LIVE DKC RABU, 26 MARET 2025 PUKUL 19:00 WIB: ZIONIS DAN KATOLIK…???
Vatikan dan Zionisme
Theodor Herzl adalah pemimpin Zionis pertama yang memahami pentingnya Gereja Katolik di Timur Tengah. Ia juga menyadari perlunya kaum Zionis untuk berdamai dengan Gereja dan memperoleh dukungannya atau setidaknya mencoba menetralkan pengaruhnya. Vatikan ingin melindungi hak-hak Katolik di tempat-tempat suci, dan karena itu Herzl siap mengusulkan status ekstrateritorial untuk tempat-tempat suci ketika ia diterima oleh nuncio di Wina, Mgr. Antonio Agliardi, pada tanggal 19 Mei 1896, beberapa saat setelah penerbitan bukunya “The Jewish State”. Herzl mengulangi gagasan ekstrateritorialitas kepada Sekretaris Negara Kardinal Rafael Merry del Val pada tanggal 22 Januari 1904, tetapi Merry del Val menjawab bahwa tempat-tempat suci tidak dapat dianggap sebagai entitas yang terpisah.dari Tanah Suci. Pada tanggal 25 Januari Herzl diterima oleh Paus, *Pius X, yang mengatakan kepadanya: “Kita tidak dapat mencegah orang-orang Yahudi pergi ke Yerusalem, tetapi kita tidak akan pernah dapat menyetujuinya. Orang-orang Yahudi tidak mengakui Tuhan kita, oleh karena itu kita tidak dapat mengakui orang-orang Yahudi. Jika Anda datang ke Palestina dan menempatkan orang-orang Anda di sana, kami akan memiliki gereja-gereja dan pendeta yang siap membaptis Anda semua.”
Selama Perang Dunia I, realitas baru mengubah situasi politik di Timur Tengah. Vatikan menyadari sejak awal adanya Perjanjian Rahasia Sykes-Picot yang membagi wilayah tersebut antara Prancis dan Inggris Raya dan menempatkan bagian tengah Palestina di bawah rezim internasional. Selama berabad-abad, Prancis telah menjadi kekuatan pelindung bagi umat Katolik di Kekaisaran Ottoman, tetapi Takhta Suci mengisyaratkan bahwa Vatikan tdk akan menolak perlindungan Inggris atas tempat-tempat Suci. Inilah yang didengar Sir Mark Sykes pada tanggal 11 April 1917 dari Mgr. Eugenio Pacelli, wakil menteri untuk urusan luar biasa di Sekretariat Negara, dan beberapa hari kemudian dari Paus Benediktus XV sendiri.
Atas saran Sykes, Nahum Sokolow dari Eksekutif Zionis di London bertemu dengan Mgr. Pacelli pada tanggal 29 April 1917, dan Sekretaris Negara Kardinal Pietro Gasparri pada tanggal 1 Mei 1917 dan diterima oleh Paus pada tanggal 4 Mei 1917. Pacelli menginginkan batas geografis yang jelas yang dapat diterima oleh Vatikan untuk ditetapkan, sementara Gasparri menginginkan Gereja memiliki “zona khusus” yang mencakup Yerusalem, Betlehem, Nazareth, Tiberias, dan Yerikho. Paus berkata: “Masalah tempat-tempat suci sangat penting bagi kita. Hak-hak suci harus dilindungi. Kita akan menyelesaikan ini antara Gereja dan Negara-negara Besar. Anda harus menghormati hak-hak tersebut sepenuhnya.”
Sokolow dapat memahami dengan baik bahwa Takhta Suci memiliki klaim teritorial yang jelas atas bagian tengah Palestina. Lebih jauh, Takhta Suci tidak akan menerima solusi yang memberikan status ekstrateritorial kepada tempat-tempat suci, dan dalam hal apa pun akan berunding dengan Negara-negara Besar, bukan dengan kaum Zionis.
Terlepas dari isi pembicaraan ini, kaum Zionis terkesan dengan sikap positif para wakil Gereja. Berdasarkan laporan Sokolow, Dr. Chaim Weizmann dapat mengumumkan pada sebuah konferensi Zionis di London pada tanggal 20 Mei 1917: “Kami mendapat jaminan dari kalangan Katolik tertinggi bahwa mereka akan mendukung pembentukan Rumah Nasional Yahudi di Palestina dan dari sudut pandang agama mereka, mereka tidak melihat adanya keberatan terhadap hal itu dan tidak ada alasan mengapa kami tidak boleh menjadi tetangga yang baik.” Tidak ada yang lebih jauh dari kebenaran. Dengan “tetangga yang baik”, Paus mungkin bermaksud bahwa Vatikan akan mempertahankan kehadirannya di wilayah tengah Palestina yang akan diinternasionalkan, sementara kaum Zionis akan tetap berada di luar wilayah tersebut di wilayah perbatasan.
Pada akhir tahun 1917, dua peristiwa mengubah situasi Palestina secara dramatis: Deklarasi Balfour* pada tanggal 2 November, dan penaklukan Yerusalem oleh pasukan Inggris pada tanggal 9 Desember.
*Deklarasi Balfour adalah pernyataan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris pada tahun 1917 selama Perang Dunia I, yang mengumumkan dukungannya terhadap pendirian “rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina yang saat itu, merupakan wilayah Utsmaniyah dengan populasi Yahudi minoritas. Deklarasi tersebut dimuat dalam sebuah surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour kepada Lord Rothschild, seorang pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk disampaikan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia. Teks deklarasi tersebut dipublikasikan di media pada tanggal 9 November 1917.
Kardinal Gasparri dengan jelas menyatakan penolakannya terhadap negara Yahudi di Palestina ketika ia berkata pada tanggal 18 Desember 1917 kepada perwakilan Belgia, Jules Van den Heuvel: “Transformasi Palestina menjadi negara Yahudi tidak hanya akan membahayakan Tempat-tempat Suci dan melukai perasaan semua umat Kristen, tetapi juga akan sangat merugikan negara itu sendiri.”
Beberapa hari kemudian, pada tanggal 28 Desember, Paus mengungkapkan kekhawatirannya kepada De Salis, perwakilan Inggris, bahwa Inggris Raya mungkin akan menyerahkan Palestina “kepada orang-orang Yahudi yang merugikan kepentingan Kristen.”
Pada bulan Januari 1919, Konferensi Perdamaian diadakan di Versailles (Prancis), tetapi Tahta Suci tidak diterima di sana. Alasannya adalah Italia telah memasukkan Pasal 15 dalam Perjanjian London yang bersifat rahasia, yang mengecualikan Vatikan dari konferensi mendatang, karena masalah Roma masih terbuka di antara mereka. Pada tanggal 10 Maret 1919, Paus mengadakan konsistori rahasia di Vatikan dan mengatakan bahwa “akan menjadi kesedihan yang sangat besar bagi kita dan bagi semua orang Kristen jika orang-orang kafir (di Palestina) ditempatkan pada posisi istimewa dan terkemuka; terlebih lagi jika tempat-tempat suci agama Kristen itu diserahkan kpd orang-orang non-Kristen.” Seperti yang dijelaskan Gasparri beberapa hari kemudian kepada perwakilan Belgia: “Bahaya yang paling kami takuti adalah pendirian negara Yahudi di Palestina. Kami tidak akan menemukan kesalahan apa pun jika orang-orang Yahudi memasuki negara itu, dan mendirikan koloni pertanian. Namun, bagi orang Kristen, tidak dapat ditoleransi jika mereka diberi kekuasaan atas tempat-tempat Suci.”
Tiga kardinal mengunjungi Palestina pada tahun-tahun tersebut: Francis Bourne dari Inggris, Filippo Giustini dari Italia, dan Louis Ernest Dubois dari Prancis. Pada bulan Januari 1919 Kardinal Bourne mengirim surat kepada perdana menteri Inggris dan sekretaris luar negeri, menulis bahwa Zionisme belum mendapat persetujuan dari Takhta Suci, dan jika orang-orang Yahudi “kembali mendominasi dan memerintah negara, itu akan menjadi penghinaan terhadap agama Kristen dan pendirinya yang Ilahi.” Pada bulan Oktober 1919 Kardinal Giustini mengirim telegram kepada paus dari Yerusalem untuk meminta campur tangannya “untuk mencegah pembentukan kembali Israel Zionis di Palestina.” Pada bulan Maret 1920 Kardinal Dubois dilaporkan mengatakan bahwa imigrasi orang Yahudi ke Palestina dan pembentukan negara Zionis tidak boleh diizinkan. Pada tanggal 20 Juli 1920, patriark Latin Yerusalem, Mgr. Luigi Barlassina, juga menerbitkan surat pastoral yang dengan keras memprotes keputusan Negara-negara Besar untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina. Ia menambahkan: “Biarkan Palestina diinternasionalkan daripada suatu hari nanti menjadi pelayan Zionisme.”
Pada Hari Buruh 1921, para pekerja Yahudi di Jaffa menyelenggarakan perayaan dan pawai di jalan-jalan. Orang-orang Arab menyerang mereka dan sekitar 50 orang Yahudi dan jumlah orang Arab yg sama terbunuh dan ratusan lainnya terluka. Alih-alih mengutuk para penyerang, Osservatore Romano (harian Vatikan) menjelaskan beberapa hari kemudian bahwa kaum Bolshevik telah menyusup ke Palestina berkat Organisasi Zionis. Surat kabar itu juga mengangkat pertanyaan apakah Revolusi Bolshevik dikoordinasikan dengan Zionisme atau apakah Zionisme telah membesarkan ular berbisa Bolshevik di dadanya.
Beberapa hari kemudian Paus Benediktus XV menyerang Zionisme dalam pidatonya kepada para kardinal pada tanggal 13 Juni 1921. Ia mengatakan bahwa orang-orang Yahudi diberi “posisi yang lebih unggul dan istimewadi Palestina”; bahwa kegiatan mereka dimaksudkan “untuk menghilangkan karakter sakral Tempat-Tempat Suci”; ia mengakui bahwa tidak boleh ada kerugian yang “dilakukan terhadap hak-hak kaum Yahudi” tetapi “hal itu tidak boleh dengan cara apa pun diletakkan di atas hak-hak yang adil dari kaum Kristen.”
Paus Benediktus XV meninggal pada bulan Januari 1922 dan sebulan kemudian, seorang paus baru terpilih, dengan nama *Pius XI . Dr. Weizmann, pemimpin Organisasi Zionis di London, bertemu dengan Sekretaris Negara Kardinal Gasparri pada tanggal 2 April 1922. Gasparri tidak menyembunyikan pertentangannya terhadap Zionisme dan menyuarakan serangkaian keberatan terhadap rancangan teks Mandat atas Palestina mengenai hak-hak beragama, pengakuan Badan Yahudi dan Pasal 14 tentang komisi untuk tempat-tempat suci. Weizmann mengetahui pada kesempatan ini bahwa penentangan Vatikan terhadap Mandat akan mengambil bentuk memorandum resmi yang diserahkan kepada Liga Bangsa-Bangsa.
Selama pertemuan kedua Weizmann dengan Kardinal Gasparri pada tanggal 20 April 1922, Gasparri mengatakan bahwa pekerjaan penjajahan Zionis tidak membuatnya cemas, tetapi menambahkan: “Universitas Andalah yang saya takutkan.”
Pada tanggal 15 Mei 1922, Kardinal Gasparri mengirim nota resmi untuk mencoba menghentikan, pada saat-saat terakhir, penugasan Mandat kepada Inggris Raya. Nota yang dikirim ke Liga Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa Takhta Suci tidak dapat menyetujui “orang-orang Yahudi diberi posisi istimewa dan lebih dominan di Palestina dibandingkan dengan umat Katolik” atau “hak-hak beragama umat Kristen tidak dilindungi secara memadai”. Takhta Suci juga menentang pengakuan Badan Yahudi, dan mendukung imigrasi dan naturalisasi orang-orang Yahudi. Meskipun demikian beberapa minggu kemudian, pada tanggal 22 Juli 1922, Liga Bangsa-bangsa menyetujui Inggris Raya sebagai kekuatan mandat dan memasukkan Deklarasi Balfour dalam Pembukaan Mandat. Vatikan akhirnya menerima Mandat Inggris sebagai kejahatan yang lebih kecil.
Pada tahun 1920-an, Vatikan menentang Zionisme karena berbagai alasan. Mereka percaya bahwa kaum Zionis antiagama, bahwa imigrasi Zionis akan menyapu bersih orang-orang Kristen dari Palestina dan menghancurkan karakter Kristen negara tersebut, dan bahwa orang-orang Yahudi menyebabkan perubahan radikal dalam gaya hidup tradisional penduduk setempat dan merusak nilai-nilai moral. Selama periode ini, Vatikan sangat menentang negara Yahudi di Tanah Suci. Pada bulan Agus 1929, orang-orang Arab menyerang permukiman Yahudi di Hebron, Safed, dan tempat-tempat lainnya. Harian Osservatore Romano, alih-alih menyalahkan orang-orang Arab atas serangan tersebut, menulis bahwa “politik Zionisme, dan bukan agama Israel, yang menjadi akar masalah.”
Pada tahun 1936, orang-orang Arab memulai Pemberontakan Arab Besar yg mengakibatkan banyak tindakan kekerasan terhadap orang-orang Yahudi. Pemerintah Inggris mengirim Komisi Peel, yang menerbitkan usulannya untuk pembagian pada tahun 1937, dan pada tanggal 6 Agustus Vatikan mengirim nota lisan yang menyatakan keberatannya terhadap prinsip pembagian dan meminta agar semua Tempat Suci dimasukkan ke dalam zona Inggris.
Pada bulan Oktober 1938, Osservatore Romano menulis bahwa “hanya satu dari dua ras yang memperebutkan hegemoni di Palestina yang dapat tinggal di negara tersebut”. Senada dengan itu, Mgr. Domenico Tardini, wakil menteri luar negeri Vatikan, mengatakan kepada seorang diplomat Inggris pada tahun 1938: “Tidak ada alasan nyata mengapa (orang-orang Yahudi) harus kembali ke Palestina. Mengapa tidak ditemukan tempat yg bagus bagi mereka, misalnya, di Amerika Selatan?”
Pada bulan Mei 1939, pemerintah Inggris menerbitkan MacDonald White Paper, yang dianggap sebagai pengkhianatan oleh Weizmann. Peraturan pertanahan melarang atau membatasi penjualan tanah, imigran Yahudi dibatasi hingga 75.000 selama lima tahun berikutnya dan selanjutnya akan tunduk pada persetujuan Arab. Negara Palestina yang merdeka akan dibentuk pada akhir masa transisi selama 10 tahun.
Osservatore Romano menyatakan dengan rasa puas bahwa “Buku Putih tersebut menyangkal dasar historis klaim Zionis”.
Selama Perang Dunia II, ketika Holocaust sedang berkecamuk dan ratusan ribu orang Yahudi dibunuh oleh Nazi, sikap anti-Zionis menyebar luas di kalangan diplomat Vatikan.
Mgr. Domenico Tardini menulis pada bulan Maret 1943 bahwa Takhta Suci “tidak pernah menyetujui proyek menjadikan Palestina sebagai rumah bagi orang Yahudi.” Kardinal Maglione, sekretaris negara, menulis pada bulan Mei 1943 kepada delegasi apostoliknya di Amerika Serikat, Cicognani, bahwa tidak akan sulit “jika seseorang ingin mendirikan ‘Rumah bagi Orang Yahudi’, untuk menemukan wilayah lain (selain Palestina) yang dapat memenuhi tujuan ini dengan lebih baik, sementara Palestina, di bawah dominasi orang Yahudi, akan mendatangkan masalah internasional yang baru dan serius.”
Kardinal Maglione menulis pada bulan yang sama bahwa “Umat Katolik akan terluka dalam sentimen keagamaan mereka dan akan takut akan hak-hak mereka jika Palestina menjadi milik eksklusif orang-orang Yahudi.”
Pada bulan Agustus 1944, sekretariat negara Takhta Suci menulis bahwa mereka memandang Palestina “bukan sebagai rumah bagi orang Yahudi atau kemungkinan rumah bagi orang Arab, tetapi juga sebagai rumah bagi orang Katolik dan pusat Katolik.”
Pada tanggal 10 April 1945, ketika perang masih berlangsung di Eropa, Moshe Shertok (kemudian *Sharett ) dari Badan Yahudi diterima oleh Paus Pius XII. Ia mengharapkan “dukungan moral” dari Gereja Katolik untuk “keberadaan baru kita di Palestina”. Namun ia tidak menerima dukungan apa pun; sebaliknya Takhta Suci memulai kampanye untuk internasionalisasi Yerusalem, yang didukung oleh Prancis. Vatikan menganggap Zionisme sebagai musuh, hanya cocok sebagai batu loncatan untuk aliansi baru antara umat Kristen dan Muslim di Palestina.
Pada tahun 1947, Inggris Raya memutuskan untuk mencabut mandat dan menyerahkan masalah Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tanggal 29 Nov 1947, Majelis Umum menyetujui Resolusi No. 181 tentang pembagian Palestina dan pembentukan corpus separatum untuk Yerusalem dan sekitarnya. Takhta Suci menghindari campur tangan dlam pemungutan suara, mungkin agar tidak membahayakan internasionalisasi Yerusalem. Perang yang dilancarkan negara-negara Arab terhadap Negara Israel, dan yang membatalkan proyek internasionalisasi, dimulai bahkan sebelum negara itu diproklamasikan.
Vatikan dan Negara Israel
Pembentukan Negara Israel pada tahun 1948 bertentangan dengan beberapa ide teologis di Gereja Katolik yang menyatakan bahwa orang Yahudi dikutuk utk tetap kehilangan tempat tinggal karena kejahatan pembunuhan massal. Sebagian orang percaya bahwa Takhta Suci tidak menentang rencana pemisahan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1947 karena rencana tersebut memasukkan Yerusalem dalam “corpus separatum” internasional. Paus Pius XII menulis tiga ensiklik tentang masalah Tanah Suci. Yang pertama, Auspicia quaedam tertanggal 1 Mei 1948, menyatakan harapan “bahwa situasi di Palestina akhirnya dapat diselesaikan dengan adil dan dengan demikian kerukunan dan perdamaian juga dapat terwujud dengan bahagia.”
Dalam surat kedua, In multiplicibus, tertanggal 24 Oktober 1948, Paus mengatakan bahwa “akan tepat untuk memberikan Yerusalem dan daerah pinggirannya, tempat ditemukannya begitu banyak kenangan berharga tentang kehidupan dan kematian Juruselamat, karakter internasional yang, dalam situasi saat ini, tampaknya menawarkan jaminan yang lebih baik untuk perlindungan tempat-tempat suci. Akan perlu juga untuk memastikan, dengan jaminan internasional, baik akses bebas ke Tempat-Tempat Suci yang tersebar di seluruh Palestina, maupun kebebasan beribadah dan penghormatan terhadap adat istiadat dan tradisi keagamaan.”
Dalam ensiklik ketiganya, In redemptoris nostr, tertanggal 15 April 1949, Paus Pius XII menganjurkan pemberian “kepada Yerusalem dan daerah sekitarnya suatu ketetapan hukum yang dijamin secara internasional” dan menghimbau agar semua hak umat Katolik “harus dijaga agar tidak dapat diganggu gugat.”
Beberapa negara Katolik menentang penerimaan Israel di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Mei 1949, karena Israel tlh “gagal melaksanakan skema internasionalisasi penuh” untuk Yerusalem. Perselisihan mengenai kerusakan akibat perang terhadap gereja-gereja dan properti lainnya di Israel diselesaikan dengan memuaskan oleh Takhta Suci pada tahun 1955 ketika Mgr. Antonio Vergani menerima kompensasi akhir atas kerusakan akibat perang terhadap lembaga-lembaga Katolik. Namun, bahkan nama Negara Israel dihilangkan oleh Osservatore Romano pada tahun 1955 ketika kunjungan Israel Philharmonic Orchestra ke Vatikan digambarkan sebagai kunjungan “para musisi Yahudi dari empat belas negara yang berbeda”. Penobatan Paus Yohanes XXIII pada tahun 1958 dihadiri oleh Duta Besar Eliyahu Sasson sebagai “Delegasi Khusus Negara Israel”. Hal ini, sebagaimana yang kemudian diklaim oleh Vatikan, membuktikan bahwa Takhta Suci mengakui Negara Israel meskipun tidak menjalin hubungan diplomatik yang normal.
Pada tanggal 5 Januari 1964, Paulus VI menjadi Paus pertama yang mengunjungi Israel. Ia berkata di Megiddo, tempat ia memasuki Israel: “Kami datang sebagai peziarah, kami datang untuk memuliakan tempat-tempat Suci; kami datang untuk berdoa.” Ia mengakhiri pidatonya dengan kata-kata dalam bahasa Ibrani “Shalom, shalom.” Namun, Paulus VI tidak pernah menyapa Presiden Shazar dengan gelarnya; bahkan ketika ia mengirim telegram berisi ucapan terima kasihnya, telegram itu dikirim ke Tel Aviv, bukan ke Yerusalem, tempat tinggal presiden Negara Israel. Segala upaya dilakukan untuk menekankan ketidak-pengakuan Tahta Suci terhadap Israel.
Konsili Ekumenis Vatikan II menyetujui pada tahun 1965 sebuah deklarasi penting, Nostra Aetate, yang mengubah tuduhan pembunuhan terhadap Kristus dan menyatakan: “Benar, para penguasa Yahudi… mendesak kematian Kristus; namun apa yang terjadi dalam penderitaan-Nya tidak dapat disalahkan kepada semua orang Yahudi yang hidup saat itu maupun orang-orang Yahudi masa kini.” Teks tersebut dipengaruhi oleh politik dan diencerkan karena protes keras dari negara-negara Arab.
Setelah pembebasan Yerusalem pada tahun 1967, Paus Paulus VI, pada tanggal 26 Juni 1967, mengenang bahwa ia telah melakukan yang terbaik “untuk setidaknya menghindari penderitaan dan kerusakan akibat perang di Yerusalem” dan bahwa ia sangat sedih dengan kondisi para pengungsi Palestina, dan mengatakan bahwa “Kota Suci Yerusalem harus tetap selamanya menjadi kota Tuhan, oasis kedamaian dan doa yang bebas, dengan statusnya sendiri yang dijamin secara internasional.”
Dengan demikian, rumus lama untuk mengupayakan internasionalisasi Yerusalem dan daerah sekitarnya diubah menjadi rumus yang berbicara tentang “ketetapan yang dijamin secara internasional.”
Pada bulan Juli 1967, Mgr. Angelo Felici, wakil menteri urusan luar biasa di Sekretariat Negara Vatikan tiba di Israel untuk berunding dengan Perdana Menteri Levi Eshkol. Paus dalam amanatnya tertanggal 23 Desember 1968, telah berbicara tentang keinginannya untuk melihat “perjanjian yang dijamin secara internasional mengenai masalah Yerusalem dan Tempat-Tempat Suci.”
Pada tanggal 6 Oktober 1969, Paus menerima menteri luar negeri Israel, Abba Eban, dan membahas pertanyaan tentang “para pengungsi, tempat-tempat suci, dan karakter Yerusalem yang unik dan sakral.”
Pada tanggal 22 Desember 1969, ucapan selamat Natal tradisional untuk para pengungsi Arab dan penyebutan khusus tentang komunitas Kristen di Palestina mengungkapkan kekhawatiran baru. “Mereka telah berkurang dan terus berkurang, umat beriman Yesus di bumi yang diberkati itu,” kata Paus. Ini adalah pertama kalinya Paus secara terbuka mengungkapkan kekhawatirannya tentang berkurangnya jumlah umat Katolik di Tanah Suci, kekhawatiran yang akan terwujud berulang kali dalam pidato-pidatonya berikutnya.
Pada bulan Januari 1972, Wakil Menteri Luar Negeri Mgr. Giovanni Benelli mengunjungi Israel dan melakukan beberapa pembicaraan dengan Menteri Keuangan Pinḥas Sapir, dan Menteri Kehakiman Ya’akov Shimshon Shapiro mengenai pertanyaan penjualan gedung Notre Dame de France ke Universitas Ibrani. Penganut paham asumsi telah menjual biara tersebut tetapi menurut Vatikan penjualan tersebut harus dianggap batal demi hukum karena Hukum Kanon mengharuskan otorisasi dari Vatikan. Sidang di pengadilan Israel di Yerusalem dibatasi oleh keputusan pemerintah Israel untuk membatalkan penjualan, tetapi tidak ada isyarat niat baik yang diberikan oleh Takhta Suci. Vatikan mengubah bangunan tersebut menjadi hotel modern dan selama bertahun-tahun menolak untuk membayar pajak kota “untuk layanan yang diberikan”. Akhirnya, pada tahun 1987, Vatikan setuju untuk membayar sejumlah uang kepada kotamadya Yerusalem.
Pada tanggal 22 Desember 1972, dalam pidatonya yang biasa disampaikan kepada Dewan Suci pada malam Natal, Paus mengkritik “situasi-situasi yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas yg diakui dan dijamin secara internasional,” mengacu kepada Yerusalem, di mana para pengikut Kristus “harus merasa diri mereka sebagai ‘warga negara’ yang penuh”. Ia juga berbicara mengenai putra-putra rakyat Palestina yang menungguselama bertahun-tahun “untuk pengakuan yang adil terhadap aspirasi mereka, tidak bertentangan tetapi dalam keselarasan yang diperlukan dengan hak-hak orang lain.”
Pada tanggal 15 Januari 1973, Perdana Menteri Israel Golda Meir diterima dalam audiensi pribadi oleh Paus Paulus VI. Itu adalah kunjungan resmi pertama semacam ini, dan karenanya merupakan kunjungan yang penting. Komunike terakhir mengenang penderitaan orang-orang Yahudi; Paus dalam misi kemanusiaannya tertarik pada masalah pengungsi Arab dan masalah komunitas Kristen yang tinggal di Tanah Suci, sementara dalam hal misi keagamaannya ia menyatakan keprihatinan tentang tempat-tempat suci dan karakter Yerusalem yang universal dan suci.
Pada akhir tahun yang sama, setelah Perang Yom Kippur , saat Israel diserang oleh Suriah dan Mesir, Paus mendedikasikan sebagian besar pesan pada tanggal 21 Desember 1973 kepada para kardinal, untuk Timur Tengah. Ia menyatakan persetujuannya terhadap Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan pada hari yang sama di Jenewa, tetapi menganggapnya belum lengkap dalam hal representasi, mungkin merujuk pada ketidakikutsertaan PLO. Takhta Suci siap “menawarkan kerja sama … dalam perjanjian yang akan menjamin semua pihak yang terlibat untuk hidup tenang dan aman serta pengakuan hak² masing-masing”. Paus berbicara tentang ratusan ribu pengungsi Arab yg “hidup dalam kondisi putus asa”; bahkan jika tujuan mereka “telah terancam oleh tindakan yang bertentangan dengan hati nurani sipil masyarakat dan sama sekali tidak dapat dibenarkan, itu adalah tujuan yang menuntut pertimbangan manusia dan menyerukan tanggapan yang adil dan murah hati dari massa yang terlantar dan tidak bersalah.”
Pada tanggal 9 Desember 1974, Mgr. Hilarion Capucci, Uskup Agung Katolik Yunani (melkit) Yerusalem dan vikaris Patriark Maximos, dijatuhi hukuman 12 tahun penjara; ia dinyatakan bersalah karena menyelundupkan senjata dan bahan peledak untuk organisasi Fatah dari Lebanon ke Israel, dengan memanfaatkan kekebalan diplomatiknya. Beberapa tahun kemudian, tanggal 6 November 1977, Presiden Ephraim Katzir, dalam menanggapi surat pribadi dari Paus, meringankan hukuman tersebut dan Uskup Agung Capucci segera dibebaskan. Janji tertulis Paus bahwa Mgr. Capucci tidak akan “menimbulkan kerugian apa pun bagi Negara Israel,” yaitu, tidak akan lagi terlibat dalam aktivitas politik, tidak dihormati dan prelatus tersebut berpartisipasi dalam banyak pertemuan propaganda yang diselenggarakan oleh PLO setelah memperoleh kembali kebebasannya.
Menteri luar negeri Israel, Moshe Dayan, diterima dalam audiensi pribadi oleh Paus pada tanggal 12 Januari 1978. Paus kembali menekankan kekhawatirannya tentang masalah Yerusalem, dengan menyatakan bahwa “solusi terkenal yg diusulkan oleh Takhta Suci untuk Yerusalem dapat memuaskan karakter kota yang unik dan religius”. Pihak Israel menekankan apa yg telah dilakukan “untuk menjamin perlindungan Tempat-Tempat Suci semua agama dan akses bebas ke sana.”
Paulus VI meninggal pada tanggal 6 Agustus 1978. Penggantinya adalah Paus Yohanes Paulus I, yang sebelumnya adalah Patriark Venesia dan karena itu memiliki hubungan baik dengan kaum Yahudi. Ia meninggal mendadak pada tanggal 28 September 1978.
Paus baru, Yohanes Paulus II , lahir di Polandia, sehingga untuk pertama kalinya selama berabad-abad paus tersebut bukan orang Italia. Delegasi Israel berpartisipasi dalam pemakaman paus sebelumnya dan upacara penobatan paus baru, yang diundang untuk mengunjungi Israel.
Pengamat tetap Takhta Suci untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat sebuah deklarasi tentang Yerusalem pada tanggal 3 Desember 1979, di mana ia menjelaskan makna dari “ketetapan khusus yang dijamin secara internasional” untuk Yerusalem. Isi ketetapan ini akan mencakup dua perintah jaminan: kesetaraan bagi ketiga komunitas agama terkait kebebasan beribadah dan akses ke Tempat-Tempat Suci; dan pemenuhan hak yang sama oleh ketiga komunitas agama, dengan jaminan untuk memajukan kehidupan spiritual, budaya, sipil, dan sosial mereka, termasuk kesempatan yang memadai untuk kemajuan ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan.
Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang Negara Israel pada tanggal 5 Oktober 1980, di Otranto, dengan mengatakan: “Orang-orang Yahudi, setelah mengalami pengalaman tragis yang terkait dengan pemusnahan begitu banyak putra dan putri, didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keamanan, telah mendirikan Negara Israel. Pada saat yang sama, kondisi yang menyedihkan dari orang-orang Palestina tercipta, karena sebagian besar dari mereka diusir dari tanah mereka.”
Yitzhak Shamir, Menteri Luar Negeri Israel, diterima pada tanggal 7 Januari 1982 oleh Paus, yang menekankan pentingnya masalah Palestina, yang harus menemukan solusi “dengan mempertimbangkan juga masalah keamanan bagi Negara Israel”. Paus juga berbicara tentang “solusi yang adil dan disepakati untuk masalah Yerusalem,” sebuah pusat bagi tiga agama. Shamir menekankan konsesi yang dibuat oleh Israel untuk mencapai perjanjian damai dengan Mesir & kekhawatirannya tentang perlombaan senjata di wilayah tersebut dan masalah serius terorisme.
Pada tanggal 15 September 1982, Paus menerima Yasser Arafat, yang baru saja dipaksa meninggalkan Beirut, memberinya kemenangan politik setelah kekalahan militer.
Paus Yohanes Paulus II mendedikasikan Surat Apostolik, “Redemptionis Anno,” pada tanggal 20 April 1984, untuk masalah Yerusalem dan Tanah Suci. Paus menulis: “Orang-orang Yahudi sangat mencintai (Yerusalem) dan di setiap zaman menghormati kenangannya, yang berlimpah dengan banyaknya peninggalan dan monumen dari zaman Daud yang memilihnya sebagai ibu kota, dan zaman Salomo yang membangun Bait Suci di sana. Oleh karena itu, mereka mengalihkan pikiran mereka kepadanya setiap hari, bisa dikatakan dan menunjuknya sebagai simbol bangsa mereka.”
Setelah menjelaskan mengapa Yerusalem juga dianggap suci bagi umat Kristen dan Muslim, ia mengingat seruan Takhta Suci untuk solusi yang memadai. Ia berkata: “Tidak hanya monumen atau tempat-tempat suci, tetapi seluruh Yerusalem yang bersejarah dan keberadaan komunitas-komunitas keagamaan, situasi dan masa depan mereka tidak dapat tidak memengaruhi setiap orang dan menarik minat setiap orang.”
Shimon Peres, yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri, diterima oleh Paus pada tanggal 19 Februari 1985, dan selama hampir satu jam membahas proses perdamaian. Jelas bahwa Peres tidak akan mendesak pembentukan hubungan diplomatik yang normal atau memberikan undangan resmi kepada Paus untuk mengunjungi Israel, sehingga inisiatif tersebut tidak dapat dilaksanakan.kepada Tahta Suci. Tampaknya dalam percakapan dengan Menteri Luar Negeri Casaroli ada pembahasan tentang status Yerusalem dan masalah Palestina.
Dalam “Catatan,” sebuah komentar Vatikan untuk Nostra Aetate yang diterbitkan pada tahun 1985, untuk pertama kalinya ada referensi tentang Negara Israel. Dalam pernyataan yang dikeluarkan pada peringatan 20 tahun deklarasi Vatikan II ini, umat Kristen diundang untuk memahami keterikatan agama orang Yahudi dengan Negara Israel, tetapi “keberadaan Negara Israel dan pilihan politiknya harus dipertimbangkan bukan dalam perspektif yang bersifat religius, tetapi dalam referensi mereka terhadap prinsip-prinsip umum hukum internasional.”
Ini adalah cara untuk mengatasi hambatan teologis terhadap pengakuan Israel.
Yohanes Paulus II adalah Paus pertama yg mengunjungi sinagoge ketika pada tanggal 13 April 1986, ia pergi ke Sinagoge Agung Roma. Dalam pidatonya, ia menyebut orang-orang Yahudi sebagai “saudara-saudara tua kami,” sebuah karakterisasi yang diubah pada tahun 2004 menjadi “saudara-saudara terkasih kami.”
Pada bulan September 1987, ketika para pemimpin Yahudi diterima di Castel Gandolfo, dekat Roma, sumber-sumber yang dekat dengan Paus mengatakan bahwa tidak ada lagi hambatan teologis untuk hubungan penuh dengan Israel. Hal ini dapat dilihat sebagai hasil dari garis yang diadopsi pada bulan Juni 1985 yang menyangkal adanya hubungan temporal antara orang-orang Yahudi dan negara Israel. Sementara pandangan seperti itu mungkin berfungsi untuk mengatasi hambatan teologis, pada saat yang sama ia menyangkal dasar spiritual Zionisme dan berusaha untuk memisahkan orang-orang Yahudi di Diaspora dari Negara Israel.
Pada tanggal 10 April 1989, Renato Martino, pengamat tetap di PBB, mengatakan: “Bagi kami, Tanah Suci adalah tanah air kami, negara asal kami; Yerusalem adalah kampung halaman Gereja. Takhta Suci tidak hanya tertarik untuk melestarikan arkeologi, artefak dan arsitektur komunitas Kristen yg bersejarah, tetapi juga komunitas itu sendiri. Tidak adanya hubungan diplomatik tidak berarti penyangkalan terhadap keberadaan Negara Israel. Pengakuan semacam itu jelas terlihat dari kontak-kontak yang terus-menerus.”
Pada tanggal 25 Januari 1991, selama Perang Teluk pertama, Takhta Suci menerbitkan dokumen panjang tentang masalah hubungan diplomatik dengan Israel. Dokumen itu menyatakan bahwa tidak adanya hubungan diplomatik tentu saja bukan karena alasan teologis, tetapi karena alasan hukum. Tiga kesulitan hukum utama adalah keberadaan Israel di wilayah pendudukan, aneksasi Israel atas Yerusalem, dan situasi Gereja Katolik di Israel dan di wilayah administrasi.
Pada tanggal 6 Maret 1991, Paus Yohanes Paulus II, saat menutup sinode para uskup dari Timur Tengah, berkata: “Kita telah berbicara tentang Tanah Suci, tempat dua bangsa, Palestina dan Negara Israel, telah terlibat dalam konflik selama beberapa dekade; ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Palestina menuntut keterlibatan semua orang.”
Setelah pembukaan Konferensi Perdamaian Madrid pada bulan November 1991, Mgr. Michel Sabah, patriark Latin Yerusalem, menegaskan bahwa Takhta Suci tidak diundang untuk hadir, dengan mengatakan: “Undangan yang kami tunggu tidak kunjung tiba.” Mungkin Takhta Suci memahami bahwa tanpa menjalin hubungan diplomatik yang normal dengan Israel, hubungan tersebut tidak dapat dikaitkan dengan proses perdamaian, di mana mungkin status Yerusalem dapat didiskusikan. Karena mereka sendiri terlibat dalam dialog dengan Israel, orang-orang Arab tidak dapat dengan tepat mencela Takhta Suci yang membentuk komisi permanen bilateral dengan Israel pada bulan Juli 1992 untuk membahas masalah-masalah yang belum terpecahkan dan menormalisasi hubungan. Status Yerusalem, masalah yang memiliki banyak sisi, tidak dibahas di sana.
Setelah pertemuan antara Perdana Menteri Yitzhak Rabin dan Ketua Yasser Arafat di Gedung Putih pada tanggal 13 September 1993, Takhta Suci memutuskan untuk menandatangani Perjanjian Fundamental dengan Israel. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Mgr. Claudio Maria Celli dan Wakil Menteri Luar Negeri Yossi Beilin pada tanggal 30 Des 1993. Baru setelah Perjanjian Kairo antara Israel dan PLO, pada tanggal 4 Mei 1994, Takhta Suci menyetujui pertukaran duta besar. Takhta Suci juga menandatangani kesepakatan pada bulan November 1997 tentang status hukum Gereja dan lembaga-lembaga Katolik di Israel, yang memberikan otonomi kepada Gereja untuk menangani urusan-urusannya sambil menghormati hukum-hukum Israel.
Dalam penjelasan terperinci dalam ceramah di Yerusalem pada tanggal 26 Oktober 1998, Uskup Agung Jean-Louis Tauran, sekretaris hubungan dengan negara-negara, menyampaikan posisi Takhta Suci mengenai Yerusalem. Tauran menyatakan bahwa Takhta Suci tidak dapat menerima pembedaan apa pun antara masalah tempat-tempat Suci dan masalah Yerusalem. Takhta Suci hadir “untuk memastikan bahwa hal itu tidak menjadi, seperti situasi saat ini, kasus ketidakadilan internasional yang nyata. Yerusalem Timur diduduki secara ilegal. Adalah salah untuk mengklaim bahwa Takhta Suci hanya tertarik pada aspek keagamaan atau aspek-aspek kota dan mengabaikan aspek politik dan teritorial… Setiap solusi sepihak atau yang dilakukan dengan paksa bukanlah dan tidak dapat menjadi solusi sama sekali.. Harus ada persamaan hak dan perlakuan bagi mereka yg termasuk dalam komunitas dari tiga agama yang terdapat di kota tersebut… “ekstrateritorialitas” sederhana dari tempat-tempat suci tidak akan cukup… Takhta Suci percaya pada pentingnya memperluas perwakilan di meja perundingan.”
Pada tanggal 9 Maret 1999, Mgr. Tauran menguraikan alasan utama ketidaksetujuannya dengan Israel: “Juga harus diakui bahwa hubungan antara Takhta Suci dan dunia Yahudi – terutama dengan Negara Israel – hampir tidak terbantu oleh kegagalan menyelesaikan masalah Palestina, kurangnya rasa hormat terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB tertentu dan perjanjian internasional yg disepakati dengan semestinya, tanpa melupakan pencaplokan sebagian Kota Yerusalem dengan paksa.”
Pada tanggal 27 April 1999, Menteri Luar Negeri Ariel Sharon diterima oleh Paus Yohanes Paulus II. Sharon mengucapkan terima kasih kepada Paus atas usahanya dalam memerangi antisemitisme dan hubungannya dengan kaum Yahudi. “Israel akan menyambut dengan hangat dan menjamin keamanan para peziarah yang akan datang, termasuk, pertama dan terutama, ‘Peziarah pertama’, Paus.”
Pada bulan Desember 1999, pokok perselisihan lainnya antara Takhta Suci dan Israel adalah proyek pembangunan masjid baru di Nazareth tepat di depan Basilika Kabar Sukacita.
Gereja Katolik di bawah bimbingan Mgr. Michel Sabah, patriark Latin Yerusalem, bereaksi keras terhadap izin pemerintah untuk membangun masjid tersebut. Mgr. Sabah berhasil menutup tempat-tempat suci Kristen di Yerusalem selama dua hari sebagai bentuk protes dan berhasil menciptakan front persatuan dengan komunitas Kristen lainnya. Sabah juga menuduh pemerintah Israel mengobarkan ketegangan antara umat Kristen dan Muslim, tuduhan yang segera digaungkan kembali oleh juru bicara Takhta Suci, Joaquin Navarro-Valls. Beberapa tahun kemudian pemerintah Israel mencabut izin tersebut dan masjid tersebut tidak dibangun.
Kunjungan resmi Paus Yohanes Paulus II ke Tanah Suci pada bulan Maret 2000 tidak diragukan lagi merupakan peristiwa bersejarah. Yohanes Paulus II tiba di Bandara Ben-Gurion, di mana ia diterima secara resmi oleh Presiden Ezer Weizman dan Perdana Menteri Ehud Barak pada tanggal 21 Maret 2000. Ia mengunjungi dua kepala rabbi, Israel Meir Lau dan Eliahu Bakshi-Doron , di Hechal Shlomo di Yerusalem, dan presiden Negara di kediaman resminya di Yerusalem pada tanggal 23 Maret 2000.
Paus berkata kepada Presiden Weizman: “Tuan Presiden, Anda dikenal sebagai seorang yang cinta damai dan pembawa damai. Kita semua tahu betapa mendesaknya kebutuhan akan perdamaian dan keadilan, bukan hanya untuk Israel tetapi juga untuk seluruh wilayah.” Pada kesempatan yang sama, Paus menambahkan: “Saya sangat berharap bahwa keinginan yg tulus untuk perdamaian akan menginspirasi setiap keputusan Anda.”
Ada dua hal penting lainnya dalam kunjungan Paus ke Israel: pertemuan di Yad Vashem pada tanggal 23 Maret dengan para penyintas Holocaust dari kota kelahirannya dan kunjungan ke Tembok Barat. Paus berkata di Yad Vashem: “Hanya ideologi tak bertuhan yg dapat merencanakan & melaksanakan pemusnahan seluruh bangsa.” Jadi semua tanggung jawab jatuh pada “ideologi tak bertuhan”, yang tidak terkait dengan atau bahkan menentang Gereja. Pada bulan Maret 1998, Takhta Suci, dalam dokumen “Kita Mengenang: Sebuah Refleksi tentang Shoah”, telah menyatakan: “Shoah adalah hasil kerja rezim neo-pagan yang sepenuhnya modern. Antisemitismenya berakar di luar agama Kristen.”
Di celah Tembok Barat, mengikuti adat Yahudi, Paus menyisipkan pada tanggal 26 Maret sebuah catatan yang berbunyi: “Allah para leluhur kami,/ Engkau telah memilih Abraham dan keturunannya/ untuk membawa Nama-Mu kepada Bangsa-bangsa: kami sangat sedih/oleh perilaku orang-orang/ yang dalam perjalanan sejarah/ telah menyebabkan anak-anak-Mu ini menderita,/ dan memohon pengampunan-Mu/ kami ingin mengabdikan diri/ kepada persaudaraan sejati/dengan umat Perjanjian.”
Teks ini identik dengan teks yang disertakan dalam upacara pengampunan di Roma pada tanggal 12 Maret 2000, tetapi tidak memuat pembukaan yang berisi permintaan maaf Gereja kepada orang-orang Yahudi. Tanpa pembukaan, orang-orang Yahudi tidak disebutkan secara tegas.
Dalam pertemuannya dengan Yasser Arafat di Betlehem, Paus memberikan kepadanya 14 kerang laut yang melambangkan 14 perhentian Jalan Salib dan menjelaskan bahwa ini adalah cara untuk melambangkan Sengsara orang-orang Palestina. Jadi sekali lagi Paus membandingkan penderitaan orang-orang Palestina dengan penderitaan yang dialami oleh Yesus.
Dalam pidatonya di Israel, Paus beberapa kali menyamakan antisemitisme dan anti-Kristen. Saat tiba di Tel Aviv, ia berkata: “Umat Kristen dan Yahudi bersama-sama harus melakukan upaya yang berani untuk menghapus segala bentuk prasangka. Kita harus selalu dan di mana-mana berusaha menampilkan wajah sejati orang Yahudi dan Yudaisme sebagaimana halnya orang Kristen dan Kristen.” Dua hari kemudian di Hechal Shlomo, di hadapan dua kepala rabi, ia berkata: “Kita harus bekerja sama untuk membangun masa depan di mana tidak akan ada lagi anti-Yudaisme di antara orang Kristen maupun sentimen anti-Kristen di antara orang Yahudi”. Di Yad Vashem, Paus mengulangi: “Tidak ada lagi perasaan anti-Yahudi di antara orang Kristen atau perasaan anti-Kristen di antara orang Yahudi.”
Simetri yang nyaman antara orang Yahudi dan Kristen ini tidak didukung oleh sejarah.
Selama kunjungannya di Israel, Paus mengirim surat yang berisi protes atas persetujuan yang diberikan oleh otoritas Israel terhadap pembangunan masjid Nazareth. Ini merupakan tindakan kecaman yang cukup langka dan keras.
Pada tanggal 1 April 2002, sekitar 200 warga Palestina bersenjata memasuki salah satu tempat suci dan tempat suci terpenting dalam agama Kristen, Gereja Kelahiran di Betlehem – yang menandai tempat kelahiran Yesus – dan tetap berada di dalam hingga tanggal 12 Mei, menyandera orang-orang. Osservatore Romano menulis pada tanggal 2 April 2002: “Terorisme Palestina hanyalah dalih”, karena tujuan sebenarnya dari Israel adalah “untuk menodai dengan api dan besi tanah orang-orang yang telah bangkit.” Mgr. Tauran, dari Sekretariat Negara, mengatakan bahwa posisi Takhta Suci mencakup “kecaman tegas terhadap terorisme,” “penolakan terhadap kondisi ketidakadilan dan penghinaan yang dijatuhkan kepada rakyat Palestina, serta pembalasan dan pembalasan dendam, yang hanya membuat rasa frustrasi dan kebencian tumbuh.”
Paus Yohanes Paulus II dalam pesan Angelusnya pada tanggal 11 Agustus 2002, mengatakan: “Sejak tahun 1967 hingga saat ini, penderitaan yang tak terlukiskan telah terjadi satu demi satu dengan cara yang menakutkan: penderitaan orang-orang Palestina, yang terusir dari tanah mereka dan dipaksa, akhir-akhir ini, ke dalam keadaan terkepung secara permanen, yang seolah-olah menjadi sasaran hukuman kolektif; penderitaan penduduk Israel, yang hidup dalam teror setiap hari karena menjadi sasaran penyerangan anonim. Selain itu, kita harus menambahkan pelanggaran hak asasi, yaitu kebebasan beribadah. Akibatnya, karena jam malam yang ketat, umat beriman tidak lagi memiliki akses ke tempat ibadah mereka pada hari doa mingguan.”
Uskup Agung Renato Martino, pengamat tetap untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menulis pada tanggal 2 November 2002: “Tahta Suci memperbarui seruannya yang konsisten untuk ketentuan-ketentuan yang dijamin secara internasional untuk memastikan kebebasan beragama dan hati nurani penduduknya, dalam rangka menjaga karakter khusus Kota dan tempat-tempat suci bagi orang Yahudi, Kristen, dan Muslim.”
Pada tanggal 16 November, Paus mengatakan: “Dalam konteks ini saya mengulangi kecaman tegas saya juga terhadap setiap tindakan teroris yang dilakukan baru-baru ini di Tanah Suci. Pada saat yang sama saya harus menegaskan bahwa, sayangnya, di tempat-tempat tersebut dinamisme perdamaian tampaknya telah berhenti. Pembangunan tembok antara orang Israel dan Palestina dilihat oleh banyak orang sebagairintangan di jalan menuju hidup berdampingan secara damai. Pada hakikatnya, Tanah Suci tidak membutuhkan tembok, melainkan jembatan! Tanpa rekonsiliasi jiwa, tidak akan ada kedamaian.”
Pada musim gugur 2003, Mgr. Jean-Baptiste Gourion diangkat menjadi uskup pembantu patriark Latin Yerusalem untuk pelayanan pastoral umat Katolik berbahasa Ibrani di Israel. Takhta Suci mengangkat Romo Pierbattista Pizzaballa sebagai kustos baru Tanah Suci pada tanggal 15 Mei 2004. Ia telah mempelajari bahasa Ibrani modern di Yerusalem di Universitas Ibrani dan menjadi asisten umum Mgr. Gourion. Beberapa pengamat melihat kedua pengangkatan tersebut sebagai tanda niat baik terhadap Israel.
Menteri Luar Negeri Silvan Shalom diterima oleh Paus Yohanes Paulus II pada 11 Desember 2003.
Pada bulan Juni 2004, Kardinal Dionigi Tettamanzi, Uskup Agung Milan, adalah uskup pertama yang diterima di Knesset dan menyampaikan pidato.
Paus Yohanes Paulus II meninggal pada tahun 2005 dan digantikan oleh Benediktus XVI, Joseph Ratzinger kelahiran Jerman. Paus baru tersebut memulai masa kepausannya dengan mengunjungi Sinagoge Roonstrasse di Cologne, yang tertua di Eropa utara & berbicara di sana menentang “tanda-tanda baru antisemitisme”, dengan demikian mengikuti jejak pendahulunya. Pada tahun 2006, ia mengunjungi Auschwitz.[1]