LIVE DKC SABTU, 24 MEI 2025 PUKUL 19:00 WIB: HALU LAGI DENGAN DOGMA KATOLIK YA!!! @Patris_Smith‬

Reformasi, meskipun dimulai dengan niat memperbaiki Gereja, justru menghasilkan skisma yang bertentangan dengan visi eklesiologis Katolik tentang Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, sebagaimana dinyatakan dalam Kredo Nicea (Denzinger, 2012). Dampak jangka panjangnya—fragmentasi, konflik, dan hilangnya otoritas apostolik—menunjukkan bahwa Reformasi tidak hanya gagal mencapai kesatuan, tetapi juga memperdalam perpecahan dalam Kekristenan. Narasi yang mengagungkan Reformasi sebagai pembebasan spiritual mengabaikan konsekuensi eklesiologis ini.

By Manuel (Tim DKC)

29 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

LIVE DKC [67-2025] SABTU, 24 MEI 2025 PUKUL 19:00 WIB: HALU LAGI DENGAN DOGMA KATOLIK YA!!! @Patris_Smith

Merespon Video Patris Smith tentang 4 Dogma Gereja Katolik Roma ini Membuat Saya Angkat Kaki dari Katolik

Patris Smith dalam video ini membacakan kisah David J. Riggs yang bertobat dan keluar dari Gereja Katolik di tahun 1962. David berasal dari keluarga Ktaolik yang besar dan saleh (12 bersaudara), bersekolah di Trinity High School di Lousiville, Kentucky, US. Dia melakukan studi Alkitab secara medalam dan saat itu ada dua saudara laki-lakinya yang sedang belajar di seminari untuk menjadi imam. Alasannya meninggalkan Gereja Katolik karena ajarannya bertentangan dengan Alkitab.

Berikut beberapa (4) alasan saya meninggalkan Gereja Katolik:
1.Mereka tidak memiliki sikap yang benar terhadap kebenaran
Mereka yang memiliki sikap yang benar terhadap kebenaran selalu bersedia menguji ajaran mereka bersama orang lain, mengundang pihak yang berbeda pandangan untuk bekerja sama demi kebenaran dan kesatuan, menghargai jika ada yang menunjukkan kesalahan dalam ajaran mereka, menguji segalanya dengan sungguh-sungguh, mempelajari argumen dari kedua sisi dan mempertimbangkan pandangan yang berbeda secara adil.
Akan tetapi mereka yang memiliki sikap yang salah terhadap kebenaran akan memiliki sikap sebaliknya.

Orang Katolik tidak memiliki sikap yang benar terhadap kebenaran, jemaat Katolik tidak diijinkan dan terlebih lagi tidak didorong untuk mendengar dua sisi antara kebenaran dan kesalahan. Mereka tidak diperbolehkan membaca buku-buku yang berbeda dari doktrin mereka, karena itu para rohaniawan mendorong umat untuk menutup diri terhadap apapun yang berbeda dari ajaran Katolik.

2.Hanya Alkitab yang merupakan pedoman yang sepenuhnya cukup untuk untuk keselamatan, namun Gereja Katolik mengajarkan bahwa itu tidak cukup
Katekismus Katolik untuk Orang Dewasa hal. 52 mengatakan ”Dapatkah anda belajar menyelamatkan jiwa anda hanya dengan membaca Alkitab? Tidak, karena hal-hal tertentu dalam Alkitab dapat disalahpahami dan karena Alkitab tidak memeiliki semua yang diajarakan Tuhan.”

Terjemahan Alkitab Katolik sendiri justru mengajarkan sebaliknya, semua kutipan Kitab Suci yang saya berikan disini berasal dari terjemahan Katolik:
2 Timotius 3:15-17 – ”Ingatlah juga bahwa sejak kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan melalui iman kepada Kristus Yesus. Seluruh Kitab Suci diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”
Roma 1:16 – ”Sebab aku tidak malu terhadap Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.”
Yakobus 1:21 – ”Sebab itu, buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.”

Katolik juga menyiratkan bahwa Alkitab tidak dapat dipahami dengan jelas. John O’Brian, seorang penulis Katolik dalam bukunya The Faith of Millions menyatakannya dengan lebih tegas di hal. 152: “Alkitab bukanlah panduan yang jelas dan dapat dimengerti untuk semua.”

Rasul Paulus berkata dalam:
Efesus 3:2-4 – ”Memang kamu telah mendengar tentang penyelenggaraan anugerah Allah, yang dipercayakan kepadaku karena kamu, yaitu bagaimana rahasia itu diberitahukan kepadaku melalui wahyu, seperti yang telah kutulis di atas dengan singkat. Apabila kamu membacanya, kamu dapat mengetahui pengertianku tentang rahasia Kristus,” Dengan kata lain, saat kita membaca apa yang Paulus tulis, kita dapat memahami apa yang dia pahami.
2 Korintus 1:13 – ”Sebab kami hanya menuliskan kepada kamu apa yang dapat kamu baca dan pahami. Aku harap, mudah-mudahan kamu akan memahaminya sepenuhnya,”
Efesus 5:17 – ”Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.”
Dengan demikian, para penulis yang diilhami oleh Roj Kudus mengajarkan bahwa kita dapat memahami Kitab Suci.

KGK hal. 52 juga mengatakan dengan membaca Alkitab tidak dapat menyelamatkan jiwa karena tidak memiliki semua yang diajarkan Tuhan. Buku The Faith of Millions hal. 153-154 juga menyatakan ”Alkitab tidak memuat semua ajaran Kristen dan juga tidak merumuskan smeua kewajiban anggotanya.” Sebaliknya Kitab Suci memuat segala sesuatu yang diperlukan untuk mempersiapkan orang percaya bagi setiap perbuatan baik, lihat 2 Timotius 3:16-17 – ”Seluruh Kitab Suci diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” Tidak ada satupun perbuatan baik yang dapat dialkukan seornag Kirsten yang tidak dituntun oleh Kitab Suci.

Satu-satunya ayat sebagai dasar pihak Katolik bahwa Alkitab tidak memuat seluruh ajaran Tuhan adalah Yohanes 20:30 – ”Memang masih banyak tanda mukjizat lain yang diperbuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini,” Perhatikan pada ayat 31 –”tetapi hal-hal ini telah dicatat, supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya karena percaya, kamu memperoleh hidup dalam nama-Nya.” Lihat juga Yohanes 21:25 –”Masih banyak lagi hal-hal lain yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, kupikir dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” KGK hal. 10 mengatakan ”Bagaimana anda bisa mendapatkan makna sejati dari Alkitab? Anda hanya bisa mendapatkannya dari penafsir resmi Allah, yaitu Gereja Katolik.” Lihat juga Roma 3:4 dan Kolose 2:8.

3.Kristus tidak menjadikan Gereja-Nya tidak mungkin salah (Infallible), seperti yang diajarkan Gereja Katolik
KGK hal. 56 menyatakan ”Mengapa Gereja Katolik tidak bisa mengajarkan kesalahan? Karena Yesus berjanji akan selalu menyertai Gereja-Nya untuk melindungi dari kesalahan.” Buku My Catholic Faith yang sangat bergantung pada materi dari Baltimore Catechism, pada hal. 144 “Yesus Kristus berjanji akan menjaga Gereja dari kesalahan”, dan hal. 145 ”Yesus Kristus memerintahkan semua ornag untuk mendengarkan dan menaati Gereja, dengan ancaman kutukan. Jika Gereja-Nya dapat mengajarkan kesalahan maka Dia bertanggung jawab atas kesalahan itu, karena Ia telah memerintahkan semua orang untuk menaati.” KGK hal. 54 ”Apakah setiap orang harus menaati Gereja Katolik? Ya, karena hanya Gereja Katoliklah yang memiliki otoritas dari Yesus untuk meemrintah dan mengajar.”

Otoritas bukanlah milik tubuh (Gereja) tetapi milik Kepala yaitu Kristus (lih. Efesus 1:22-23; Kolose 1:18). Pemerintahan tidak berada dalam kerajaan tetapi dalam Raja (lih. Ibrani 7:1-2; Wahyu 1:5-6). Otoritas bukan di tangan Gereja tetapi di dalam Kristus sendiri (lih. Matius 28:18; 1 Petrus 3:22). Gereja bukanlah juruselamat melainkan hanya tubuh dari orang-orang yang diselamatkan (lih. Kisah Para Rasul 2:47; Efesus 5:22-24). Ada banyak ayat dalam Perjanjian Baru yang menunjukkan bahwa Gereja tidak akan dijaga sepenuhnya dari kesesatan: Kisah Para Rasul 20:17, 28-30; 2 Petrus 2:1-3; 1 Timotius 4:1-3; 2 Timotius 4:3-4; 2 Tesalonika 2:3-11. Dari ayat-ayat ini kita melihat bahwa akan terjadi kejatuhan besar dari kebenaran. Dalam Kisah Para Rasul 20 kita membaca hal-hal yang menyimpang akan muncul dari antara para penatua (uskup) sendiri. Petrus berkata dalam 1 Petrus 2 bahwa guru-guru palsu akan muncul di antara kamu, bekerja dari dalam dan banyak orang akan mengikutinya, lihat juga Paulus dalam 2 Tesalonika 2:7-8. Peringatan dari Paulus dalam 1 Timotius 41-3 tentang suksesi.

Gereja Katolik Roma adalah satu-satunya entitas yang menunjukkan semua ciri-ciri kemurtadan besar yang diperingatkan dalam Alkitab. Lihat juga gambaran hubungan antara Gereja dan Kristus dalam Wahyu 2:1-5, 12-14, 18-20; 3:1-3, 14-15, bahwa ketika Gereja tetap tinggal dalam Firman Kristus, ia tetap diakui sebagai milik-Nya.

4.Kristus tidak menjadikan Petrus sebagai Paus
Gelar-gelar ”Paus”, ”Bapa Suci”, ”Wakil Kristus”, ”Sri Paus Tertinggi” sebenarnya hanya layak diberikan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Allah Bapa. Istilah ”Bapa Suci” hanya muncuk stau kali dalam Alkitab, lihat Yohanes 17:11. Klaim Gereja Katolik paling berani adalah bahwa Paus adalah ”Wakil Kristus” (Vicar of Christ) padahal dalam Alkitab hanya ada satu bagian yang menggambarkan seseorang yang mencoba mengambil tempat Allah atau Kristus, dan itu bukan pujian melainkan peringatan (lih. 1 Tesalonika 2:3-4). Lihat juga Matius 1:23; Yohanes 1:1. Jadi tidak ada dasar Alkitabiah mengatakan bahwa Kristus menjadikan Petrus seorang Paus, atau wakil-Nya di bumi. Allah tidak perlu diwakilkan oleh stau orang manusia biasa.

James Cardinal Gibbons, Uskup Agung Katolik, mengatakan ”Yesus Tuhan kita hanya mendirikan satu Gereja yang dia bangun di atas Petrus, oleh karena itu setiap Gereja yan tidak mengakui Petrus sebagai batu dasar tidaklah merupakan Gereja Kristus, dan karena itu tidak dapat bertahan, sebab itu bukanlah karya Allah.” (The Faith of Our Fathers, hal. 82). Rasul Paulus dalam 1 Korintus 3:11 mengatakan “Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus.”

Penulis Katolik seirng berbicara tentang ”Primasi Petrus” dan ”Primasi Paus” tetapi Kolose 1:18 mengatakan Kristuslah pemegang primasi dalam segala hal, tidak ada ruang bagi Paus! Lihat juga dalam Buku Catholic Answer by Martin J. Scott hal. 49 “Paus sebagai wakil Kristus adalah kepala kelihatan dari kerajaan Kristus di bumi, yaitu Gereja, yang mana Kristus sendiri adalah kepala yang tak kelihatan. Buku Father Smith Instructs Jackson by John F. Noll and Lester J. Fallon hal. 42 “Menurut kehendak Kristus, semua anggotanya mengakui iman yang sama , memiliki ibadah dan sakramen yang sama, dan dipersatukan di bawah satu kepala yang sama yaitu Paus.” Pejabat Katolik selalu mengatakan kata ”kelihatan” (visible), keungkinan dengan maksud untuk menghindari kesan bahwa Paus menyaingi kepemimpinan Kristus, tetapi Kitab Suci tidak pernah mengajarkan anaya kepala yang kelihatan dan tak kelihatan. Lihat Kristus sebagai satu-satunya kepala dalam Matius 28:18; Lukas 17:20-21; Efesus 5:23-25.

KGK hal. 59 mengatakan ”Satu Gembala” adalah Paus, dan ”Satu Kawanan” adalah Gereja Katolik Roma, namun lihat Yohanes 10:11, 14-16 tentang Yesus sebagai satu-satunya ”Gembala Yang Baik”, Lukas 22:24-26 tentang pertengkaran diantara murid-murid Yesus tentang siapa yang dianggap terbesar diantara mereka.

Tanggapan Tim DKC:

Sikap Gereja Katolik Terhadap Kebenaran

Gereja Katolik tidak menghalangi umatnya untuk mencari kebenaran atau mengkritik doktrinnya. Sebaliknya, Gereja mendorong penelitian yang mendalam dan perenungan iman. Iman Katolik didasarkan pada pewahyuan ilahi, yang diyakini Gereja telah dilestarikan dan diturunkan melalui Tradisi Suci dan Kitab Suci. Bagi umat Katolik, kebenaran bukanlah sekadar konsep yang dapat didefinisikan secara individual, melainkan sesuatu yang diwahyukan oleh Tuhan dan dijaga oleh Magisterium (otoritas pengajaran Gereja). Mempelajari perspektif lain atau kritik adalah bagian dari dialog yang lebih luas, tetapi ini dilakukan dalam konteks pencarian pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran yang diyakini telah diwahyukan. Gereja percaya bahwa dalam proses ini, umat akan menemukan keselarasan, bukan kontradiksi, antara iman dan akal.

Kecukupan Kitab Suci untuk Keselamatan

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kitab Suci adalah Firman Tuhan yang terinspirasi dan tidak mengandung kesalahan dalam hal kebenaran yang diperlukan untuk keselamatan. Namun, Gereja juga menekankan bahwa Tradisi Suci (penyampaian iman yang hidup melalui ajaran, liturgi, dan kehidupan Gereja) dan Magisterium (otoritas pengajaran Gereja) adalah bagian integral dari pewahyuan ilahi. Ini bukan berarti Kitab Suci tidak cukup, melainkan bahwa pemahaman penuh tentang keselamatan dan iman Kristiani memerlukan ketiga pilar ini yang saling berhubungan.

Gereja percaya bahwa Kitab Suci lahir dari dalam Gereja, bukan di luar daripadanya. Para Rasul mewartakan Injil, dan sebagian dari pewartaan itu kemudian dituliskan dalam Kitab Suci. Namun, tidak semua yang diajarkan Yesus dan para Rasul tertulis dalam Kitab Suci. Oleh karena itu, Tradisi Suci membantu melengkapi pemahaman kita. Sebagai contoh, daftar kitab-kitab dalam Kitab Suci (kanon) sendiri ditetapkan oleh Tradisi Gereja. Tanpa Tradisi, kita tidak akan tahu kitab mana yang termasuk Kitab Suci.

Ayat-ayat yang dikutip oleh J. Riggs (misalnya 2 Timotius 3:15-17) menegaskan kekuatan Kita Suci untuk mengajar, tetapi ini tidak meniadakan peran Tradisi dan Magisterium dalam menafsirkan dan menerapkan kebenaran Kitab Suci secara benar. Gereja melihat dirinya sebagai pelayan Firman Tuhan, bukan di atasnya.

Ketidaksalahan Gereja

Dogma infalibilitas Gereja tidak berarti bahwa setiap individu Katolik atau setiap tindakan Gereja tidak dapat berbuat salah. Sebaliknya, itu berarti bahwa ketika Paus, dalam kapasitasnya sebagai kepala Gereja, atau para uskup dalam kesatuan dengan Paus, secara definitif menyatakan doktrin iman atau moral, mereka dilindungi dari kesalahan oleh Roh Kudus. Infalibilitas ini diyakini sebagai karunia dari Kristus untuk menjaga umat-Nya dalam kebenaran dan kesatuan.

Gereja mengakui bahwa ada banyak contoh kelemahan manusia dan dosa dalam sejarahnya, tetapi ini tidak menghalangi janji Kristus untuk tetap bersama Gereja-Nya dan membimbingnya dalam kebenaran penting. Perjanjian Baru memang memperingatkan tentang kemurtadan, tetapi ini dipahami sebagai peringatan bagi individu dan kelompok tertentu, bukan sebagai indikasi bahwa seluruh Gereja yang didirikan Kristus akan sepenuhnya sesat. Sebaliknya, Gereja Katolik percaya bahwa ia telah melestarikan suksesi apostolik dan ajaran-ajaran fundamental yang diwariskan dari para Rasul.

Petrus sebagai Paus

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Yesus Kristus mendirikan Gereja-Nya di atas Rasul Petrus (Matius 16:18-19). Kata-kata Yesus kepada Petrus (“Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku”) dipahami sebagai penugasan khusus kepada Petrus sebagai kepala dan fondasi yang terlihat dari Gereja. Petrus bukanlah fondasi yang menggantikan Kristus, tetapi ia adalah fondasi yang ditunjuk oleh Kristus, yang melaluinya Kristus membangun Gereja-Nya. Kristus tetap menjadi batu penjuru utama, dan Petrus adalah batu karang yang dibangun di atasnya.

Gelar-gelar seperti “Bapa Suci” atau “Wakil Kristus” bagi Paus tidak berarti Paus mengambil tempat Tuhan. Sebaliknya, “Wakil Kristus” berarti Paus bertindak atas nama Kristus di bumi sebagai gembala umat beriman, sebagaimana Yesus sendiri memberikan otoritas “mengikat dan melepaskan” kepada Petrus. Ini adalah peran pelayanan dan tanggung jawab, bukan supremasi pribadi.

Perdebatan di antara para Rasul tentang siapa yang terbesar menunjukkan bahwa mereka adalah manusia yang belum sepenuhnya memahami sifat kepemimpinan dalam Kerajaan Allah. Yesus mengajarkan kepada mereka bahwa yang terbesar adalah pelayan dari semua (Markus 9:35). Kepemimpinan Petrus dalam Gereja awal, seperti yang terlihat dalam Kitab Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus, menunjukkan peran utama yang dimilikinya.

Gereja Katolik memandang suksesi Petrus, yaitu kepemimpinan Paus, sebagai sarana yang diperlukan untuk menjaga kesatuan dan keaslian iman di seluruh dunia. Ini adalah bagian dari rencana ilahi untuk memimpin umat-Nya.

Singkatnya, perspektif Katolik menekankan bahwa iman dan pemahaman tentang pewahyuan ilahi adalah sebuah kesatuan yang mencakup Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium, dengan kepemimpinan Petrus sebagai kunci untuk menjaga kesatuan dan kebenaran ajaran.

Apakah ada aspek spesifik lain dari argumen David J. Riggs yang ingin Anda diskusikan lebih lanjut dari sudut pandang Katolik?

Penyebab Kegelisahan Patris Smith dengan Menayangkan Video di atas Kemungkinan karena ”Pencarian “Cara Menjadi Katolik” Melonjak di Seluruh Dunia Usai Paus Fransiskus Wafat”
Sumber Zenit, Catholic Vote
KOMPAS.com - Selain duka mendalam yang dirasakan umat Katolik, wafatnya Paus Fransiskus pada Selasa (21/4/2025) juga memicu adanya peningkatan minat masyarakat global terhadap agama Katolik.  Hal itu terlihat dari meningkatnya pencarian frasa “How to Become Catholic” atau “bagaimana cara menjadi Katolik” di internet.

Paus Fransiskus yang wafat dalam usia 88 tahun, terakhir kali muncul di hadapan publik saat memimpin Misa Hari Raya Paskah, Minggu (20/4/2025). Ia dimakamkan pada Sabtu (26/4/2025) di Basilika Santa Maria Maggiore, Roma.

Semasa hidupnya, Paus dikenal luas karena sikap rendah hati dan perhatiannya terhadap kaum terpinggirkan.

Lonjakan Pencarian yang Tidak Biasa
Dikutip dari Zenit News, Selasa (13/5/2025), pencarian daring untuk frasa “How to Become Catholic” melonjak sebesar 373 persen di kanal pencarian Google. Lonjakan ini terjadi di minggu yang sama dengan Paus Fransiskus tutup usia, tepatnya pada hari Minggu (20/4/2025) yang bertepatan dengan Minggu Paskah, hingga Sabtu (26/4/2025). Seorang analis perjalanan dari Vatican Tickets & Tours, Magdalena Petrusic, menjelaskan bahwa data pencarian yang ia lakukan pada saat itu menunjukkan pola yang berbeda dari biasanya.

“Kami terbiasa melihat lonjakan dalam pencarian pariwisata atau acara ketika seorang tokoh agama besar meninggal. Tapi kali ini berbeda. Orang-orang tidak merencanakan perjalanan – mereka mencari pertobatan,” ujar Petrusic.

Ia juga mengatakan bahwa hal itu menandai adanya fenomena spiritual yang dipicu oleh momen terakhir dari sosok yang dikenal, serta kematian yang mendadak dari Paus Fransiskus.

Fransiskus dikenal luas karena kerendahan hatinya, seruan untuk keadilan ekologis, dan penekanan pada belas kasih ketimbang penghakiman.

Kepemimpinannya ditandai oleh tindakan-tindakan sederhana seperti membayar sendiri tagihan hotelnya atau membasuh kaki para pengungsi.

Minat Spiritual Generasi Muda
Dikutip dari Zenit News, laporan bertajuk The Quiet Revival yang diterbitkan oleh Bible Society mencatat bahwa minat terhadap Kekristenan, khususnya di kalangan generasi muda (usia 18–34 tahun) mengalami peningkatan signifikan.

Pada tahun 2018, hanya 23 persen dari kalangan ini yang menyatakan tertarik pada praktik agama Katolik. Pada tahun 2024, angka tersebut meningkat menjadi 41 persen.

Sosiolog agama dari Universitas Oxford, Dr. Alina Meredith menyatakan bahwa tren ini menunjukkan perubahan spiritualitas pada generasi muda.

“Orang-orang dulu mengira generasi muda akan meninggalkan iman. Namun, itu hanya setengah benar. Yang terjadi bukan penolakan terhadap keyakinan, tetapi terhadap ritual yang dianggap kosong. Generasi muda kini beralih ke bentuk ekspresi iman yang memiliki tujuan,” kata Meredith.

Dikutip dari laman CatholicVote, sejumlah keuskupan di Amerika Serikat dan juga Prancis mengatakan bahwa jumlah umat Katolik yang bergabung dengan Gereja selama Misa malam mencapai rekor tertinggi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa ketertarikan terhadap iman Katolik bukan hanya terjadi secara digital, tetapi juga tercermin secara nyata dalam komunitas dan ritual keagamaan.1

Tayangan Video Romo Ndeso tentang ”KASIH”

Kesalahkaprahan Narasi Reformasi Gereja Abad Ke-16 dalam Perspektif Ajaran Gereja Katolik: Analisis Teologis, Historis, dan Eklesiologis

Pendahuluan

Reformasi Gereja pada abad ke-16, yang dipelopori oleh Martin Luther, John Calvin, dan Ulrich Zwingli, sering dipahami sebagai gerakan pembaruan untuk memperbaiki penyimpangan dalam Gereja Katolik. Narasi populer menggambarkan para reformator sebagai pahlawan yang melawan korupsi institusional, sementara Gereja Katolik digambarkan sebagai lembaga yang kaku dan korup. Namun, dari perspektif ajaran Gereja Katolik, narasi ini mengandung kesalahkaprahan signifikan, baik secara teologis, historis, maupun eklesiologis.

Dalam konteks ini, kesalahkaprahan merujuk pada pemahaman atau penafsiran yang keliru tentang “Reformasi” Gereja abad ke-16, baik dalam aspek teologis, historis, maupun eklesiologis, sebagaimana dilihat dari perspektif ajaran Gereja Katolik.

Tulisan ini menganalisis kesalahkaprahan tersebut secara mendalam dan kritis, dengan memeriksa doktrin-doktrin reformator, konteks historis yang kompleks, dan dampak perpecahan terhadap kesatuan Gereja.

Distorsi Teologis dalam Ajaran Reformasi

Sola Scriptura: Penolakan Tradisi dan Magisterium

Salah satu pilar utama “Reformasi” adalah doktrin sola scriptura, yang dikemukakan oleh Martin Luther. Doktrin ini menyatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya otoritas dalam iman dan praktik Kristen. Dalam pandangan Katolik, doktrin ini bermasalah karena mengabaikan peran Tradisi Suci dan Magisterium Gereja sebagai sumber otoritas wahyu yang saling melengkapi.

Menurut Katekismus Gereja Katolik, Kitab Suci dan Tradisi Suci membentuk satu depositum iman yang ditafsirkan oleh Magisterium, yang menjamin kebenaran doktrinal (Catechism of the Catholic Church, 1994). Penolakan Luther terhadap Tradisi Suci mengesampingkan fakta bahwa Gereja, melalui konsili-konsili seperti Nicea (325 M) dan Konstantinopel (381 M), konsili Roma (382 M), konsili Hippo (393 M) dan Kartago (397 M), menetapkan kanon Alkitab dan merumuskan doktrin-doktrin inti seperti Trinitas dan Inkarnasi (Denzinger, 2012).

Tanpa Tradisi, interpretasi Alkitab menjadi subjektif, yang terbukti dari perbedaan pandangan antar-reformator sendiri, seperti dalam Kolokium Marburg (1529), di mana Luther dan Zwingli gagal mencapai konsensus tentang Ekaristi (MacCulloch, 2003).

Sola Fide: Justifikasi Tanpa Perbuatan

Doktrin sola fide Luther menyatakan bahwa manusia dibenarkan hanya melalui iman tanpa peran perbuatan baik. Hal ini bertentangan dengan ajaran Katolik. Berdasarkan Yakobus 2:17, Gereja Katolik menegaskan bahwa iman harus diwujudkan dalam perbuatan agar menjadi hidup. Konsili Trente (1545–1563), dalam Dekret tentang Justifikasi, menegaskan bahwa keselamatan melibatkan kerja sama antara rahmat Allah dan respons manusia melalui iman dan perbuatan (Tanner, 1990). Luther, dengan menolak peran perbuatan, memisahkan iman dari kasih, yang dalam teologi Katolik merupakan satu kesatuan. Analisis kritis menunjukkan bahwa sola fide cenderung mengarah pada individualisme teologis, yang melemahkan dimensi komunal iman Kristen sebagaimana diajarkan dalam tradisi apostolik (Ratzinger, 2007).

Sakramen dan Ekaristi: Penyimpangan dari Transubstansiasi

Ajaran tentang sakramen, khususnya Ekaristi, menjadi titik perpecahan lain. Ulrich Zwingli memandang Ekaristi sebagai simbol belaka, sementara John Calvin menekankan kehadiran spiritual Kristus, bukan kehadiran nyata.

Dalam pandangan Katolik, transubstansiasi—yang menegaskan bahwa roti dan anggur benar-benar berubah menjadi tubuh dan darah Kristus—merupakan inti iman, sebagaimana ditegaskan dalam Konsili Lateran IV (1215) dan Konsili Trente (Tanner, 1990).

Penolakan reformator terhadap transubstansiasi tidak hanya menyederhanakan makna sakramen, tetapi juga menghilangkan dimensi rahmat nyata yang diberikan melalui Ekaristi (Cross & Livingstone, 2005). Perbedaan pandangan antar-reformator tentang Ekaristi, seperti ketegangan antara Luther (yang mempertahankan konsubstansiasi) dan Zwingli, menunjukkan inkonsistensi teologis dalam gerakan Reformasi (Abineno, 1990).

Analisis Kritis Teologis

Doktrin-doktrin Reformasi mencerminkan upaya untuk menyederhanakan iman Kristen, tetapi dalam prosesnya, mereka memutuskan hubungan dengan tradisi apostolik yang telah membentuk Kekristenan selama berabad-abad. Penolakan terhadap Tradisi Suci dan Magisterium menghasilkan pluralisme teologis yang memecah belah, sementara sola fide dan pandangan simbolis tentang sakramen mengabaikan keseimbangan antara rahmat dan respons manusia. Dari perspektif Katolik, distorsi ini bukanlah koreksi, melainkan penyimpangan yang mengorbankan kebenaran doktrinal (McGrath, 2006).

Konteks Historis yang Disalahpahami

Reformasi Internal Gereja Katolik

Narasi “Reformasi” sering menggambarkan Gereja Katolik abad ke-16 sebagai institusi yang korup secara menyeluruh, sehingga membenarkan pemisahan diri para reformator. Namun, konteks historis menunjukkan bahwa Gereja telah memulai reformasi internal jauh sebelum

Luther. Konsili Konstanz (1414–1418) mengatasi skisma kepausan, sementara gerakan devotio moderna di Belanda mendorong pembaruan spiritualitas pribadi (Oakley, 1979). Konsili Trente sendiri memperbaiki praktik-praktik bermasalah seperti penjualan indulgensi, memperketat disiplin klerus, dan mendirikan seminari untuk pendidikan imam yang lebih baik (Kristiyanto, 2009). Upaya ini menunjukkan bahwa Gereja Katolik memiliki kapasitas untuk mereformasi diri tanpa memerlukan skisma.

Pengaruh Faktor Politik dan Sosial

Reformasi tidak dapat dipahami hanya sebagai gerakan teologis, tetapi juga sebagai fenomena politik dan sosial. Di Jerman, Luther mendapat dukungan dari para pangeran yang ingin melemahkan otoritas Kaisar Romawi Suci dan Paus, seperti yang terlihat dalam Liga Schmalkalden (1531) (González, 2010). Di Swiss, Zwingli didukung oleh otoritas sipil di Zürich untuk memperkuat otonomi lokal (Bouwsma, 1993), sementara Calvin di Jenewa membentuk aliansi dengan pemerintah kota untuk menerapkan visi teokratisnya (Iserloh, 1993). Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa “Reformasi” sering dimotivasi oleh kepentingan sekuler, bukan hanya keinginan untuk pembaruan spiritual. Narasi yang hanya menekankan korupsi Gereja mengabaikan dinamika politik ini.

Peran Renaissance dan Mesin Cetak

Renaissance, dengan humanisme dan penekanan pada individualisme, menciptakan iklim intelektual yang mendorong kritik terhadap otoritas Gereja. Mesin cetak Gutenberg memungkinkan penyebaran ide-ide Luther melalui pamflet dan terjemahan Alkitab, tetapi juga mempercepat polarisasi dengan menyebarkan propaganda anti-Katolik (Rublack, 2022). Faktor-faktor eksternal ini memperkuat dampak Reformasi, tetapi narasi populer sering mengabaikan peran mereka, dengan fokus hanya pada motif teologis para reformator.

Analisis Kritis Historis

Penyederhanaan konteks historis dalam narasi “Reformasi” menciptakan kesan bahwa Gereja Katolik tidak mampu memperbaiki diri, padahal upaya reformasi internal telah ada sebelum dan selama periode Reformasi. Faktor politik, sosial, dan budaya memainkan peran besar dalam mempercepat skisma, tetapi sering diabaikan demi narasi heroik tentang para reformator. Analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa Reformasi adalah hasil dari interaksi kompleks antara teologi, politik, dan budaya, bukan sekadar respons terhadap korupsi Gereja (MacCulloch, 2003).

Dampak Fragmentasi terhadap Kesatuan Gereja

Skisma dan Denominasionalisme

Narasi Reformasi sering meromantisasi gerakan ini sebagai pembebasan dari otoritas Gereja yang kaku. Namun, dari perspektif Katolik, Reformasi menyebabkan perpecahan yang merusak kesatuan tubuh Kristus, sebagaimana dinyatakan dalam doa Yesus: “Supaya mereka semua menjadi satu” (Yohanes 17:21). Reformasi menghasilkan berbagai denominasi Protestan – Lutheranisme, Calvinisme, Zwinglianisme, dan Anabaptisme – yang masing-masing memiliki interpretasi teologis yang berbeda. Konsili Vatikan II (1962–1965), dalam dokumen Lumen Gentium, menegaskan bahwa kesatuan adalah ciri esensial Gereja sebagai tubuh Kristus (Lumen Gentium, 1964). Fragmentasi ini juga memicu konflik berdarah, seperti Perang Tiga Puluh Tahun (1618–1648), yang menewaskan jutaan orang dan memperdalam perpecahan antar-Kristen (Eddy, 2008).

Penolakan Suksesi Apostolik

Para reformator menolak suksesi apostolik, yaitu otoritas yang diturunkan dari Kristus melalui Petrus dan para rasul kepada uskup dan Paus (Matius 16:18). Dalam pandangan Katolik, suksesi apostolik adalah jaminan kesinambungan doktrinal dan kesatuan Gereja (Ratzinger, 2007). Penolakan ini oleh Luther, Calvin, dan Zwingli melemahkan struktur hierarkis Gereja, sebagai institusi yang didirikan oleh Kristus untuk menjaga iman. Akibatnya, muncul pluralisme teologis yang tidak hanya memisahkan Protestan dari Katolik, tetapi juga menciptakan perpecahan di antara kelompok-kelompok Protestan sendiri.

Kontroversi Internal dalam Protestantisme

Ketidaksepakatan antar-reformator, seperti perdebatan tentang Ekaristi di Kolokium Marburg, menunjukkan bahwa Reformasi gagal menciptakan kesatuan doktrinal. Luther mempertahankan pandangan konsubstansiasi, Zwingli menganggap Ekaristi sebagai simbol, dan Calvin menawarkan kompromi dengan kehadiran spiritual (Abineno, 1990). Ketidaksepakatan ini mengarah pada fragmentasi lebih lanjut, dengan munculnya denominasi-denominasi yang saling bersaing. Dari perspektif Katolik, ini menegaskan bahwa penolakan terhadap otoritas apostolik menghasilkan kekacauan teologis, bukan pembaruan yang terarah.

Analisis Kritis Eklesiologis

Reformasi, meskipun dimulai dengan niat memperbaiki Gereja, justru menghasilkan skisma yang bertentangan dengan visi eklesiologis Katolik tentang Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, sebagaimana dinyatakan dalam Kredo Nicea (Denzinger, 2012). Dampak jangka panjangnya—fragmentasi, konflik, dan hilangnya otoritas apostolik—menunjukkan bahwa Reformasi tidak hanya gagal mencapai kesatuan, tetapi juga memperdalam perpecahan dalam Kekristenan. Narasi yang mengagungkan Reformasi sebagai pembebasan spiritual mengabaikan konsekuensi eklesiologis ini.

Kesimpulan

Dari perspektif ajaran Gereja Katolik, narasi Reformasi abad ke-16 oleh Martin Luther, John Calvin, dan Ulrich Zwingli mengandung kesalahkaprahan signifikan. Secara teologis, doktrin-doktrin seperti sola scriptura, sola fide, dan penolakan transubstansiasi menyimpang dari tradisi apostolik, menciptakan pluralisme teologis yang memecah belah. Secara historis, narasi Reformasi menyederhanakan konteks dengan mengabaikan upaya reformasi internal Gereja dan peran faktor politik, sosial, dan budaya seperti Renaissance dan mesin cetak. Secara eklesiologis, Reformasi menyebabkan fragmentasi yang merusak kesatuan Gereja, bertentangan dengan visi Kristus tentang tubuh-Nya yang satu. Konsili Trente dan Kontra-Reformasi menunjukkan bahwa Gereja Katolik mampu memperbaiki diri tanpa mengorbankan doktrin atau kesatuan. Analisis ini, yang didukung oleh sumber-sumber primer dan sekunder kredibel, mengajak pembaca untuk memahami Reformasi secara kritis, dengan menghormati kompleksitas teologis, historis, dan eklesiologisnya, serta menghindari narasi yang terlalu heroik dan menyederhanakan, serta narasi romantisme reformasi abad-16.2

The Evangelization Station: Luther’s Morals

Romo William Most
1. Surat kepada Melanchthon, 1 Agustus 1521 (American Edition, Luther’s Works , vol. 48, hlm. 281-82, diedit oleh H. Lehmann, Fortress, 1963): “Jika engkau seorang pengkhotbah kasih karunia, maka beritakanlah kasih karunia yang sejati dan bukan yang dibuat-buat; jika kasih karunia itu benar, engkau harus menanggung dosa yang sejati [hlm. 282] dan bukan yang dibuat-buat. Allah tidak menyelamatkan orang-orang yang hanya merupakan orang-orang berdosa yang dibuat-buat. Jadilah orang berdosa dan berbuat dosa dengan berani, tetapi percayalah dan bersukacitalah di dalam Kristus dengan lebih berani lagi… . selama kita berada di sini [di dunia ini] kita harus berbuat dosa… . Tidak ada dosa yang akan memisahkan kita dari Anak Domba, meskipun kita melakukan percabulan dan pembunuhan seribu kali sehari. ”

Ketika Pendeta Protestan Beralih Menjadi Katolik oleh Patrick Chisholm
Dalam beberapa dekade terakhir, ratusan bahkan ribuan pendeta Protestan telah meninggalkan panggilan mereka untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Fenomena ini cukup sering terjadi sehingga ada sebuah organisasi, yang disebut Coming Home Network International, yang didedikasikan untuk membantu mereka dengan aspek-aspek praktis dalam meninggalkan karier dan beralih ke Katolik. Ini adalah keputusan yang sulit, itulah sebabnya kemungkinan besar banyak pendeta tidak melakukannya meskipun mereka mungkin telah menyadari bahwa Gereja Katolik Roma adalah gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus 2.000 tahun yang lalu. Mereka sering kali harus meninggalkan pekerjaan, rencana asuransi kesehatan, dan status mereka di masyarakat, dan mungkin ditinggalkan oleh teman-teman dan bahkan anggota keluarga. Namun, seperti yang diutarakan oleh Coming Home Network, “Pada saat yang sama, rasa sukacita dan penemuan merasuki setiap perjalanan. Mendekat ke Gereja Katolik berarti mendekat ke Yesus, Tuhan dan Juru Selamat kita.”3

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya