LIVE DKC [71-2025] RABU, 4 JUNI 2025 PUKUL 19:00 WIB: RAGU DENGAN URUTAN PAUS??? BAGAIMANA IMAMAT WANITA??? @VerbumVeritatisApologetics
Merespon Video Decky Ngadas tentang ”Allegro, Hitungannya Berdasarkan Apa? Pembodohan terhadap Umat dan Publik? – Leo XIV: Paus ke 267 (Ekuivokasi Kepausan + Ngarang Bebas)”1
Berikut ringkasan video DN tersebut:
Pembicara membahas topik Katolik, khususnya menanggapi klaim bahwa Paus Leo XIV adalah Paus ke-267. Dia berpendapat bahwa angka ini tidak berdasar dan tidak memiliki bukti sejarah.
Poin-poin penting meliputi:
- Tanggapan terhadap kritik Pembicara mengklarifikasi bahwa diskusinya tentang Katolik adalah reaksi terhadap kritik yang berkelanjutan dari tokoh-tokoh seperti Patris Allegro, bukan serangan yang tidak beralasan [00:54].
- Kritik terhadap pandangan Allegro Dia menyebut Allegro sebagai “penyembah berhala” karena memuja patung dan berdoa kepada Maria dan orang-orang kudus yang telah meninggal, yang dia anggap sebagai penyembahan berhala berdasarkan ajaran Alkitab [02:55]. Dia mengacu pada buku Profesor Magnis Suseno “Katolik itu Apa” untuk menunjukkan bahwa tradisi Katolik mendefinisikan doa kepada Maria dan orang-orang kudus sebagai doa yang sebenarnya, yang bertentangan dengan klaim Allegro tentang komunikasi belaka [04:14].
- Mempertanyakan jumlah Paus Masalah utama bagi pembicara adalah angka 267 yang dikaitkan dengan Paus Leo XIV. Dia menantang dasar dan bukti untuk hitungan ini, mempertanyakan kriteria yang digunakan untuk perhitungan [08:21].
- Masalah terminologi Pembicara menjelaskan bahwa istilah “Paus” awalnya merupakan gelar kehormatan umum untuk para uskup di berbagai wilayah Kristen, baru menjadi eksklusif untuk Uskup Roma setelah Skisma Besar pada tahun 1054 [20:40].
- Kurangnya bukti sejarah untuk suksesi apostolik Dia mengutip para teolog dan sejarawan, termasuk imam Katolik Raymond Brown dan Jesuit Francis Sullivan, yang menyatakan bahwa tidak ada bukti sejarah yang mendukung klaim garis suksesi apostolik yang tidak terputus dari Petrus hingga uskup modern [29:09].
- Evolusi Keuskupan di Roma Pembicara menegaskan bahwa jabatan uskup, yang berbeda dari para penatua (presbiter), tidak ada di Roma hingga pertengahan abad ke-2, mungkin di bawah Pius I (142-155 M) atau Eleuterius (171-177 M) [30:26]. Dia berpendapat bahwa daftar awal uskup Roma, seperti dari Irenaeus, Tertullian, dan Agustinus, tidak konsisten dan kemungkinan dibuat oleh Eleuterius untuk melegitimasi posisinya [45:55].
- Cakupan otoritas Paus Dia berpendapat bahwa otoritas yurisdiksi universal yang dikaitkan dengan Paus saat ini, seperti yang didefinisikan oleh Vatikan I, tidak ada dalam Kekristenan awal. Bapa-Bapa Gereja awal tidak percaya bahwa Uskup Roma memiliki kekuasaan atas semua gereja, melainkan keutamaan kehormatan [52:52]. Otoritas yang diperluas ini, menurutnya, baru muncul setelah Skisma Besar pada abad ke-11, yang dia salahkan pada nafsu kekuasaan uskup Roma [57:14].
- Ekuivokasi Pembicara menyimpulkan bahwa penggunaan istilah-istilah seperti “Paus” dan “Katolik” oleh Gereja Katolik Roma adalah “ekuivokasi”—menggunakan istilah-istilah dengan makna historis yang berkembang seolah-olah mereka selalu memiliki interpretasi spesifik mereka saat ini, sehingga menyesatkan orang [58:34]. Dia menunjukkan bahwa istilah “Gereja Katolik Roma” itu sendiri baru muncul pada abad ke-12 atau awal abad ke-13 [01:02:41].
Membantah Klaim Seputar Paus dan Sejarah Gereja Katolik
Video yang kita bahas sebelumnya mengangkat beberapa klaim tentang Gereja Katolik, khususnya terkait jumlah Paus, arti kata “Paus”, garis keturunan para Uskup (yang disebut suksesi apostolik), dan wewenang Paus. Mari kita bantah setiap klaim ini dan berikan penjelasan yang kuat dari sudut pandang Gereja Katolik.
1. Bantahan Klaim tentang Jumlah Paus dan Penomorannya
Klaim bahwa penomoran Paus, seperti “Paus ke-267”, itu “tidak berdasar” adalah sesuatu yang tidak akurat dan perlu dibantah. Faktanya, Gereja Katolik memiliki daftar Paus yang tercatat dengan sangat baik dalam sejarah, dimulai dari Santo Petrus hingga Paus yang sekarang. Memang, di awal-awal Gereja, sistem penomoran angka seperti sekarang belum ada. Namun, daftar ini dibuat berdasarkan bukti dan tradisi yang kuat yang diturunkan dari komunitas Kristen zaman dulu.
Daftar Paus ini dikumpulkan dan dijaga melalui berbagai catatan sejarah Gereja. J.N.D. Kelly, dalam bukunya The Oxford Dictionary of Popes (referensi standar dan diakui luas), secara sistematis mendokumentasikan setiap Paus. Kelly (2010) memberikan informasi biografi dan sejarah setiap Paus, yang dengan jelas menunjukkan kepemimpinan yang terus bersambung dan tidak terputus. Penomoran Paus, seperti yang bisa kita temukan di Annuario Pontificio (Buku Tahunan Kepausan) yang diterbitkan Takhta Suci, adalah hasil dari pengumpulan data sejarah yang teliti, dan menjadi simbol penting dari kelangsungan kepemimpinan para rasul (suksesi apostolik). Jadi, klaim “tidak berdasar” ini secara tegas dapat dibantah oleh catatan sejarah Gereja yang konsisten.2
2. Bantahan Klaim tentang Evolusi Istilah “Paus” dan Wewenangnya
Pernyataan bahwa istilah “Paus” awalnya adalah gelar umum dan baru khusus untuk Uskup Roma setelah perpecahan besar tahun 1054 (Skisma Besar) adalah penyederhanaan yang keliru dan perlu dikoreksi. Memang benar istilah “Paus” sempat dipakai lebih luas di awal Kekristenan. Namun, peran penting Uskup Roma sebagai pengganti Santo Petrus sudah diakui sejak Gereja baru berdiri, jauh sebelum Skisma Besar terjadi.
Konsep Primasi Petrus, yaitu posisi khusus Santo Petrus di antara para Rasul sebagai “batu karang” tempat Gereja dibangun (sesuai Injil Matius 16:18), adalah landasan teologis yang kuat bagi kepemimpinan Uskup Roma. Para pemimpin Gereja awal (disebut Bapa Gereja) secara konsisten menyebut Uskup Roma sebagai penerus tahta Petrus, yang memegang peran pemimpin bagi seluruh Gereja.
- Santo Klemens dari Roma (Paus ketiga atau keempat, sekitar tahun 96 M) sudah menulis surat kepada Gereja di Korintus untuk menyelesaikan masalah internal mereka. Ini adalah bukti awal yang kuat bahwa Uskup Roma sudah punya wewenang untuk ikut campur dalam urusan gereja lain bahkan di akhir abad pertama.
- Santo Irenaeus dari Lyon (sekitar 180 M), dalam bukunya Adversus Haereses, dengan tegas menyebut keunggulan Gereja Roma: “Dengan Gereja ini [Roma], karena keunggulannya yang lebih tinggi, setiap gereja harus selaras, yaitu umat beriman di mana pun, karena di dalamnya tradisi apostolik senantiasa terpelihara oleh mereka yang ada di mana-mana” (Irenaeus, Adversus Haereses, III.3.2). Ini secara jelas menunjukkan bahwa Gereja Roma diakui sebagai pusat penting untuk menjaga ajaran asli dari para rasul.
- Konsili-Konsili Awal (pertemuan besar para uskup) seringkali melibatkan Uskup Roma atau wakilnya dalam mengambil keputusan penting. Meskipun wewenang penuhnya seperti yang didefinisikan di Konsili Vatikan I pada abad ke-19 belum ada, peran sentral Uskup Roma sudah nyata. Yves Congar (1988) menjelaskan bahwa kepemimpinan Paus berkembang dari sekadar dihormati menjadi memiliki wewenang hukum. Ini adalah proses yang panjang dan rumit dalam sejarah Gereja, bukan terjadi tiba-tiba setelah Skisma. Skisma Besar memang memperjelas perpecahan antara Gereja Timur dan Barat, dan sejak saat itu, gelar “Paus” secara khusus diasosiasikan dengan Uskup Roma di Barat. Namun, ini lebih merupakan penyeragaman nama untuk memperjelas identitas, bukan awal mula wewenang.3
3. Bantahan Klaim tentang Suksesi Apostolik dan Bukti Sejarahnya
Klaim bahwa “tidak ada bukti sejarah yang mendukung klaim garis suksesi apostolik yang tidak terputus dari Petrus hingga uskup modern” adalah argumen yang sangat dipertanyakan dan tidak akurat dari perspektif Katolik. Konsep suksesi apostolik adalah fondasi fundamental bagi sahnya pelayanan sakramental (seperti Ekaristi atau Baptis) dan pengajaran dalam Gereja Katolik.
- Apa Itu Suksesi Apostolik: Suksesi apostolik bukan sekadar daftar nama. Ia adalah perpindahan wewenang dan tugas dari para Rasul melalui penumpangan tangan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini menjamin bahwa ajaran yang disampaikan sekarang adalah ajaran yang sama persis dengan yang diterima dari para Rasul.
- Bukti Sejarah dari Bapa Gereja: Banyak Bapa Gereja awal (tokoh penting di awal sejarah Gereja) secara eksplisit membahas dan mencatat garis keturunan Uskup di gereja-gereja penting, termasuk Roma.
* Eusebius dari Kaisarea (sekitar 263–339 M), dalam bukunya Church History, dengan sangat rinci mencatat garis keturunan Uskup di berbagai kota penting, termasuk Roma, Aleksandria, dan Antiokhia. Ini menunjukkan betapa pentingnya suksesi bagi identitas gereja-gereja yang didirikan oleh para rasul. Eusebius (terjemahan Cruse, 2007) menulis: “Setelah kemartiran Petrus dan Paulus, Linus adalah orang pertama yang ditunjuk sebagai Uskup Gereja Roma” (III.2).
* Tertullianus (sekitar 160–220 M) menantang kelompok-kelompok sesat (heretikal) untuk menunjukkan garis keturunan mereka kembali kepada para Rasul: “Biarkan mereka membeberkan asal-usul gereja-gereja mereka; biarkan mereka menyajikan daftar uskup mereka yang berkesinambungan sehingga uskup pertama mereka akan ditemukan memiliki salah satu para rasul sebagai pelopor dan pendahulu mereka, atau salah satu pria apostolik yang terus-menerus bergabung dengan para rasul” (Tertullianus, De praescriptione haereticorum, 32). Ini membuktikan bahwa daftar suksesi adalah kriteria kunci untuk keaslian ajaran.
* Para sarjana modern seperti Raymond E. Brown (1990), meskipun seorang ahli yang kritis, mengakui adanya perkembangan struktur kepemimpinan dan pentingnya suksesi. Demikian pula, Francis A. Sullivan, S.J. (1992), dalam bukunya From Apostles to Bishops, menyimpulkan bahwa meskipun detail awal mungkin tidak lengkap, “Gereja Katolik dapat, pada dasarnya, dengan alasan yang baik mengklaim garis suksesi apostolik yang tidak terputus bagi para uskupnya” (hlm. 162). Oleh karena itu, klaim bahwa daftar-daftar tersebut adalah “rekayasa” secara tegas dapat dibantah oleh bukti-bukti sejarah dan konsensus para ahli.4
4. Bantahan Klaim tentang “Ekuivokasi” (Pergeseran Makna Istilah)
Tuduhan bahwa Gereja Katolik menggunakan istilah “Paus” dan “Katolik” secara “ekuivokasi” (yaitu, menggunakan istilah dengan makna historis yang berkembang seolah-olah selalu memiliki interpretasi yang sama dan spesifik) adalah kesalahpahaman mendalam terhadap cara perkembangan ajaran dan istilah dalam Gereja, dan perlu dibantah.
- Perkembangan Ajaran: Ajaran Gereja tidak langsung sempurna sejak awal. Ada perkembangan yang alami dan pemahaman yang lebih dalam seiring waktu, yang diyakini dibimbing oleh Roh Kudus. Ini bukan berarti ada “perubahan makna” yang menipu, melainkan pendalaman pemahaman terhadap kebenaran yang sama.
* Contohnya, istilah “Katolik” (dari bahasa Yunani katholikos, yang berarti “universal” atau “menyeluruh”) sudah digunakan sejak abad ke-2 oleh Santo Ignatius dari Antiokhia. Beliau menulis: “Di mana pun Uskup muncul, di sana hendaklah juga ada umat; sama seperti di mana pun Kristus Yesus berada, di sanalah Gereja Katolik berada” (Ignatius dari Antiokhia, Surat kepada Jemaat Smyrna, Bab 8). Ini dengan jelas menunjukkan bahwa istilah ini sudah dipakai untuk merujuk pada Gereja yang benar dan ada di mana-mana. Seiring waktu, ketika perpecahan terjadi, istilah ini menjadi penanda yang lebih spesifik untuk Gereja yang tetap bersatu dengan Uskup Roma. Ini adalah perkembangan dalam penggunaan dan penekanan, bukan penyimpangan arti.
- Istilah “Gereja Katolik Roma”: Pernyataan bahwa istilah “Gereja Katolik Roma” baru muncul pada abad ke-12 atau awal abad ke-13 juga perlu dilihat dalam konteksnya. Meskipun nama lengkap ini mungkin menjadi lebih umum setelah Skisma Besar untuk membedakan dari Gereja Ortodoks Timur, istilah “Katolik” dan “Gereja Roma” secara terpisah sudah dipakai jauh sebelumnya untuk merujuk pada Gereja yang sama. Penambahan “Roma” seringkali berfungsi untuk membedakannya dari kelompok-kelompok lain yang juga mengaku sebagai “Katolik” atau “Kristen” setelah perpecahan.5
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, dari sudut pandang Gereja Katolik, ada kesinambungan sejarah, teologi, dan spiritual yang tak terputus dari Gereja sejak zaman para Rasul. Klaim-klaim yang disampaikan dalam video tersebut seringkali didasarkan pada pemahaman yang tidak lengkap, selektif, atau salah tafsir terhadap sejarah dan ajaran Katolik. Memahami konteks yang menyeluruh, merujuk pada sumber-sumber asli, dan memahami cara Gereja menafsirkan ajarannya, adalah kunci untuk mendapatkan gambaran yang benar dan lengkap. Bantahan-bantahan di atas menunjukkan bahwa klaim-klaim dalam video tidak memiliki dasar yang kuat dalam historiografi Kristen yang kredibel.
Imamat Wanita: Keteguhan Katolik di Tengah Badai Kritik Modern
Gereja Katolik, dengan dua ribu tahun sejarahnya, berdiri seperti benteng yang tak tergoyahkan di tengah gelombang kritik modern tentang imamat wanita. Tuduhan “diskriminasi” dan “patriarkal” dilemparkan dengan semangat, seolah-olah Gereja adalah relik usang yang menolak kesetaraan gender. Sementara itu, dunia Protestan menunjukkan pergeseran dramatis dengan ordinasi wanita di berbagai denominasi, sering diklaim sebagai tanda “kemajuan.” Apa yang membuat Katolisisme teguh pada posisinya, sementara Protestantisme bergeser?
Dengan logika, iman, dan sedikit sindiran untuk mereka yang mengira Gereja Katolik bisa dibujuk oleh tren budaya, kita akan membedah posisi Katolik, membandingkannya dengan Protestantisme, dan menanggapi kritik dengan argumen yang tajam.
1. Dasar Teologis Katolik: Imamat Bukan Hak, Tapi Panggilan Ilahi
Imamat dalam Katolisisme bukanlah pekerjaan yang bisa dilamar dengan CV mengesankan atau hak yang bisa dituntut melalui petisi online. Ini adalah panggilan ilahi, berakar pada kehendak Yesus Kristus. Kitab Suci mencatat bahwa Yesus memilih dua belas rasul, semuanya laki-laki (Matius 10:1-4; Markus 3:13-19), meskipun perempuan seperti Maria Magdalena memainkan peran penting (Lukas 8:1-3). Apakah Yesus sekadar menyesuaikan diri dengan budaya patriarkal? Sulit dipercaya, mengingat Ia berulang kali menentang norma sosial—berbicara dengan perempuan Samaria (Yohanes 4:7-26) atau membela perempuan yang dituduh berzinah (Yohanes 8:1-11). Pilihan rasul laki-laki adalah keputusan teologis, bukan akibat keterbatasan zaman.
Imam Katolik bertindak in persona Christi—dalam pribadi Kristus—terutama dalam sakramen Ekaristi dan Pengakuan Dosa. Kristus, sebagai laki-laki, adalah mempelai laki-laki Gereja, yang digambarkan sebagai mempelai perempuan (Efesus 5:25-27; Wahyu 19:7-9). Imam laki-laki menjadi ikon simbolis hubungan ini. Mengubahnya demi “kesetaraan” sama saja dengan menceritakan Ramayana tanpa tokoh “Rama”—cerita kehilangan jiwanya, bukan?
2. Tradisi Katolik: Konsistensi yang Tak Bisa Dinegosiasi
Selama dua milenium, Gereja Katolik dan Ortodoks Timur hanya mengordinasikan laki-laki sebagai imam. Tradisi ini bukan kebiasaan kuno, melainkan kesetiaan pada depositum fidei—warisan iman dari Kristus dan para rasul.
Dalam Ordinatio Sacerdotalis (1994), Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa Gereja “tidak memiliki otoritas sedikit pun” untuk mengordinasikan wanita, sebuah ajaran definitif yang dikuatkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman pada 1995 [1] [2]. Ini bukan soal keras kepala, tetapi ketaatan pada kehendak ilahi. Kritikus yang menuntut perubahan sepertinya berharap Gereja mengadakan referendum untuk doktrin—maaf, Gereja bukan reality show.
Kritik sering menyinggung “diaken perempuan” seperti Febe (Roma 16:1). Namun, studi eksegetis oleh Joseph Fitzmyer menunjukkan bahwa peran ini bersifat pelayanan pastoral, bukan imamat sakramental [3]. Menyamakan keduanya adalah lompatan logika yang mengesankan, tapi keliru.
3. Protestantisme: Fleksibilitas dalam Ordinasi Wanita
Berbeda dengan Katolisisme, banyak denominasi Protestan telah membuka pintu untuk ordinasi wanita, mencerminkan pendekatan yang lebih adaptif terhadap tradisi dan Kitab Suci. Berikut adalah contoh-contoh spesifik:
- Gereja Anglikan: Mengizinkan wanita menjadi pendeta pada 1994 dan uskup pada 2014 di Inggris. Libby Lane, uskup wanita pertama (2015), menandai langkah bersejarah, meskipun memicu perpecahan dengan kelompok konservatif seperti Forward in Faith [4] [12].
- Gereja Metodis Amerika Serikat: Mengordinasikan wanita sejak 1956, dengan sekitar 27% pendeta saat ini adalah perempuan. Karen Oliveto, uskup wanita pertama yang terbuka sebagai lesbian (2016), memicu kontroversi dalam denominasi [14].
- Gereja Presbiterian di Afrika Timur (PCEA): Mengordinasikan wanita sejak 1982, dengan Rev Dr Nyambura Njoroge sebagai pendeta wanita pertama. Namun, hingga 2022, hanya 103 wanita diordinasikan, mencerminkan hambatan budaya [9].
- Gereja Pentakosta: Beberapa kelompok, seperti Pentecostal Alliance, mengizinkan wanita sebagai co-pastor, tetapi denominasi besar seperti Church of God in Christ (COGIC) menolak ordinasi wanita sebagai pendeta atau uskup [18].
- Gereja Reformasi Belanda (RCA): Mulai mengordinasikan wanita pada 1979, dengan lebih dari 20% pendeta wanita pada 2020. Namun, beberapa sinode konservatif menolak perubahan ini, menyebabkan ketegangan internal [19].
- Gereja Lutheran (EKD Jerman): Mengordinasikan wanita sebagai pendeta dan uskup, dengan Margot Käßmann sebagai uskup wanita pertama di Hannover (1999). Namun, Gereja Lutheran Independen Jerman tetap menolak ordinasi wanita [18].
Pendekatan Protestan ini didasarkan pada interpretasi egaliter dari Galatia 3:28 (“tidak ada laki-laki atau perempuan”) dan pandangan bahwa Yesus terbatas oleh konteks budaya. Namun, denominasi konservatif seperti Gereja Baptis Selatan (SBC) menolak ordinasi wanita berdasarkan 1 Timotius 2:12, meskipun beberapa gereja anggota SBC secara otonom mengordinasikan wanita [6] [18]. Studi terbaru (Journal of Religion and Society, 2023) menunjukkan bahwa ordinasi wanita meningkatkan partisipasi perempuan, tetapi juga memicu perpecahan, seperti pembentukan Missionsprovinsen di Gereja Swedia pada 2003
setelah ordinasi wanita [9] [18].
4. Katolik vs Protestan: Otoritas vs Fleksibilitas
Perbedaan mendasar antara Katolik dan Protestan terletak pada otoritas. Katolisisme memandang Gereja sebagai penjaga otoritatif warisan apostolik, dengan magisterium yang menafsirkan Kitab Suci dan Tradisi. Ordinatio Sacerdotalis adalah ajaran definitif yang mengikat umat Katolik [1]. Protestantisme, dengan prinsip sola scriptura dan otonomi denominasi, memungkinkan interpretasi yang fleksibel, sering menyesuaikan doktrin dengan budaya modern. Ini menjelaskan mengapa denominasi seperti Anglikan, Metodis, dan RCA mengadopsi ordinasi wanita, sementara Katolisisme tetap teguh [10].
Fleksibilitas Protestan menarik bagi mereka yang mengutamakan “kemajuan,” tetapi sering kali mengorbankan konsistensi teologis. Reformasi Protestan menghasilkan ratusan denominasi dengan doktrin berbeda, termasuk soal ordinasi wanita [11]. Sebaliknya, Katolisisme menawarkan kesatuan doktrinal, meskipun dianggap “kaku” oleh kritikus. Jika Gereja Katolik mengikuti jejak Protestan, ia berisiko menjadi cerminan budaya, bukan penjaga kebenaran ilahi.
5. Menjawab Kritik: Sarkasme untuk Kesalahpahaman
Kritikus, termasuk kelompok seperti Women’s Ordination Conference (WOC), menuduh Gereja Katolik diskriminatif, sambil memuji Protestantisme sebagai “progresif.” Mari kita bongkar tuduhan ini dengan logika dan sindiran.
- “Gereja Katolik patriarkal!” Ini sungguh tuduhan baru… , tapi usang. Gereja yang menghormati Bunda Maria sebagai manusia tersuci, yang mengangkat santa seperti Teresia dari Avila dan Katerina dari Siena sebagai Doktor Gereja, tiba-tiba jadi musuh perempuan? Perempuan dalam Katolisisme memimpin ordo religius, menjadi teolog, dan melayani sebagai katekis—peran yang tak kalah mulia. Menyamakan nilai seseorang dengan imamat adalah pandangan sempit yang justru merendahkan panggilan perempuan [7].
- “Yesus terikat budaya!” WOC berargumen: “Keputusan untuk tidak memasukkan wanita di antara 12 rasul-Nya tidak mengatakan apa-apa tentang wanita sebagai imam, kecuali bahwa Yesus, sebagai pria Yahudi pada zamannya, mengetahui bahwa adat dan tradisi saat itu tidak memungkinkan wanita untuk mengambil peran kepemimpinan dengan mengikuti kebiasaan yang berlaku” [14]. Benarkah? Yesus yang menentang Farisi, makan dengan pelacur, dan berinteraksi dengan perempuan “najis” tiba-tiba jadi korban budaya? Klaim ini lebih cocok untuk komedi daripada teologi [13].
- “Wanita dikucilkan!” Jane Varner Malhotra dari WOC menyatakan: “Sebagai pencipta yang memiliki potensi untuk melahirkan, wanita adalah agen suci, dengan pengalaman dan perspektif unik yang harus dibagikan untuk memahami gambaran yang lebih lengkap tentang yang ilahi” [15]. Argumen ini menyentuh, tetapi keliru. Gereja tidak menolak perempuan sebagai “agen suci”; Mulieris Dignitatem menegaskan martabat unik perempuan [7]. Imamat bukan soal ekspresi pribadi, melainkan panggilan sakramental yang ditetapkan Kristus. Mengubahnya demi “keadilan” sama saja dengan menulis ulang rencana ilahi untuk memenuhi agenda modern.
- “Protestan lebih egaliter!” Mungkin, tapi egaliter tidak selalu berarti benar. Ordinasi wanita dalam Protestantisme sering didorong oleh tekanan budaya, bukan refleksi teologis mendalam. Perpecahan seperti Missionsprovinsen di Gereja Swedia atau ketegangan dalam RCA menunjukkan bahwa “kemajuan” ini ada harganya [9] [18]. Gereja Katolik memilih kesetiaan pada Kristus ketimbang tepuk tangan dari kaum liberal.
6. Perempuan dalam Gereja: Martabat, Bukan Diskriminasi
Gereja Katolik menegaskan bahwa perempuan memiliki martabat setara dengan laki-laki (Galatia 3:28). Dalam Mulieris Dignitatem (1988), Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa panggilan perempuan unik, dari keibuan rohani hingga pelayanan pastoral [7]. Perempuan seperti Santa Klara dari Assisi dan Bunda Teresa telah menjadi pilar Gereja [16]. Refleksi terbaru di Gema Teologika (2023) menegaskan bahwa perempuan adalah tulang punggung komunitas gerejawi, terutama dalam pendidikan iman dan kegiatan sosial [17]. Menolak imamat wanita bukan berarti menolak perempuan, tetapi menghormati kehendak ilahi yang menetapkan peran komplementer (saling melengkapi).
Dalam Protestantisme, ordinasi wanita meningkatkan partisipasi perempuan, tetapi juga memicu ketegangan dengan kelompok konservatif, seperti dalam kasus Gereja Swedia, PCEA, atau RCA [9] [18] [19]. Katolisisme, dengan struktur hierarkisnya, menawarkan ruang bagi perempuan dalam pelayanan awam dan kehidupan religius, tanpa perlu mengubah esensi sakramen imamat [18].
Kesimpulan: Kebenaran di Atas Trend
Gereja Katolik menolak imamat wanita karena imamat adalah panggilan ilahi yang berakar pada Kristus, Tradisi Apostolik, dan simbolisme teologis. Protestantisme, dengan fleksibilitasnya, mengadopsi ordinasi wanita untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai modern, tetapi sering menghadapi perpecahan, seperti di Gereja Anglikan, Swedia, atau RCA. Kritikus seperti WOC gagal memahami bahwa imamat bukan soal kekuasaan, melainkan pelayanan sesuai kehendak Allah. Sebelum menuduh Gereja Katolik itu “kuno,” cobalah pahami mengapa ia tetap teguh. Di balik tradisi yang dianggap usang, terbukti ada kebenaran yang lebih tahan lama daripada trend budaya yang datang dan pergi.6
Mengapa Pendeta Protestan Tidak Memiliki Tahbisan Suci? Kaitannya dengan Kekristenan Mula-Mula, Tujuh Sakramen, dan Implikasinya terhadap Keselamatan Jemaat
Tulisan ini menyajikan perspektif Katolik menyoroti kelemahan mendasar dalam penolakan Protestantisme terhadap tahbisan suci, dengan fokus pada pentingnya sakramen ini untuk menyelenggarakan tujuh sakramen: Baptisan, Krisma, Ekaristi, Rekonsiliasi, Pengurapan Orang Sakit, Tahbisan Suci, dan Perkawinan.
Dan analisis dalam tulisan ini mengintegrasikan praktik kekristenan mula-mula, membandingkan tradisi Protestan dan Katolik dengan ketajaman pedang yang memisahkan kebenaran dari kekeliruan, serta mengevaluasi implikasi terhadap keselamatan jemaat.
1. Pendahuluan: Tahbisan Suci dan Tujuh Sakramen, Fondasi Keselamatan dalam Katolik
Bayangkan sebuah kapal yang berlayar menuju pelabuhan keselamatan. Dalam Gereja Katolik, imam yang ditahbiskan suci adalah nahkoda yang dipercaya Kristus, dilengkapi kompas tujuh sakramen untuk menavigasi badai dosa dan menyelamatkan jiwa. Katekismus Gereja Katolik menegaskan:
“Sakramen Tahbisan Suci adalah sakramen yang melaluinya tugas yang dipercayakan Kristus kepada para rasul terus dilaksanakan dalam Gereja sampai akhir zaman: dengan demikian ini adalah sakramen pelayanan apostolik” (KGK, 1994, no. 1536).
Tujuh sakramen—Baptisan, Krisma, Ekaristi, Rekonsiliasi, Pengurapan Orang Sakit, Tahbisan Suci, dan Perkawinan—adalah muatan berharga yang menyalurkan rahmat ilahi, menjaga kapal Gereja tetap kokoh. KGK menyatakan:
“Sakramen-sakramen adalah tanda-tanda yang efektif dari rahmat, yang ditetapkan oleh Kristus dan dipercayakan kepada Gereja, yang melaluinya kehidupan ilahi diberikan kepada kita” (KGK, 1994, no. 1131).
Sementara itu, Protestantisme membuang kompas ini, menolak tahbisan suci dan hanya mengakui dua sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus), seolah-olah cukup berlayar dengan peta yang compang-camping. Pendeta Protestan, tanpa kuasa sakramental, bagaikan pelaut tanpa otoritas kapten, meninggalkan jemaat terombang-ambing tanpa jaminan rahmat penuh. Dari perspektif Katolik, ini bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan pengingkaran warisan apostolik yang mengancam keselamatan. Dengan pedang apologetika yang terasah, tulisan ini membongkar kelemahan Protestantisme, menegaskan keunggulan tahbisan suci, dan mempertahankan tujuh sakramen sebagai pilar keselamatan.
2. Mengapa Protestantisme Menolak Tahbisan Suci? Menelanjangi Kelemahan Reformasi
Protestantisme, yang lahir dari pemberontakan Luther dan Calvin di abad ke-16, menolak tahbisan suci dengan tiga dalih yang, dalam sorotan Katolik, bagaikan rumah pasir yang runtuh di bawah ombak kebenaran: penolakan sakramen tahbisan, ordinasi sebagai formalitas kosong, dan doktrin imamat semua orang percaya yang menyesatkan.
a. Penolakan Sakramen Tahbisan: Mengabaikan Warisan Rasuli
Protestantisme hanya mengakui Baptisan dan Perjamuan Kudus, membuang Tahbisan Suci, Rekonsiliasi, Krisma, Pengurapan Orang Sakit, dan Perkawinan ke tong sampah sejarah. Luther, dalam The Babylonian Captivity of the Church (1520), dengan congkak menyatakan:
“The Church of Christ knows nothing of this sacrament of orders… it is a human invention, not instituted by Christ.”
Terjemahan: “Gereja Kristus tidak mengetahui sakramen tahbisan ini… itu adalah ciptaan manusia, bukan ditetapkan oleh Kristus” (Luther, 1520, dalam Pelikan & Lehmann, 1955, hlm. 140).
Seolah-olah Luther lebih tahu dari para rasul! Dalam gereja mula-mula, suksesi apostolik adalah tulang punggung pelayanan. Clemens dari Roma (ca. 96 M) menulis:
“Our apostles also knew, through our Lord Jesus Christ, that there would be strife on account of the office of the episcopate. For this reason… they appointed those [ministers] already mentioned, and afterwards gave instructions, that when these should fall asleep, other approved men should succeed them.”
Terjemahan: “Para rasul kita juga tahu, melalui Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa akan ada perselisihan mengenai jabatan episkopat. Untuk alasan ini… mereka mengangkat [pelayan] yang telah disebutkan, dan kemudian memberikan instruksi, bahwa ketika mereka meninggal, orang-orang terpilih lainnya harus menggantikan mereka” (Clemens, 96 M, dalam Roberts & Donaldson, 1885, hlm. 16).
Katolik, dengan tahbisan suci, menjaga rantai apostolik ini melalui penumpangan tangan (1 Timotius 4:14), memastikan imam memiliki kuasa untuk menyalurkan rahmat. Protestantisme, dengan menolaknya, bagaikan memutuskan tali tambang yang menghubungkan kapal dengan pelabuhan asalnya.
b. Ordinasi Protestan: Formalitas Tanpa Kuasa
Dalam Protestantisme, ordinasi hanyalah upacara simbolis, seperti memberikan topi kapten tanpa kapal. Book of Order Gereja Presbiterian (USA) menyatakan:
“Ordination is the act by which the church sets apart those called to the offices of minister of Word and Sacrament… it is a public acknowledgment of God’s call, not a conferral of sacramental status.”
Terjemahan: “Ordinasi adalah tindakan di mana gereja memisahkan mereka yang dipanggil untuk jabatan pelayan Firman dan Sakramen… ini adalah pengakuan publik atas panggilan Allah, bukan pemberian status sakramental” (PCUSA, 2019, G-2.07).
Gereja mula-mula menggunakan penumpangan tangan (Kisah Para Rasul 13:3; 1 Timotius 5:22) untuk mengesahkan pelayan, tetapi Katolik mengembangkannya menjadi sakramen tahbisan, memberikan kuasa rohani yang nyata. Protestantisme, dengan ordinasi yang sekadar seremonial, bagaikan dokter yang hanya memegang stetoskop tanpa lisensi medis—tidak mampu menyembuhkan jiwa dengan rahmat sakramental.
c. Imamat Semua Orang Percaya: Demokrasi Rohani yang Kacau
Doktrin priesthood of all believers Protestan, berbasis 1 Petrus 2:9, menyamakan semua orang Kristen sebagai imam, seolah-olah setiap penumpang di kapal bisa menjadi nahkoda. Luther menulis dalam The Freedom of a Christian (1520):
“Every Christian is by faith so exalted above all things that, by virtue of a spiritual power, he is lord of all things without exception.”
Terjemahan: “Setiap orang Kristen melalui iman begitu ditinggikan di atas segala sesuatu sehingga, berdasarkan kuasa rohani, ia adalah tuan atas segala sesuatu tanpa terkecuali” (Luther, 1520, dalam Pelikan & Lehmann, 1955, hlm. 54).
Irenaeus dari Lyon (ca. 180 M) memang menyebut semua orang percaya sebagai imam dalam konteks rohani, tetapi menegaskan peran khusus uskup (Against Heresies, dalam Roberts & Donaldson, 1885, hlm. 486). Katolik membedakan imamat umum (semua umat) dan imamat khusus (imam yang ditahbiskan), seperti membedakan prajurit dari jenderal. Protestantisme, dengan menyamakan semua peran, menciptakan kekacauan rohani, menghilangkan otoritas sakramental yang menjaga jemaat di jalur keselamatan.
3. Tujuh Sakramen: Pilar Keselamatan yang Dihancurkan Protestantisme
Tujuh sakramen Katolik adalah tujuh pilar yang menopang jembatan menuju keselamatan, masing-masing menyalurkan rahmat khusus. Protestantisme, dengan menolak tahbisan suci, merobohkan sebagian besar pilar ini, meninggalkan jemaat berjalan di atas tali yang rapuh. Berikut perbandingan tajam antara Katolik, Protestantisme, dan gereja mula-mula.
a. Baptisan: Tiket Masuk yang Masih Diakui, Tapi Tanpa Jaminan Penuh
Dalam Katolik, Baptisan menghapus dosa asal dan membuka gerbang Gereja, biasanya dilakukan oleh imam atau diaken. KGK menyatakan:
“Baptisan adalah sakramen kelahiran kembali melalui air dalam firman, yang membuka pintu menuju kehidupan rohani dalam Kristus” (KGK, 1994, no. 1213).
Protestantisme mengakui Baptisan, tetapi tanpa memerlukan tahbisan suci. Dalam gereja mula-mula, Baptisan dilakukan oleh pemimpin (Kisah Para Rasul 8:38), tanpa indikasi tahbisan sakramental. Katolik mengakui Baptisan Protestan jika dilakukan dengan benar, tetapi tanpa struktur apostolik, ibarat tiket masuk yang sah, tapi tanpa peta menuju destinasi akhir.
b. Krisma: Penguatan yang Dibuang Protestantisme
Krisma dalam Katolik memberikan Roh Kudus untuk memperkuat iman, biasanya oleh uskup. KGK menyatakan:
“Krisma menyempurnakan rahmat Baptisan; ini adalah sakramen yang memberikan Roh Kudus untuk lebih mendalam menanamkan kita dalam hidup keilahian dan mempersatukan kita lebih erat dengan Kristus” (KGK, 1994, no. 1316).
Protestantisme menolak Krisma, menyebutnya tradisi manusia. Gereja mula-mula melakukan pengurapan (Kisah Para Rasul 8:17), tetapi Katolik mengembangkannya sebagai sakramen. Tanpa Krisma, jemaat Protestan bagaikan prajurit tanpa zirah, rentan dalam pertempuran rohani.
c. Ekaristi: Jantung Kristen yang Dipalsukan Protestantisme
Ekaristi adalah puncak iman Katolik, di mana roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus melalui imam yang ditahbiskan. KGK menyatakan:
“Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Kristen… hanya imam yang ditahbiskan secara sah yang dapat memimpin Ekaristi dan menguduskan roti serta anggur sehingga menjadi Tubuh dan Darah Kristus” (KGK, 1994, no. 1324, 1411).
Justin Martir (ca. 150 M) menulis:
“This food we call Eucharist, of which no one is allowed to partake except one who believes… and it is distributed by the president [bishop] to those present.”
Terjemahan: “Makanan ini kami sebut Ekaristi, yang tidak boleh diikuti kecuali oleh mereka yang percaya… dan itu dibagikan oleh presiden [uskup] kepada yang hadir” (Justin Martir, dalam Roberts & Donaldson, 1885, hlm. 185).
Protestantisme mereduksi Perjamuan Kudus menjadi simbol belaka. Westminster Confession of Faith (1646) menyatakan:
“The Lord’s Supper is a sacrament… not as a sacrifice, but as a commemoration of that one offering up of Himself by Himself upon the cross.”
Terjemahan: “Perjamuan Tuhan adalah sakramen… bukan sebagai kurban, tetapi sebagai peringatan dari satu pengorbanan diri-Nya sendiri di kayu salib” (Westminster Assembly, 1646, hlm. 29).
Dari perspektif Katolik, ini seperti menyajikan kerupuk sebagai pengganti makanan pokok—kosong dari rahmat nyata yang hanya disalurkan oleh imam yang ditahbiskan.
d. Rekonsiliasi: Pengampunan yang Dirampas Protestantisme
Rekonsiliasi dalam Katolik memerlukan imam untuk memberikan absolusi. KGK menyatakan:
“Hanya imam-imam yang telah menerima kuasa untuk mengampuni dosa dari otoritas Gereja yang dapat mengampuni dosa atas nama Kristus” (KGK, 1994, no. 1461).
Gereja mula-mula melakukan pengakuan komunal (Yakobus 5:16), tetapi Katolik mengembangkannya berdasarkan Yohanes 20:22–23. Luther menolaknya:
“The remission of sins is in the power of God alone, and no man, whether pope or bishop, can remit sins unless God grants it through faith.”
Terjemahan: “Pengampunan dosa sepenuhnya dalam kuasa Allah, dan tidak ada manusia, baik paus maupun uskup, yang dapat mengampuni dosa kecuali Allah memberikan melalui iman” (Luther, 1520, dalam Pelikan & Lehmann, 1955, hlm. 158).
Tanpa Rekonsiliasi, jemaat Protestan bagaikan pasien yang menolak dokter, mengobati luka dosa dengan plester iman pribadi yang rapuh.
e. Pengurapan Orang Sakit: Penghiburan yang Dilupakan
Pengurapan Orang Sakit memberikan rahmat penyembuhan, dilakukan oleh imam. KGK menyatakan:
“Pengurapan Orang Sakit dilakukan oleh imam untuk memberikan kekuatan rohani dan bahkan fisik selama sakit, terutama menjelang kematian” (KGK, 1994, no. 1527).
Protestantisme menolaknya, hanya menawarkan doa biasa (Yakobus 5:14-15). Gereja mula-mula mengurapi orang sakit, tetapi Katolik menjadikannya sakramen. Tanpa ini, jemaat Protestan seperti pelaut yang sakit tanpa dokter kapal, dibiarkan menghadapi badai tanpa penguatan rohani.
f. Tahbisan Suci: Kuasa Apostolik yang Dibenci Protestantisme
Tahbisan Suci dalam Katolik memberikan kuasa apostolik kepada diaken, imam, atau uskup. KGK menyatakan:
“Melalui Sakramen Tahbisan Suci, mereka yang dipilih menerima rahmat dan kuasa untuk melayani Gereja dalam nama Kristus” (KGK, 1994, no. 1538).
Protestantisme menolaknya, melihat ordinasi sebagai formalitas. Gereja mula-mula menggunakan penumpangan tangan (1 Timotius 4:14), tetapi Katolik menjadikannya sakramen. Tanpa tahbisan suci, pendeta Protestan ibarat petugas tanpa lencana, tidak memiliki otoritas untuk menyalurkan rahmat.
g. Perkawinan: Ikatan Kudus yang Direndahkan
Perkawinan dalam Katolik menguduskan ikatan suami-istri. KGK menyatakan:
“Perjanjian perkawinan… secara alami diarahkan pada kebaikan pasangan dan kelahiran serta pendidikan anak-anak, telah ditinggikan oleh Kristus menjadi martabat sakramen” (KGK, 1994, no. 1601).
Protestantisme melihatnya sebagai kontrak biasa, bukan sakramen. Gereja mula-mula mengakui perkawinan rohani (Efesus 5:25), tetapi Katolik menjadikannya sakramen. Tanpa tahbisan suci, pendeta Protestan tidak dapat menguduskan perkawinan, seperti menikahkan pasangan tanpa meterai ilahi.
4. Relevansi terhadap Keselamatan Jemaat: Protestantisme, Jalan Buntu Rohani
Perbedaan ini bukan sekadar debat akademik, tetapi pertaruhan jiwa jemaat. Protestantisme, dengan menolak tahbisan suci, bagaikan membiarkan kapal berlayar tanpa nahkoda yang sah.
a. Peran Pendeta: Guru Kosong tanpa Kuasa
Pendeta Protestan hanyalah pengajar dan pembimbing, bukan perantara rahmat. Calvin menulis:
“We are saved by faith alone, but the faith that saves is never alone; it is accompanied by works, yet it is not dependent on human mediators.”
Terjemahan: “Kita diselamatkan oleh iman saja, tetapi iman yang menyelamatkan tidak pernah sendiri; itu disertai oleh perbuatan, namun tidak bergantung pada perantara manusia” (Calvin, 1559, dalam McNeill, 1960, hlm. 773).
Dari perspektif Katolik, ini seperti mengandalkan buku pegangan tanpa dokter untuk operasi jiwa. Gereja mula-
mula menunjukkan peran pemimpin sebagai teladan (Surat Polikarpus kepada Jemaat Filipi, dalam Holmes, 2007, hlm. 290), tetapi Katolik memperkuatnya dengan tahbisan suci.
b. Implikasi Keselamatan: Jemaat Protestan Kehilangan Rahmat
Katolik melihat tujuh sakramen sebagai saluran rahmat menuju keselamatan. KGK menegaskan:
“Sakramen-sakramen Gereja… menyampaikan rahmat khusus yang sesuai dengan tujuan masing-masing sakramen” (KGK, 1994, no. 1129).
Protestantisme, dengan hanya dua sakramen, bagaikan menyediakan roti kering bagi kelaparan rohani. Gereja mula-mula memiliki praktik sederhana, tetapi Katolik menyempurnakannya untuk menjamin rahmat yang sistematis.
c. Dampak pada Jemaat: Kekacauan tanpa Otoritas
Doktrin imamat semua orang percaya mendorong kemandirian, tetapi menghasilkan fragmentasi, seperti kapal tanpa komando. Katolik, dengan imam yang ditahbiskan, menjaga jemaat di jalur yang benar, seperti mercusuar yang menuntun pelaut dalam kegelapan.
5. Kesimpulan: Katolik, Benteng Keselamatan yang Tak Tergoyahkan
Protestantisme, dengan menolak tahbisan suci, bagaikan merobohkan fondasi rumah sambil berharap atap tetap berdiri. Dari perspektif Katolik, ini adalah pengkhianatan terhadap warisan apostolik, meninggalkan jemaat tanpa tujuh sakramen yang menyalurkan rahmat keselamatan. Katolik, dengan tahbisan suci dan tujuh sakramen, adalah kapal yang kokoh, dinakhodai imam yang ditahbiskan, menavigasi jemaat menuju pelabuhan abadi.
Protestantisme, dengan sola scriptura dan imamat semua orang percaya, mungkin menawarkan kebebasan, tetapi itu adalah kebebasan kapal tanpa kompas, terombang-ambing menuju karam. Gereja Katolik, berakar pada gereja mula-mula, tetap menjadi benteng keselamatan yang tak tergoyahkan.7