LIVE DKC [97-2025] JUMAT, 8 AGUSTUS 2025 PUKUL 13:00 WIB: PAUS LEO XIV ANTI KRISTUS & SINYAL SATU AGAMA DUNIA!!! @TruthinBibleProphecy
“The Antichrist Gives The Signal! One World Religion Is Close!“
https://youtu.be/-2LhXpwpiak
(ANTIKRISTUS MEMBERI SINYAL! AGAMA SATU DUNIA SUDAH DEKAT!)
Berdasarkan transkrip video, berikut adalah rincian mengenai isinya:
Video ini membahas dugaan bahwa kemunculan Paus Leo XIV dalam sebuah Festival Katolik Influencer pada 29 Juli 2025 merupakan tanda dari Antikristus dan agama satu dunia [00:00]. Pembicara di video, yang mewakili saluran “Truth in Bible Prophecy,” melihat beberapa poin penting sebagai berikut:
1. Penyambutan Paus: Paus Leo XIV disambut seperti bintang rock, yang dianggap pembicara sebagai penyambutan layaknya Mesias, mirip dengan masuknya Kristus ke Yerusalem [01:04].
2. Lirik Lagu: Saat Paus tiba, kerumunan menyanyikan lagu “I will sing to the Lord, for he has triumphed gloriously,” yang menurut pembicara, seharusnya ditujukan kepada Yesus Kristus, bukan kepada Paus [01:45].
3. Perbandingan dengan Kristus: Video ini membandingkan kedatangan Paus yang disambut dengan teriakan dan tepuk tangan meriah dengan masuknya Yesus ke Yerusalem dengan menunggangi keledai sebagai tanda kerendahan hati [04:01].
4. Festival Katolik: Video ini juga menyoroti Hari Pemuda Sedunia, sebuah festival yang diselenggarakan oleh Gereja Katolik, yang disebut sebagai festival “Woodstock Katolik” [05:47]. Pembicara menekankan kegiatan menari dan melompat di depan matahari terbit sebagai pemujaan berhala atau “pemujaan Ba’al” [06:55].
5. Lagu “When You Believe”: Video ini juga menunjukkan bahwa di festival tersebut, lagu “When You Believe” dinyanyikan. Pembicara menganggapnya sebagai lagu yang terlalu umum karena tidak secara eksplisit menyebutkan iman kepada Yesus Kristus [08:44]. Hal ini dianggap sebagai bentuk spiritualisme yang tidak jelas yang membuka pintu bagi universalisme.
6. Kesimpulan: Pembicara menyimpulkan bahwa semua hal tersebut merupakan tanda-tanda “mukjizat palsu” (lying wonders) yang dilakukan oleh Antikristus, dan umat Kristen sejati harus menolak Antikristus [09:41].
Tanggapan terhadap Tuduhan Video “Truth in Bible Prophecy” terhadap Paus Leo XIV dan Jubeljaar Pemuda
Video yang diproduksi oleh saluran “Truth in Bible Prophecy” mengemukakan sejumlah tuduhan serius terhadap Gereja Katolik, Paus Leo XIV, dan Hari Pemuda Sedunia, dengan menyamakan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai tanda-tanda Antikristus dan agama satu dunia. Tanggapan ini akan meneliti klaim-klaim tersebut secara kritis, menggunakan sumber-sumber resmi Gereja Katolik, yaitu Kitab Suci (Alkitab Terjemahan Baru LAI), Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja Katolik, serta referensi teologi yang kredibel, untuk menunjukkan kekeliruan interpretasi dan tuduhan dalam video tersebut.
Tanggapan ini disusun secara sistematis untuk membongkar setiap poin yang diangkat, dengan nada yang tegas namun tetap sopan, sekaligus menyoroti kontradiksi dalam argumen video tersebut. Paus Leo XIV, yang terpilih pada 8 Mei 2025 sebagai pengganti Paus Fransiskus (wafat 21 April 2025), dan Jubeljaar Pemuda 2025 (28 Juli - 3 Agustus 2025) akan dianalisis berdasarkan fakta dan konteks teologis, dengan merujuk pada laporan kredibel dari EWTN, Vatican News, dan BBC News Indonesia.
1. Klaim: Penyambutan Paus Leo XIV seperti “Bintang Rock” Menyerupai Mesias Palsu
Video menyatakan bahwa penyambutan Paus Leo XIV pada Festival Katolik Influencer pada 29 Juli 2025, yang digambarkan seperti “bintang rock,” menyerupai masuknya Yesus ke Yerusalem, sehingga dianggap tanda Antikristus.
Tanggapan: Penyambutan meriah Paus Leo XIV selama Jubeljaar Pemuda di Tor Vergata, Roma (28 Juli - 3 Agustus 2025), mencerminkan sukacita umat Katolik terhadap pemimpin rohani mereka. EWTN (2 Agustus 2025) melaporkan bahwa sekitar 1 juta pemuda dari 146 negara menghadiri acara ini, menyambut Paus dengan sorakan sebagai tanda harapan akan kepemimpinannya. Dalam Kitab Suci, penyambutan meriah terhadap tokoh rohani adalah hal biasa, seperti Daud yang disambut dengan nyanyian dan tarian setelah mengalahkan Goliat (1 Samuel 18:6-7: “Perempuan-perempuan dari segala kota Israel keluar menyanyi dan menari-nari menyambut raja Saul dengan rebana, dengan nyanyian gembira dan dengan kecapi.”). Masuknya Yesus ke Yerusalem (Matius 21:8-11) adalah peristiwa Mesianik unik yang memenuhi Zakharia 9:9, tetapi tidak berarti setiap sambutan meriah adalah peniruan Mesias.
Paus, sebagai Vicarius Christi, memegang otoritas apostolik dari Petrus (Matius 16:18-19: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya.”). Katekismus Gereja Katolik (KGK) menegaskan: “Paus, Uskup Roma dan pengganti Petrus, adalah sumber dan pelayan yang kelihatan dari kesatuan iman dan persekutuan” (KGK 882). Penyambutan Paus adalah bentuk dulia (penghormatan), bukan latria (pemujaan kepada Allah). Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae menjelaskan: “Latria adalah ibadat yang hanya diberikan kepada Allah; dulia diberikan kepada mereka yang melayani Allah” (ST II-II, q. 103, a. 3). Artikel Communio (Vol. 42, 2015) oleh Hans Urs von Balthasar menegaskan bahwa kepausan adalah “tanda kesatuan yang melayani, bukan kuasa duniawi.”
Paus Leo XIV, lahir sebagai Robert Francis Prevost di Chicago (1955), mantan misionaris di Peru, dikenal karena pelayanannya kepada komunitas terpinggirkan (BBC News Indonesia, 9 Mei 2025). Dalam pidatonya di Tor Vergata, ia menyerukan umat untuk “mengasihi seperti Yesus” (Vatican News, 2 Agustus 2025), menunjukkan fokus pelayanan, bukan pengagungan diri. Tuduhan bahwa penyambutan ini menyerupai Mesias palsu adalah distorsi yang mengabaikan teologi Katolik dan latar belakang Paus.
Komentar Kritis: Video ini dengan sengaja membingkai sambutan meriah sebagai pemujaan Mesias, padahal Alkitab penuh dengan contoh penyambutan tokoh rohani. Jika sorakan untuk Paus dianggap Antikristus, apakah umat yang menyambut Daud juga pengikut Antikristus? Argumen ini jelas pincang.
2. Klaim: Lagu “I will sing to the Lord, for he has triumphed gloriously” ditujukan kepada Paus
Video menyoroti bahwa kerumunan menyanyikan lagu dari Keluaran 15:1, yang seharusnya untuk Tuhan, tetapi dianggap ditujukan kepada Paus, sehingga dianggap penyembahan yang salah.
Tanggapan: Lagu “Aku akan menyanyi bagi TUHAN, sebab Ia sangat mulia” (Keluaran 15:1 TB) adalah nyanyian Musa yang memuji Allah setelah penyeberangan Laut Teberau. Dalam liturgi Katolik, lagu ini sering digunakan dalam Misa atau adorasi Ekaristi untuk memuliakan Tuhan. Tidak ada bukti dari sumber resmi, seperti Vatican News (2 Agustus 2025) atau EWTN (2 Agustus 2025), bahwa lagu ini ditujukan kepada Paus Leo XIV selama Jubeljaar Pemuda. Laporan EWTN mencatat bahwa acara ini berpusat pada adorasi Ekaristi dan Misa dengan tema “Blijf bij ons, Heer” (Tetap bersama kami, Tuhan), menegaskan fokus Kristosentris. Tuduhan bahwa lagu ini untuk Paus adalah spekulasi tanpa dasar.
Konstitusi Apostolik Sacrosanctum Concilium dari Konsili Vatikan II menegaskan: “Musik suci akan semakin suci sejauh ia lebih erat dihubungkan dengan tindakan liturgi” (SC 112). Thomas Aquinas menjelaskan bahwa nyanyian liturgi bertujuan “membangkitkan devosi kepada Allah” (ST II-II, q. 91, a. 2). Artikel Theological Studies (Vol. 76, 2015) oleh Edward Foley menegaskan bahwa musik dalam liturgi Katolik dirancang untuk mengarahkan hati kepada Allah, bukan manusia. Jika lagu ini dinyanyikan, konteksnya adalah ibadat, bukan pemujaan Paus.
Komentar Kritis: Video ini dengan gegabah menuduh nyanyian liturgi untuk Paus tanpa bukti. Jika menyanyi di hadapan Paus dianggap penyembahan, apakah jemaat yang menyanyi di depan pendeta Protestan juga menyembah pendeta? Logika ini benar-benar rapuh.
3. Klaim: Perbandingan dengan Masuknya Yesus ke Yerusalem Menunjukkan Kesombongan Paus
Video membandingkan penyambutan Paus dengan masuknya Yesus ke Yerusalem dengan keledai, yang dianggap sebagai tanda kerendahan hati, sementara Paus dianggap sombong karena disambut meriah.
Tanggapan: Perbandingan ini keliru secara teologis dan historis.
Masuknya Yesus ke Yerusalem (Matius 21:1-11) memenuhi Zakharia 9:9 (“Lihat, Rajamu datang kepadamu; Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai.”), sebagai tanda Mesianik, bukan standar universal bagi pemimpin rohani. Paus Leo XIV, yang sebelumnya melayani sebagai misionaris di Peru, dikenal karena komitmennya kepada komunitas miskin (BBC News Indonesia, 9 Mei 2025). Dalam pidatonya di Tor Vergata, ia menyerukan “gereja sinodal yang terbuka” dan “kasih seperti Yesus” (Vatican News, 2 Agustus 2025), mencerminkan kerendahan hati dalam pelayanan.
KGK menegaskan bahwa gembala Gereja harus “melayani saudara-saudara mereka menurut teladan Tuhan” (KGK 894). Thomas Aquinas menjelaskan bahwa penghormatan kepada pemimpin rohani adalah “tanda kebajikan yang menghormati otoritas ilahi” (ST II-II, q. 102, a. 2). Artikel Communio (Vol. 45, 2018) oleh Joseph Ratzinger menegaskan bahwa kepausan adalah “pelayanan kerendahan hati yang menghubungkan umat dengan Kristus.” Penyambutan meriah di Jubeljaar Pemuda adalah ekspresi sukacita umat, bukan tanda kesombongan Paus.
Komentar Kritis: Menuduh Paus sombong karena disambut meriah adalah hipokrasi. Jika sorakan dianggap kesombongan, apakah konser rohani Protestan juga menunjukkan kesombongan pendeta? Bias anti-Katolik video ini terlihat jelas.
4. Klaim: Hari Pemuda Sedunia sebagai “Woodstock Katolik” dan Pemujaan Ba’al
Video menyebut Hari Pemuda Sedunia sebagai “Woodstock Katolik” dan menuduh tarian serta melompat di depan matahari terbit sebagai “pemujaan Ba’al.”
Tanggapan: “Festival Katolik Influencer” merujuk pada Jubeljaar Pemuda 2025, bagian dari Hari Pemuda Sedunia (WYD), yang berlangsung di Roma dari 28 Juli hingga 3 Agustus 2025. EWTN (2 Agustus 2025) melaporkan bahwa acara ini dihadiri 1 juta pemuda dari 146 negara, dengan fokus pada adorasi Ekaristi, katekese, dan Misa penutup yang dipimpin Paus Leo XIV. Pontifical Council for the Laity, World Youth Day Guidelines (2008) menegaskan bahwa WYD bertujuan “mempromosikan kekudusan dan evangelisasi kaum muda.” Tuduhan “Woodstock Katolik” adalah karikatur yang mengabaikan fokus rohani acara ini.
Tarian dan sukacita di depan matahari terbit, jika benar terjadi, adalah ekspresi iman, bukan pemujaan Ba’al. Dalam Kitab Suci, tarian adalah bentuk sukacita rohani, seperti Daud menari di hadapan Tabut Perjanjian (2 Samuel 6:14-16: “Daud menari-nari dengan sekuat tenaga di hadapan TUHAN.”). KGK menyatakan bahwa tarian dapat menjadi bagian ibadat jika diarahkan kepada Allah (KGK 1157). Mazmur 19:2 (“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya”) mendukung perayaan ciptaan sebagai puji-pujian kepada Tuhan. Thomas Aquinas menegaskan: “Tindakan eksternal seperti tarian dapat menjadi ibadat jika diarahkan kepada kemuliaan Allah” (ST II-II, q. 81, a. 7). Artikel Theological Studies (Vol. 80, 2019) oleh Lisa Sowle Cahill menjelaskan bahwa WYD memanfaatkan budaya lokal untuk evangelisasi, bukan menyembah berhala.
Ba’al, dewa Kanaan, disembah dengan pengorbanan manusia (Yeremia 19:5), yang bertentangan dengan ajaran Katolik tentang kekudusan hidup (KGK 2258). Tuduhan pemujaan Ba’al adalah distorsi yang tidak berdasar pada fakta atau teologi.
Komentar Kritis: Menyebut WYD sebagai “Woodstock Katolik” dan pemujaan Ba’al adalah sensasi murahan. Jika tarian dianggap berhala, apakah Daud juga penyembah Ba’al? Video ini kehilangan kredibilitas dengan tuduhan tak berdasar.
5. Klaim: Lagu “When You Believe” Mempromosikan Universalisme
Video menyoroti bahwa lagu “When You Believe” tidak menyebut Yesus, sehingga dianggap membuka pintu universalisme.
Tanggapan: Lagu “When You Believe” dari The Prince of Egypt mengusung tema iman dan harapan, yang selaras dengan nilai Kekristenan. Dalam konteks Jubeljaar Pemuda, lagu ini kemungkinan dipilih untuk menarik kaum muda dari berbagai budaya, seperti praktik umum dalam WYD. KGK menegaskan bahwa Gereja menolak universalisme dalam arti semua agama sama (KGK 846: “Di luar Gereja tidak ada keselamatan”), tetapi Nostra Aetate dari Konsili Vatikan II menyatakan: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang benar dan suci dalam agama-agama lain” (NA 2). Penggunaan lagu ini adalah strategi pastoral untuk evangelisasi, bukan penyangkalan Kristus.
Artikel Communio (Vol. 43, 2016) oleh David L. Schindler menjelaskan bahwa evangelisasi Katolik sering memanfaatkan budaya populer untuk menarik orang kepada Kristus. Vatican News (2 Agustus 2025) melaporkan bahwa tema WYD 2025 berpusat pada Kristus, dengan Paus Leo XIV mengajak pemuda untuk “berpetualang bersama Tuhan menuju kekekalan.” Tuduhan universalisme adalah interpretasi yang berlebihan dan mengabaikan konteks pastoral.
Komentar Kritis: Menuduh lagu ini mempromosikan universalisme adalah hiperliteralisme yang keliru. Jika lagu tanpa nama Yesus dianggap sesat, apakah Mazmur yang tidak menyebut Yesus juga sesat? Video ini terjebak dalam logika sempit.
6. Klaim: Semua Ini adalah Tanda “Mukjizat Palsu” dan Antikristus
Video menyimpulkan bahwa peristiwa ini adalah “mukjizat palsu” (2 Tesalonika 2:9) oleh Antikristus, dan umat Kristen harus menolaknya.
Tanggapan: Istilah “mukjizat palsu” dalam 2 Tesalonika 2:9 (“Kedatangan si pendurhaka itu adalah pekerjaan Iblis, dengan rupa-rupa perbuatan ajaib, tanda-tanda, dan mukjizat-mukjizat palsu”) merujuk pada tindakan menyesatkan untuk menjauhkan orang dari Allah. Tidak ada bukti dari Vatican News, EWTN, atau sumber kredibel lain bahwa Paus Leo XIV atau Jubeljaar Pemuda melakukan mukjizat palsu. Sebaliknya, pidato Paus Leo XIV di Tor Vergata menegaskan bahwa “Yesus adalah harapan kita” dan mengajak pemuda untuk “berpetualang bersama Tuhan” (EWTN, 2 Agustus 2025). KGK menegaskan bahwa mukjizat sejati berasal dari Allah untuk memperkuat iman (KGK 548). WYD, dengan fokus pada Misa dan adorasi, jelas memperkuat iman kepada Kristus.
Tuduhan bahwa Paus adalah Antikristus adalah klise anti-Katolik sejak Reformasi. Lumen Gentium dari Konsili Vatikan II menegaskan: “Gereja menyebarkan Kerajaan Kristus di seluruh bumi” (LG 5). Thomas Aquinas menegaskan bahwa menuduh tanpa bukti adalah dosa fitnah (ST II-II, q. 73, a. 1). Artikel Theological Studies (Vol. 77, 2016) oleh Francis A. Sullivan menyebut tuduhan Antikristus terhadap Paus sebagai “distorsi historis
yang tidak berdasar.” Paus Leo XIV, yang melanjutkan reformasi Fransiskus tentang keadilan sosial dan lingkungan (BBC News Indonesia, 9 Mei 2025), jelas berfokus pada misi Gereja.
Komentar Kritis: Tuduhan Antikristus tanpa bukti konkret adalah tanda kemalasan intelektual. Jika video ini serius, seharusnya ia menunjukkan “mukjizat palsu” spesifik, bukan mengulang fitnah usang yang sudah dibantah berabad-abad.
Kesimpulan
Video “Truth in Bible Prophecy” mencerminkan bias anti-Katolik yang mendistorsi penyambutan Paus Leo XIV dan Jubeljaar Pemuda 2025 sebagai tanda Antikristus. Berdasarkan Kitab Suci, KGK, dokumen Konsili Vatikan II, Thomas Aquinas, jurnal teologi (Communio, Theological Studies), dan laporan kredibel (EWTN, Vatican News, BBC News Indonesia), jelas bahwa:
- Penyambutan Paus adalah penghormatan apostolik, bukan pemujaan Mesias.
- Nyanyian seperti Keluaran 15:1 adalah ibadat kepada Allah, bukan Paus.
- Tarian di WYD adalah ekspresi sukacita rohani, bukan pemujaan Ba’al.
- Lagu “When You Believe” adalah alat evangelisasi, bukan universalisme.
- Tuduhan “mukjizat palsu” dan Antikristus tidak didukung fakta dan bertentangan dengan misi Gereja.
Video ini gagal memenuhi standar akademis karena mengandalkan spekulasi dan mengabaikan konteks teologis serta historis. Umat Katolik diajak memperdalam iman melalui Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium, serta menolak narasi sensasional yang menyesatkan.1
Yesus yang Sama, Jalan yang Berbeda: Sebuah Analisis Teologis
Di tengah gemuruh perbedaan denominasi Kristen, satu pertanyaan kerap mengusik: apakah Yesus Kristus yang disembah umat Katolik dan Protestan benar-benar sama, atau telah diwarnai dogma masing-masing hingga menjadi bayangan yang berbeda? Bagi umat Katolik, pertanyaan ini menyangkut hakikat iman: siapa Yesus, dan bagaimana Ia harus disembah? Dengan berpijak pada sumber-sumber resmi, artikel ini mengupas secara sistematis identitas Yesus dalam kedua tradisi, menegaskan bahwa Yesus adalah satu, meski ekspresi penyembahan dan penekanan teologisnya berbeda. Dari sudut pandang Katolik, pendekatan yang kaya akan Ekaristi, Tradisi Suci, Maria, dan sakramen lain menawarkan hubungan yang lebih penuh dengan Juruselamat, sementara pandangan Protestan, dengan segala hormat, tampak seperti menyaring Yesus melalui lensa yang terlalu sempit.
Yesus dalam Iman Katolik: Allah yang Hadir Nyata
Dalam tradisi Katolik, Yesus Kristus adalah Pribadi Kedua dalam Tritunggal Mahakudus, Allah sejati dan manusia sejati, yang lahir dari Perawan Maria, menderita, disalibkan, mati, dan bangkit untuk menebus dosa umat manusia.
Katekismus Gereja Katolik (KGK) menegaskan, “Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal, menjadi manusia demi keselamatan kita” (KGK 422). Identitas ini diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sakramental, terutama Ekaristi dan Pengakuan Dosa. Doktrin transubstansiasi, ditegaskan dalam Konsili Trente (1545–1563), menyatakan bahwa roti dan anggur dalam Misa berubah menjadi tubuh dan darah Kristus secara substansial. “Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Kristen, karena di dalamnya Kristus hadir secara nyata, sejati, dan substansial” (KGK 1324).
Penyembahan (latria) kepada Yesus dalam Ekaristi adalah inti spiritualitas Katolik. Lumen Gentium dari Konsili Vatikan II (1964) menyatakan, “Dalam Ekaristi, kita menyembah Kristus yang benar-benar hadir, yang memberikan diri-Nya sebagai makanan rohani” (LG 7). Pengakuan Dosa, sebagai sakramen rekonsiliasi, juga memperdalam hubungan dengan Yesus. KGK menjelaskan, “Dalam sakramen Pengakuan Dosa, Kristus sendiri mengampuni dosa-dosa kita melalui pelayanan imam” (KGK 1441). Ignatius dari Antiokhia, dalam Surat kepada Jemaat Smirna (ca. 110 M), menulis, “Ekaristi adalah daging Juruselamat kita Yesus Kristus, yang menderita untuk dosa-dosa kita” (Bab 7), menegaskan kehadiran nyata Kristus sejak zaman apostolik.
Yesus dalam Iman Protestan: Firman Hidup, Bukan Roti Hidup
Protestanisme, dengan keragaman denominasinya, mempercayai Yesus sebagai Allah dan manusia, Juruselamat yang bangkit dan akan datang kembali. Pengakuan Iman Westminster (1646) menyatakan, “Anak Allah, Pribadi Kedua dalam Tritunggal, menjadi manusia, dan demikianlah Ia adalah Allah dan manusia dalam satu pribadi, selamanya” (Bab VIII, Par. 2). Namun, Protestan menolak transubstansiasi, memandang Perjamuan Kudus sebagai simbol atau kenangan. Martin Luther dalam The Babylonian Captivity of the Church (1520) menyebut transubstansiasi sebagai “penemuan manusiawi yang tidak berdasar pada Kitab Suci” (hal. 36). John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion (1559), menegaskan, “Perjamuan Kudus adalah tanda dan meterai iman, bukan transformasi substansi roti menjadi tubuh Kristus” (Buku IV, Bab XVII, Par. 10). Protestan juga menolak sakramen Pengakuan Dosa, memandang pengampunan dosa sebagai hubungan langsung dengan Yesus melalui iman.
Prinsip sola scriptura menjadikan Alkitab otoritas tunggal. Yesus dipandang sebagai “Firman yang hidup” (Yohanes 1:1), hadir melalui Kitab Suci. Timothy George dalam Theology of the Reformers (2013) menjelaskan, “Bagi Protestan, hubungan dengan Yesus diakses melalui iman pribadi dan Firman Tuhan, bukan melalui sakramen yang dikendalikan oleh institusi gereja” (hal. 112). Penyembahan bersifat personal dan intelektual, tanpa adorasi fisik seperti dalam Ekaristi atau mediasi sakramental seperti Pengakuan Dosa.
Ironisnya, mereka yang mengklaim “hubungan pribadi” dengan Yesus tampak puas dengan interaksi yang lebih mirip korespondensi jarak jauh ketimbang pelukan nyata.
Persamaan: Satu Yesus dalam Konsensus Kristologis
Katolik dan Protestan berpijak pada konsensus kristologis Konsili Nicea (325 M) dan Kalsedon (451 M). Konsili Nicea menetapkan Yesus sebagai “Allah sejati dari Allah sejati, sehakikat dengan Bapa” (Simbol Nicea-Konstantinopel). Konsili Kalsedon memperjelas bahwa Yesus memiliki dua kodrat – ilahi dan manusiawi – dalam satu pribadi. Norman P. Tanner dalam Decrees of the Ecumenical Councils (1990) mencatat, “Formula ini diterima sebagai dasar ortodoksi oleh semua gereja besar, termasuk Katolik dan Protestan” (Vol. 1, hal. 83). Identitas Yesus sebagai Allah-Manusia sama di kedua tradisi. Tidak ada yang menyangkal bahwa Yesus adalah Juruselamat yang lahir di Betlehem, disalib di Golgota, dan bangkit pada hari ketiga.
Latar Belakang Reformasi: Akar Perpecahan
Perbedaan antara Katolik dan Protestan berakar pada Reformasi abad ke-16, ketika Martin Luther dan John Calvin menentang otoritas Gereja Katolik. Luther, dalam 95 Tesis (1517), mengkritik praktik indulgensi, yang memicu penolakan terhadap Tradisi Suci dan sakramen seperti Ekaristi dan Pengakuan Dosa. Calvin memperkuat sola scriptura, menolak peran Magisterium dan memandang sakramen sebagai simbolis. Diogo Laynez, teolog Katolik pada Konsili Trente, menulis, “Reformasi memisahkan diri dari Gereja bukan karena kebenaran, tetapi karena ketidakpatuhan terhadap otoritas apostolik” (Acta Concilii Tridentini, 1546). Konteks politik, seperti dukungan pangeran Jerman terhadap Luther untuk melemahkan Kekaisaran Romawi Suci, juga memperdalam perpecahan. Reformasi, dengan semangat individualisme, membentuk pandangan Protestan yang meminimalkan sakramen dan Tradisi, menjauhkan mereka dari kekayaan iman Katolik.
Perbedaan: Ekaristi, Otoritas, Maria, dan Pengakuan Dosa sebagai Pemisah Ekaristi
Katolik memandang Ekaristi sebagai kehadiran nyata Kristus. Dominus Iesus (Kongregasi Ajaran Iman, 2000) menyatakan, “Gereja Katolik memelihara kebenaran penuh tentang Ekaristi, yang adalah Kristus sendiri, hadir dalam tubuh, darah, jiwa, dan keilahian-Nya” (Par. 16). Protestan menolak ini, menyebutnya “penyembahan berhala.” R.C. Sproul dalam What Is the Lord’s Supper? (2017) menulis, “Menganggap roti sebagai tubuh Kristus adalah penyimpangan dari kesederhanaan iman alkitabiah” (hal. 45). Namun, Yohanes 6:53-56 menyatakan, “Jika kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.” Menolak Ekaristi sama dengan mengabaikan perintah Yesus.
Otoritas
Katolik memandang Tradisi Suci dan Magisterium sebagai pelengkap Alkitab. Dei Verbum (Konsili Vatikan II, 1965) menegaskan, “Tradisi Suci dan Kitab Suci membentuk satu deposit iman yang suci” (DV 10). Konsili Roma (382 M), dipimpin Paus Damasus I, menetapkan kanon Kitab Suci, termasuk kitab deuterokanonika, yang dikonfirmasi di Konsili Hippo (393 M) dan Kartago (397 M). Tanner (1990) mencatat, “Konsili Roma 382 menetapkan daftar kitab suci yang menjadi dasar kanon Alkitab Kristen” (Vol. 1, hal. 31). Protestan, dengan sola scriptura, menolak Tradisi dan deuterokanonika. Namun, sola scriptura tidak disebut dalam Alkitab. Jika Alkitab adalah satu-satunya otoritas, bagaimana Protestan menerima kanon tanpa otoritas Gereja? Robert Barron dalam Catholicism (2021) menyatakan, “Tanpa Gereja, Alkitab hanyalah kumpulan teks tanpa konteks” (hal. 89).
Maria
Konsili Efesus (431 M) menetapkan Maria sebagai Bunda Allah (Theotokos). Lumen Gentium menegaskan, “Maria, melalui ketaatannya, menjadi sebab keselamatan bagi dirinya sendiri dan seluruh umat manusia” (LG 56). Maria mengarahkan umat kepada Yesus, sebagaimana ia berkata, “Perbuatlah segala yang dikatakan-Nya” (Yohanes 2:5). Protestan meminimalkan peran Maria, memandang penghormatan kepadanya sebagai “gangguan.” Brant Pitre dalam Jesus and the Jewish Roots of the Eucharist (2020) menulis, “Menolak Maria berarti mengabaikan ibu yang dipilih Yesus untuk membawa-Nya ke dunia” (hal. 178).
Pengakuan Dosa
Katolik memandang sakramen Pengakuan Dosa sebagai cara Yesus mengampuni dosa melalui pelayanan imam. KGK menyatakan, “Kristus memberikan kuasa kepada Gereja-Nya untuk mengampuni dosa-dosa dalam nama-Nya” (KGK 1448). Protestan menolak ini, memandang pengampunan sebagai hubungan langsung dengan Yesus. Namun, Yohanes 20:23 menyatakan, “Jika kamu mengampuni dosa seseorang, dosanya itu diampuni.” Menolak sakramen ini seperti menolak anugerah pengampunan yang Yesus titipkan kepada Gereja-Nya.
Apologetika Katolik: Ekaristi, Tradisi, Maria, dan Pengakuan Dosa sebagai Jantung Iman
Ekaristi adalah inti hubungan dengan Yesus. Lawrence Feingold dalam The Eucharist (2018) menegaskan, “Ekaristi adalah perpanjangan Inkarnasi, di mana Kristus tetap hadir secara nyata” (hal. 23). Yohanes 6:53-56 bukan metafora, melainkan undangan literal. Tuduhan “penyembahan berhala” dari Protestan runtuh di hadapan Ignatius dari Antiokhia, yang menegaskan Ekaristi sebagai “daging Kristus” (ca. 110 M), dan Agustinus dalam Sermon 272 (ca. 411 M): “Jadilah apa yang kamu terima: tubuh Kristus.”
Sola scriptura Protestan penuh kontradiksi. Yesus mendirikan Gereja (Matius 16:18), bukan Alkitab. Konsili Roma (382 M), Hippo, dan Kartago menetapkan kanon Alkitab, menunjukkan peran Tradisi. Paus Fransiskus, dalam homili 2024, menegaskan, “Ekaristi adalah hadiah Gereja yang berasal dari Kristus, disampaikan melalui Tradisi apostolik” (Homili, 2 Juni 2024). Menolak Tradisi berarti memutus akar iman.
Maria, sebagai Bunda Allah, mengarahkan umat kepada Yesus. Menolaknya seperti mengabaikan ibu yang Yesus pilih. Pengakuan Dosa, dengan kuasa yang diberikan Yesus (Yohanes 20:23), memungkinkan umat merasakan pengampunan-Nya secara nyata. Protestan, dengan menolak sakramen ini, kehilangan keintiman pengampunan yang Yesus tawarkan melalui Gereja-Nya. Jika mereka begitu mencintai “hubungan pribadi,” mengapa menolak cara-cara yang membuat Yesus begitu dekat?
Implikasi: Satu Yesus, Dua Jalan yang Berbelok
Yesus Kristus yang disembah Katolik dan Protestan adalah sama: Pribadi Kedua Tritunggal, Allah-Manusia, sebagaimana dirumuskan dalam konsili-konsili ekumenis. Namun, perbedaan dalam Ekaristi, otoritas, Maria, dan Pengakuan Dosa menciptakan ekspresi iman yang berbeda. Katolik menawarkan hubungan yang kaya melalui sakramen, Tradisi, dan Maria, sementara Protestan memilih pendekatan tekstual yang minimalis. Hans Urs von Balthasar dalam The Glory of the Lord (1982) menulis, “Perpecahan dalam Kekristenan adalah luka di tubuh Kristus, tetapi iman pada-Nya tetap satu” (hal. 45). Namun, dari sudut pandang Katolik, Protestan kehilangan kekayaan iman dengan menolak Ekaristi, Tradisi, Maria, dan Pengakuan Dosa – pilar-pilar yang membuat Yesus nyata dan dekat.
Kesimpulan
Yesus Kristus adalah satu, sebagaimana ditegaskan oleh konsensus kristologis Nicea dan Kalsedon. Namun, cara penyembahan berbeda secara mendasar. Katolik, dengan Ekaristi, Tradisi Suci, Maria, dan Pengakuan Dosa, menawarkan hubungan yang penuh dengan Yesus. Protestan, dengan sola scriptura dan penolakan sakramen, tampak puas dengan bayangan Yesus dalam teks. Bukankah ironis bahwa mereka yang mengklaim keintiman dengan Yesus menolak pelukan-Nya dalam Ekaristi, bimbingan ibu-Nya, dan pengampunan melalui Gereja-Nya? Bagi umat Katolik, Yesus hadir secara nyata – dan menolak itu seperti menolak Juruselamat yang rela mati untuk kita.2