Allah. Protestantisme mungkin menggoda bak petualangan liar, tapi kapalnya bocor – Gereja Katolik adalah bahtera aman menuju kehidupan kekal.3

  1. History of Heresies, and Their Refutation; or, The Triumph of the Church, translated from the Italian of St. Alphonsus M. Liguori. 

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya