LIVE DKC JUMAT, 7 MARET 2025 PUKUL 19:00 WIB: PROTESTANTISME MENELAN IKONOKLASME ...!!!

Tidak ada larangan dalam Alkitab berdoa kepada orang kudus, maka diperbolehkan? Teologi doa dalam Alkitab tidak mengizinkan kita berdoaOrang-orang yang terlibat dalam atau mendukung ikonoklasme disebut ikonoklas, istilah yang digunakan secara kiasan untuk setiap orang yang melanggar atau meremehkan dogma atau konvensi yang sudah ada. Sebaliknya, orang-orang yang menhgormati atau memuliakan gambar-gambar keagamaan disebut "ikonodul" atau "ikonofil" – atau terkadang disebut "penyembah berhala" oleh lawan-lawan mereka.

By Manuel (Tim DKC)

43 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

LIVE DKC JUMAT, 7 MARET 2025 PUKUL 19:00 WIB: PROTESTANTISME MENELAN IKONOKLASME …!!!

Tayangan Video Pelecehan dan Penghancuran Patung Bunda Maria oleh Oknum Pendeta Protestan di Luar Negeri

Dengan mengutip Mazmur 115:4, beberapa Pendeta Protestan di luar negeri melecehkan dan menghancurkan patung Bunda Maria dengan menuduh umat Katolik menganut idoltery.

Ikonoklasme

Ikonoklasme adalah penghancuran ikon atau monumen keagamaan secara sengaja, biasanya untuk motif keagamaan atau politik. Ini juga merupakan nama yang diberikan kepada “bid’ah” Kristen pada abad kedelapan dan kesembilan yang menyebabkan kontroversi besar di Kekaisaran Romawi Timur dan memicu salah satu dari serangkaian perpecahan antara Konstantinopel dan Roma.

Orang-orang yang terlibat dalam atau mendukung ikonoklasme disebut ikonoklas, istilah yang digunakan secara kiasan untuk setiap orang yang melanggar atau meremehkan dogma atau konvensi yang sudah ada. Sebaliknya, orang-orang yang menhgormati atau memuliakan gambar-gambar keagamaan disebut “ikonodul” atau “ikonofil” – atau terkadang disebut “penyembah berhala” oleh lawan-lawan mereka.

Ikonoklasme dapat dilakukan oleh orang-orang dari satu agama terhadap ikon-ikon dari agama lain, seperti halnya kebijakan awal orang Israel terhadap agama Kanaan, serta kebijakan Kristen terhadap simbol-simbol paganisme Romawi, dan tindakan-tindakan Muslim terhadap gambar-gambar Kristen dan pagan. Akan tetapi, ikonoklasme sering kali merupakan hasil dari pertikaian sektarian antara kelompok-kelompok dari agama yang sama.

Dalam sejarah Kristen, ada dua peristiwa besar ikonoklasme di Kekaisaran Bizantium abad kedelapan dan kesembilan. Kemudian, peristiwa penting ikonoklasme Kristen terjadi selama Reformasi Protestan. Ikonoklasme juga terlihat selama gerakan sekuler Revolusi Prancis dan selama dan setelah pemberontakan Komunis Rusia dan Cina.

Dalam bahasa umum, seorang ikonoklas adalah orang yang menantang kepercayaan yang dianut atau lembaga tradisional karena dianggap didasarkan pada kesalahan atau takhayul.

Ikonoklasme dalam Alkitab

Peristiwa ikonoklasme yang paling terkenal dalam Alkitab adalah insiden Anak Lembu Emas, di mana Musa memimpin penghancuran patung yang dibangun orang Israel saat Musa berada di Gunung Sinai (lih. Keluaran 32:5).

Teks Alkitab yang dipakai dalam tindakan tersebut meliputi :

  • “Jangan membuat berhala, dan jangan mendirikan patung atau tugu peringatan bagimu, dan jangan meletakkan batu pahatan di negerimu untuk sujud menyembah kepadanya” (lih. Imamat 26:1).
  • “Usirlah semua penduduk negeri itu dari hadapanmu. Hancurkanlah semua patung pahatan dan patung tuangan mereka dan robohkanlah semua bukit pengorbanan mereka” (lih. Bilangan 33:52).
  • “Patung-patung allah mereka haruslah kaubakar habis dengan api. Janganlah mengingini emas dan perak yang ada padanya, dan janganlah mengambilnya bagimu, supaya jangan engkau terjerat karenanya, sebab hal itu adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu” (lih. Ulangan 7:25).

Contoh-contoh dalam Alkitab selanjutnya tentang ikonoklasme ada dua jenis: Penghancuran altar dan patung yang ditujukan untuk dewa-dewa kafir, dan penghancuran pilar-pilar, patung-patung, dan gambar-gambar lain milik orang Israel yang menghormati Yahweh. Raja-raja Yudea dipuji oleh para penulis Alkitab karena menghancurkan berhala-berhala Kanaan dan membongkar altar-altar orang Israel di tempat-tempat tinggi , karena Bait Suci Yerusalem dianggap sebagai satu-satunya tempat pengorbanan yang sah. Di kerajaan Israel utara, raja perampas kekuasaan Yehu mendapat pujian karena menghancurkan bait suci dan altar Baal di ibu kota Samaria , tetapi menoleransi anak lembu emas yang didedikasikan untuk Yahweh di Betel dan Dan, yang karenanya ia dikritik oleh para penulis Kitab Raja-Raja. Raja Hizkia dari Yehuda bahkan menghancurkan ular perunggu yang telah dibangun Musa atas perintah Tuhan untuk menyembuhkan orang Israel di padang gurun (lih. Bilangan 21: 5-9; 2 Raja-Raja18: 4).

Tokoh ikonoklas terbesar dalam sejarah Alkitab adalah Raja Yosia dari Yehuda (akhir abad ke-7 SM), yang akhirnya menghancurkan altar di Betel yang bahkan Yehu selamatkan dan juga memulai kampanye untuk menghancurkan kuil-kuil pagan dan Yahwist di mana-mana di wilayahnya kecuali di dalam Bait Suci Yerusalem. Atas semangat ikonoklastiknya, Yosia akan dipuji sebagai raja terbesar sejak Daud.

Tradisi Kristen Awal

Karena orang-orang Kristen awal juga adalah orang-orang Yahudi, banyak orang Kristen yg lebih memilih mati daripada mempersembah-kan kemenyan kepada patung-patung dewa Romawi, dan bahkan memakan makanan yang dikorbankan di kuil-kuil kafir dilarang bagi orang-orang Kristen awal. Kisah Para Rasul 19 menceritakan kisah tentang bagaimana para pembuat berhala di Efesus takut bahwa khotbah Rasul Paulus akan mengakibatkan kerusakan pada perdagangan patung-patung Diana/ Artemis.

Namun, ketika agama Kristen berevolusi dari akar Yahudinya, agama ini secara bertahap mulai menghormati ikon Yesus dan Maria, sambil tetap membenci gambar dewa-dewi pagan. Pada abad ketiga Masehi, ikon-ikon Kristen banyak terlihat. Setelah agama Kristen menjadi agama yang ditetapkan negara pada abad ke-4; kuil-kuil, patung-patung, dan ikon-ikon pagan lainnya tidak aman dari serangan-serangan Kristen. Banyak patung-patung seni Yunani dan Romawi yang dirusak atau dipenggal yang dikenal saat ini adalah produk dari ikonoklasme Kristen. Kuil Artemis di Efesus, adalah salah satu dari banyak bangunan pagan dan Yahudi yg akan segera dihancurkan Kristen, baik yang resmi maupun yang terkait dengan massa. Ketika agama Kristen menyebar di Eropa pagan, para misionaris seperti Santo Bonifasius melihat diri mereka sebagai nabi-nabi zaman modern yang dipanggil oleh Tuhan untuk melawan paganisme dengan menghancurkan tempat-tempat suci dan hutan-hutan suci penduduk asli. Sementara itu, ikonografi Kristen berkembang menjadi bentuk seni utama.

Ikonoklasme Muslim Awal

Berbeda dengan Kristen, Islam mengadopsi kebijakan ketat terhadap penggambaran visual Tuhan, tokoh-tokoh Alkitab dan orang-orang suci. Salah satu tindakan paling terkenal dari Nabi Muhammad adalah menghancurkan berhala Arab pagan yang ditempatkan di Kakbah di Mekkah pada tahun 630. Namun, penghormatan Muslim terhadap orang Kristen dan Yahudi sebagai “orang-orang Kitab”, menghasilkan perlindungan terhadap tempat-tempat ibadah Kristen, dan dengan demikian ada tingkat toleransi terhadap ikonografi Kristen. Meskipun tentara Muslim yang menaklukkan kadang-kadang menodai tempat-tempat suci Kristen, sebagian besar orang Kristen di bawah kekuasaan Muslim terus membuat ikon dan menghiasi gereja-gereja mereka sesuai keinginan mereka.

Pengecualian utama terhadap pola toleransi ini adalah Dekrit Yazid, yang dikeluarkan oleh Khalifah Umayyah Yazid II pada tahun 722-723. Dekrit ini memerintahkan penghancuran salib dan gambar-gambar Kristen di wilayah kekhalifahan. Akan tetapi, kebijakan ikonoklastik Yazid tidak dipertahankan oleh para penerusnya, dan produksi ikon oleh komunitas Kristen di Levant berlanjut tanpa gangguan yang berarti dari abad ke-6 hingga ke-9.

Ikonoklasme Bizantium

Periode ikonoklasme dalam sejarah Kristen Bizantium muncul atas dasar ikonoklasme Islam awal, yang sebagian merupakan reaksi terhadapnya. Periode ini memunculkan salah satu konflik teologis paling kontroversial dalam sejarah Kristen.

https://www.newworldencyclopedia.org/d/images/thumb/e/e2/Solidus-Justinian_II-Christ_b-sb1413.jpg/200px-Solidus-Justinian_II-Christ_b-sb1413.jpg

Justinian II (kanan) dan Kristus.

Seperti halnya isu doktrinal lainnya pada periode Bizantium, kontroversi mengenai ikonoklasme sama sekali tidak terbatas pada imam, atau pada argumen mengenai teologi. Konfrontasi budaya yang terus berlanjut dengan Islam dan ancaman militer dari kekaisaran Muslim yang sedang berkembang menciptakan pertentangan substansial terhadap penggunaan ikon di antara faksi-faksi tertentu dari masyarakat dan para uskup Kristen, terutama di Kekaisaran Romawi Timur. Beberapa dari mereka menganut kepercayaan bahwa ikon menyinggung Tuhan, dan atau bahwa itu mendukung argumen Muslim dan Yahudi bahwa agama mereka lebih dekat dengan kehendak Tuhan daripada Kristen. Beberapa pengungsi dari provinsi-provinsi yang diambil alih oleh Muslim tampaknya telah memperkenalkan ide-ide konoklasme ke dalam kesalehan populer saat itu, termasuk khususnya di antara para prajurit.

Pada tahun 695, Kaisar Justinian II meletakkan gambar wajah Kristus di sisi depan koin emasnya. “Gambar ukiran” ini tampaknya menyebabkan Khalifah Muslim Abd Al-Malik memutuskan secara permanen penggunaan jenis koin Bizantium sebelumnya, dan membuat koin Islam murni dengan huruf saja. Patriark Germanus I dari Konstantinopel menulis pada awal abad kedelapan bahwa “sekarang seluruh kota dan banyak orang sangat gelisah mengenai masalah ini.” Sikap ini segera mencapai istana kekaisaran itu sendiri.

Periode Ikonoklastik Pertama: 730-787 M

https://www.newworldencyclopedia.org/d/images/thumb/6/6b/Irenekirken.jpg/300px-Irenekirken.jpg

Salib sederhana: contoh seni ikonoklas yang menggantikan mosaik Bizantium sebelumnya di Gereja Hagia Sophia di Konstantinopel.

Suatu ketika antara tahun 726 dan 730 M, Kaisar Bizantium Leo III Isaurian (memerintah tahun 717-741 M) memerintahkan pencopotan patung Yesus yang ditempatkan dengan jelas di atas gerbang istana Konstantinopel. Sumber-sumber menunjukkan bahwa sebagian alasan pencopotan tersebut adalah kekalahan militer yang dialami Leo melawan pasukan Muslim dan letusan pulau vulkanik Thera, yang dianggap Leo sebagai bukti murka Tuhan sebagai reaksi terhadap penyembahan berhala Kristen.

Beberapa orang yang ditugaskan untuk menyingkirkan ikon tersebut dibunuh oleh kelompok yang menentang tindakan ini, yang dikenal sebagai ikonodul (pecinta ikon). Tanpa gentar, Leo melarang penyembahan gambar-gambar keagamaan dalam sebuah dekrit tahun 730 M. Agen-agennya menyita banyak harta milik gereja, termasuk tidak hanya ikon dan patung yang merupakan objek penghormatan, tetapi juga piring berharga, tempat lilin, kain altar, dan relikui yang dihiasi dengan tokoh-tokoh keagamaan. Dekrit tersebut tidak berlaku untuk penciptaan seni non-religius, termasuk gambar kaisar pada koin, atau simbol-simbol keagamaan yang tidak menggambarkan orang-orang suci, seperti Salib tanpa gambar Kristus di atasnya.

Patriark Germanus I menentang larangan tersebut dengan alasan bahwa larangan tersebut tunduk pada argumen teologis yg salah dari kaum Yahudi dan Muslim mengenai penggunaan gambar-gambar keagamaan. Sumber-sumber berbeda pendapat mengenai apakah pemecatannya dari jabatan berikutnya disebabkan oleh pemecatan oleh Leo atau pengunduran dirinya sebagai bentuk protes. Di Barat, Paus Gregorius III mengadakan dua sinode di Roma yang mengutuk tindakan Leo, yang mengakibatkan serangkaian perpecahan panjang antara Roma dan Konstantinopel. Leo membalas dengan menyita tanah-tanah tertentu di bawah yurisdiksi paus.

Ketika Leo meninggal pada tahun 740 M, larangannya terhadap ikon dikukuhkan pada masa pemerintahan putranya, Konstantinus V (741-775 M). Kaisar baru itu juga tidak mengalami kesulitan dalam menemukan pemuka agama yang mendukung kebijakan ini. Pada Konsili Ekumenis Ketujuh “pertama” di Konstantinopel dan Hieria pada tahun 754 M (“Konsili Ikonoklas”), 338 uskup berpartisipasi dan dengan khidmat mengutuk pemujaan ikon. Di antara kutukan yang diserukan pada konsili ini adalah sebagai berikut:

  • Jika ada yang berani menggambarkan gambar ilahi Sang Sabda setelah Inkarnasi dengan warna-warna material, terkutuklah dia!
  • Jika ada orang yang berusaha menggambarkan rupa para rasul dalam bentuk gambar tak bernyawa dengan warna-warna material yang tidak bernilai apa-apa (karena gagasan ini sia-sia dan diperkenalkan oleh iblis)… terkutuklah dia!

https://www.newworldencyclopedia.org/d/images/thumb/7/79/Seventh_ecumenical_council_%28Icon%29.jpg/200px-Seventh_ecumenical_council_%28Icon%29.jpg

Ikon Konsili Ekumenis Ketujuh “kedua” (Biara Novodevichy, Moskow).

