LIVE DKC TANPA OTORITAS & MENGANDALKAN SOLA SCRIPTURA KACAU BALAU @AndreyThunggal

“Jauhkan dirimu dari skisma sebagai sumber dari segala kesulitan/ kejahatan. Kamu semua harus tunduk pada uskup sama seperti Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Tunduk juga kepada para imam seperti kamu kepada para rasul; dan hormatilah para diakon seperti kamu menghormati hukum Tuhan …. Kamu harus menganggap Ekaristi sebagai yang sah, jika dirayakan oleh uskup atau oleh seseorang yang diberinya kuasa. Di mana uskup berada, biarlah kongregasi umat berada, seperti di mana Yesus Kristus berada, di sanalah ada Gereja Katolik. Tanpa supervisi dari uskup, tidak ada baptisan ataupun perayaan Ekaristi diperbolehkan….”

By Manuel (Tim DKC)

15 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

LIVE DKC RABU, 12 MARET 2025 PUKUL 19:00 WIB: TANPA OTORITAS & MENGANDALKAN SOLA SCRIPTURA KACAU BALAU @AndreyThunggal

Tayangan Video Andrey Thunggal di Channel Gereja360 tentang Gereja yang saat ini Mengalami Struggle/ Distrubsi Luar Biasa

Andrey menyatakan bahwa saat ini adanya error di dalam Gereja/ Persekutuan, Andrey besar dalam lingkungan i Gereja yang bervariasi dari Gereja yang sangat konservatif/ bersifat kesukuan berpindah ke Gereja yang sangat menekankan doktrin tertentu berpindah lagi ke Gereja yang kekiniian, dan kemudian masuk dalam seminari, terjun dalam pelayanan sebagai hamba Tuhan selama 12 tahun dan saat ini di tahun ke-13. Andrey juga mengatakan bahwa ada sebagian cerita tentang Gereja yang mengecewakan karena anak mudanya menemukan pengalaman tidak menyenangkan dengan pemimpin rohaninya/ adanya sebuah penyimpangan/ penyelewengan.

Baru-baru ini, tepatnya Desember 2024, ada sebuah Gereja bernama Asbury United Methodist Church yang terletak di Scranton, Lackawanna Co., U.S., ditutup setelah menyelenggarakan kebaktian selama 148 tahun. Hal yang sama juga terjadi di Jawa Tengah, Indonesia, ada Gereja yang dibeli dan dialihfungsikan menjadi tempat ibadah agama lain. Gereja telah kehilangan anak-anak mudanya, penerus/ generasinya, kita patut kuatir akan masa depan Gereja.

Kemunduran Gereja saat ini karena gagal beradaptasi dengan perubahan zaman, Gereja berubah terlalu sedikit sementara zaman berubah terlalu banyak. Sebagaimana Tuhan bermisi kepada manusia, seharusnya Gereja terus bermisi kepada zaman supaya jiwa-jiwa mengalami kebenaran.

Apakah Hirarki dalam Gereja Sudah Ada Sejak Awal…?

Yesus Menghendaki Hirarki dalam Gereja

Fakta bahwa Yesus menghendaki hirarki dalam Gereja-Nya nyata bahwa dalam karyaNya Ia memilih 12 rasul (lih. Matius 4:18-22; Markus 1:16-20; Lukas 5:1-11) dan juga kemudian ke 70 murid (lih. Lukas 10:1). Jika Kristus tidak menghendaki semacam susunan dalam jemaat, tentu Ia tidak perlu memilih mereka- mereka ini. Maka, adanya susunan hirarki dalam Gereja justru terbentuk sesuai dengan kehendak Kristus, yang mendirikan Gereja-Nya di atas Rasul Petrus (lih. Matius 16:18). Seseorang yang dengan tekun membaca Kitab Suci akan menemukan banyaknya ayat dalam Kitab Suci yang menunjukkan keutamaan rasul Petrus jika dibandingkan dengan rasul-rasul lainnya.

Di dalam konsili Yerusalem (49-50 M) pada saat terjadi konflik jemaat tentang masalah sunat; Rasul Petruslah yang membuat keputusan; walaupun kemudian Rasul Yakobus yang berbicara dalam khotbah penutup. Maka walau benar semua rasul dan penatua yang melayani dalam sidang itu, namun di dalam sidang itu tetap berdiri seorang pemimpin yang memutuskan, terutama jika terjadi konflik ataupun perbedaan pandangan, dan peran ini dilaksanakan oleh Rasul Petrus dan selanjutnya oleh para penerusnya. Keutamaan Uskup Roma/Paus (penerus Rasul Petrus) juga secara khusus nampak pada surat St. Klemens, selaku penerus Rasul Petrus, yang ditujukan kepada jemaat di Korintus untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di sana.

Di Masa Selanjutnya, Hirarki Dimulai dari Diakon, Imam, Penilik Jemaat/ Uskup

Maka prinsip susunan kepemimpinan Gereja bermula dari Kristus yang menunjuk ke 12 rasul, dan kemudian setelah kenaikan-Nya,  para murid mulai pula menunjuk para penilik jemaat dan diaken/diakon, seperti pengajaran Rasul Paulus kepada Timotius (lih. 1 Timotius 3). Para penilik jemaat ini disebut uskup ataupun imam; sebagaimana disebut dalam tulisan St. Ignatius Martir (ia adalah murid langsung dari Rasul Yohanes dan dari Uskup Antiokhia setelah Rasul Petrus) dan St. Klemens dari Aleksandria; sehingga urutannya dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah adalah uskup, imam, dan diakon. St. Ignatius Martir (110 M) mengajarkan agar jemaat tidak memisahkan diri dari kesatuan dengan para uskup yang mencerminkan pikiran Kristus.

Kepada Gereja di Efesus (n. 3-5) St. Ignatius menulis:
“Aku mendesak kamu agar menyesuaikan tindakanmu dengan pikiran Tuhan. Sebab Yesus Kristus…. adalah pikiran Allah Bapa, sebagaimana para uskup, yang ditunjuk di seluruh dunia, mencerminkan pikiran Kristus.
Maka, kamu harus bertindak sesuai dengan pikiran para uskup, seperti yang pasti kamu lakukan. Para imam… adalah terikat dengan erat dengan para uskup seperti senar pada sebuah harpa…. Jangan salah tentang hal ini. Jika barangsiapa tidak berada di dalam tempat kudus (gereja), ia kekurangan roti Tuhan. Dan jika doa satu atau dua orang sangat besar kuasanya, betapa lebih lagi doa uskup dan seluruh Gereja. Barang siapa yang gagal bergabung dalam penyembahanmu menunjukkan kesombongannya, dengan kenyataan bahwa ia menjadi seorang skismatik. Ada tertulis, “Tuhan menolak orang yang sombong.” Mari kita, dengan sungguh menghindari melawan uskup sehingga kita dapat tunduk kepada Tuhan.”

Kepada Gereja di Trallia, n. 2-7, St. Ignatius menulis:
“Sebab ketika kamu menaati uskup seperti seandainya ia adalah Yesus Kristus, kamu… hidup tidak hanya menurut cara manusia, tetapi menurut cara Yesus Kristus, yang demi kita, menderita, wafat, supaya kamu dapat percaya akan kematian-Nya… Oleh karena itu, adalah penting, untuk bertindak jangan sampai tanpa [persetujuan] uskup. Bahkan tunduklah kepada para imam sebagaimana kepada para rasul Yesus Kristus. Ia adalah pengharapan kita, dan jika kita hidup dalam kesatuan dengan-Nya sekarang, kita akan mencapai hidup kekal. Mereka juga yang adalah diakon… harus memuaskan semua orang. Sebab mereka tidak hanya melayani makanan dan minuman, tetapi melayani Gereja Tuhan. Barang siapa ada di dalam tempat kudus, adalah murni, sedangkan ia yang berada di luar tempat kudus adalah tidak murni. Artinya: mereka yang melakukan apapun tanpa uskup, imam dan diakon tidak mempunyai hati nurani yang jernih.” (n. 7)

Kepada Gereja di Smyrna, n. 8, St. Ignatius menulis:
“Jauhkan dirimu dari skisma sebagai sumber dari segala kesulitan/ kejahatan. Kamu semua harus tunduk pada uskup sama seperti Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Tunduk juga kepada para imam seperti kamu kepada para rasul; dan hormatilah para diakon seperti kamu menghormati hukum Tuhan …. Kamu harus menganggap Ekaristi sebagai yang sah, jika dirayakan oleh uskup atau oleh seseorang yang diberinya kuasa. Di mana uskup berada, biarlah kongregasi umat berada, seperti di mana Yesus Kristus berada, di sanalah ada Gereja Katolik. Tanpa supervisi dari uskup, tidak ada baptisan ataupun perayaan Ekaristi diperbolehkan….”

Kepada Jemaat di Filadelfia, n. 7, St. Ignatius menulis:
“…saya berbicara dengan suara yang keras, suara dari Tuhan: “Perhatikanlah uskup dan imam dan para diakon“. Sebagian orang mengira bahwa saya mengatakan hal ini karena saya tahu adanya perpecahan di antara beberapa orang; namun Dia, yang menjadi alasan mengapa saya dirantai, menjadi saksi bahwa saya tidak mengetahuinya dari manusia; melainkan dari Roh yang membuatku mengatakan hal ini, “Jangan melakukan sesuatu tanpa uskup, jagalah badanmu sebagai bait Allah, cintailah persatuan, jauhkanlah perpecahan, turutilah Kristus, seperti Dia telah menuruti Allah Bapa.”

St. Klemens dari Aleksandria (150-215 M), mengajarkan:
“Banyak nasehat-nasehat untuk orang-orang tertentu telah ditulis di dalam Kitab Suci: sebagian untuk para imam, sebagian untuk para uskup dan para diakon; … “(St. Clement of Alexandria, The Instructor of Children 3:12:97:2).

“Di dalam Gereja, gradasi dari para uskup, para imam, dan para diakon terjadi sebagai suatu gambaran, menurut pendapatku, dari kemuliaan malaikat dan dimana susunan tersebut, seperti yang dikatakan di dalam Alkitab, menantikan orang-orang yang telah mengikuti langkah-langkah dari para murid dan yang telah hidup di dalam kepenuhan kebenaran menurut Kitab Suci.” (St. Clement of Alexandria, Miscellanies 6:13:107:2).

Kesimpulan

Akhirnya, kita ketahui bahwa sejak abad-abad awal di dalam Gereja telah ada hirarki kepemimpinan, yang dimulai dari diakon, imam dan Uskup. Salah satu tugas uskup yang terpenting adalah mempersatukan umat, dengan selalu menyampaikan ajaran Kristus. Dengan kesatuan dengan Uskup inilah kita sebagai umat dapat menghindari perpecahan, dan menjaga persatuan, sebagaimana dikehendaki oleh Kristus (lih. Yohanes 17:20-21).1

Tayangan Video Pendeta Protestan Opa tentang Narcisstics Personality Disorder (NPD) atau ”Merasa Paling Benar Sendiri”

Dalam video ini Pdt. Opa menyayangkan ketika orang mengutip ayat hanya terkait ”berkat” saja padahal dunia sedang mau merusak kita semua, contohnya jemaat yang memaksakan pendeta di Gerejanya menikahkannya dengan umat agama lain.

Karena itu, jangan pernah merasa paling benar sendiri, IQ saja tidak cukup, kita harus punya EQ juga.

Tayangan Video Pendeta Protestan Lainnya tentang ”Gereja Punya Orang Munafik”

Gereja tempat orang yang mau bertobat, kebenaran, keadilan dan kasih. Jauhilah Gereja yang tidak seperti Kristus, yang hanya mencari perpuluhan.

Tayangan Video Pendeta Lainnya tentang ”Gereja Tersesat”

Saat ini ada 3 jenis Gereja:

  • Gereja Please Stay – Gereja yang bertahan secara mendunia, 80% telah mengalami kemunduran
  • Gereja Please Come – Gereja yang suka mengundang, tidak peduli jemaat lain tersebut sudah beribadah di Gereja lain/ sudah Kristen
  • Gereja Please Go – Gereja yang menjangkau/ memuridkan/ sesuai dengan amanat agung Kristus

Tayangan Beberapa Video Pendeta Protestan Lainnya yang Saling Menyerang Satu Sama Lain dan Mendasarkan Ajarannya Hanya pada Kitab Suci (Sola Scriptura)

Sola Scriptura: Sebuah Cetak Biru Anarki

Sola Scriptura Tidak Berdasarkan Alkitab

Pertimbangkan Perjanjian Lama. Prinsip sunat sama sekali berbeda dengan cara Allah berurusan dengan umat-Nya sebelum Kristus. Selain fakta bahwa tidak ada Kitab Suci apa pun yang tersedia sebelum zaman Musa [selain dari insiden-insiden wahyu langsung yang kadang-kadang menakutkan, perintah-perintah disampaikan kepada umat-Nya melalui para nabi dan bapa leluhur]. Tidak ada orang Israel yang bebas mempraktikkan penafsiran pribadi atas Hukum, memutuskan sendiri bagaimana menurutnya teks itu harus ditafsirkan. Bayangkan seseorang berkata kepada Musa, “Lihat, saya membaca Kejadian 17 secara berbeda. Saya pikir Allah berbicara tentang sunat di sini secara kiasan. Dia tidak secara harfiah memberi tahu Abraham untuk mengambil pisau dan mulai memotong-motong sesuatu”. Perjanjian Lama tidak mengandung petunjuk tentang sunat.

Perjanjian Baru pun sama. Kristus tidak hanya mendirikan Gereja yg mengajar (lih. Matius 28:19-20), yg diberkahi dengan otoritas-Nya sendiri (lih. Lukas 10:16; Matius 16:18, 18:18), tetapi kita tidak melihat gagasan tentang “hanya Kitab Suci” dalam ajaran para rasul atau penerus mereka. Bahkan, kita melihat contoh-contoh tentang preferensi utuk menyampaikan ajaran secara lisan dan bukan secara tertulis: “Meskipun aku memiliki banyak hal untuk dituliskan kepadamu, lebih baik aku tidak menggunakan kertas dan tinta, tetapi aku berharap utk datang & berbicara langsung kepadamu, sehingga sukacita kita menjadi penuh” (lih. 2 Yohanes 12; bdk. 3 Yohanes 13).

Cacat fatal dari pernyataan ini adalah bahwa hal itu sendiri tidak diajarkan dalam Kitab Suci. Alkitab berkata: “Seluruh rencana Allah, mengenai segala sesuatu yg diperlukan untuk kemuliaan-Nya sendiri, keselamatan manusia, iman, dan kehidupan, baik secara tegas ditetapkan dalam Kitab Suci, atau dengan konsekuensi yang baik dan perlu dapat disimpulkan dari Kitab Suci: yang tidak boleh ditambahkan apa pun, baik melalui wahyu baru dari Roh, atau tradisi manusia.” Jika pernyataan ini benar, maka doktrin itu sendiri harus “secara tegas ditetapkan dalam Kitab Suci, atau … disimpulkan dari Kitab Suci.”

Dan di situlah letak kesulitannya. Dengan menegaskan, kaum Protestan membuat pernyataan yang bersamaan bahwa semua wahyu ilahi yang diperlukan bagi Gereja untuk dimiliki berasal dari Kitab Suci saja. Para Reformis Anglikan menyatakannya seperti ini: “Kitab Suci memuat semua hal yang diperlukan untuk keselamatan: sehingga, tidak boleh dituntut dari siapa pun bahwa itu harus dipercayai sebagai bagian dari Iman, atau dianggap sebagai syarat atau perlu untuk keselamatan.”

Lebih khusus lagi, seperti yang dijelaskan, agar dapat diwahyukan secara ilahi, suatu doktrin harus diungkapkan secara eksplisit atau tersirat secara logis dalam Kitab Suci. Dan itu membawa kita pada pertanyaan tentang kecukupan formal dan material.

Banyak teolog dan doktor Katolik terkemuka selama berabad-abad, termasuk sebagian besar Bapa Gereja, telah mengajarkan bahwa Kitab Suci cukup secara materi (yaitu, Kitab Suci memuat semua materi atau “isi” wahyu ilahi, baik dalam bentuk eksplisit maupun implisit). Masalahnya adalah bahwa kaum Protestan Evangelis yang mencoba-coba literatur patristik untuk mencari amunisi bagi posisi mereka, akhirnya memperoleh pemahaman yang salah tentang apa yang dimaksud para Bapa Gereja. Newman mengamati masalah ini dalam sebuah surat kepada seorang teman Anglikan: “Anda telah mengumpulkan bagian-bagian dari para Bapa Gereja, sebagai saksi atas doktrin-doktrin anda bahwa seluruh Iman Kristen termuat dalam Kitab Suci, seolah-olah, menurut pemahaman Anda tentang kata-kata saya, umat Katolik menentang Anda di sini.”

Kita harus membuat perbedaan di sini untuk memahami perbedaan penting antara kecukupan materi Kitab Suci yang diajarkan oleh para Bapa Gereja dan gagasan para Reformator yang jauh lebih sempit tentang kecukupan formal. Pada tingkat tertentu, posisi Katolik bersinggungan dengan rumus Protestan tentang. Namun perbedaan mendasarnya adalah ini: Gereja Katolik berpendapat bahwa agar makna Kitab Suci dapat dipahami dengan benar, Gereja harus menggunakan Tradisi yang hidup - yaitu, penafsiran yang tidak dapat salah dari para rasul (lih., no.10). Dan penafsiran ini dijamin oleh Magisterium yang tidak dapat salah.

Kredo Reformasi, meskipun memberi penghormatan yang terbatas pada Tradisi, konsili Gereja, dan para Bapa Gereja, tetap menolak untuk memberikan mereka kesempurnaan. Kaum Protestan mengklaim bahwa Kitab Suci sudah cukup dan, pada akhirnya, tidak memerlukan Tradisi atau Magisterium yang sempurna agar dapat ditafsirkan secara autentik. Sebaliknya, model otoritas Katolik bersifat tripartite – Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium berbeda tetapi saling bergantung. dan dapat diringkas dengan cara ini: adalah objek penafsiran Gereja; adalah penafsiran Gereja yang dihayati atas Kitab Suci; dan adalah organ Gereja yang melakukan penafsiran.

Namun pemahaman Protestan tentang kecukupan Alkitabiah melampaui kecukupan materiil belaka dan masuk ke wilayah kecukupan formal. Kecukupan formal berarti bahwa semua wahyu yang diperlukan bagi Gereja untuk dimiliki disajikan secara formal di halaman-halaman Kitab Suci, tanpa hal lain yang diperlukan – tidak ada Tradisi atau Magisterium. Nuansa ini – dan jangan salah – ini adalah nuansa yang sangat penting, dimana kegagalan terjadi.

Pada tahun 434, Vincent dari Lerins merenungkan masalah ini: “Jika seseorang bertanya kepada salah seorang bidat yang memberi Anda nasihat ini, ‘Bagaimana Anda membuktikan (pernyataan Anda)? Atas dasar apa Anda mengatakan bahwa saya harus membuang iman universal dan kuno Gereja Katolik? Dia telah menyiapkan jawabannya: ”Karena itu tertulis.” Dan segera ia menghasilkan seribu contoh, seribu otoritas dari Hukum, dari Kitab Mazmur, dari para rasul, dari para nabi, yang melaluinya, jika ditafsirkan berdasarkan prinsip yang baru dan salah, jiwa yang tidak bahagia dapat diceburkan dari puncak kebenaran Katolik ke jurang bid’ah yang paling dalam…. Apakah para bid’ah mengacu pada Kitab Suci? Mereka memang mengacu, dan dengan penuh dendam. Karena anda dapat melihat mereka membaca setiap kitab dalam Kitab Suci…. Baik di antara orang-orang mereka sendiri atau di antara orang asing, secara pribadi atau di depan umum, dalam berbicara atau menulis, pada pertemuan-pertemuan ramah tamah atau di jalan-jalan, hampir tidak pernah mereka mengemukakan sesuatu dari mereka sendiri yg tidak mereka upayakan untuk disembunyikan di bawah kata-kata Kitab Suci…. Anda akan melihat tumpukan contoh yang tak terbatas, hampir tidak ada satu halaman pun, yang tidak dipenuhi dengan kutipan-kutipan yang masuk akal dari Perjanjian Baru atau Perjanjian Lama.”2

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya