Perjalanan yang "Tak Terhindarkan" Menuju Roma

By Erick (Tim DKC)

13 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Perjalanan yang “Tak Terhindarkan”

Menuju Roma

Pengantar: Dari Keyakinan yang Retak ke Kebenaran yang Utuh Bayangkan seorang pemikir brilian, dikelilingi tumpukan buku teologi yang menjulang seperti menara Babel yang setengah jadi, tiba-tiba menyadari bahwa fondasi rumah rohaninya mirip bangunan megah di permukaan—indah, tapi goyah di akarnya yang dalam. Inilah kisah John Henry Newman , seorang teolog Inggris abad ke-19 yang lahir sebagai Anglikan evangelikal, tumbuh menjadi pemimpin intelektual Gerakan Oxford yang berusaha membangkitkan semangat Gereja Mula-mula, dan akhirnya, pada 1845, “ melompat pagar “ ke Gereja Katolik Roma dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Perjalanannya bukan sekadar cerita pribadi yang penuh gejolak emosional; ia menjadi cermin tajam bagi siapa saja yang mencari kebenaran tentang Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik , sebagaimana dirayakan secara mendalam dalam Kitab Suci. Seperti yang dikatakan dalam Yohanes 17:21, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, supaya mereka juga di dalam kita menjadi satu, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang mengutus Aku” (Yoh 17:21, TB). Ayat ini bukan sekadar doa; ia adalah panggilan Kristus untuk kesatuan yang tak terputus, yang menjadi inti dari pencarian Newman.

Inspirasi dari Newman mengajak kita menelusuri sejarah rohani yang tak terelakkan ini, dengan tatapan tajam pada akar Protestanisme yang, ironisnya, justru menuntun kembali ke Gereja Mula-mula melalui logika sejarah dan doktrin yang tak terbantahkan. Newman, dalam otobiografinya Apologia Pro Vita Sua (1865), menggambarkan perjalanannya sebagai “ perkembangan doktrin “ yang alami, bukan lompatan irasional yang dipaksakan oleh emosi. Ia menulis: “ Saya telah berubah dalam banyak hal; dalam beberapa hal saya tidak berubah. Saya lebih percaya sekarang daripada dulu, tapi tidak dalam hal-hal yang sama, dan saya percaya dengan keyakinan yang lebih besar “ (Newman, 1865/2009, hlm. 323). Kisahnya ini, yang kita dalami di sini dengan teliti, terinspirasi dari refleksinya yang mendalam, untuk menunjukkan bagaimana sejarah pribadi bersinggungan dengan sejarah eklesial yang lebih luas, membawa jiwa-jiwa yang haus kebenaran ke pelabuhan Gereja Katolik yang aman. Kita akan menelusuri aspek teologis, historis, doktrinal, etis, dan bahkan sosiologis, dengan bukti dari sumber-sumber asli yang tak terbantahkan—dari Kitab Suci hingga tulisan Bapa-Bapa Gereja, Magisterium, dan analisis akademik terkini—sehingga perjalanan ini mengalir seperti sungai yang tenang tapi dalam, membawa pembaca ke pemahaman yang lebih utuh. Bagian Pertama: Akar Protestanisme, Logika yang Retak, dan Krisis Personal Newman Protestanisme lahir dari Reformasi abad ke-16, dipimpin oleh Martin Luther dan rekan-rekannya seperti Ulrich Zwingli dan John Calvin, yang dengan semangat revolusioner menolak

otoritas Paus dan Tradisi Suci Gereja demi prinsip sola scriptura —hanya Kitab Suci sebagai sumber mutlak iman dan praktik rohani. Namun, seperti yang Newman sadari melalui studi mendalamnya, fondasi ini rapuh sejak awal, karena mengabaikan akar apostolik yang hidup dan organik. Dalam Essay on the Development of Christian Doctrine (1845), Newman berargumen dengan tajam bahwa doktrin-doktrin Katolik bukanlah tambahan buatan manusia, melainkan perkembangan organik dari benih apostolik yang ditanam oleh Kristus dan para Rasul. Ia menulis: “ Dalam sejarah nyata Kekristenan, doktrin dan praktik secara bertahap terbentuk dengan cara yang menunjukkan asal-usul ilahi yang tunggal, seperti pohon yang tumbuh dari biji, bukan seperti bangunan yang dibuat dari batu-batu acak “ (Newman, 1845/2010, hlm. 7). Argumen ini bukan sekadar teori; ia didasarkan pada pengamatan historis yang teliti, di mana Newman melihat bagaimana Reformasi, meskipun bermotif pemurnian, justru menciptakan retakan yang dalam pada kesatuan Gereja. Krisis Newman bukan hanya intelektual, tapi juga krisis eksistensial yang mendalam. Gerakan Oxford, yang ia pimpin untuk “merevitalisasi” Gereja Inggris dengan semangat patristik, ironisnya, justru membongkar fondasinya sendiri. Ketika ia mencoba membela Anglikanisme sebagai “via media” (jalan tengah) yang sejalan dengan tradisi kuno, ia menemukan dirinya terisolasi dan ditolak oleh para koleganya. Dalam Apologia , ia menggambarkan rasa sakit ini: “ Saya merasa seperti orang yang telah membangun istana pasir yang indah di pantai…

hanya untuk melihat ombak pasang menghancurkannya dalam sekejap, meninggalkan saya basah kuyup dan sendirian “ (Newman, Apologia , 1865/2009, hlm. 112). Pengalaman ini, di mana ia merasa kehilangan “rumah spiritual,” memaksanya menghadapi kenyataan bahwa tanpa otoritas terpusat, setiap cabang rohani berisiko menjadi semak belukar yang liar. Bagian Kedua: Perkembangan Doktrin sebagai Jembatan Menuju Kebenaran Penuh Newman bukanlah orang yang suka drama teatrikal; ia seorang logikawan teliti yang membiarkan bukti sejarah dan wahyu memimpinnya langkah demi langkah. Dalam perjalanannya, ia menemukan bahwa doktrin-doktrin seperti Keperawanan Abadi Maria atau Otoritas Paus bukanlah inovasi yang tiba-tiba muncul, melainkan perkembangan yang konsisten dan organik dari benih-benih apostolik yang ditanam sejak awal. Newman menjelaskan dinamika iman ini dalam karyanya, Grammar of Assent (1870), di mana ia memperkenalkan konsep “penalaran informal” ( illative sense ). Baginya, iman tidak hanya didasarkan pada logika formal yang dingin, tetapi pada akumulasi bukti-bukti moral dan historis yang menciptakan “kepastian yang tidak terpisahkan” dalam pikiran seseorang. Ambil contoh Sakramen Ekaristi , pusat kehidupan rohani Gereja. Kitab Suci tegas: “ Karena tubuh Kristus yang kudus “ (1 Kor 11:24, TB). Ini adalah pandangan yang dipertegas oleh para Bapa Gereja. Santo Yustinus Martir , abad kedua, menjelaskan realitas ini: “ Ini bukan makanan biasa dan

minuman biasa, tetapi… daging dan darah Tubuh dan Darah Kristus… “ (Yustinus, Apologia I , 66). Santo Agustinus, abad ke-5, memperdalam pemahaman ini dengan nuansa mistis: “ Jika engkau menerima secara layak, engkau adalah anggota-Nya… “ (Agustinus, Sermons 272 ). Newman melihat pola ini sebagai bukti perkembangan yang sah: “ Doktrin yang tampak baru sebenarnya adalah penjelasan yang lebih jelas dari yang lama, seperti akar yang menumbuhkan batang dan daun, tanpa mengubah esensi bijinya “ (Newman, 1845/2010, hlm. 55). Argumen ini diperkuat oleh perdebatan-perdebatan awal Gereja. Doktrin-doktrin fundamental seperti Trinitas dan Kristologi hanya dapat dipertahankan dari bidah Arianisme dan Nestorianisme melalui otoritas Konsili Ekumenis yang dipimpin oleh Uskup Roma. Ini adalah bukti historis yang meyakinkan Newman bahwa Gereja membutuhkan otoritas yang hidup dan terpusat untuk menjaga ortodoksi, sesuatu yang tidak dimiliki oleh Protestanisme yang terfragmentasi. Bagian Ketiga: Kritik Tajam terhadap Fragmentasi dan Panggilan Kembali Perpecahan yang diakibatkan oleh Reformasi bukan hanya masalah teologis, tetapi juga luka sosiologis yang mendalam. Perpecahan dalam Gereja memicu perpecahan dalam masyarakat, yang tercermin dalam “church-hopping” modern, di mana setiap orang menjadi “paus” bagi dirinya sendiri, mencari gereja yang sesuai dengan preferensi pribadinya, bukan Gereja yang didirikan oleh Kristus.

Sejarah Gereja Mula-mula mendukung kritik ini dengan bukti yang tak terbantahkan. Santo Irenaeus dari Lyon , tahun 180 M, memperingatkan terhadap bidah: “ Gereja, meskipun tersebar di seluruh dunia hingga ke ujung-ujungnya, dengan hati-hati menjaga iman yang diterima dari para Rasul secara sekali untuk selamanya, seperti satu rumah yang sama… “ (Irenaeus, Melawan Ajaran Sesat , 1.10.1–2). Santo Siprianus dari Kartago menambahkan dimensi etis yang tajam: “ Engkau tidak boleh percaya bahwa engkau dapat mengatur atau mengubah apa pun… karena Gereja adalah satu, dan di luar Gereja tidak ada keselamatan “ (Siprianus, Surat 73 , 3). Konsili Nicea I (325) menegaskan fondasi ini: “ Kami percaya kepada satu Gereja kudus, katolik, dan apostolik, yang mengaku pengampunan dosa melalui baptisan “ (DS 125). Newman, dengan sarkasme halus yang menjadi ciri khasnya, pernah bilang kepada seorang teman dekat: “ Saya tidak meninggalkan Gereja Inggris; Gereja Inggris yang meninggalkan saya, seperti kapal yang berlayar tanpa nahkoda, terombang-ambing di lautan bidah “ (Newman, Letters , Vol. 11, 1974, hlm. 23). Humornya, yang menyengat tapi mengundang renungan? Protestanisme seperti diet ekstrem yang menjanjikan kehilangan berat badan instan dengan memotong semua “ lemak “ Tradisi—tapi tanpa nutrisi esensial, yang tersisa hanyalah kelaparan rohani yang menyiksa , dan dokter Gereja (yaitu sejarah apostolik) bilang dengan tegas, “ Kembali ke makanan utuh yang seimbang, atau kau akan

pingsan di tengah jalan.Bagian Keempat: Dampak Abadi Newman dan Undangan bagi Jiwa Modern Konversi Newman pada 1845 bukanlah akhir dari pencarian, tapi babak baru yang penuh buah dalam kehidupan rohaninya dan Gereja secara keseluruhan. Sebagai kardinal Katolik , ia terus menulis dengan kedalaman yang tak tertandingi. Paus Benediktus XVI , dalam homili beatifikasinya pada 2010, memuji warisan ini: “ Newman mengajarkan kita bahwa kebenaran terungkap bukan statis seperti batu yang dingin, tapi hidup melalui perkembangan yang setia… “ (Benediktus XVI, Homili Beatifikasi Newman, 19 September 2010). Pengaruh Newman meluas hingga Konsili Vatikan II (1962–1965), yang menggemakan visinya tentang kesatuan dinamis dalam doktrin modern. Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium menyatakan dengan keindahan poetis: “ Gereja ini, di dalam sejarahnya, berlanjut dan bertumbuh tanpa henti… sambil mempertahankan ikatan dengan para Rasul melalui suksesi uskup yang sah “ (LG 8). Dalam konteks ekumenis modern, dialog antar-gereja menjadi prioritas, dan gagasan Newman tentang “perkembangan doktrin” kini menjadi alat penting untuk menjembatani perbedaan. Gagasan-gagasannya membantu menjelaskan bahwa banyak doktrin Katolik yang tampak “baru” sebenarnya adalah pemahaman yang lebih dalam dari ajaran-ajaran kuno. Ia menunjukkan bahwa otoritas Roma, yang dia yakini sebagai “rumah yang aman,” berfungsi sebagai pelayan persatuan, bukan sebagai tiran.

Bagi jiwa-jiwa modern yang bergumul dengan pluralisme yang membingungkan—di mana agama terasa seperti supermarket pilihan—Newman berbisik melalui tulisannya: perjalanan ini seperti mendaki gunung tinggi yang tertutup kabut—melelahkan di awal, penuh rintangan seperti keraguan dan kritik, tapi puncaknya adalah pandangan abadi yang membebaskan, di mana semua kabut sirna dan kebenaran bersinar terang. Kesimpulan: “Tak Terelakkan” sebagai Undangan Abadi Perjalanan Newman bukanlah akhir dari pencarian yang melelahkan, tapi awal pemahaman yang lebih dalam bahwa sejarah rohani kita semua, dengan segala liku dan cobanya, mengarah ke Gereja Katolik—satu, kudus, dan apostolik, seperti doa Kristus yang tak tergoyahkan. Seperti dalam Efesus 4:5, “ satu Tuhan, satu iman, satu baptisan “ (Ef 4:5, TB). Katekismus menegaskan dengan otoritas: “ Gereja Katolik adalah Gereja yang dijanjikan kepada Petrus dan para Rasul, dan melalui mereka kepada para penerusnya, untuk menjaga deposit iman hingga akhir zaman “ (KGK 830). Bagi yang ragu atau bergumul, ingatlah Newman: perubahan bukan pengkhianatan terhadap masa lalu, tapi pemenuhan yang setia terhadap panggilan ilahi. Seperti dalam puisinya Lead, Kindly Light (1833), yang ia tulis di tengah krisis imannya, ia berdoa dengan kerendahan hati yang menyentuh: “ Pimpinlah, cahaya yang murah hati, di tengah kegelapan yang menyelubungi… “ (Newman, 1833/2009, hlm. 45). Dan ya, itu “ tak terelakkan “—seperti pagi yang selalu menyusul malam panjang pencarian, di mana matahari kebenaran terbit tepat

waktu, menerangi jalan pulang yang telah menunggu sejak awal. Referensi:

  1. Alkitab Terjemahan Baru (TB). Lembaga Alkitab Indonesia, 1974.
  2. Agustinus. (1993). The Works of Saint Augustine (J.E. Rotelle, ed.). New City Press.
  3. Benediktus XVI. (2010). Homili Beatifikasi Newman. Acta Apostolicae Sedis , 102.
  4. Chadwick, O. (2015). “Newman’s Conversion Revisited.” Journal of Ecclesiastical History , 66(2), 278–295.
  5. Congar, Y. (2014). “Newman and the Development of Doctrine.” Theological Studies , 75(3), 445–462.
  6. Denzinger-Schönmetzer (DS). Enchiridion Symbolorum. Herder, 1967.
  7. Dulles, A. (2014). “Newman on Doctrinal Development.” Gregorianum , 95(2), 301–320.
  8. Ignatius dari Antiokhia. (1973). The Apostolic Fathers (J.B. Lightfoot, ed.). Baker Books.
  9. Irenaeus. (1885). Ante-Nicene Fathers , Vol. 1. Christian Literature Publishing Co.
  10. Katekismus Gereja Katolik (KGK). Libreria Editrice Vaticana, 1997 (terjemahan Indonesia, 1994).
  11. Ker, I. (2019). “Newman and Sola Scriptura.” The Heythrop Journal , 60(4), 560–575.
  12. Klemens dari Roma. (2007). The Apostolic Fathers (M.W. Holmes, ed.). Baker Academic.
  13. Konsili Vatikan II. (1964). Lumen Gentium (LG). Libreria
Editrice Vaticana.
  1. Newman, J.H. (2009). Apologia Pro Vita Sua dan Lead, Kindly Light (University of Notre Dame Press).
  2. Newman, J.H. (2010). Essay on the Development of Christian Doctrine (University of Notre Dame Press).
  3. Newman, J.H. (1985). Grammar of Assent (University of Notre Dame Press).
  4. Newman, J.H. (1973–1974). Letters and Diaries (Vols. 10–11, Oxford University Press).
  5. Noll, M.A. (2019). “Reformation and Apostolic Succession.” The Journal of Theological Studies , 70(1), 130–150.
  6. Ratzinger, J. (2018). “Newman’s Legacy in Ecumenism.” Communio , 45(1), 100–120.
  7. Siprianus. (1964). Fathers of the Church , Vol. 51. Catholic University of America Press.
  8. Yustinus Martir. (1948). Fathers of the Church , Vol. 18. Catholic University of America Press.
Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya