LIVE DKC SELASA, 14 JANUARI 2025: MITOS PARA MARTIR ALKITAB PROTESTAN ..!!!
Mitos Para Martir Alkitab Protestan
Pernahkah kita mendengar orang mengatakan Gereja Katolik membakar orang di tiang pancang karena menerjemahkan Alkitab ke bahasa Inggris? Dalam episode ini kita akan membahas mitos ini dan bagaimana kontroversi mengenai hukuman bagi para bidat dan penerjemahan Kitab Suci bukanlah sebuah hantaman telak Protestan terhadap Katolikisme.
Klaim bahwa Gereja Katolik melarang penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah dan bahkan mengkesekusi orang hanya karena kejahatan memilikinya. Setelah jatuhnya Kekakisaran Romawi, Alkitab diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Alkitab Gotik Wahs dan Peda Suryani di abad ke-4. Kemudian di abad pertengahan, kita akan mendapatkan Alkitab diterjemahkan ke dalan bahasa Gereja Kuno Lov, Koptik, Armenia dan bahasa timur lainnya di Barat. Terjemahan Latin St. Jerome menjadi Alkitab standar dan disebut Vulgata karena dapat dibaca orang awam, darimana kita mendapatkan kata Bahasa Inggris vulgar. Akan tetapi di abad ke-9, Latin bukan lagi bahasa umum dan digantikan bahasa-bahasa Roman yang lebih baru seperti Perancis, walaupun bahasa-bahasa tersebut masih dalam bentuk primitifnya, sehingga seringkali kekurangan kosa kata yang diperlukan untuk menerjemahkan konsep-konsep yang lebih abstrak dari Kitab Suci, dan mahal untuk menyalin Alkitab secara umum. Arkeolog Rupert Bryce Milford mengatakan dibutuhkan kulit hampir 1,600 anak sapi untuk menghasilkan tiga Alkitab yang diminta oleh Frith, guru penulis abad ke-9, Venerable Bead, ditambah dengan rendahnya tingkat literasi di Eropa pada saat itu. Produksi Alkitab tidak mungkin, tetapi dalam beberapa hal dilakukan. Seperti yang dicatat Franz Von Lear dalam pengantar Alkitab abad pertengahan, diterbitkan Cambridge University Press, tidak ada bukti adanya larangan di masa itu untuk penerjemahan Alkitab. Selanjutnya disaat memasuki abad pertengahan, urbanisasi menyebabkan lebih banyak kekayaan dan tingkat literasi yang lebih tinggi.
Hal ini memunculkan Alkitab Perancis yang lengkap di abad ke-13 seiring dengan peningkatan bida’ah, fenomena tersebut tidak terlihat di dalam gereja. Pelanggar terbesarnya, kaum Cathar/ kaum Albigensia, yang adalah kaum Gnostik yang percaya dua Tuhan menyangkal Kristus. Inkarnasi menyangkal Tritunggal, percaya hewan bereinkarnasi jiwa dan percaya bahkan seks itu jahat karena akar Agnostik mereka. Mereka bahkan memiliki sakramen, disebut cons mentum, yang akan sepenuhnya menghapus dosa mirip dengan baptisan, tetapi diberikan ketika seseorang hampir mati. Jika orang itu pulih, terkadang mereka dibunuh untuk memastikan orang itu tidak kehilangan keselamatannya. Hal yang suka dilakukan kaum Cathar adalah membenarkan keyakinan menggunakan bahasa sehari-hari yang sekarang lebih tersedia. Otoritas melarang terjemahan Alkitab menggunakan bahasa sehari-hari.
Di tahun 1199, Uskup Metz bertanya kepada Paus Innocent II apa yang harus dilakukan terhadap orang-orang yang terlibat studi Alkitab rahasia, dan mereka memberitahu klerus bahwa mereka tahu lebih banyak daripada mereka. Paus Innocent II menanggapi, dan menarik untuk membandingkan bagaimana penulis Anti-Katolik abad ke-19 menggambarkan Paus Innocent II sebagaimana digambarkan para sarjana modern. Misalnya, Philip Chaff mengatakan gereja abad pertengahan tidak memberikan dorongan resmi bagi peredaran Alkitab diantara kaum awam, bahkan sebaliknya gereja menetangnya. Di tahun 1199, Paus Innocent II menulis kepada Keuskupan Metz dimana Kitab Suci digunakan para bida’ah, menurut hukum lama, binatang buas yang menyentuh Gunung Suci harus dirajam sampai mati. Karenanya orang -orang sederhana dan tak berpendidikan dilarang menyentuh Alkitab/ menguji doktrin orang lain, mengutip ilustrasi buku JP Calendar di tahun 1838 tentang Kepausan yang mengaku tidak bersalah, mengatakan mereka yang terlibat dalam penerjemahan kitab-kitab suci atau mengadakan pertemuan rahasia, atau memangku jabatan pengkhotbah tanpa wewenang atasan mereka akan ditangkap, diadili dan dihukum.
Hal ini mengakibatkan seolah-olah Paus secara seragam menentang penerjemahan bahasa daerah walaupun kutipan khusus ini hanya ditemukan di sumber-sumber Anti-Katolik. Teks asli belum ditemukan tetapi para sarjana yang telah menganalisisnya tidak mencapai kesimpulan menurut mereka. Paus menyatakan keinginan memahami Kitab Suci dan semangat menasihati sesuai dengan Kitab uci tidak boleh ditegur tetapi malah dipuji. Dia juga memerintahkan Uskup Mets untuk menyelidiki dan menemukan kebenarannya. Siapakah penerjemah terjemahan itu? Apa maksdunya dan apa yang diyakini penggunanya? Mengapa mereka mengajarkan dan apakah mereka menjunjung tinggi ajaran para rasul dan iman Katolik? Paus juga mengatakan kepada Uskup, kami telah menunjukkan kepada anda cara untuk mengingat mereka dan meyakinkan mereka keluar dari Kitab Suci berkenaan dengan hal-hal yang telah dicatat sebagai hal-hal yang tercela. Leonald Boyle dalam artikelnya, Innocent II dan Vernacular Versions of Scripture menulis: “Saya yakin satu-satunya ketertarikan saya pada terjemahan Metz adalah bahwa mereka memberikan dorongan untuk berkhotbah oleh orang-orang yang menurut definisi tidak memenuhi syarat untuk Kantor Pengkhotbah Thomas Fudge. Dalam bukunya tentang Proto Protestan, Jan Hus menulis Paus Innocent III menjelaskan bahwa iman yaitu Kitab Suci tidak boleh dijelaskan mereka yang tidak memenuhi syarat. Penjaga interpretasi Alkitab adalah peran tradisional gereja. Tidak ada tempat di konteks ini yang melarang Paus Innocent menerjemahkan Alkitab secara mutlak. Beberapa dekade selanjutnya, seorang Raja Perancis setempat dan dewan regional di Tous mengeluarkan aturan lebih keras melarang Alkitab Vernakular. Tous juga merupakan benteng Khar dan tempat dimana seorang Paus Perjanjian Lama dibunuh. Jadi secara umum kita lihat bahwa beberapa penguasa mentoleransi ajaran sesat untuk mengakses Alkitab dengan lebih baik, sementara yang lain mentoleransi apa yang Van Lear sebut sebagai larangan sporadis terhadap Alkitab agar dapat memerangi ahjaran sesat tersebut. Sifat sporadis larangan-larangan ini dibuktikan dengan jumlah akses yang cukup, kelompok-kelompok sesat memiliki dua terjemahan dalam bahasa daerah. Charles Robeson mencatat di Perancis Utara dan di kalangan penutur bahasa Perancis di Inggris, penerjemahan Kitab Suci tidak diberi izin/ dilarang oleh otoritas Keuskupan. Penerjemahan tersebut tidak menemui tentangan/ kritik resmi. Pada paruh abad ke-14, Eropa benar-benar hancur oleh wabah Pes yang menewaskan 30% hingga 50% populasi.
Gangguan sosial ini memunculkan ajaran sesat baru yang menggandakan terjemahan bahasa daerah seperti kelompok Beg Wings yang percaya akan hal-hal lain. Kutipan mencium seorang wnaita adalah dosa abadi karena kodrat tidak mendorong seseorang melakukannya, tetapi bersetubuh bukanlah dosa, terutama saat godaan tersebut karena kecenderungan kodrat. Hal ini menyebabkan Raja Bohemia, Charles IV melarang terjemahan bahasa daerah di tahun 1369. Para sarjana tersebut setuju hal itu ditujukan pada kelompok tertentu karena Alkitab bahasa daerah terus diproduksi di wilayah tersebut. Menurut artikel Wim Francois pembacaan Alkitab bahasa daerah di akhir abad pertengahan dan awal modern Eropa, situasi di Jerman, negara-negara rendah, Bohemia, Polandia dan Italia sangat berbeda karena di wilayah-wilayah tersebut, terjemahan Alkitab bahasa daerah beredar dan dibaca secara luas pada akhir abad pertengahan, penyebaran edisi bahasa daerah setelah reformasi tidak disambut dengan larangan umum pada semua Alkitab bahasa daerah tetapi dengan larangan selektif terhadap edisi-edisi yang berpikiran reformasi semntara pada saat yang sama diimbangi oleh produksi edisi-edisi Katolik yang baik.
Berbeda dengan Eropa Kontinental, Inggris memang mengalami kesulitan mendapatkan Alkitab bahasa daerah di Afrika dan Inggris abad ke-10, Abbot membuat terjemahan bahasa Inggris kuno dari homili dan kehidupan orang-orang kudus. Ia menerjemahkan sebagaian Kitab Kejadian, tetapi tidak bagian lainnya kerena takut orang biasa akan membaca tentang poligami atau bahkan incest diantara para leluhur dan berpikir Tuhan masih mengizinkan perilaku ini. Harapan apapun untuk mendapatkan Alkitab bahasa Inggris kuno akan terhalang beberapa abad berikutnya, setelah William Sang Penakluk menaklukkan Inggris di tahun 1066, bahasa utama yang digunakan setelahnya adalah dialek Perancis yang disebut Anglo Norman. Fakta menarik, inilah mengapa bahasa Inggris sering memiliki kata-kata duplikat yang memiliki arti sama seperti eat dan dine. Eat berasal dari bahasa Jermanik sementara Dine berasal dari bahasa Perancis, mirip dengan bahasa-bahasa Roman di awal abad pertengahan, bahasa Inggris harus berkembang menjadi bahasa yang cocok untuk penerjemahan Alkitab.
Pada tahun 1370, seorang Klerus Katolik yang tidak setuju, John Wycliffe, terlibat dalam penerjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris pertengahan yang selesai di tahun 1382. Ia meninggal karena stroke di tahun 1384, jadi ia bukan seorang martir bagi Alkitab. Bahkan terjemahannya mendapat kecaman karena ajaran sesatnya menyangkal kehadiran Kristus yang nyata dalam Ekaristi dan hubungannya dengan gerakan Proto Protestan Lollard. Gerakan ini berusaha melemahkan gereja dan bahkan negara sebagaimana terlihat dalam pemberontakan Lollard di tahun 1414 yang mencoba menggulingkan mahkota Inggris sebagai tanggapan terhadap para penguasa hukum dan kesalahan Wycliffe. Thomas Adel, Uskup Agung Canterbury, menuliskan; “merupakan hal yang berbahaya, seperti dikatakan Jerome, menerjemahkan teks Kitab Suci dari satu bahasa ke bahasa lain, sebab dalam penerjemahan tersebut, makna yang sama tidak selalu mudah dipertahankan dalam segala hal, sebagaimana Jerome, meskipun ia mendapat ilham, mengakui bahwa ia sering mengemukakan hal ini, oleh karena itu kami nyatakan dan tetapkan bahwa mulai sekarang, tidak seorangpun dengan wewenangnya sendiri boleh menerjemahkan teks Kitab Suci ke dalam bahasa Inggris, kecuali terjemahan tersebut disetujui Gereja dan Konsili atau sebagaimana kasusnya mungkin disyaratkan oleh dewan provinsi.”
Yang kita lihat selama periode ini bukanlah Gereja membakar orang di tiang pancang hanya karena memiliki Alkitab suci bahasa daerah tetapi ada beberapa bahasa daerah yang membatasi atau meninjau terjemahan bahasa daerah karena gerakan bida’ah yang mengandalkannya. Aaron De sendiri memuji Ratu karena memiliki salinan Injil pribadi. Menurut Van Lear, yang membuat marah otoritas Gereja bukanlah kepemilikan Alkitab bahasa daerah tetapi siapa pemiliknya dan apakah mereka terkait dengan gerakan bida’ah. Sejumlah dewan provinsi mengeluarkan dekrit dan perintah terhadap penerjemahan bahasa daerah, dan tampaknya mereka lebih peduli dengan penyebaran ajaran sesat daripada Alkitab bahasa daerah. Adalah adil untuk menunjukkan beberapa pemimpin gereja mungkin bereaksi berlebihan dengan aturan mereka yang menahan Kitab Suci untuk mencegah ajaran sesat sementara pemimpin gereja lainnya kurang bertindak ketika harus menyediakan terjemahan bahasa daerah mereka sendiri untuk membantu umat beriman. Hal ini jauh dari pandangan umum Protestan bahwa Gereja merantai Alkitab untuk mencegah orang membacanya dan mengeksekusi mereka yang menerbitkannya. Alkitab dirantai gereja agar tidak dicuri. Protestan juga mengutip Jan Hus sebagai martir Alkitab dan dia dieksekusi karena bida’ah di tahun 1415, tetapi dalam artikelnya, mengapa Jan Hus dibakar di tiang pancang selama Konsili Konstanz? Thomas Fudge tidak pernah menyebut penerjemahan Alkitab sebagai salah satu kejahatan Hus. Alkitab Dresden yang ditulis dalam bahasa Ceko telah diterbitkan pada tahun 1370-an. Sebaliknya Hus dieksekusi karena bida’ah teologisnya, yang mencakup banyak kesalahan Wycliffe dan bentuk donatisme yang mengklaim sakramen yang diberikan klerus yang berdosa adalah tidak sah. Terakhir ada William Tindale yang dikenal karena terjemahan Alkitab bahasa Inggrisnya yang menyertakan beberapa catatan Anti-Katolik.
Dalam edisi-edisi selanjutnya, penulis Protestan David Price dan Charles Reary mengatakan tentang terjemahan Dale, ledakan Anti-Katolik yang tidak diragukan lagi cukup banyak meninggalkan kesan kuat bagi setiap pembaca. Diantara yang paling terkenal adalah sekitar 20 serangan terhadap Kepausan. Terjemahan Perjanjian Baru Dlae tahun 1534 juga menyertakan kata pengantar yang didasarkan pada karya Martin Luther, tetapi para sarjana sepakat bahwa Tindal tidak dieksekusi di tahun 1536 hanya karena menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris. Dia bahkan dizinkan terus menerjemahkan Alkitab saat ditahan di Belanda. Sangat mengejutkan Tindale sering digambarkan sebagai martir Alkitab bahasa Inggris karena semua bukti berbicara sebaliknya. Ia ditahan di Vil Void karena ajaran sesat Lutherannya selama penahanannya. Dalam perdebatannya dengan sarjana Katolik, Tindale sering melewatkan Roma Bab 2 dan hanya mengutip Roma Bab 1 dan 3 untuk argumen pembenaran oleh iman saja. Tindale menyangkal para kudus di surga menjadi perantara bagi kita, karena menurutnya orang kudus bahkan tidak berada di surga. Tindale menerima doktrin tidur jiwa, yang mengatakan setelah mati jiwa kita tidak sadar atau bahkan mati dan bahwa mereka tidak mengalami apapun sampai kebangkitan terakhir.
Meskipun begitu, Wycliffe dan Tindale tidak dieksekusi karena membuat terjemahan Aliktab kedalam bahasa daerah. Episode ini mengangkat dua isu yang meresahkan kaum Protestan bagaimana Gereja mendisiplinkan para bida’ah dan bagaimana Gereja mengatur terjemahan Alkitab. Kitab Hukum Kanonik masih melarang pembuatan terjemahan Alkitab tanpa persetujuan Gerejawi. Kaum Protestan percaya bahwa Gereja harus mengatur penggunaan Alkitab dalam kapasitas tertentu karena mereka tidak akan pernah mengizinkan terjemahan Dunia Baru Saksi Jehova digunakan untuk kebaktian Minggu atau pelajaran Alkitab gereja mereka.
Kesalahan penerjemahan yang dirancang mendukung ajaran sesat mereka dapat dilihat dalam Yohanes Bab 1, yang menyebut Yesus sebagai Firman Tuhan, dan bukan hanya Tuhan. Dale dipuji karena terjemahannya yang lebih harafiah tetapi dapat menyesatkan orang. Misalnya David Bentkley Hart membela kesalahan universalisme yang muncul dalam terjemahan Perjanjian Barunya. Misalkan Revised Standard Version (RSV) adalah terjemahan Alkitab yang menerjemahkan Matius 25:41 dan 46 dengan cara ini: “Lalu Ia akan berkata kepada mereka yang ada di sebelah kiri, enyahlah dari hadapan-Ku, kamu sekalian yang tak berdaya, ke dalam api zaman yang telah disediakan bagi tukang fitnah dan para malaikatnya, dan mereka ini akan masuk ke dalam ajaran zaman itu tetapi justru ke dalam kehidupan zaman itu.” Ulasan Gary Willis atas Perjanjian Baru Heart yang mengakui bahwa Davis Bentley Hart bersusah payah mengusir mereka dari teks Alkitab atau mempertimbangkan parafrase Alkitab seperti pesan atau Alkitab jalanan milik Rob Lacey.
Galatia 5:6 mengatakan yang berikut dalam terjemahan RSV: “Karena di dalam Kristus Yesus, baik sunat maupun tidak sunat, tidak ada gunanya selain iman yang bekerja melalui kasih dan berikutnya adalah bagaimana kata di jalan menerjemahkannya.”
Inilah sebabnya Konsili Vatikan II mengatakan kuasa wewenang pengajaran Gereja tidak berada di atas firman Tuhan tetapi melayaninya, hanya mengajarkan apa yang telah diturunkan setelah mendengarkannya, menjaganya dengan sunguh-sungguh, dengan cermat dan menjelaskannya dengan setia sesuai dengan perintah Ilahi. Menjaga Kitab Suci dengan cermat termasuk melindungi umat beriman dari terjemahan yang salah/ bahkan hanya pekerjaan orang sesat.
Seperti yang kita katakan sebelumnya, kritik yang wajar terhadap beberapa gereja dan uskup lokal abad pertengahan adalah kegagalan mereka untuk menyediakan alternatif yang memadai untuk terjemahan bahasa sehari-hari yang disusun para bida’ah. Protestan setidaknya tidak boleh secara otomatis mundur saat memikirkan gereja yang menekan terjemahan Alkitab. Mereka seharusnya mengajukan pertanyaan kapan terjemahan harus ditekan dan siapa yang berwenang memutuskan terjemahan mana yang cocok atau tidak, tidak hanya untuk denominasi lokal atau gereja lokal, melainkan untuk badan regional atau bahkan gereja universal.
Tetapi bagaimana dengan poin sebelumnya tentang menghukum bida’ah seperti perlunya mengatur penerjemahan Alkitab? Sebagian besar Protestan konservatif akan setuju bahwa gereja harus mengatur doktrin dan memerangi bida’ah, misalkan ada seorang anggota jemaat yang menuntun orang lain untuk percaya bahwa Yesus bukan sepenuhnya Tuhan, maka gereja akan memintanya meninggalkan gereja anda/ dipecat, atau yang disebut sebagai ekskomunikasi oleh Gereja Katolik, sampai orang tersebut bertobat dari bida’ahnya.
John Calvin membakar Michael Servetus di tiang pancang karena bida’ah Trinitariannya. Teolog Lutheran, Philipp Melanchthon menerbitkan pamflet ditandatangani Martin Luther, yang menyimpulkan Anabaptis bahwa untuk beberapa kasus sektaran yang keras kepala harus dihukum mati.
Katolikisme tidak boleh ditolak karena terlibat eksekusi para bida’ah. Alkitab sendiri mengizinkan eksekusi para bida’ah, lih. Ulangan 18:201 – “Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah lain, nabi itu harus mati.” Tentu saja Gereja sekarang menganggap hukuman mati tidak dapat diterima lagi.
Beberapa Protestan mungkin mengatakan mereka semua mendukung Gereja mendisiplinkan para bida’ah, mereka hanya tidak ingin negara yang melakukannya terutama dengan mengeksekusi mereka. Baptis, misalnya mengatakan pemisahan Gereja dan negara adalah kebajikan unik dari denominasi mereka. Faktanya frasa pemisahan gereja dan negara tidak berasal dari Konstitusi AS melainkan berasal dari surat yang ditulis Thomas Jefferson kepada Danbury Baptist yang mengutip Amandemen Pertama dan mengatakan dengan demikian membangun tembok pemisah sebagian karena gereja di Amerika tidak ditopang oleh negara seperti di banyak negara Eropa. Misalkan di Jerman gereja didanai melalui pajak gereja yang memungkinkan pendapatan gereja meningkat. Beberapa sekte Baptis berpendapat di tahun 1970-an bahwa praktek aborsi legal atas dasar pemisahan gereja dan negara karena adanya dasar pemisahan gereja dan negara. Sekarang seorang sekte Baptis mengatakan bahwa pemerintah harus melindungi manusia tetapi tidak boleh terlibat dalam pengawasan teologi.
KLIP mengatakan: “Memang ada denominasi dan ada perbedaan pendapat dalam denominasi-denominasi ini, tetapi bahwa perbedaan pendapat selalu merupakan hasil dari kebebasan. Hal ini juga berlaku di Amerika Serikat. Perbedaan pendapat dan kebebasan lebih baik daripada persatuan dan tirani dan pada saat reformasi, kepemimpinan Katolik sebenarnya telah menjadi tirani.”
TRENT setuju menyangkut lembaga yang bisa salah, kita butuh kebebasan untuk menentukan kebenaran dan kita harus waspada terhadap para tiran. Bagaimana jika Yesus Kristus tidak hanya memberi sebuah buku yang maknanya perlu kita selidiki dan coba temukan? Bagaimana jika Kristus memberi kita sebuah gereja, satu gereja yang bukan sekedar kumpulan orang percaya yang tak terlihat, tetapi realitas pastoral yang terlihat, berwibawa, bukan tirani, tetapi pastoral yang membimbing orang percaya. Keragaman ide tidak selalu memberi kita ide terbaik. 2 Timotius 3:42 – “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.” Jika anda mengikuti penilaian pasar bebas tentang bentuk Kekristenan yang paling berhasil, Injil kemakmuran, penginjil televisi mungkin menang, tetapi itu bukan keberhasilan dari sudut pandang Tuhan. Itu hanya dapat ditemukan di gereja yang telah menjaga ajaran para rasul melalui Magisterium Gereja yang terlihat dan bertahan lama, yang dapat secara berwenang menentukan apa yang merupakan wahyu dan apa yang merupakan ajaran sesat.3
###
###
-
https://damaikasihchannel.com/kitabsuci/?q=ul18:20-20 ↩
-
https://damaikasihchannel.com/kitabsuci/?q=2tim4:3-3 ↩
-
https://www.catholic.com/audio/cot/the-myth-of-protestant-bible-martyrs ↩