Pada periode ini muncul argumen teologis yang kompleks, baik yang mendukung maupun yang menentang penggunaan ikon. Biara-biara sering kali menjadi benteng pemujaan ikon. Sebuah jaringan bawah tanah anti-ikonoklas dibentuk di antara para biarawan. Biarawan Suriah, Yohanes dari Damaskus, menjadi penentang utama ikonoklasme melalui tulisan-tulisan teologisnya. Tokoh ikonoklas terkemuka lainnya adalah Theodore the Studite.

Sebagai reaksi terhadap pertentangan biara terhadap kebijakannya, Konstantinus V bergerak melawan biara-biara, membuang relik ke laut, dan bahkan melarang seruan lisan kepada orang-orang kudus. Putranya, Leo IV (775-780 M) kurang ketat dalam kebijakan ikonoklastiknya dan berusaha mendamaikan faksi-faksi. Namun, menjelang akhir hidupnya, ia mengambil tindakan keras terhadap gambar-gambar dan dilaporkan hendak menyingkirkan istrinya yang diam-diam menghormati patung, Permaisuri Irene, jika saja ia tidak meninggal. Irene kemudian mengambil alih kekuasaan sebagai wali bagi putranya, Konstantinus VI (780-797 M).

Dengan kenaikan Irene sebagai bupati, periode ikonoklastik pertama berakhir. Ia memprakarsai sebuah konsili ekumenis baru, yang akhirnya disebut Konsili Nicea Kedua, yang pertama kali diadakan di Konstantinopel tahun 786 M, tetapi diganggu oleh unit militer pro-ikonoklas. Konsili tersebut diadakan lagi di Nicea pada tahun 787 M, untuk membatalkan dekrit Konsili Ikonoklas sebelumnya yang diadakan di Konstantinopel dan Hieria, dan mengambil alih gelarnya sebagai Konsili Ekumenis Ketujuh. Dekrit konsili ini, tidak seperti dekrit Konsili Ikonoklas, didukung oleh kepausan . Namun, ironisnya, Paus Leo III menolak untuk mengakui perwalian Irene dan menggunakan kesempatan pemerintahannya untuk mengurapi Charlemagne sebagai Kaisar Romawi Suci.

Ortodoksi Timur saat ini menganggap Konsili Ekumenis Ketujuh yang “kedua” sebagai konsili ekumenis sejati yang terakhir. Penghormatan ikon di Kekaisaran Romawi Timur berlangsung hingga masa pemerintahan penerus Ratu Irene, Nicephorus I (memerintah 802-811 M), dan dua masa pemerintahan singkat setelahnya.

Periode Ikonoklastik Kedua: 814-842 M

Kaisar Leo V (memerintah 813–820 M) melembagakan periode kedua ikonoklasme tahun 813 M, mungkin sebagian digerakkan, seperti halnya Leo sang Isauria, oleh kegagalan militer yang ia lihat sebagai indikasi ketidaksenangan ilahi. Leo digantikan oleh Michael II, yang mengukuhkan dekrit Konsili Ikonoklas tahun 754 M. Surat Michael II tahun 824 M kepada Louis yang Saleh menyesalkan tradisi pemujaan gambar, serta praktik-praktik seperti memperlakukan ikon sebagai bapa baptis untuk bayi.

Michael digantikan oleh putranya, Theophilus, yang, ketika ia meninggal, meninggalkan istrinya Theodora sebagai wali untuk pewarisnya yang masih di bawah umur, Michael III. Seperti Irene 50 tahun sebelumnya, Theodora mencari dukungan dari para biarawan dan uskup yang melakukan pemujaan ikon, dan mengumumkan pemulihan ikon pada tahun 843 M. Sejak saat itu, Minggu pertama Prapaskah dirayakan di gereja-gereja tradisi Ortodoks sebagai perayaan “Kemenangan Ortodoksi”.

Ikonoklasme Islam Selanjutnya

https://www.newworldencyclopedia.org/d/images/thumb/0/06/Istanbul.Hagia_Sophia075.jpg/250px-Istanbul.Hagia_Sophia075.jpg

Ikon Perawan Maria yang baru ditemukan kembali, awalnya dipajang di salah satu pintu masuk Hagia Sophia.

Tentara Muslim terkadang menghancurkan ikon-ikon pagan dan Kristen serta karya seni lainnya. Meskipun ada larangan agama terhadap penghancuran rumah ibadah Kristen dan Yahudi, kuil atau rumah ibadah diubah menjadi masjid. Contoh yang menonjol adalah Hagia Sophia di Istanbul (sebelumnya Konstantinopel), yang diubah menjadi masjid pada tahun 1453 M. Sebagian besar ikonnya dinodai atau ditutupi dengan plester. Pada tahun 1920-an, Hagia Sophia diubah menjadi museum, dan pemugaran mosaiknya dilakukan oleh American Byzantine Institute yang dimulai pada tahun 1932.

🡺 Tayangan Video Pemuka Agama Islam (Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dan Buya K.H. Said Aqil Siraj, M.A.) yang Menyatakan bahwa Konstruksi Kubah Berasal dari Gereja

Kasus ikonoklasme yang lebih dramatis oleh umat Islam ditemukan di beberapa wilayah di India di mana kuil Hindu dan Buddha dihancurkan dan masjid didirikan di tempat mereka (misalnya, Kompleks Qutub).

Pada masa modern dan kontemporer, beberapa denominasi Muslim terus menjalankan agenda ikonoklastik yang ditujukan kepada sesama Muslim. Hal ini khususnya terjadi dalam konflik antara sekte Sunni yang ketat seperti Wahhabisme dan tradisi Syiah, yang memperbolehkan penggambaran dan pemujaan terhadap orang-orang suci Muslim. Penguasa Wahhabi di Mekkah juga terlibat dalam penghancuran bangunan bersejarah yang mereka khawatirkan akan menjadi subjek “penyembahan berhala”.

Beberapa kelompok Muslim kadang-kadang melakukan tindakan ikonoklasme terhadap gambar-gambar keagamaan agama lain. Contoh terbaru dari hal ini adalah penghancuran lukisan dinding dan patung-patung Buddha yang monumental di Bamiyan pada tahun 2001 oleh sekte Muslim radikal dan kelompok nasionalis, Taliban. Tindakan ikonoklasme serupa terjadi di beberapa wilayah Afrika Utara.

Di India, sejumlah bekas biara Buddha dan kuil Hindu ditaklukkan dan dibangun kembali sebagai masjid. Dalam beberapa tahun terakhir, kaum nasionalis Hindu sayap kanan telah merobohkan beberapa masjid ini, seperti Masjid Babri yang terkenal, dan berupaya menggantinya dengan kuil Hindu.

Ikonoklasme Reformasi

https://www.newworldencyclopedia.org/d/images/thumb/c/ce/UtrechtIconoclasm.jpg/200px-UtrechtIconoclasm.jpg

Patung-patung yang dirusak di Katedral Saint Martin, Utrecht, diserang dalam ikonoklasme Reformasi pada abad 16.

Sebelum Reformasi itu sendiri, ikonoklasme terkadang menjadi bagian dari berbagai pemberontakan proto-Protestan terhadap kekayaan dan korupsi gerejawi. Gereja terkadang dirusak dalam proses tersebut, dan ikon, salib, dan relikui disingkirkan atau dihancurkan, sering kali karena emas, perak, dan permata berharga yang membingkainya, selain karena motif teologis apa pun.

Beberapa reformis Protestan, khususnya Andreas Karlstadt, Huldrych Zwingli dan John Calvin, mendorong penyingkiran gambar-gambar keagamaan dengan mengacu pada larangan penyembahan berhala dan pembuatan patung yang terdapat dalam Sepuluh Perintah Allah. Akibatnya, patung-patung dan gambar-gambar dirusak dalam serangan-serangan spontan perorangan maupun aksi-aksi massa yang tidak sah yang bertujuan untuk menghancurkan ikon. Akan tetapi, gambar-gambar juga disingkirkan secara tertib oleh otoritas sipil di kota-kota dan wilayah-wilayah Eropa yang baru saja direformasi.

https://www.newworldencyclopedia.org/d/images/thumb/5/55/Iconoclasm.jpg/300px-Iconoclasm.jpg

Ilustrasi Beeldenstorm selama reformasi Belanda.

Kerusuhan ikonoklastik yang signifikan terjadi di Zürich (tahun 1523), Kopenhagen (1530), Münster (1534), Jenewa (1535), Augsburg (1537), dan Skotlandia (1559). Tujuh Belas Provinsi (sekarang Belanda, Belgia, dan sebagian Prancis Utara) dilanda gelombang besar ikonoklasme Protestan pada musim panas tahun 1566 yang dikenal sebagai Badai Beelde. Ini termasuk tindakan-tindakan seperti penghancuran patung-patung Biara Santo Lawrence di Steenvoorde dan penjarahan Biara Santo Antonius. Badai Beelden menandai dimulainya Perang Delapan Puluh Tahun melawan pasukan Spanyol.

Ikonoklasme juga menjadi kekuatan yang kuat di Inggris Protestan, khususnya selama periode menjelang dan selama pemerintahan Puritan Oliver Cromwell. Uskup Joseph Hall dari Norwich menggambarkan peristiwa tahun 1643, ketika pasukan dan warga, didorong oleh peraturan parlemen yang menentang “takhayul dan penyembahan berhala”, menyerang gerejanya:

Betapa dahsyatnya tembok-tembok yang roboh! Betapa dahsyatnya penghancuran monumen-monumen! Betapa dahsyatnya penghancuran kursi-kursi! Betapa dahsyatnya perebutan besi dan kuningan dari jendela-jendela!… Betapa dahsyatnya tiupan dan serulingan pipa organ! Dan betapa dahsyatnya kemenangan di pasar di hadapan seluruh negeri, ketika semua pipa organ yang hancur, jubah-jubah… bersama dengan salib timah yang baru saja digergaji… dan buku-buku kebaktian dan buku-buku nyanyian yang dapat dibawa ke api di pasar umum ditumpuk bersama-sama.

William Dowsing, seorang Puritan yg bersemangat, ditugaskan dan digaji oleh pemerintah untuk berkeliling kota-kota dan desa-desa di East Anglia, menghancurkan patung-patung di gereja-gereja. Catatan terperinci tentang jejak penghancurannya melalui Suffolk dan Cambridgeshire masih ada :

Kami menghancurkan sekitar seratus gambar takhayul; dan tujuh penggorengan [sic] yang memeluk seorang biarawati; dan gambar Tuhan, dan Kristus; dan beberapa lainnya yang sangat takhayul. Dan 200 telah dihancurkan sebelum saya datang. Kami mengambil 2 prasasti kepausan dengan Ora pro nobis dan kami merobohkan salib batu besar di atas gereja (Haverhill, Suffolk, 6 Januari 1644).

Ikonoklasme Sekuler

Ikonoklasme juga merupakan ciri gerakan sekuler seperti Revolusi Prancis dan revolusi Komunis Rusia dan Cina.

Selama Revolusi Prancis, massa anti-kerajaan dan anti-Katolik kerap melampiaskan kemarahan mereka terhadap tempat-tempat suci Katolik, yang pada prosesnya juga menghancurkan karya seni keagamaan serta patung dan lukisan raja.

https://www.newworldencyclopedia.org/d/images/thumb/3/3b/Pochaev.jpg/280px-Pochaev.jpg

Pochaev Lavra di Ukraina diubah menjadi museum ateisme selama era Soviet, menghindari nasib bangunan keagamaan lain yang sering dijarah dan diubah secara permanen untuk penggunaan sekuler.

Selama dan setelah Revolusi Rusia, penguasa Komunis mendorong penghancuran luas citra keagamaan, yang mereka anggap sebagai cara utama untuk mengabadikan “ideologi borjuis” yang mencegah massa rakyat mengadopsi nilai-nilai sosialis negara. Selama dan setelah Komunis mengambil alih Tiongkok, gereja-gereja menjadi sasaran serangan terhadap “imperialisme barat,” dan kuil-kuil Buddha atau agama lain dihancurkan sebagai sisa-sisa tatanan lama. Selama Revolusi Kebudayaan, gerombolan Maois terlibat dalam penghancuran luas citra keagamaan dan sekuler di wilayah Han dan Tibet di Tiongkok. Di Korea Utara, mengikuti jejak Tiongkok, bahkan salib dan ikon di rumah-rumah pribadi, serta kuil-kuil Buddha atau agama lain, dilarang dan diganti dengan potret ikonik Kim Il Sung. Ibu kota Pyongyang, yang sebelumnya dikenal sebagai “Yerusalem Timur,” menjadi kosong dari gereja sampai beberapa tahun terakhir, ketika pemerintah mendirikan satu gereja resmi, yang sering mengundang wisatawan barat.

Ikonoklas Filosofis

Dalam pengertian yang lebih luas, ikonoklas adalah orang yang menentang “pengetahuan umum” atau lembaga tradisional yang dianggap berdasarkan kesalahan atau takhayul. Dalam hal ini, Albert Einstein adalah ikonoklas karena menantang fisika Newton di awal abad kedua puluh, dan Martin Luther King, Jr. adalah ikonoklas karena mengkritik segregasi di Amerika Serikat bagian selatan pada tahun 1950-an & 1960-an, meskipun keduanya tidak menyerang ikon fisik. Dengan cara yang sama, mereka yang mendukung kembalinya segregasi saat ini dapat disebut ikonoklas, karena integrasi rasial kini telah menjadi kebijakan politik yang berlaku.

Istilah ini dapat diterapkan kepada mereka yang menantang ortodoksi yang berlaku di bidang apa pun, dan seorang ikonoklas dalam satu kelompok (misalnya anggota jemaat Kristen konservatif yang secara terbuka setuju dengan teori evolusi) mungkin bukan seorang ikonoklas dalam konteks lain.

Ikonoklas Abad 16 (Protestan)

Abad keenam belas menyaksikan perubahan besar dalam budaya spiritual dan visual Eropa Barat. Pada paruh pertama abad keenam belas, ikonoklasme yang disahkan pemerintah selama Reformasi Jerman dan Inggris tidak hanya mengubah cara orang beribadah, tetapi juga apa yang mereka lihat. Pada paruh kedua abad keenam belas, pemberontakan agama di Prancis dan Belanda secara drastis mengubah lanskap keagamaan di kedua wilayah tersebut.

Tulisan ini menelusuri penyebaran ikonoklasme secara perlahan, dimulai di Wittenberg yang beraliran Lutheran, masuk ke Swiss, lalu Inggris, dan akhirnya kembali ke Paris dan Belanda. Esai ini disusun dengan cara ini karena menyajikan garis waktu dari awal abad ke-16 hingga akhir abad ke-16. Susunan ini akan menunjukkan faktor-faktor motivasi ikonoklasme di berbagai wilayah geografis, beserta kesamaannya terlepas dari jarak antara badan-badan politik.

Jerman dan Swiss, 1518 hingga 1524

Di Wittenberg, Jerman, mulai sekitar tahun 1518, ikonoklasme dilembagakan oleh Andreas Bodenstein von Karlstadt. Kehancuran yang disebabkan oleh Karlstadt ketika ia menggantikan Martin Luther selama Luther tidak berada di Wittenberg pada tahun 1518 hingga 1522 berlangsung cepat dan mengejutkan.

Lukisan Santo Lukas karya Jan Gossaert merupakan reaksi terhadap ikonoklasme Protestan di Jerman dan Swiss. Lukisan tersebut merupakan karya serupa yang dibuat oleh Gossaert pada tahun 1520-an untuk menunjukkan tahun pembuatan lukisan tersebut. Lukisan Santo Lukas karya Gossaert merupakan respons terhadap perkembangan gerakan Lutheran di Wittenberg.

Karlstadt memulai ikonoklasmenya pada akhir tahun 1521. Khususnya, “Pada bulan Desember 1521, gambar-gambar disingkirkan dari gereja-gereja Wittenberg dan beberapa di antaranya dihancurkan.” Menindaklanjuti tindakan ini, Karlstadt menerbitkan sebuah risalah awal tahun 1522 yang membenarkan penghancuran gambar-gambar tersebut.

Para penentang ikonoklasme, dan juga Martin Luther, “menulis dalam bahasa Latin, yang menyatakan bahwa ide-ide yang harus dibantah tidak terbatas pada Jerman, tetapi telah menyebar ke seluruh Eropa.” Setelah Sidang Worms pada tahun 1521, Kaisar Romawi Suci Charles V menghadapi ancaman ikonoklasme di tempat lain di wilayah kekuasaannya. Seniman Gossaert menciptakan lukisan Santo Lukas Melukis Sang Perawan pada tahun 1522, dengan kiasan terhadap ikonoklasme yang sedang berkembang di dalam Kekaisaran Romawi Suci.

Sebuah peraturan dari Wittenberg, dua risalah yang diterbitkan oleh Karlstadt, dan khotbah-khotbah Karlstadt, yang diterbitkan antara akhir tahun 1521 dan awal tahun 1522, menunjukkan bahwa ketika Luther tidak ada, Karlstadt meningkatkan argumennya untuk ikonoklasme. Karlstadt secara efektif menggunakan khotbah-khotbahnya dan sebuah peraturan dari bulan Januari 1522 untuk mengatur pemindahan altar dan gambar orang-orang kudus dari gereja-gereja lokal. Luther tidak mendukung perubahan-perubahan ini.

Karlstadt cukup kejam dalam menjalankan visinya tentang ajaran Luther. Ketika Luther pergi, Karlstadt menerbitkan risalah tahun 1522 yang disebutkan di atas. Setahun sebelum risalah tahun 1522 diterbitkan, Karlstadt mendukung peraturan tanggal 24 Januari 1521. Peraturan tersebut adalah, “Salah satu elemen yang provokatif dari peraturan tersebut, yang sangat ditentang Luther dalam Khotbah Invocavit tanggal 9-16 Maret, adalah rencana pemindahan altar dan gambar orang-orang kudus”.

Karlstadt merasa bahwa Wittenberg dan Reformasi sedang mengalami krisis. Karlstadt memiliki gelar doktor dalam bidang teologi, hukum perdata, dan hukum kanon. Karlstadt menggunakan Perjanjian Lama sebagai jenis kode administratif, dan mendasarkan kepercayaan dan tulisannya tentang gambar pada Perjanjian Lama. Kepercayaan ini membuat Karlstadt berselisih dengan Luther. “Retorika kenabian Karlstadt yang menyerukan gereja untuk menyingkirkan gambar… secara tak terpisahkan menggambarkan “orang Kristen sejati” secara berbeda dari yang digambarkan Luther”. Karlstadt sangat percaya pada bentuk reformasi, percaya bahwa ikonoklasme diperlukan utuk menghentikan penghinaan terhadap Tuhan.

Yang terpenting, On the Removal of Images karya Karlstadt, “secara virtual merupakan diskusi signifikan pertama tentang ikonoklasme dalam Reformasi.” Tulisan-tulisan Karlstadt, yang dimaksudkan untuk konsumsi awam dan bukan hanya konsumsi imam atau kerajaan, menunjukkan pendirian Perjanjian Lama tentang patung, dan, “menerapkannya pada penyalahgunaan kontemporer di gereja-gereja dan biara-biara”. Selain itu, Karlstadt mendekati argumen tiga cabangnya seperti yg akan dilakukan jaksa. Ini bisa jadi sebagian karena pamflet-pamflet itu dibuat untuk dikonsumsi oleh massa, meskipun isinya disusun dalam bahasa teologis.

Singkatnya, Karlstadt menggunakan berbagai metode untuk mengomunikasikan perlunya ikonoklasme. Taktik Karlstadt utuk berkomunikasi langsung dengan kaum awam memastikan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dalam penyingkiran gambar-gambar. Sayangnya bagi Karlstadt, retorikanya terlalu bertentangan dengan retorika Luther sehingga Karlstadt tidak dapat membuat banyak kemajuan.

Ikonoklasme yang dimulai oleh Karlstadt di bawah pengawasan Luther menyebar ke Swiss, dengan Leo Prud berkhotbah menentang gambar. Gagasan ikonoklasme didukung oleh khotbah Huldrych Zwingli.

Kekerasan terhadap patung-patung di Zurich menyebar ke pedesaan Swiss, termasuk Thurgau. Salah satu peristiwa ikonoklasme pedesaan yang paling mencolok di wilayah Thurgau, Swiss, adalah penghancuran patung St. Anna. Patung itu dianggap kuno bahkan pada abad ke-16, dan sangat rapuh sehingga dikhawatirkan upaya restorasi akan semakin merusak atau menghancurkan patung itu. Patung St. Anna populer di kalangan peziarah, dan dengan demikian membantu daerah sekitarnya secara ekonomi melalui industri pariwisata religius. Penghancuran patung itu menunjukkan bagaimana kaum tani tidak puas dengan kekayaan dan kepemilikan tanah gereja yang semakin meluas.

Ikonoklasme Pedesaan

“… mengikuti Bildermandat dengan demikian melangkah lebih jauh dari sekadar menguji kekuatan hierarki Katolik dengan mempermalukan berhala… hal itu menandakan penerapan tatanan baru dengan cara yang paling kuat yang mungkin. Dengan secara terbuka menghancurkan gambar yang paling dihormati di wilayah tersebut (patung St.Anna), para pemimpin masyarakat Thurgau menolak tatanan lama dan menegaskan independensi mereka terhadap aturan gereja Katolik.”

Seperti yang akan dibahas kemudian, ikonoklasme kadang kala memiliki motivasi politis, bukan semata-mata keagamaan.

Inggris dan Dinasti Tudor, ± Tahun 1525 hingga 1603

Berpindah ke tepi barat Eropa, orang Inggris terlibat dalam serangkaian kegiatan unik sebagai bagian dari ikonoklasme lokal, yang mencakup Reformasi abad ke-16 dan perang saudara Inggris pada pertengahan abad ke-17. Meskipun tidak unik di Inggris, perusakan patung, lukisan, dll., merupakan bentuk ikonoklasme yang umum. Beberapa patung dan lukisan, alih-alih dihancurkan sepenuhnya, malah hidung dan tangannya dicoret untuk yang pertama, atau wajah dan tangannya dicakar atau dirusak untuk yang kedua. Bukti penghancuran ikonoklastik dari masa pemerintahan Henry VIII (1509-1547), Edward VI (1547-1553), Mary I (1553-1558) & Elizabeth I (1558-1603) ada.

Tindakan menghancurkan hidung atau wajah dan tangan ikon-ikon keagamaan merupakan hal yang khas dalam ikonoklasme Inggris. Di Benua Eropa, ikonoklasme lebih merupakan tindakan pemusnahan daripada cara merusak yang dilakukan orang Inggris.

Dalam beberapa kasus, kerusakan pada satu tampilan religiusitas terjadi selama dua abad. Bukti arkeologis ditemukan di Katedral Lincoln dan St.Paul In-the-Bail, keduanya di Lincoln, Lincolnshire County, Inggris. Gereja St. Hugh di dalam Katedral Lincoln mengalami kerusakan pertamanya sekitar masa Pembubaran Biara di bawah pemerintahan Henry VIII, dengan wajah patung yang terkelupas dan kemudian dihaluskan. Lebih dari seratus tahun kemudian, patung yang sama dipenggal seluruhnya, kemudian dibuang ke dalam sumur di dekat St.Paul.

Ikonoklasme Henry VIII sejak Pembubaran Biara selama tahun 1530-an & 1540-an tergolong ringan jika dibandingkan dengan keganasan ikonoklasme yang dilakukan putranya, Edward VI, yang dimulai pada tahun 1547. Selama masa pemerintahan Edward dari tahun 1547 hingga 1553, pada tahun 1549 ditetapkan secara khusus bahwa warga negara Inggris harus “merusak dan menghancurkan atau menyebabkan dirusak dan dihancurkannya” ikon, gambar, dan sejenisnya.

Ikonoklasme di Inggris terjadi sejak tahun 1522. Sebuah contoh ikonoklasme di Gereja St. Mary Rickmansworth, di sebelah barat laut London, menceritakan tentang para pembakar yg membakar bagian depan gereja, dan membakar patung-patung di dalam gereja, yang menyebabkan kerusakan parah. Para pembakar tersebut tidak pernah ditemukan. Diduga bahwa para pembakar tersebut adalah kaum Lollard, sebuah gerakan keagamaan yang didirikan pada pertengahan abad ke-14 yang pada dasarnya adalah kaum proto-Protestan.

Politik penghancuran gambar dan sikap yang diambil oleh berbagai kelompok agama seperti kaum Lollard pada abad ke-14 dan kebijakan resmi yang diterapkan oleh Henry VIII karena ia memisahkan diri dari Roma penting untuk dipertimbangkan. Ikonoklasme Reformasi memberikan sebagian dorongan ke arah sekularisasi seni, “gambar Kristus dan orang-orang kudus-Nya pada abad pertengahan terikat erat dalam keseluruhan jalinan filosofis tatanan politik dan sosial”, dan bahwa, “ikonoklasme internal, atau penolakan teologis terhadap gambar, adalah bagian dari pemikiran abad pertengahan.” “Ikonoklasme internal” ini, atau setidaknya kekhawatiran atas penyembahan berhala selama Reformasi, mungkin merupakan cara agar reformasi Henry VIII dan Edward VI dapat terwujud.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e5/Circle_of_William_Scrots_Edward_VI_of_England.jpg

Edward VI

Secara keseluruhan, penghancuran semua citra keagamaan Katolik yang memenuhi gereja-gereja paroki Inggris telah selesai pada masa pemerintahan Edward VI, sangat kontras dengan masa pemerintahan Henry VIII. Secara khusus, “pergeseran budaya keagamaan dari penyajian visual ke verbal misteri-misteri ilahi merupakan salah satu isu yang paling mendesak dalam agenda historiografi Reformasi Inggris”. Selama kurun waktu sekitar empat puluh tahun, antara tahun 1535 dan 1575, citra-citra keagamaan disingkirkan dari gereja-gereja Inggris dan diganti dengan lambang kerajaan, dan mungkin salinan Sepuluh Perintah Allah. Sayangnya, “kita tidak tahu apa-apa tentang bagaimana rasanya mengalami proses (penghancuran citra-citra di gereja-gereja paroki), baik sebagai ikonoklas aktif atau ikonofil”.

Akar ikonoklasme di Inggris dapat ditelusuri kembali ke kaum Lollard, yang dipimpin oleh John Wycliffe pada abad ke-14. Kemudian, gerakan Protestan yang sedang berkembang berpegang teguh pada gagasan Lollard bahwa ikonografi pada kenyataannya adlah penyembahan berhala dan ingin menghapus semua penyembahan berhala dari ibadah. Perbedaan serius yang dibuat antara ikonoklasme Jerman dan Inggris adalah bahwa sementara orang Jerman dalam beberapa kasus membuat kerusuhan dan menghancurkan secara massal gambar dan barang-barang, di gereja-gereja Inggris biasanya disingkirkan melalui pekerjaan tukang kayu dan individu terampil lainnya yang dibayar oleh pengurus gereja untuk melaksanakan dekrit kerajaan Henry dan Edward.

Sumber informasi tak terduga tentang pemikiran ikonoklastik di Inggris abad ke-16 dan Eropa Raya mencakup puisi Sidney dan hukum Elizabeth I. Ikonoklasme merupakan perjuangan yang terus berlangsung selama pemerintahan Elizabeth I dari Inggris, yang memerintah dari tahun 1558 hingga 1603.

Dasar dari Ikonoklasme dapat Disimpulkan Sebagai Berikut:

“Inti dari ikonofobia Reformasi adalah peringatan perintah kedua terhadap penyembahan terhadap “patung” apa pun, dan patung-patung keagamaanlah yang daya tarik estetikanya mengilhami ketakutan terbesar. Patung-patung Perawan Maria dan orang-orang kudus sering dicat, dilapisi dengan emas dan perak, dan bertatahkan permata. Tiga dimensi patung juga meningkatkan erotismenya. Desiderius Erasmus mengeluh tentang orang-orang Katolik yang mencium dan membelai patung-patung yang menjadi sinonim dengan pelacur yang memikat tetapi merusak. Selain itu, karena kitab suci telah mendefinisikan penyembahan berhala sebagai semacam percabulan spiritual, berhala pada dasarnya adalah pelacur: “seperti orang yang memandang seorang pelacur akan menginfeksinya dengan kenajisan jasmani, demikian juga orang yg memandang berhala akan mencemari hati yang bodoh dan buta dengan Penyembahan Berhala dan membawanya ke dalam kebingungan.”

Ikonoklasme zaman Elizabethan sangat keras, di mana “patung-patung dibakar dan dihancurkan”. Selain itu, “Di London, pada tahun 1559, dua api unggun besar dibuat dari salib, buku Misa, dan lukisan, tetapi juga dari ‘Maries dan Johns dan gambar-gambar lainnya,’ dan proses ini diulangi oleh para pengunjung kerajaan di seluruh Inggris dan Wales pada tahun itu dan tetap menjadi kebijakan resmi hingga akhir pemerintahan Elizabeth.”

Undang-undang Parlemen era Elizabeth tertentu menyebabkan ikonoklasme yang hebat pada tahun 1559 dan tahun-tahun berikutnya, yaitu:

“Tidak hanya Pasal-pasal Visitasi tahun 1559 tetapi juga Perintah-perintah, yang tetap berlaku sampai akhir pemerintahan Elizabeth, menuntut para pendeta bahwa mereka “harus mengambil, memusnahkan sepenuhnya dan menghancurkan semua tempat suci, penutup tempat suci, semua meja, tempat lilin, trindal, dan gulungan lilin, gambar, lukisan, dan semua monumen lain yang merupakan mukjizat palsu, ziarah, penyembahan berhala, dan takhayul.”

Ikonoklasme tahun 1566 di Belanda dilakukan oleh sekelompok perusuh agama yang terorganisasi. Secara khusus, “Dari catatan saksi mata dan catatan persidangan para ikonoklas yang ditangkap, jelas bahwa kerusuhan tersebut adalah… serangkaian serangan terkoordinasi yang dipimpin oleh sekelompok ikonoklas di bawah pimpinan para pendeta…” Ini berbeda dari ikonoklasme yang disetujui pemerintah di Inggris dan ikonoklasme di pedesaan Swiss, meskipun ada gaung kuat dari kegiatan ikonoklastik di Wittenberg milik Karlstadt dan di Zurich milik Zwingli.

Catatan pengadilan dari periode waktu tersebut menunjukkan siapa yang termasuk dalam kelompok ikonoklas. Meskipun ukuran sampel ikonoklas tidak ideal, seseorang dapat menentukan profesi sebagian besar ikonoklas. Beberapa bekerja dalam kapasitas yang terkait dengan gorden, beberapa pengrajin, seperti, “pembuat kursi … pembuat kain, pembuat sepatu, … pemilik penginapan …” dan seterusnya. Terakhir, ada beberapa pegawai negeri yang dituduh melakukan ikonoklasme. Profesi yang terkait dengan gorden dengan cepat kehilangan kapasitas penghasilannya karena perjanjian perdagangan yang buruk antara Raja Spanyol Philip II, yang merupakan penguasa turun-temurun dari Lingkaran Burgundia, dan Inggris, yang menghasilkan banyak wol yang digunakan di Belanda. Komposisi ekonomi ikonoklas menggemakan yang didokumentasikan di Paris dan di pedesaan Swiss, di mana sebagian besar individu entah bagaimana benar-benar atau dalam perasaan melihat mata pencaharian mereka dipengaruhi oleh tindakan pemerintah, yang selama periode Modern Awal terkait erat dengan perilaku gereja.

Tindakan ikonoklasme di Belanda tidak berhenti di situ. Terjadi penyebaran ikonoklasme yang terus-menerus di seluruh Belanda:

“Pada tahun 1572 dan 1573 pasukan pemberontak di Belanda dan Zeeland membunuh para pendeta, menjarah biara-biara, dan mengejek sakramen-sakramen; properti gereja disita, dan sejak tahun 1573 ibadah Katolik dilarang di sana. Antara tahun 1577 dan 1585 kaum Calvinis di Antwerp, Ghent, Bruges, Ypres, dan Brussels mengganggu prosesi, membakar buku-buku, merusak patung-patung, mengusir para pendeta, dan akhirnya melarang ibadah Katolik sama sekali.”

Berbeda dengan rekan-rekan mereka di Prancis, yang dibantai dan dimutilasi di jalan, Pollman menegaskan bahwa, “umat awam Katolik di Belanda hampir sepenuhnya pasif dalam menanggapi aktivisme Reformasi.” Perang Agama di Prancis pada masa awal agak sezaman dengan ikonoklasme Belanda.

Perspektif yang berbeda tentang penyebab konflik antara kaum Huguenot dan umat Katolik yang tinggal di Paris menjelang dan selama Perang Agama Prancis dimulai dengan berbagai aktivitas di Prancis pada tahun 1560-an, alih-alih meninjau pemicu berbagai peristiwa seperti pembantaian Hari St. Bartholomew pada tahun 1572 hanya dari perspektif politik. Kekerasan agama di Paris menjadi serius sejak tahun 1561, empat dekade setelah khotbah anti-Reformasi yang ketat menjadi norma. Agama Katolik, yang sangat terkait dengan monarki, harus dipertahankan dengan segala cara.

Perbedaan utama antara kebrutalan manusia Prancis dan kebrutalan objek Belanda adalah siapa yang mencoba menegakkan konsep toleransi. Di Prancis, setelah kematian Henry II secara tidak sengaja pada tahun 1559 dan putranya Francis II pada tahun 1560, monarki tidak stabil dan berada di tangan Catherine de ‘Medici. Ia, melalui putranya yang masih muda, Charles IX, mencoba untuk membuat undang-undang toleransi antara umat Katolik dan Calvinis. Umat Katolik tidak terkesan.

Di Belanda, warga negaralah yang menginginkan toleransi. Raja Philip II dan ayahnya Charles V sangat terbiasa memburu dan menghancurkan para bidat. Pada tahun 1560-an, sekelompok besar bangsawan yang lebih rendah mampu meyakinkan (atau, mungkin, dengan lembut memaksa) Bupati Belanda Philip II, Margaret dari Parma, untuk menyerah pada keinginan para bangsawan Belanda untuk perdamaian dan kebebasan dari penganiayaan, yang mengakibatkan Margaret menangguhkan hukum bidah. Para pemimpin pemerintah Belanda juga memiliki pengalaman dengan kaum Anabaptis yang radikal dan kejam pada tahun 1534-1535 untuk diambil pelajaran, dan melihat, “perbedaan yang jelas antara kaum Anabaptis yang suka menghasut dan para pembangkang yang terhormat, yang menganggap banyak borjuis di antara mereka.” Selain itu, penegakan hukum anti-bidat di Belanda kurang lebih telah menurun pada akhir tahun 1550-an.

Dengan demikian, banyak penganut ikonoklasme yang bertindak pada bulan Agustus 1566 percaya bahwa mereka bertindak atas nama kaum bangsawan setempat. Selama beberapa waktu setelah ikonoklasme bulan Agustus, gagasan tentang perdamaian agama menyebar ke sebagian besar provinsi Belanda. Sayangnya, perdamaian itu tidak bertahan lama, dan Philip II segera mengambil tindakan untuk mengusir para penganut bidah.

Kesimpulan

Motivasi di balik ikonoklasme sangat bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lain dan dekade ke dekade selama Reformasi Jerman dan Inggris abad ke-16 adalah Reformasi agama, tentu saja, adalah motivasi parsial dari ikonoklasme yang dibahas di Wittenberg Jerman, Thurgau Swiss, Inggris Tudor, dan Belanda Spanyol. Namun, semua detail kecilnya berbeda. Di Wittenberg, Karlstadt berpikir bahwa semua gambar keagamaan bersifat ofensif, sedangkan Martin Luther hanya menganggap beberapa yang ofensif, tergantung pada konteksnya. Di Thurgau, ikonoklasme kemungkinan besar dipengaruhi oleh kegiatan ikonoklastik sebelumnya di Zurich, tetapi sebagian besar dimotivasi oleh meningkatnya kemiskinan kaum tani jika dibandingkan dengan meningkatnya kekayaan gereja lokal. Di Inggris Tudor, motivasi ikonoklasme berubah dari raja ke raja, dan dalam beberapa kasus berlanjut hingga pertengahan abad ke-17 . Para ikonoklas di Belanda Spanyol mengira mereka menjadi subjek yang baik bagi bangsawan setempat dengan merobohkan dan menghancurkan citra keagamaan. Apa pun motivasinya, satu-satunya hal yang pasti adalah bahwa karya seni yang tak terhitung jumlahnya yang berharga telah dirusak atau dihancurkan selamanya pada abad ke-16 , dan tidak akan pernah dikagumi lagi.

Dikaitkan dengan Steven van der Meulen, Ratu Elizabeth I, 1562. Foto: Bonhams.

Elizabeth I c. 1562 oleh Steven van der Meulen.

Namun, pemindahan ikon-ikon dari gereja-gereja zaman Elizabeth terkadang mengakibatkan barang-barang yang dijarah berakhir di rumah-rumah rakyat Elizabeth. Seperti yang akan dibahas kemudian, situasi ini bukan hanya terjadi di Inggris. Elizabeth mengambil tindakan terhadap barang-barang yang disalahgunakan dengan meminta imam, apakah Anda mengetahui ada orang yang menyimpan di rumah mereka tanpa merusak gambar, meja, gambar, lukisan, atau monumen lain yang merupakan mukjizat palsu, ziarah, penyembahan berhala, dan takhayul, dan memujanya, terutama yang telah didirikan di gereja, kapel, atau ruang doa.

Melalui upaya menunjukkan tema-tema keagamaan dalam karya Sidney, sejumlah hal mengejutkan tentang ikonoklasme Elizabethan di awal pemerintahan Elizabeth I dapat dipetik.

Dalam beberapa hal, ikonoklasme dapat diartikan sebagai antiwanita. Ada aliran pemikiran pada abad ke-16 yang meluas dari Jerman ke Inggris, yang menyatakan bahwa gambar-gambar orang suci perempuan adalah pelacur, sehingga membenarkan penghancuran yang dilakukan oleh umat Katolik dan Protestan Reformasi.

Secara khusus:

“Para reformis…mengaitkan tatapan pemujaan dengan tatapan erotis, dan mereka menyamakan gambar-gambar suci dengan wanita yg diseksualisasikan yang, meskipun cantik, sangat menggoda. Banyak dari gambar-gambar ini tentu saja merupakan representasi ideal dari wanita-wanita suci, dan secara khusus disorot. Polemik-polemik Protestan menentang representasi Perawan Maria, Maria Magdalena, dan para wanita kudus karena, menurut mereka, gambar-gambar ini menggambarkan tubuh wanita sedemikian rupa sehingga membangkitkan hasrat duniawi”.

Reaksi terhadap gambar-gambar di Inggris pada masa Elizabeth ini mirip dengan perasaan Karlstadt di Wittenberg beberapa dekade sebelumnya. Di Jerman pada masa Reformasi, mengutip Desiderius Erasmus,

“Tertekan oleh apa yang mereka anggap sebagai ikonofilia yang menyebar luas, bahkan hampir universal, di antara orang-orang yang taat, para reformis Protestan dan umat Katolik Roma yang berpikiran reformis sama-sama menyatakan keprihatinan karena begitu banyak umat awam yang beribadah memperlakukan patung-patung seolah-olah mereka hidup; bahwa orang-orang menundukkan kepala, jatuh ke tanah, atau merangkak di depan patung-patung itu; dan bahwa para jamaah mencium atau membelai ukiran-ukiran itu.”

Jika memang ini yang terjadi pada masa itu dengan patung-patung dan ukiran-ukiran, barangkali gerakan ke arah ikonoklasme pada dekade-dekade awal Reformasi agak lebih masuk akal bagi pengamat modern.

Dalam beberapa kasus, ikonoklasme di Inggris dibenarkan oleh otoritas sipil sebagai cara untuk membawa moralitas dan menghilangkan godaan seksual dari masyarakat. Singkatnya, dengan menyingkirkan berhala yang “dilacurkan”, hal-hal seperti prostitusi juga akan berkurang di masyarakat. Dengan menyingkirkan gambar-gambar, otoritas sipil mencegah “pelacuran rohani di hati”. Secara efektif, ikonoklasme bukanlah tindakan kekerasan yang tidak masuk akal oleh para aktor Reformis atau Protestan, melainkan upaya untuk menghilangkan godaan dan penyimpangan dari ruang keagamaan.

Akan tetapi, berbeda dengan Inggris pada masa Elizabeth, “para penganut ikonoklas hampir tidak pernah menjarah gambar-gambar tersebut untuk keuntungan materi, sebaliknya mereka lebih suka merusak atau menodainya dengan cara-cara yang sangat simbolis, mencungkil mata mereka atau menusuk sisi tubuh mereka. Memang… para penganut ikonoklas tampaknya terlibat dalam pembunuhan simbolis: mereka memenggal kepala, memotong-motong, menyiksa, merusak, dan bahkan menyalibkan gambar-gambar ini.” Meskipun hal ini mendukung penyelidikan arkeologis tentang ikonoklasme di Inggris, hal ini berpotensi bertentangan dengan apa yang dialami di Inggris pada masa Elizabeth. Dekrit-dekrit Elizabeth diberlakukan secara khusus karena adanya kekhawatiran bahwa barang-barang ibadah digunakan di lingkungan kapel rumah pribadi.

Belanda di Bawah Kekuasaan Habsburg, 1566 hingga 1585

Kembali ke benua Eropa, penting untuk mendapatkan wawasan tentang apa yang memotivasi perilaku ikonoklastik, yang beberapa di antaranya sejajar dengan motivasi orang Swiss. “Kerusuhan ikonoklastik” pertama terjadi pada tahun 1566 di Westerkwartier, “daerah yg penuh dengan agitasi Calvinis…” Secara khusus, kerusuhan dimulai dengan seorang pria yang menyerang sebuah kapel kecil di Steenvoorde. Kapel itu didedikasikan untuk St. Lawrence, dan diserang pada hari rayanya tanggal 10 Agustus oleh seorang pendeta Calvinis dan beberapa pengikutnya. Setelah menyampaikan khotbah, kelompok itu memasuki gereja dan menghancurkan lukisan dan patung tokoh agama apa pun yang dapat mereka temukan. Secara umum, “kecaman vernakular terhadap penyembahan gambar Katolik dlm bentuk risalah atau drama sangat banyak.”

Dengan demikian, gagasan tentang gambar keagamaan yang bersifat kepausan, melanggar perintah kedua, dan jelas pro-Katolik dan pro-Spanyol, dikenal luas di daerah tersebut.

Potret Philip II dari Spanyol oleh Sofonisba Anguissola - 002b.jpg

Philip II dari Spanyol oleh Sofonisba Anguissola, sekitar 1573.

Ikonoklasme Belanda jauh lebih menyeluruh dalam penghancurannya dibandingkan dengan ikonoklasme di Jerman, Inggris, atau Swiss. Secara khusus:

“seluruh perlengkapan material gereja, dari jubah pendeta hingga buku-buku liturgi dan kolam pembaptisan, telah menjadi sasaran saat para penyerang berusaha membersihkan dan memurnikan ruang-ruang dalam yang dipenuhi dengan berbagai macam benda suci”.

Hal ini berbeda dengan upaya awal Karlstadt untuk menyingkirkan hanya gambar-gambar, penghancuran patung St. Anna di Swiss, dan Pembubaran Biara-biara secara bertahap di Inggris. Cara ikonoklasme dilakukan sangat berbeda dengan manifestasi ikonoklasme di bagian lain Eropa.[1] [2]

  1. https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Iconoclasm

  2. https://maidensandmanuscripts.com/2021/04/01/iconoclasm-in-16th-century-western-europe/

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya