LIVE DKC [63-2025] SABTU, 17 MEI 2025 PUKUL 19:00 WIB: PAUS MENGKLAIM WAKIL KRISTUS DI BUMI! @EsraAlfredSoru @pdt.erastussabdono2349
Merespon Video Pdt. Esra Soru tentang Klaim Paus sebagai Wakil Kristus di Bumi
Dalam video ini Esra Soru menyatakan bahwa Paus memiliki kekuasaan rohani tertinggi dan dianggap melampaui semua penguasa sekuler lainnya.
Merespon Video Pdt. Erastus Sabdono tentang Mengapa di Katolik ada Paus Sementara di Protestan hanya ada Pendeta
Erastus Sabdono menjawab bahwa Kepausan adalah warisan keyakinan dari masa lalu, yaitu dari Petrus ke Paus, kalau Protestan tidak dan mengartikan ’batu karang” adalah keyakinan/ iman atau konsep bahwa Yesus adalah Juruselamat, bukan manusia.
PAUS – Gembala Utama Seluruh Gereja, Vikaris Kristus di Bumi
Hakikat Dan Luas Kekuasaan Paus
Bagian ini dibagi sebagai berikut: (1) yurisdiksi koersif universal Paus; (2) yurisdiksi langsung dan biasa Paus terhadap semua umat beriman, baik secara individu maupun kolektif; (3) hak untuk menerima banding dalam semua perkara gerejawi. Hubungan otoritas Paus dengan konsili ekumenis, dan dengan kekuasaan sipil, dibahas dalam artikel terpisah (lihat Konsili Umum; Kesetiaan Sipil).
(1) Kristus tidak hanya mengangkat Santo Petrus sebagai kepala Gereja, tetapi dalam kata-kata, “Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di surga, dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga,” Ia menunjukkan ruang lingkup kepemimpinan ini. Ungkapan mengikat dan melepaskan yang digunakan di sini berasal dari terminologi sekolah-sekolah Rabbinik saat ini. Seorang dokter yang menyatakan sesuatu dilarang oleh hukum dikatakan mengikat (Ibrani: ASK), karena dengan demikian ia memaksakan kewajiban pada hati nurani. Dia yang menyatakannya halal dikatakan melepaskan (Ibrani: HTYK, SRA Aram). Dengan cara ini istilah-istilah tersebut masing-masing berarti perintah dan izin resmi secara umum. Oleh karena itu, kata-kata Kristus, sebagaimana dipahami oleh para pendengar-Nya, menyampaikan janji kepada Santo Petrus tentang otoritas legislatif di dalam kerajaan tempat Ia baru saja menempatkannya, dan otoritas legislatif disertai dengan otoritas yudisial sebagai pelengkap yang diperlukan. Selain itu, kekuasaan yang diberikan dalam hal ini bersifat penuh. Hal ini ditunjukkan dengan jelas oleh keumuman istilah yang digunakan: “Apa pun yang kauikat; Apa pun yang kaulepaskan”; tidak ada yang ditahan. Lebih jauh, otoritas Petrus tidak tunduk kepada atasan duniawi mana pun. Hukuman yang ia berikan harus segera disahkan di surga. Hukuman itu tidak memerlukan persetujuan sebelumnya dari pengadilan lain mana pun. Ia independen dari siapa pun kecuali Sang Guru yang mengangkatnya. Oleh karena itu, kata-kata tentang kuasa mengikat dan melepaskan menjelaskan janji kunci-kunci yang mendahuluinya. Kata-kata itu menjelaskan dalam pengertian apa Petrus adalah gubernur dan kepala kerajaan Kristus Gereja, dengan menjanjikan kepadanya otoritas legislatif dan yudisial dalam pengertian sepenuhnya. Dengan kata lain, Petrus dan para penerusnya memiliki kuasa untuk memberlakukan hukum baik yang bersifat preseptif maupun yang bersifat larangan, kuasa juga untuk memberikan dispensasi dari hukum-hukum ini, dan, jika diperlukan, untuk membatalkannya. Mereka berwenang untuk mengadili pelanggaran terhadap hukum, untuk mengenakan dan mengampuni hukuman. Otoritas yudisial ini bahkan akan mencakup kuasa untuk mengampuni dosa. Sebab dosa adalah pelanggaran hukum kerajaan adikodrati, dan berada di bawah pengawasan para hakim yang ditetapkan. Akan tetapi, karunia kuasa khusus ini tidak diungkapkan dengan jelas sepenuhnya dalam bagian ini. Diperlukan kata-kata Kristus (lih. Yohanes 20:23) untuk menghilangkan semua ambiguitas. Lebih jauh, karena Gereja adalah kerajaan kebenaran, sehingga catatan penting dalam semua anggotanya adalah tindakan ketundukan yang dengannya mereka menerima doktrin Kristus secara keseluruhan, kuasa tertinggi dalam kerajaan ini disertai dengan magisterium tertinggi – otoritas untuk menyatakan doktrin itu dan menetapkan aturan iman yang wajib bagi semua orang. Di sini, Petrus tidak tunduk kepada siapa pun kecuali Gurunya sendiri; ia adalah guru tertinggi sebagaimana ia adalah penguasa tertinggi. Akan tetapi, kekuasaan luar biasa yang diberikan dengan demikian dibatasi dalam ruang lingkupnya dengan merujuk kepada tujuan-tujuan kerajaan dan hanya kepada tujuan-tujuan itu saja. Wewenang Petrus dan para penerusnya tidak melampaui lingkup ini. Mereka tidak terlibat dalam hal-hal yang sepenuhnya berada di luar Gereja.
Para penganut Protestan yang kontroversial berpendapat keras bahwa kata-kata, “Apa pun yang engkau ikat, dsb.”, tidak memberikan hak prerogatif khusus kepada Petrus, karena karunia yang persis sama, menurut mereka, diberikan kepada semua Rasul (lih. Matius18:18). Tentu saja, dalam bagian itu kata² yang sama digunakan sehubungan dengan kedua belas rasul. Namun, ada perbedaan yang nyata antara karunia kepada Petrus dan yang diberikan kepada yang lain. Dalam kasusnya, karunia itu terkait dengan kuasa kunci, dan kuasa ini, seperti yang telah kita lihat, menandakan otoritas tertinggi atas seluruh kerajaan. Karunia itu tidak diberikan kepada kesebelas rasul lainnya: dan karunia yang diberikan Kristus kepada mereka dalam Matius18:18, diterima oleh mereka sebagai anggota kerajaan, dan sebagai orang yang tunduk pada otoritas dia yang seharusnya menjadi wakil Kristus di bumi. Sebenarnya ada paralelisme yang mencolok antara Matius16:19, dan kata-kata yang digunakan dalam referensi kepada Kristus Sendiri dalam Apoc., iii, 7: “Barangsiapa memegang kunci Daud; barangsiapa membuka, dan tidak seorang pun dapat menutup; barangsiapa menutup, dan tidak seorang pun dapat membukanya.” Dalam kedua kasus, klausa kedua menyatakan makna dari klausa pertama, dan kuasa yang dilambangkan dalam klausa pertama dengan metafora kunci-kunci adalah yang tertinggi. Perlu dicatat bahwa Kitab Suci tidak mengaitkan kuasa kunci-kunci itu kepada siapa pun kecuali kepada Kristus dan wakil-Nya yang dipilih.1
1. Dasar Teologis: Paus sebagai Wakil Kristus
Konsep Paus sebagai “Wakil Kristus” berakar pada keyakinan Gereja Katolik bahwa Paus adalah penerus Santo Petrus, yang dianggap sebagai “batu karang” (Mat 16:18) dan pemimpin Gereja yang ditunjuk langsung oleh Yesus Kristus. Landasan utamanya meliputi:
a. Kitab Suci
Matius 16:18-19: Yesus berkata kepada Petrus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku… Aku akan memberikan kepadamu kunci Kerajaan Sorga…” Ayat ini diinterpretasikan sebagai penunjukan Petrus sebagai pemimpin tertinggi Gereja dengan otoritas untuk “mengikat dan melepaskan” (mengatur dan mengampuni dalam nama Kristus).
Yohanes 21:15-17: Yesus memerintahkan Petrus untuk “menggembalakan domba-domba-Ku,” menegaskan peran Petrus sebagai gembala umat.
Lukas 22:31-32: Yesus berdoa agar iman Petrus tidak gagal dan memerintahkannya untuk “menguatkan saudara-saudaranya,” menunjukkan peran kepemimpinan spiritual.
b. Tradisi Suci
Gereja Katolik memandang Tradisi Suci (penyampaian ajaran melalui para Rasul dan penerusnya) sebagai sumber otoritas bersama Kitab Suci. Sejak abad pertama, para Bapa Gereja seperti Klemens dari Roma (abad ke-1) dan Irenaeus dari Lyons (abad ke-2) mengakui keutamaan Uskup Roma sebagai penerus Petrus. Irenaeus dalam Adversus Haereses menyatakan bahwa Gereja Roma memiliki “kepemimpinan yang lebih besar” karena didirikan oleh Petrus dan Paulus.
c. Doktrin Magisterium
Konsili Vatikan I (1870): Dalam konstitusi Pastor Aeternus, Gereja menetapkan dogma Primasi Paus dan Infallibilitas Paus (ketidakmungkinan salah dalam pengajaran iman dan moral ketika berbicara ex cathedra). Primasi Paus berarti Paus memiliki otoritas penuh dan tertinggi atas seluruh Gereja sebagai wakil Kristus.
Konsili Vatikan II (1962-1965): Dalam dokumen Lumen Gentium (no. 18-27), Paus digambarkan sebagai “gembala dan guru tertinggi” yang bertindak atas nama Kristus untuk menjaga kesatuan dan kebenaran iman.
Katekismus Gereja Katolik (KGK): KGK 882 menyatakan, “Paus, Uskup Roma dan penerus Santo Petrus, adalah prinsip dan dasar kesatuan yang tetap… Ia memiliki kuasa penuh, tertinggi, dan universal atas seluruh Gereja.”
2. Makna “Wakil Kristus”
Istilah Vicarius Christi (Latin: Wakil Kristus) menegaskan bahwa Paus bertindak sebagai perwakilan Kristus di bumi dalam memimpin Gereja. Ini tidak berarti Paus menggantikan Kristus atau memiliki kuasa ilahi, tetapi ia adalah pelayan (servus servorum Dei, hamba dari para hamba Allah) yang menjalankan otoritas Kristus secara unik. Makna utamanya meliputi:
Kepemimpinan Spiritual: Paus adalah gembala yang memimpin umat menuju keselamatan melalui pengajaran, pengudusan, dan pemerintahan.
Penjaga Iman: Paus bertugas melindungi depositum fidei (warisan iman) dari penyimpangan.
Simbol Kesatuan: Sebagai penerus Petrus, Paus adalah titik referensi kesatuan bagi seluruh Gereja Katolik di seluruh dunia.
3. Sejarah Perkembangan Gelar “Wakil Kristus”
Gelar Vicarius Christi tidak langsung digunakan sejak awal, tetapi berkembang seiring waktu:
Abad Awal (1-4): Uskup Roma diakui sebagai penerus Petrus, tetapi otoritasnya lebih bersifat moral dan pastoral. Misalnya, Klemens I menulis surat kepada Gereja Korintus untuk menyelesaikan konflik, menunjukkan otoritasnya.
Abad Pertengahan (5-15): Gelar Vicarius Christi mulai digunakan secara formal pada abad ke-5 oleh Paus Gelasius I. Pada masa Paus Inosensius III (1198-1216), gelar ini menjadi standar untuk menegaskan otoritas spiritual dan temporal Paus.
Reformasi dan Modern (16-sekarang): Setelah Reformasi Protestan, Gereja Katolik menegaskan kembali peran Paus melalui Konsili Trento (1545-1563) dan Konsili Vatikan I. Pada era modern, Paus seperti Yohanes Paulus II dan Fransiskus menekankan peran Paus sebagai pelayan kasih dan pembawa damai, bukan hanya penguasa.
4. Peran dan Tanggung Jawab Paus sebagai Wakil Kristus
Berdasarkan ajaran Katolik, Paus memiliki tiga fungsi utama:
Mengajar (Munus Docendi): Paus mengajarkan kebenaran iman dan moral, baik melalui ensiklik, homili, maupun pernyataan ex cathedra. Contohnya, dogma Immaculate Conception (1854) oleh Paus Pius IX.
Menguduskan (Munus Sanctificandi): Paus memimpin Gereja dalam ibadat, sakramen, dan kehidupan doa. Ia juga mengkanonisasi orang kudus.
Memerintah (Munus Regendi): Paus mengatur tata kelola Gereja, termasuk penunjukan uskup, pembentukan keuskupan, dan penyelesaian konflik internal.
5. Kontroversi dan Tantangan
Meskipun ajaran tentang Paus sebagai Wakil Kristus diterima penuh dalam Katolisisme, ada beberapa tantangan dan kritik:
Dari Luar Gereja: Denominasi Kristen lain, seperti Protestan dan Ortodoks, menolak primasi Paus, memandangnya sebagai inovasi historis yang tidak sesuai dengan struktur Gereja awal. Ortodoks Timur, misalnya, mengakui Uskup Roma sebagai “yang pertama di antara yang sederajat” (primus inter pares), tetapi tidak dengan otoritas universal.
Dari Dalam Gereja: Beberapa kelompok Katolik tradisionalis mengkritik Paus tertentu (misalnya, Paus Fransiskus) karena dianggap terlalu liberal atau ambigu dalam pengajaran. Sebaliknya, kelompok progresif kadang merasa Paus tidak cukup reformis.
Tantangan Modern: Di era globalisasi, Paus harus menghadapi isu-isu kompleks seperti sekularisme, dialog antaragama, dan krisis moral, sambil tetap mempertahankan otoritas spiritualnya.
6. Relevansi di Dunia Modern
Paus sebagai Wakil Kristus tetap relevan karena:
Kesatuan Iman: Di tengah fragmentasi dunia, Paus menjadi suara moral global, seperti Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ tentang ekologi.
Dialog Antaragama: Paus memainkan peran penting dalam mempromosikan perdamaian, seperti kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Masjid Umayyah di Damaskus (2001).
Kepemimpinan Moral: Paus sering menjadi penutup dalam isu-isu etis, seperti aborsi, euthanasia, dan keadilan sosial.
7. Kesimpulan
Ajaran Gereja Katolik tentang Paus sebagai Wakil Kristus di bumi adalah inti dari struktur hierarkis Gereja, berakar pada Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium. Paus, sebagai penerus Petrus, memiliki otoritas tertinggi untuk mengajar, menguduskan, dan memerintah Gereja atas nama Kristus. Meskipun menghadapi tantangan historis dan modern, peran Paus tetap menjadi pilar kesatuan dan kebenaran iman bagi umat Katolik di seluruh dunia.
Untuk memahami lebih lanjut, sumber seperti Katekismus Gereja Katolik, Lumen Gentium, dan ensiklik kepausan dapat menjadi referensi utama
Paus sebagai “Wakil Kristus di Bumi” (Vicarius Christi): Sebuah Kajian Mendalam
Ajaran Gereja Katolik mengenai Paus sebagai “Wakil Kristus di Bumi” (Vicarius Christi) merupakan pilar utama eklesiologi Katolik. Konsep ini bukan sekadar gelar, melainkan sebuah realitas teologis yang kaya, berakar pada Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium, serta terus berkembang dalam konteks historis dan kontemporer. Memahami peran ini membutuhkan analisis mendalam tentang dimensi Kristologis, eklesiologis, dan pneumatologis, serta implikasi ekumenis dan tantangan yang dihadapi di era modern.
1. Fondasi Teologis yang Lebih Dalam
Konsep Paus sebagai Vicarius Christi melampaui otoritas Petrus, menyentuh inti pemahaman Katolik tentang Kristologi, eklesiologi, dan pneumatologi (peran Roh Kudus dalam Gereja).
a. Dimensi Kristologis
Paus sebagai “Wakil Kristus” mencerminkan keyakinan bahwa Kristus, sebagai Kepala Gereja (Kolose 1:18), tetap memimpin Gereja-Nya secara misterius melalui pelayan manusia. Paus bukanlah pengganti Kristus, melainkan ikon atau sakramen kehadiran Kristus. Teolog Hans Urs von Balthasar menjelaskan bahwa Paus adalah “transparansi” bagi Kristus, yang bertindak in persona Christi (dalam pribadi Kristus) dalam kapasitas tertentu, terutama dalam pengajaran dan pemerintahan. Katekismus Gereja Katolik (KGK 1548-1549) menegaskan bahwa pelayanan hierarkis Gereja, termasuk kepausan, adalah perpanjangan dari pelayanan Kristus sebagai Imam, Nabi, dan Raja.
b. Dimensi Eklesiologis
Dalam dokumen Lumen Gentium (Konsili Vatikan II), Gereja digambarkan sebagai “Tubuh Mistik Kristus” dan “Umat Allah” yang memiliki struktur hierarkis untuk menjaga kesatuan dan misi. Paus, sebagai puncak hierarki, adalah:
Prinsip Kesatuan: Lumen Gentium 23 menyebut Paus sebagai “tanda dan pelayan kesatuan” Gereja universal, yang menghubungkan Gereja lokal (keuskupan) dengan Gereja universal.
Penerus Apostolik: Paus tidak hanya mewarisi otoritas Petrus, tetapi juga berbagi dalam kolegialitas apostolik bersama para uskup. Pastor Aeternus (Konsili Vatikan I) menegaskan bahwa primasi Paus tidak mengurangi otoritas uskup, tetapi memperkuatnya dalam kesatuan.
c. Dimensi Pneumatologis
Roh Kudus memainkan peran kunci dalam menjaga Gereja dari kesalahan, termasuk melalui pelayanan Paus. KGK 892 menjelaskan bahwa Paus dan para uskup menerima “karisma kebenaran tertentu” (charisma veritatis) dari Roh Kudus untuk mengajar iman. Infallibilitas Paus (ex cathedra) dipahami sebagai buah dari bimbingan Roh Kudus, bukan kemampuan pribadi Paus. Misalnya, ketika Paus Pius XII mendefinisikan dogma Assumptio Maria (1950), ia melakukannya setelah konsultasi luas dengan uskup-uskup dunia, mencerminkan karya Roh Kudus melalui Gereja secara kolektif.
d. Teks Kitab Suci yang Lebih Luas
Selain Matius 16:18-19, Yohanes 21:15-17, dan Lukas 22:31-32, teolog Katolik juga menunjuk ayat-ayat lain untuk mendukung peran Paus:
Yesaya 22:22: Gambaran tentang “kunci rumah Daud” yang diberikan kepada Eliakim dianggap sebagai prafigurasi kunci Kerajaan Sorga yang diberikan kepada Petrus.
Efesus 4:11-13: Paulus berbicara tentang pelayanan apostolik untuk membangun Tubuh Kristus, yang dalam tradisi Katolik diwujudkan dalam suksesi apostolik melalui Paus dan uskup.
Kisah Para Rasul 15: Konsili Yerusalem, di mana Petrus memainkan peran kunci (Kisah Para Rasul 15:7-11), dilihat sebagai prototipe otoritas Paus dalam konsili ekumenis.
2. Perkembangan Historis yang Lebih Rinci
Perkembangan konsep Vicarius Christi mencerminkan dinamika antara otoritas spiritual dan temporal, serta adaptasi Gereja terhadap konteks sosial-politik.
a. Gereja Awal (Abad 1-4)
Klemens I (ca. 88-99): Surat Klemens kepada Gereja Korintus menunjukkan bahwa Uskup Roma memiliki otoritas untuk campur tangan dalam urusan Gereja lain, meskipun belum disebut Vicarius Christi.
Ignatius dari Antiokhia (ca. 110): Dalam suratnya, Ignatius menekankan pentingnya kesatuan di bawah uskup, yang kemudian diinterpretasikan sebagai dasar primasi Roma.
Irenaeus (ca. 180): Dalam Adversus Haereses, ia menyebut Gereja Roma sebagai pusat otoritas karena didirikan oleh Petrus dan Paulus, dengan Uskup Roma sebagai penjaga tradisi apostolik.
b. Abad Pertengahan (Abad 5-15)
Paus Leo Agung (440-461): Leo memperkuat otoritas Roma dengan menegaskan bahwa Uskup Roma adalah “penerus Petrus” yang memegang plenitudo potestatis (kuasa penuh). Ia juga menggunakan istilah Vicarius Petri (Wakil Petrus), yang kemudian berkembang menjadi Vicarius Christi.
Paus Gregorius Agung (590-604): Meskipun menyebut dirinya servus servorum Dei (pelayan para pelayan Allah), Gregorius menegaskan otoritas universal Roma dalam surat-suratnya kepada uskup lain.
Paus Inosensius III (1198-1216): Ia secara eksplisit menggunakan Vicarius Christi untuk menegaskan bahwa Paus tidak hanya mewakili Petrus, tetapi juga Kristus sendiri, dengan otoritas spiritual dan temporal. Ini memuncak dalam konflik dengan raja-raja Eropa.
Paus Bonifasius VIII (1294-1303): Dalam bulla Unam Sanctam (1302), ia menyatakan bahwa tunduk kepada Paus adalah syarat keselamatan, meskipun pernyataan ini kemudian dimoderasi oleh teolog modern.
c. Era Reformasi dan Modern (Abad 16-Sekarang)
Konsili Trento (1545-1563): Menanggapi Reformasi Protestan, Trento menegaskan struktur hierarkis Gereja dan otoritas Paus sebagai penjaga iman.
Konsili Vatikan I (1870): Pastor Aeternus mendefinisikan primasi dan infallibilitas Paus secara dogmatis, meskipun memicu kontroversi di kalangan Katolik “Old Catholics” yang menolak dogma ini.
Konsili Vatikan II (1962-1965): Lumen Gentium menyeimbangkan primasi Paus dengan kolegialitas uskup, menekankan bahwa Paus memimpin “bersama dan tidak pernah terpisah dari” uskup-uskup lain.
Paus Modern: Paus Yohanes Paulus II (Ut Unum Sint, 1995) mengundang dialog ekumenis tentang pelaksanaan primasi Paus, sementara Paus Fransiskus (2013-sekarang) menekankan kepausan sebagai pelayanan kasih, misalnya melalui dokumen seperti Amoris Laetitia (2016) dan Fratelli Tutti (2020).
3. Infallibilitas Paus: Analisis Mendalam
Dogma infallibilitas (Pastor Aeternus, 1870) adalah aspek krusial dari Vicarius Christi.
Definisi
Infallibilitas berlaku hanya ketika Paus berbicara ex cathedra (dari takhta Petrus) dalam hal iman atau moral, dengan niat mendefinisikan ajaran secara definitif untuk seluruh Gereja.
Contoh Historis
Dogma Immaculate Conception (Paus Pius IX, 1854).
Dogma Assumptio Maria (Paus Pius XII, 1950).
Catatan: Pernyataan ex cathedra sangat jarang. Sebagian besar pengajaran Paus bersifat otoritatif tetapi tidak infallibel, seperti ensiklik.
Batasan
Infallibilitas tidak berlaku pada pendapat pribadi, keputusan administratif, atau disiplin Gereja (misalnya, selibat imam). KGK 891 menegaskan bahwa infallibilitas adalah karunia Roh Kudus untuk menjaga Gereja dalam kebenaran.
Kritik
Beberapa teolog, seperti Hans Küng, berargumen bahwa dogma ini dapat menghambat dialog ekumenis, meskipun Vatikan II menegaskan bahwa infallibilitas tidak bertentangan dengan kebebasan berpikir dalam Gereja.
4. Implikasi Ekumenis
Peran Paus sebagai Vicarius Christi adalah salah satu hambatan utama dalam dialog ekumenis dengan Gereja Ortodoks Timur, Protestan, dan komunitas Kristen lainnya.
Gereja Ortodoks: Ortodoks mengakui keutamaan Uskup Roma sebagai primus inter pares (yang pertama di antara yang setara) berdasarkan tradisi awal, tetapi menolak primasi yurisdiksi universal. Dalam dokumen Ravenna (2007) dari Komisi Dialog Katolik-Ortodoks, kedua belah pihak setuju untuk mengeksplorasi model primasi yang lebih kolegial.
Protestan: Banyak denominasi Protestan (misalnya, Lutheran, Anglikan) memandang primasi Paus sebagai inovasi pasca-apostolik. Namun, beberapa komunitas Anglikan telah menunjukkan keterbukaan terhadap peran Paus sebagai simbol kesatuan, seperti dalam dialog ARCIC (Anglican-Roman Catholic International Commission).
Inisiatif Paus Yohanes Paulus II: Dalam Ut Unum Sint (1995), ia mengundang saran dari Gereja lain tentang bagaimana primasi Paus dapat dilaksanakan tanpa mengorbankan esensinya. Ini adalah langkah bersejarah menuju ekumenisme.
Paus Fransiskus: Dengan pendekatan pastoralnya, Fransiskus telah membangun jembatan dengan pemimpin Ortodoks (misalnya, Patriark Kirill pada 2016) dan Protestan, menekankan pelayanan bersama daripada otoritas hierarkis.
5. Tantangan Kontemporer dan Refleksi Kritis
Pada tahun 2025, peran Paus sebagai Vicarius Christi menghadapi tantangan yang kompleks dalam konteks global:
Sekularisme dan Relativisme: Paus harus menghadapi budaya sekuler yang menolak otoritas moral absolut. Ensiklik Paus Fransiskus seperti Laudato Si’ (2015) dan Fratelli Tutti (2020) berupaya menjawab isu-isu seperti krisis ekologi dan ketidakadilan sosial dengan bahasa yang relevan bagi dunia modern.
Polarisasi dalam Gereja: Ada ketegangan antara kelompok Katolik tradisionalis (yang mengkritik Paus Fransiskus karena dianggap terlalu progresif) dan kelompok liberal (yang menginginkan reformasi lebih radikal, misalnya, pada isu pernikahan sesama jenis atau ordinasi wanita). Paus sebagai Vicarius Christi harus menavigasi polarisasi ini sambil menjaga kesatuan.
Media dan Persepsi Publik: Di era digital, pernyataan Paus dapat disalahartikan atau diambil di luar konteks. Misalnya, komentar Paus Fransiskus tentang isu sosial sering memicu debat di platform seperti X, di mana narasi yang berbeda bersaing.
Dialog Antaragama: Paus memiliki peran unik dalam mempromosikan perdamaian antaragama, seperti ditunjukkan dalam Dokumen Persaudaraan Manusia (2019) yang ditandatangani bersama Grand Imam Al-Azhar. Namun, ini juga memicu kritik dari beberapa Katolik yang khawatir akan sinkretisme.
6. Pandangan Teolog Modern
Teolog kontemporer menawarkan perspektif beragam tentang Vicarius Christi:
Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI): Dalam bukunya Called to Communion, ia menegaskan bahwa primasi Paus adalah “martirium” (pelayanan penderitaan) untuk menjaga kebenaran, bukan dominasi.
Walter Kasper: Dalam The Catholic Church, Kasper berargumen bahwa primasi Paus harus dipahami dalam kerangka “komunio eklesiologi,” di mana Paus melayani kesatuan melalui dialog dan sinodalitas.
Paus Fransiskus: Dalam wawancaranya, Fransiskus sering menekankan bahwa Paus adalah “pelayan, bukan raja,” mencerminkan pendekatan yang lebih rendah hati terhadap Vicarius Christi.
7. Kesimpulan dan Rekomendasi Studi Lanjutan
Ajaran Gereja Katolik tentang Paus sebagai Vicarius Christi adalah pilar eklesiologi Katolik, yang mengintegrasikan otoritas Petrus, bimbingan Roh Kudus, dan misi Kristus dalam memimpin Gereja. Peran ini telah berkembang dari otoritas moral di Gereja awal menjadi primasi universal yang didefinisikan secara dogmatis, namun tetap relevan sebagai simbol kesatuan dan suara moral global. Tantangan modern, seperti sekularisme, polarisasi, dan dialog ekumenis, menuntut pendekatan pastoral yang seimbang, seperti yang ditunjukkan oleh Paus Fransiskus.
*Untuk studi lebih lanjut, direkomendasikan:
Dokumen Primer: Pastor Aeternus (Vatikan I), Lumen Gentium (Vatikan II), Ut Unum Sint (Yohanes Paulus II), dan ensiklik Paus Fransiskus.
Literatur Sekunder: The Petrine Ministry (ed. Walter Kasper), The Primacy of the Bishop of Rome (Jean-Miguel Garrigues), dan Theology and the Church (Hans Urs von Balthasar).
Sumber Historis: The Early Papacy (Adrian Fortescue) dan The Popes (John Julius Norwich).
Dekret Konsili Trente: Indulgensi dan Otoritas Paus
Konsili Trente (1545–1563) merupakan salah satu konsili ekumenis terpenting dalam sejarah Gereja Katolik, yang bertujuan untuk mereformasi Gereja dari dalam dan merespons tantangan yang ditimbulkan oleh Reformasi Protestan. Dua isu sentral yang menjadi fokus Konsili ini adalah indulgensi dan otoritas Paus, yang merupakan pemicu utama perpecahan dalam Kekristenan.
1. Indulgensi
Indulgensi menjadi salah satu isu paling kontroversial yang memicu Reformasi Protestan, terutama karena penyalahgunaan dalam praktiknya. Konsili Trente membahas isu ini pada Sesi XXV (4 Desember 1563) dalam Dekret tentang Indulgensi. Konsili ini menegaskan kembali keabsahan indulgensi sambil melakukan reformasi untuk mencegah penyalahgunaan di masa depan.
Kutipan (Dekret tentang Indulgensi, Sesi XXV):
“Karena kuasa yang diberikan oleh Kristus kepada Gereja, Gereja Katolik telah menggunakan indulgensi sejak zaman kuno, dan konsili suci ini mengajarkan dan memerintahkan bahwa penggunaan indulgensi, yang sangat bermanfaat bagi umat Kristen dan disahkan oleh otoritas konsili-konsili suci, harus dipertahankan dalam Gereja. Konsili ini mengutuk dengan anatema mereka yang mengatakan bahwa indulgensi tidak berguna atau yang menyangkal bahwa Gereja memiliki kuasa untuk memberikan indulgensi.”
Terjemahan Langsung:
“Jika seseorang mengatakan bahwa indulgensi yang diberikan oleh Gereja tidak bermanfaat atau bahwa Gereja tidak memiliki otoritas untuk memberikan pengampunan hukuman melalui indulgensi, biarlah dia terkutuk (anathema sit).”
Konteks dan Pengutukan:
Martin Luther dan para reformis Protestan lainnya menolak indulgensi, terutama karena praktik penjualan indulgensi yang dianggap korup (misalnya oleh Johann Tetzel). Dalam 95 Tesis (1517), Luther mengecam indulgensi sebagai tidak alkitabiah.
Konsili Trente menegaskan bahwa indulgensi adalah sah berdasarkan otoritas Gereja untuk “mengikat dan melepaskan” (Matius 16:19). Namun, Konsili juga memerintahkan reformasi untuk menghentikan penyalahgunaan, seperti penjualan indulgensi demi keuntungan finansial. Pengutukan ini secara tegas menargetkan pandangan Protestan yang menolak konsep indulgensi secara keseluruhan.
2. Otoritas Paus
Meskipun otoritas Paus tidak dibahas dalam satu sesi khusus, namun ditegaskan secara implisit di seluruh dekret Konsili Trente sebagai bagian integral dari otoritas Gereja Katolik. Penegasan paling eksplisit mengenai otoritas kepausan muncul dalam konteks Dekret tentang Reformasi dan pengakuan terhadap supremasi Paus sebagai kepala Gereja. Konsili secara tidak langsung mengutuk pandangan Protestan yang menolak otoritas Paus melalui penegasan hierarki Gereja.
Kutipan (Sesi IV, Dekret tentang Penerimaan Konsili, 8 April 1546):
“Konsili suci ini… memerintahkan bahwa semua orang, dari pangkat apa pun, bahkan para kardinal, harus mematuhi otoritas Bapa Suci, Paus Roma, sebagai wakil Kristus di bumi, dan bahwa keputusan-keputusan konsili ini harus diterima di bawah ancaman hukuman gerejawi.”
Implikasi Pengutukan: “Jika seseorang menolak otoritas Paus sebagai kepala Gereja yang ditetapkan oleh Kristus, atau menolak keputusan konsili yang disahkan olehnya, biarlah dia dianggap menentang ajaran Gereja.”
Kutipan Tambahan (Sesi XXV, Dekret tentang Reformasi, 1563):
“Konsili ini menyatakan bahwa semua dekret dan kanon yang telah ditetapkan di bawah bimbingan Roh Kudus harus diterima oleh seluruh Gereja, dan bahwa otoritas untuk menafsirkan dan melaksanakan dekret ini berada pada Takhta Apostolik [Paus].”
Konteks dan Pengutukan:
Kaum Protestan, khususnya Luther dan Calvin, menolak supremasi Paus. Mereka menganggapnya tidak memiliki dasar alkitabiah dan bahkan menyebut Paus sebagai “Antikristus” dalam beberapa tulisan (misalnya, Smalcald Articles Luther).
Konsili Trente menegaskan doktrin tradisional bahwa Paus, sebagai penerus Santo Petrus, memiliki otoritas penuh atas Gereja berdasarkan Matius 16:18–19 (“Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku”). Meskipun tidak selalu ada anatema eksplisit untuk otoritas Paus, penolakan terhadap hierarki Gereja (termasuk Paus) secara implisit dianggap sesat dan menentang ortodoksi Katolik.
Catatan Penting:
Teks asli Konsili Trente ditulis dalam bahasa Latin. Kutipan di atas diadaptasi dari terjemahan resmi ke dalam bahasa Inggris oleh H.J. Schroeder dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk kejelasan.
Indulgensi dan otoritas Paus adalah dua isu sentral dalam konflik dengan Protestantisme. Konsili Trente berupaya memperkuat doktrin Katolik sambil mereformasi praktik yang bermasalah untuk menegaskan kembali ajaran Gereja di tengah gejolak Reformasi.