LIVE DKC KAMIS, 24 JANUARI 2025: MURTADNYA MARTIN LUTHER ..!!!, SIMAK BAIK-BAIK YA
Ajaran-ajaran Sesat Besar
Sejak awal Kekristenan, Gereja telah diserang oleh mereka yang memperkenalkan ajaran-ajaran palsu atau sesat. Alkitab telah memperingatkan kita tentang terjadinya hal ini. Dalam 2 Timotius 4:3-4, Paulus berkata kepada anak didik mudanya, Timotius, “Sebab akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi karena gatal telinganya mereka akan mengumpulkan guru-guru yang mereka kehendaki untuk memuaskan keinginan mereka sendiri, dan mereka akan berbalik dari mendengarkan kebenaran dan mengikuti ajaran-ajaran sesat.”
Apakah Ajaran Sesat itu?
Ajaran sesat adalah istilah yang sarat dengan emosi yang sering disalahgunakan, hal ini tidak sama dengan ketidakpercayaan, perpecahan, kemurtadan, atau dosa-dosa lain yang bertentangan dengan iman. KGK 2089 menyatakan “Ketidakpercayaan adalah pengabaian terhadap kebenaran yang diwahyukan atau penolakan yang disengaja untuk menerimanya. Bidaah adalah penyangkalan yang keras kepala setelah pembaptisan akan suatu kebenaran yang harus dipercayai dengan iman ilahi tunduk kepadanya.”
Untuk melakukan kesesatan seseorang harus menolak dikoreksi, sebaliknya seseorang yang siap dikoreksi atau tidak menyadari apa yang telah dikatakannya bertentangan dengan ajaran Gereja bukanlah bidaah.
Seseorang harus dibaptis untuk melakukan ajaran sesat. Ini berarti gerakan-gerakan yang telah memisahkan diri dari atau dipengaruhi oleh Kekristenan, tetapi tidak mempraktikkan pembaptisan (atau pembaptisan yang sah), bukanlah bidaah, melainkan agama-agama yang terpisah. Contohnya Muslim yang tidak mempraktikkan baptisan dan Saksi Yehova yang tidak mempraktikkan baptisan yang sah.
Akhirnya, keraguan atau penyangkalan yang terlibat dalam bidaah haruslah menyangkut masalah yang telah diwahyukan oleh Allah dan ditetapkan dengan sungguh-sungguh oleh Gereja, misalkan: Tritunggal, Inkarnasi, Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi, Pengorbanan Misa, Kemutlakan Paus, atau Maria Dikandung Tanpa Noda dan Maria diangkat ke Surga.
Selanjutnya, mari kita melihat bidaah utama dalam sejarah Gereja langsung ke abad ke-16:
Protestantisme (Abad ke-16)
Kelompok Protestan menampilkan berbagai macam doktrin berbeda, namun hampir semuanya mengklaim percaya pada ajaran sola scriptura (“hanya dengan Kitab suci” – gagasan bahwa kita harus menggunakan hanya Alkitab ketika membentuk teologi) dan soal fide (“hanya dengan iman” – gagasan bahwa kita dibenarkan hanya dengan iman).
Keragaman doktrin Protestan yang besar berasal dari penghakiman pribadi, yang menyangkal otoritas Gerja yang tidak dapat salah dan menyatakan bahwa setiap individu harus menafsirkan Alkitab untuk dirinya sendiri. Gagasan ini ditolak dalam 2 Petrus 1:20 dimana kita diberitahu tentang aturan pertama dalam menafsirkan Alkitab: “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri.” Ciri penting ajaran sesat ini adalah upaya untuk mengadu domba Gereja dengan Alkitab dengan menyangkal menyangkal bahwa Magisterium memiliki otoritas yang tidak dapat salah dalam menafsirkan Alkitab.
Doktrin penghakiman pribadi ini telah menghasilkan ribuan denominasi Kristen yang berbeda dan kelompok-kelompok sempalan kuasi Kristen sepanjang sejarah.
Nihil Obstat:
Saya telah menyimpulkan bahwa materi yang disajikan dalam karya ini bebas dari kesalahan doktrinal atau moral, Bernadeane Carr, STL, Cencor Libroram, 10 Agustus 2004.
Imprimatur:
Sesuai dengan CIC 827 tahun 1983 izin untuk mempublikasikan karya ini dengan ini diberikan.
+Robert H. Brom, Uskup San Diego, 10 Agustus 2004.
Buku “LUTHER” oleh Hartmann Grisar, SJ., Guru Besar di Universitas Innsbruck
Terjemahan yang diresmi dari Bahasa Jerman oleh Me Lamond, Diedit oleh Luigi Cappadelta Volume II London Kegan Paul, Trench, Trübner & Co., Ltd., Rumah Broadway, 68-74, Carter Lane, EC 1913.
Obstat Nihil:
Isti. Ludovici, meninggal 26 Januari 1913, FG Holweck Sensor.
Imprimatur:
Isti. Ludovici, meninggal 30 Januari 1913, Johannes J. Glennon, Archiepiscopus Sti. Ludovici.
Kemurtadan Luther, Bab IX: Permulaan dari Kemurtadan Besar
Sekutu diantara kamu Humanis dan kaum Bangsawan hingga Pertengahan tahun 1520
Seiring dengan kemajuan karyanya, penggagas inovasi tersebut menerima tawaran dukungan dari berbagai pihak yang memiliki tujuan serupa dengannya.
Pertama-pertama, banyak diantara kaum Humanis menyambutnya dengan gembira karena percaya bahwa cita-cita mereka sebagaimana diungkapkan dalam “Epistole obscurorum virorum” akan benar-benar dimajukan melalui keberanian dan energi Luther. Mereka memihaknya karena memandangnya sebagai seorang pejuang kebebasan inteletual dan dengan demikian sebagai seorang promotor budaya yang mulia dan manusiawi melawan barbarisme yang merajalela.
Erasmus, Mutian, Crotus Rubeanus, Eobanus Hessus dan yang lainnya termasuk diantara para pelindungnya, meskipun seperti halnya tiga orang pertama, beberapa dari mereka meninggalkannya kelak. Sebagian beaar kaum Humanis yang berusaha membangkitkan semangat Luther dalam bentuk syair dan prosa, belum menyadari bahwa semangat orang yang mereka puji itu sangat berbeda dengan semangat mereka sendiri, dan bahwa Luther kemudian menjadi salah satu penentang paling keras terhadap pandangan mereka tentang hak-hak akal budi dan “kemanusiaan” yang bertentangan dengan iman. Sementara Luther tidak hanya tidak mencemooh aliansi yang ditawarkan, tetapi seperti dalam suratnya kepada Erasmus, merendahkan diri untuk mendapatkan dukungan dalam bahasa yang begitu rendah hati dan menyanjung melampaui protes-protes yang biasa dilakukan kaum Humanis. Ia juga menarik beberapa kaum Humanis yang sangat menjanjikan untuk dekat hubungannya dengan dirinya, misalnya Philip Melanchthon dan Justus Jonas, yang ia menangkan dukungannya sejak awal. Crotus Rubenaus, penulis utama “Epistole Pobscrurorum viroum” berusaha memperbaharui kenalan lamanya dengan temannya melalui surat di Oktober 1519. Baginya Luther muncul sebagai orang dengan keberanian menentang para tiran yang dibicarkan orang di seluruh dunia, dan dipenuhi Roh Tuhan. Crotus atas dorongan Hutten, ingin sekali mewujudkan kesepahaman antara Luther dan Knight Franz von Sickingen.
Kaum bangswan merupakan faktor penting lain yang menjadi sandaran Luther di kemudian hari. Ulrich von Hutten, Ksatria Franconian dan Humanis, seorang wakil khas para Ksatria revolusioner di masa itu, berbicara kepada biarawan Wittenburg dengan istilah-istilah yang sama salehnya seperti Crotus. Bahasanya penuh dengan kutipan Injil, yang diadopsi untuk menyenagkan Luther dan para reformis, memberikan kesan yang sangat aneh darinya, seorang libertin dan sinis. Hubungan pertamanya dengan Luther melaui perantara Melanchthon, menjanjikan perlindungan bersenjata jika Luther membutuhkannya. Pesannya bahwa Franz von Sickingen akan dalam keadaan darurat apapun menawarkan tempat berlindung yang aman di kastilnya di Edernburg. Faktanya Sickingen pada tahun 1520 menyerahkan kastil, yang disebut Hostel of Justice, kepada Hutten, Bucer, dan Ecolampadius sebagai tempat yang man. Para bangsawan yang telah bermusuhan dengan Kekaisaran disana bersepakat dengan para teolog ajaran baru tersebut.
Namun Luther merasa cukup aman di kedaulatannya sendiri di Wittenberg dan bersikap menahan diri terhadap pihak yang telah mengkompromikannya, dan menunda memberikan jawabannya. Semangat revolusioner yang mengilhami kaum bangsawan di seluruh Kekaisaran tidak disetujui oleh Luther kecuali sejauh upaya para pria pedang yang tidak bermoral ini diarahkan terhap kekuasaan Roma di Jerman, dan terhadap pembayaran kepada Tahta Suci. Perasaan orang Jerman terhadap “Penindasan Italia”, sangat sesuai dengan pernyataan perang para Ksatria yang menetang perbudakan dan eksploitasi Jerman.
Dengan demikian simpati dan juga kesamaan kepentingan tertentu menjadikan para Ksatria sebagai pembawa berita evangelis baru.
Februari 1520, Hutten, melalui perantara Melanchthon, kembali menarik perhatian Luther, “Sang Juara Tuhan” terhadap perlindungan yang ditawarkannya oleh Sickingen. Luther tidak menjawab sampai bulan Mei dan juga tidak menyimpan suratnya, begitu juga dengan tiga suratnya kepada Hutten. Cochlaeus, lawannya, mengatakan, “ia telah melihat surat-surat yang benar-benar berdarah” yang ditulis Luther kepada Hutten. Tetapi ia tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai isi suratnya itu, bagaimana kata-kata “surat berdarah” – yang mungkin merupakan ungkapan yang terlalu kasar – harus dipahami dapat disimpulkan dari beberapa pernyataan Luther mengenai tawaran lain yang diberikan kepadanya pada waktu hampir bersamaan.
Ksatria Silvester von Schauenberg, seorang pejuang yang gigih, saat itu menjabat sebagai Juru Sita Tinggi Münnerstadt, menyatakan kesiapannya menyediakan seratus bangsawan yang akan melindunginya dengan kekuatan senjata hingga “urusan”nya berakhir. Luther memberitahu Spalatin, temannya, bahwa “Schauenberg dan Franz von Sickingen telah menjamin saya terhadap rasa takut manusia. Amarah setan kini akan segera datang; ini akan terjadi ketika saya menjadi beban bagi diri saya sendiri.” “Seratus bangsawan telah dijanjikan oleh Schauenberg jika aku melarikan diri ke mereka dari ancaman bangsa Romawi. Franz Sickingen telah memberikan penawaran yang sama.”
Luther berbicara secara terbuka dalam khotbahnya “Tentang Perbuatan Baik” (Maret 1520) tentang campur tangan kekuatan-kekuatan duniawi yang dia inginkan untuk melihat, karena kekuatan spiritual tidak melakukan apapun selain menuntun segalanya menuju kehancuran.
Hutten, yang lebih condong kearah aliansi daripada Luther, terus menyatakan persetujuannya terhadap pandangan Luther dan mengundangnya. Di tanggal 4 Juni 1520, ia menulis “Sya selalu setuju dengan anda (dalam tulisan-tulisan anda) sejauh yang saya pahami. Anda dapat mengandalkan saya dalam hal apapun. Karena itu di masa mendatang, anda mungkin memberanikan diri untuk memberitahukan semua rencana anda kepada saya.” Dalam surat lainnya Hutten menulis “Karena tindakan partai Kepausan, dia akan segera menyerang tiran Roma dengan kekuatan bersenjata, pada saat yang sama juga memberitahukan Uskup Agung Mayence dan Capito tentang resolusinya.” Luther begitu terhanyut dengan prospek ini sehingga ia menulis kepada Spalatin bahwa jika Uskup Agung Mayence hendak melanjutkan tindakan Luther dengan cara yang sama seperti yang telah dilakukannya terhadap Hutten, dengan melarang tulisan-tulisannya, maka ia akan “menyatukan rohnya (maksudnya penanya) dengan roh Hutten.” Dan Uskup Agung itu tidak akan punya banyak alasan untuk bersukacita, namun yang terakhir “dengan perilakunya mungkin akan segera mengakhiri tirani terhadapnya.”
Musim gugur 1520, dikatakan bahwa di dekat Mayence, Hutten telah menyerang Nuncio Kepausan Marinus Caraccioli dan Hieronymus Aleander, yang sedang dalan perjalanan menjuju parlemen di Worms, hanyalah kebetulan saja rencana tersebut gagal. “Saya senang” tulisnya saat itu “bahwa Hutten telah memimpin jalan, andai saja ia bisa menangkap Marinus dan Leander.”
Alasan Luther menggunakan kekerasan segera menjadi penyebab kekesalan, bahkan bagi beberapa pengagumnya. Kita melihat ini dari peringatan bersahabat Wolfgang Capito kepadnaya di tahun yang sama, 1520. Setelah merekomendasikan tindakan damai, ia berkata kepadanya “Anda menakut-nakuiti pengikut setia anda dengan menginsyaratkan tentara bayaran dan senjata.” “Saya pikir saya mengerti alasan rencana anda tetapi saya sendiri melihatnya dari sudut pandang berbeda.” Capito menasihati Luther untuk bertindak dengan cara yang mendamaikan dan dengan pertimbangan yang matang. “Jangan mengkhotbahkan Firman Kristus dalam pertikaian tetapi dalam kasih.”
Dia telah diperingatkan sebelumnya ketika menerima dari Hutten, seorang pejuang pemberontak, sebuah laporan rahasia tentang pekerjaannya dan permintaan untuk menggunakan pengaruhnya terhdap sang pemilih agar mereka dapat terdorong untuk memberikan bantuan kepada dan partainya: Sang Pangeran harus “memberikan bantuan kepada mereka yang telah mengangkat senjata atau setidaknya, demi kepentingan tujuan baik, menutup mata terhadap apa yang sedang terjadi, dan mengizinkan mereka berlindung di wilayah kekuasannya jika keadaan mengharuskannya.” Hutten dengan aliansi yang diusulkannya menjadi semakin mendesak. Akan tetapi Luther tidak mau melakukannya sejauh itu, ia terlalu menghargai dukungan kepadanya oleh Raja sehingga tidak mau mengakui bahwa ia mendukung unsur-unsur yang meragukan. Dalam jawabannya, ia menganggap perlu untuk menyatakan dirinya menentang penggunaan senjata, meskipun ia menyambut gembira serangan-serangan sastra Hutten yang menurut ungkapannya sendiri “akan membantu menggulingkan Kepausan, lebih cepat daripada yang dapat diantisipasi.” Kita mengetahui dari bibirnya sendiri bahwa ia menulis kepada Hutten dengan mengatakan “ia tidak ingin meneruskan perjuangan Injil dengan cara kekerasan dan pembunuhan.” Dalam tulisannya kepada Spalatin di Worms, ia menambahkan sebuah refleksi, yang ditujukan untuk kepentingan pengadilan: “Dunia telah ditaklukan dan Gereja dipelihara oleh Sabda, dan melalui Sabda, Gereja akan diperbaharui. Anti Kristus yang bangkit berkuasa tanpa bantuan manusia juga akan dihancurkan tanpa cara manusia, yaitu oleh Sabda.”
Di sisi lain dalam suratnya kepada Staupitz, yang saat itu sudah tinggal di Salzburg, kembali menekankan pentingnya karya sastra Hutten dan teman-temannya untuk ajaran baru. “Hutten dan banyak orang lain menulis dengan berani untuk saya… Pangeran kita,” tambahnya “bertindak dengan bijaksana, setia dan teguh,” dan sebagai bukti kebaikan hati penguasa negeri itu ia menyebutkan bahwa ia menerbitkan sebuah publikasi tertentu dalam bahasa Latin dan Jerman atas permintaannya.
“Pangeran bertindak dengan setia dan teguh” mungkin itulah alasan utama mengapa Luther menahan diri untuk tidak bergabung dengan gerakan maju seperti yang dianjurkan oleh para Ksatria Kekaisaran. Elektor yang cerdas itu menentang kepada Kekaisaran dipertanyakn secara tidak perlu. Terlebih lagi, bagi Luther, bantuannya sangat diperlukan demi kepentingan tujuannya, adalah dapat melanjutkan pekerjaan profesionalnya di Wittenberg dan menyebarkan publikasinya ke luar negeri tanpa hambatan dari tempat yang begitu menguntungkan. Ia juga tidak memiliki watak suka berpetualang untuk mengantisipasi hal-hal besar dari khayalan yang diusulkan para Ksatria Hutten. Namun ia menyadari resolusi agama yang diperjuangkannya memberikan dukungan moral paling kuat bagi kecenderungan liberal para Ksatria, dan di pihaknya sangat puas dengan bantuan moral yang diberikan partai mereka. Namun percumbuannya dengan partai ini merupakan permainan berbahaya bagi Jerman. Seperti diketahui, Sickingen memohon pembebasan atas tindakan kekerasannya, dan Hutten memohon pembelaan atas cercaannya, kepada ajaran baru yang baru-baru ini muncul di Jerman.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menggambarkan Luther sebagai pihak yang memperlakukan upaya-upaya pihak yg menentang Kekaisaran dengan penghinaan yang luar biasa. Namun, dapat dipastikan bahwa “ia sama tidak acuhnya terhadap tepuk tangan meriah dari Ksatria Franconia (Hutten) seperti terhadap tawaran perlindungan dan pembelaan yang diberikan kepadanya oleh Franz von Sickingen dan Silvester von Schauenberg, kritik yang menguntungkan dari Erasmus dan Humanis lainnya, surat-surat penyemangat dari kaum Utraquis Bohemia, simpati yang semakin besar dari para pendeta dan biarawan Jerman, keributan di antara para mahasiswa muda, dan berita tentang kegembiraan yang semakin besar di antara massa. Ia semakin menyadari dengan jelas dari semua tanda-tanda ini bahwa ia tidak berdiri sendiri.”
Akibatnya, bahasanya menjadi lebih kuat, tindakannya lebih berani dan bersemangat. Ia menyingkirkan semua keraguan penghormatan gerejawi terhadap keutamaan Petrus yang masih melekat padanya sejak zaman Katolik, berusaha mengambil alih peran juru bicara bangsa Jerman, khususnya ketidakpuasan universal terhadap pemerasan Roma. Keduanya diungkapkan dengan jelas dalam bukunya “Von dem Bapstum tzu Rome” yang ditulisnya pada Mei 1520, dan terbit pada bulan Juni.
Ia menulis bukunya “Von dem Bapstum tzu Rome” kepada banyak orang, yaitu semua orang yang sebelumnya telah menemukan kedamaian hati nurani dan jaminan keselamatan yang menggembirakan dalam kesetiaan kepada Gereja dan Kepausan. Ia berusaha membuktikan bahwa 1) mereka telah keliru, 2) bahwa Gereja hanyalah kerajaan rohani semata, 3) bahwa kekayaan kerajaan ini dapat diperoleh hanya melalui iman tanpa campur tangan otoritas imamat atau hierarki, 4) bahwa Kerajaan Allah tidak terikat dengan persekutuan dengan Roma, 5) bahwa Kerajaan itu ada di mana pun iman menjalankan kekuasaannya, 6) bahwa persemakmuran rohani seperti itu tidak dapat memiliki manusia sebagai kepalanya, tetapi hanya Kristus. Otoritas gerejawi baginya tidak lagi seperti yang awalnya ia wakili, yaitu otoritas untuk memerintah yang dipercayakan kepada negara klerikal, tetapi janji pengampunan dan belas kasihan Ilahi yang penuh kasih bagi hati nurani yang mencari keselamatan. Pandangan dogmatis atau psikologisnya yang baru, dengan kecenderungan menenangkan jiwa, terlihat jelas di mana-mana.
Dalam karya yang sama, ia dengan marah menanggapi keluhan keuangan yang berkembang dari orang-orang Jerman terhadap Roma. Ia memberi tahu mereka dalam bahasa Hutten dan Sickingen yang menghasut, bahwa di Roma orang Jerman dipandang sebagai binatang buas, bahwa tujuannya adalah untuk menipu “orang-orang Jerman yang mabuk” dari uang mereka dengan segala tipu daya pencuri yang mungkin dilakukan dengan motif keserakahan. “Kecuali para pangeran dan bangsawan Jerman segera mengurusnya, Jerman akan berakhir menjadi gurun, atau terpaksa melahap dirinya sendiri”. Sebuah ramalan yang sayangnya terbukti benar dalam arti berbeda, dari apa yang dimaksudkan Luther, meskipun sebagian besar disebabkan oleh tindakannya. Para pangeran dan bangsawan Jerman memang turut andil dalam menghancurkan Jerman, dan kesengsaraan Perang Tiga Puluh Tahun meninggalkan jejak berdarah pada nubuat Luther yang tidak disengaja itu.
Pada tahun sama 1520, Luther melontarkan apa yang disebutnya sebagai “tulisan-tulisan reformasi besar,” “An den Adel” dan “De captivitate babylonica”, ke tengah-tengah kontroversi. Tulisan-tulisan itu menandai krisis dalam pertikaian sebelum penerbitan Bulla Ekskomunikasi.
Akan tetapi, sebelum membahasnya, kita harus berlama-lama pada apa yang telah dipertimbangkan; sesuai dengan tugas psikologis khusus dari karya ini, adalah tugas kita untuk menggambarkan lebih lengkap satu karakteristik tindakan Luther hingga saat ini, yaitu kecenderungan pikirannya yang penuh badai, keras, dan tak terkendali. Hal ini, sebagaimana setiap orang yang tidak berprasangka akan setuju, sangat kontras dengan karakter spiritual dari setiap usaha yang akan menghasilkan hasil etika yang langgeng dan berkat sejati, yaitu, dengan pengendalian diri dan kehati-hatian yang selalu diberikan kepada semua orang yang diutus Tuhan untuk keselamatan umat manusia dan jiwa, meskipun energi mereka sangat besar.
Pentingnya kualitas-kualitas terakhir ini, dalam kasus seseorang yang ingin mencapai kebaikan yang permanen, belum pernah dijelaskan dengan lebih baik daripada oleh Luther sendiri: “Tidak mungkin,” katanya dalam uraiannya tentang Doa Bapa Kami, “bahwa seseorang yang berkehendak baik, jika benar-benar baik, dapat menjadi marah atau suka bertengkar ketika ia menghadapi pertentangan. Catatlah dengan baik, itu pasti merupakan tanda dari niat jahat jika ia tidak dapat menahan pertentangan.” “Tetapi kesombongan yang sudah mengakar tidak tahan dianggap salah atau bodoh, dan karena itu memandang orang lain sebagai orang bodoh dan jahat.” Dia menyatakan bahwa orang-orang yang penuh nafsu dan mementingkan diri sendiri ini adalah “yang terburuk dan paling memalukan di seluruh agama Kristen,” lupa bahwa ia sendiri digolongkan oleh orang-orang sezamannya dan murid-muridnya di antara orang-orang ini. Jika ia sungguh-sungguh ingin mendengar suara Kristus berbicara di dalam dirinya, sebagaimana ia benar-benar percaya bahwa ia mendengarnya, maka ia seharusnya tidak membiarkan suara itu tenggelam oleh kegembiraannya yang meluap-luap. Orang-orang yang dipilih oleh Allah selalu berhati-hati untuk menantikan ilham-ilham Ilahi dengan ketenangan pikiran yang paling besar, karena mereka tahu betul betapa mudahnya bagi pikiran yang gelisah untuk menjadi tuli terhadap ilham-ilham itu, atau salah mengira bahwa itu adalah suara yang menipu dari keinginannya sendiri yang sesat.
Tulisan yang sudah disebutkan, “Von dem Bapstum tzu Rome,” mengandung contoh paling menyedihkan dari kegembiraan Luther yang tak terkendali, dan dari kejengkelan yang meledak menjadi kobaran api pada pertentangan sekecil apa pun terhadap pendapatnya.
Tulisan ini ditujukan kepada teolog terhormat dari Leipzig, Augustine Alveld, seorang Fransiskan, yang telah memberanikan diri untuk mengambil bagian dari Takhta Suci, dan untuk mengukur serangan Luther yang tidak adil pada nilai sebenarnya. Luther menyerang biarawan terpelajar ini dengan kemarahan yang sama sekali tidak terkendali, menyebut bukunya sebagai “karya kera, yang dimaksudkan untuk meracuni pikiran orang awam yang malang,” dan dirinya sendiri sebagai “binatang penggilingan yang kasar yang belum belajar meringkik.” “Dia seharusnya memiliki rasa hormat yang besar terhadap kota Leipzig yang indah dan terkenal untuk menodainya dengan omong kosong dan ludahnya.”
Akan tetapi, Alveld mungkin menghibur dirinya sendiri dengan fakta bahwa Roma dan Kepausan adalah objek kemarahan Luther yang paling liar: “Bajingan-bajingan Romawi datang dan menempatkan Paus di atas Kristus.” Tetapi dia adalah “Anti Kristus yang dibicarakan oleh seluruh Kitab Suci … dan saya akan senang jika Raja, para Pangeran, dan semua Bangsawan mengabaikan para badut Romawi, bahkan jika kita harus melakukannya tanpa palia episkopal. Bagaimana keserakahan Romawi bisa sejauh ini merampas fondasi yang dibuat oleh para leluhur kita, pada keuskupan dan kehidupan kita? Siapa yang pernah mendengar atau membaca perampokan seperti itu? Bukankah kita orang-orang yang membutuhkannya sehingga kita harus memperkaya para muleteer, anak-anak istal, ya, bahkan para pelacur dan bajingan Roma dari kemiskinan kita, orang-orang yang memandang kita sebagai orang-orang paling bodoh, dan yang mengejek kita dengan cara yg paling memalukan”.
Kekerasan yang tak terkendali seperti itu, yang menandakan niat buruk, bukan sekadar hasil dari perasaan pahit Luther yg timbul akibat pergumulannya dengan para penentangnya. Kita memperhatikannya hampir sejak awal karier publiknya, dan itu terbukti baik dalam ucapan maupun tulisannya.
Sembilan Puluh Lima Tesis, yang kata-katanya pasti cukup kuat, diikuti oleh tulisan populer pertamanya, “Khotbah tentang Indulgensi dan Kasih Karunia,” yang berakhir dengan luapan amarah terhadap para musuhnya; apa pun yang mereka ajukan hanyalah “omong kosong”; dia tidak akan “memperhatikannya”; “mereka hanyalah orang-orang bodoh yang tidak pernah mengendus Alkitab,” tetapi tergila-gila dengan “pendapat mereka yg sudah ketinggalan zaman”. Seruan Adipati George dari Sachsen dalam perdebatan di Leipzig: “Das wallt die Sucht,” dapat dianggap sebagai semboyan untuk seluruh jalan yang ditempuh Luther yang penuh pertentangan dan penuh semangat, dari pemakuan Tesis hingga munculnya Bulla Ekskomunikasi. Bukan logika yang disengaja dan tenang yang menuntunnya dari langkah ke langkah, melainkan ia maju dengan pesat, dan membiarkan dirinya terbawa dalam kegembiraannya terhadap para penentangnya hingga ledakan yang lebih kuat terhadap Gereja, kadang-kadang, memang benar, hanya untuk kesenangan mengalahkan musuh-musuhnya dan memenangkan tepuk tangan dari para pembaca yang suka bertengkar seperti dirinya. Hanya beberapa bulan setelah penerbitan Tesis, ia menulis dalam pengertian ini kepada seorang teman: “Semakin besar pertentangan, semakin jauh saya maju; proposisi-proposisi sebelumnya saya biarkan digonggong, dan saya tetapkan yang lain agar dapat menimpa mereka juga.”
Namun, pada saat yang sama, ia menyatakan bahwa satu-satunya kejahatan yg dilakukannya adalah, “ia mengajarkan manusia untuk menaruh harapannya hanya di dalam Kristus, bukan pada doa, jasa dan perbuatan.”
Dominikan, Silvester Prierias, dalam dialognya yang ditujukan terhadap Luther, telah menyinggung Tesis Pengampunan Dosa, meskipun hanya sepintas lalu; Luther, bagaimanapun, sangat terganggu oleh keadaan bahwa ia telah membalas dari Roma, dan dalam karakternya sebagai Tuan Istana Suci, karena jika karakter Luther yang sebenarnya dibuka kedoknya di Roma dapat terbukti sangat berbahaya baginya; ia juga kesal karena Prierias menegakkan otoritas Paus, baik berkenaan dengan pengampunan dosa maupun masalah Gereja secara umum. Luther berkata, memang benar, bahwa berkenaan dengan pribadinya sendiri ia siap untuk menderita apa pun, tetapi ia tidak akan membiarkan siapa pun menumpangkan tangan pada sudut pandang teologisnya, eksposisi Kitab Sucinya dan (seperti yang ia tegaskan kemudian) pada khotbahnya tentang Firman dan Injil; “dalam hal ini janganlah seorang pun mengharapkan dariku pengampunan dosa atau kesabaran.”
Dia tentu membuktikan kebenaran janji terakhir itu dengan tulisan kasar pertamanya terhadap Prierias, yang kemudian masuk daftar dengan tanggapan yang sama sekali tidak bercirikan kelembutan. Dalam jawabannya terhadap hal ini, kemarahan Luther tidak mengenal batas. Akan sangat instruktif dan menarik untuk membandingkan dua tanggapan Profesor Wittenberg sehubungan dengan kemajuan dalam posisi teologisnya yang kontroversial yang ditunjukkan dalam tanggapan kedua ketika ditempatkan berdampingan dengan tanggapan pertama. Namun, demi singkatnya, kita harus puas dengan memilih beberapa bagian khas dari tanggapan kedua Luther, yang muncul pada saat yang sama dengan karya tentang Kepausan, yang ditujukan terhadap Alveld.
“Orang celaka ini ingin membalas dendamnya kepadaku seolah-olah aku telah membalas leluconnya yang lemah dengan cara yang menggelikan; ia mengemukakan sebuah tulisan yang penuh dengan hujatan yang mengerikan dari atas sampai bawah, sehingga aku hanya bisa berpikir bahwa karya ini telah dipalsukan oleh iblis sendiri di kedalaman neraka. Jika ini dipercaya dan diajarkan secara terbuka di Roma dengan sepengetahuan Paus dan para Kardinal, yang kuharap tidak demikian, maka aku katakan dan nyatakan di depan umum bahwa Anti Kristus yang sesungguhnya sedang duduk di Bait Allah dan memerintah di Roma, Babel yang sebenarnya ‘berpakaian ungu’ (Apoc. xvii. 4), dan bahwa Pengadilan Romawi adalah ”Sinagoge Setan” (Ibid., ii. 9). ”Ia secara tidak adil menuduh Prierias percaya bahwa Alkitab hanya menerima nilai batinnya dari seorang manusia fana (Paus). “Oh, Setan,” teriaknya, “Oh, Setan, berapa lama kau menyalahgunakan kesabaran penciptamu yang luar biasa?… Jika ini (apa yang terkandung dalam buku Prierias) adalah iman Gereja Roma, maka berbahagialah Yunani, berbahagialah Bohemia (yang terpisah dari Roma), berbahagialah semua orang yang telah memisahkan diri darinya, dan telah keluar dari Babel ini; terkutuklah semua orang yang bersekutu dengannya!”
Ia melangkah lebih jauh dengan mengucapkan kata-kata yang membakar: “Pergilah, hai Roma yang malang, terkutuk, dan menghujat, murka Tuhan akhirnya menimpa engkau … biarlah ia menjadi tempat tinggal para naga, tempat tinggal setiap roh yang tidak murni (lih. Yesaya 34:13), yang dipenuhi dengan berhala-berhala yang kikir, orang-orang yang bersumpah palsu, orang-orang murtad, kaum sodomi, kaum priapis, pembunuh, kaum simoniak, dan monster-monster lainnya yang tak terhitung banyaknya, sebuah rumah baru yang penuh dengan ketidaksalehan seperti Pantheon kafir di masa lampau.” Ia mencela ajaran Roma tentang keutamaan; “jika pencuri dihukum dengan tali, pembunuh dengan pedang dan para bidat dengan api, mengapa tidak melawan para guru kehancuran yang berbahaya ini dengan segala jenis senjata? Berbahagialah orang-orang Kristen di mana-mana kecuali mereka yang berada di bawah kekuasaan Anti Kristus Romawi seperti itu.” Prierias sendiri digambarkan oleh Luther sebagai “Juru Bicara Setan yang tidak tahu malu,” dan sebagai “seorang ahli Taurat yang tertawan dalam kegelapan Thomas Aquinas dan Dekrit Kepausan yg penuh kebohongan.”
Dengan cara yang sama Luther, dalam tulisan-tulisannya yang kontroversial, menumpuk julukan yang menghina kepada lawan-lawannya yang lain, Tetzel, Eck dan Emser.
Memang benar bahwa dalam kecaman mereka terhadap Luther, para penentangnya tidak mundur dalam menggunakan bahasa kasar, sehingga mengikuti kebiasaan pada masa itu, namun dalam hal keganasan, Profesor Wittenberg itu tidak ada tandingannya.
Luther tidak menarik hati nurani yang lebih mulia dari orang banyak yang mendukungnya ketika, pada tahun 1518, ia berusaha untuk menghasut para pembacanya untuk menentang lawan sastra lainnya, yaitu Dominikan. Inkuisitor, Jakob van Hoogstraaten, dan rekan-rekan biarawannya, dengan pernyataan keras bahwa Hoogstraaten tidak lain hanyalah “pembunuh gila dan haus darah, yang tidak pernah puas dengan darah Ikhwanul Kristen”; “dia seharusnya ditugasi memburu kumbang kotoran di tumpukan kotoran, daripada mengejar orang-orang Kristen yang saleh, sampai dia mempelajari apa itu dosa, kesalahan, dan ajaran sesat, dan semua hal lain yang berkaitan dengan jabatan seorang Inkuisitor. Karena saya belum pernah melihat orang yang lebih besar dari anda … Anda orang bodoh yang buta, anda anjing pemburu, anda musuh kebenaran yang getir, pemarah, dan mengoceh, yang tidak pernah muncul sebagai bidat yang lebih jahat selama empat ratus tahun terakhir.” Apakah tepat untuk menggolongkan ledakan kemarahan seperti itu dengan cara yg sama seperti yang dilakukan kaum Protestan ketika mereka dengan nada yang lembut mengatakan bahwa Luther berjuang dengan “keberanian dan tanpa takut kepada manusia,” dan bahwa, meskipun serangannya “ganas dan keras,” namun ia selalu takut “jangan-jangan ia akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Kehendak Tuhan?”
Sebaliknya, Luther, sejak tahun 1518, telah membuat pengakuan: “Saya sepenuhnya adalah seorang yang suka bertengkar, saya, sesuai dengan perkataan Nabi Yeremia, ‘Seorang yang suka bertengkar’.”
Hieronymus Emser, yg pernah bertemu Luther di perdebatan Leipzig dan sebelumnya, mungkin akan mencela Luther dengan perilakunya yang penuh gairah, yang sama sekali tidak memiliki ketenangan dan pengendalian diri, dan menyamakannya dengan “lautan yang berombak yang tidak pernah tenang siang atau malam, dan tidak pernah membiarkan orang lain merasa damai; namun Roh Tuhan hanya tinggal di dalam mereka yang rendah hati, di dalam orang yang suka damai dan tenang.” Dalam karya lainnya, ia menyesalkan dengan cara yang sama bahwa, “di sekolah-sekolah dan juga dalam tulisan-tulisannya dan di mimbar, Luther tidak memperlihatkan pengabdian atau berperilaku seperti seorang pendeta, tetapi malah bersikap menantang dan sombong.”
Sia-sia saja teman-teman yang cemas, yang khawatir tentang kemajuan usaha bersama mereka, memohon kepadanya untuk melunakkan bahasanya. Memang benar ia telah mengakui kepada sesama biarawan, bahkan sejak saat ia memakukan tesisnya, “kecerobohan dan kecerobohannya yang sembrono” (“levitas et præceps temeritas”). Ia bahkan tidak merasa terlalu sulit untuk mengakui kepada bangsawan Spalatin, bahwa ia telah “sangat kasar” dalam tulisan-tulisannya. Namun pengakuan-pengakuan ini hanya sekedar sepintas lalu, dan setelah bagian terakhir, ia melanjutkan penjelasannya bahwa lawan-lawannya mengenalnya, dan seharusnya lebih tahu daripada membangkitkan amarah; … “dia pada dasarnya berdarah panas dan penanya mudah tersinggung”; bahkan jika darah panasnya sendiri dan cara penulisannya yang biasa tidak membuatnya bergairah, pikiran tentang para penentangnya dan “kejahatan mengerikan” mereka terhadap dirinya sendiri dan Firman Tuhan sudah cukup untuk membangkitkan amarahnya.
Begitu percaya dirinya sehingga tidak hanya mudah baginya, tetapi juga menyenangkan, untuk menyerang semua teolog dari setiap aliran; mereka bahkan hampir tidak mampu menguraikan Alkitab. “Doktor, Universitas, Master, hanyalah gelar kosong yang tidak boleh dikagumi.”
Serangkaian Tindakan yang diambil Gereja Katolik sehingga diadakannya Konsepsi di Trente
- Tahun 1518: Paus Leo X mengirimkan seorang utusan, Karl von Miltitz, untuk menyelesaikan masalah dengan Luther secara damai, namun Luther menolak menarik kembali pernyataannya,
- Tahun 1520: Paus Leo X menerbitkan Bulla Exsurge Domine yang menyerang pandangan-pandangan Luther dan memerintahkannya menarik kembali 95 tesis dalam 60 hari. Luther menolak mematuhi perintah ini.
Penekanan Luther pada iman individu dan otoritas Alkitab di atas otoritas Paus membedayakan banyak orang Jerman untuk mempertanyakan dan menantang tatanan agama yang ada. Pergeseran pemikiran ini berkontribusi pada berkembangnya rasa kebebasan beragama dan sekuler, serta meltakkan dasar bagi perkembangan federalisme di Jerman dan membentuk identitas bangsa.
Ulrich von Hutten menulis beberapa surat kepada Martin Luther, dan salah satu yang paling terkenal adalah surat berisi dukungannya kepada Luther dalam reformasi. Hutten sangat mengagumi Luther dan berperan penting dalam memperluas pandangan reformasi melalui tulisan-tulisan dan satira.
Berikut adalah ringkasan salah satu surat terkenal Hutten kepada Luther:
Ringkasan Surat Ulrich von Hutten kepada Martin Luther:
Hutten menuji keberanian Luther dalam menghadapi Gereja Katolik dan mneyerukan agar Luther terus berjuang melawan ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh otoritas Gereja. Hutten juga menawarkan dukungan penuhnya dan berjanji terus memperjuangkan reformasi bersama Luther
Martin Luther dan Philip Melanchthin bertemu di tahun 1518 di Universitas Wittenberg . Melanchthon, yang baru menyelsaikan studinya di bidang Yunani, datang ke Wittenberg untuk mengajar bahasa Yunani. Luther, yang sudah terkenal karena publikasinya tentang 95 Tesisi, sangat terkesan dengan kecerdasan dan pengetahuan Melanchthon.
Ketika bertemu, mereka segera menjadi sahabat dan kolaborator yang erat. Melanchthon sangat mendukung pandangan-pandangan reformasi Luther dan berperan pentind dalam menyusun dokumen-dokumen penting seperti Augsburg Confession. Mereka bekerjasama dalam memperluas dan memperkuat gerakan reformasi, dengan Luther memebrikan inspirasi dan keberanian, sementara Melanchthon menyediakan kecerdasan akademik dan pengetahuan yang mendalam.
Psikologi Sosial Martin Luther dan dampaknya terhadap Kebebasan Beragama serta Identitas Jerman
Martin Luther, melalui teologi dan reformasinya, secara tidak langsung mempengaruhi dinamika psikologi sosial di Jerman. Penekanannya pada iman individu dan otoritas Alkitab sebagai sumber kebenaran tertinggi, dibandingkan otoritas hierarki Gereja (seperti Paus), menciptakan perubahan mendalam dalam pola pikir inidividu dan kolektif. Berikut adalah penjelasan ilmiah tentang dampak pemikiran Luther pada aspek kebebasan beragama, identitas bangsa dan federalisme:
-
Penekanan pada Iman Individu
Luther mengajarkan bahwa keselamatan tidak tergantung pada perantaraan Gereja, tetapi pada iman pribadi kepada Allah. Ajarannya tentang “sola fide” (hanya melalui iman) menggeser fokus dari kepatuhan ritualistik kepada hubungan langsung dengan Tuhan.Dampak psikologis:
- Empowerment Individual: Menekankan kebebasan hati nurani inidividu, memberikan rasa tanggung jawab dan otonomi dalam keimanan. Ini mengurangi ketergantungan pada institusi agama sebagai satu-satunya penafsir kebenaran,
- Kebangkitan Identitas Personal: Luther mengilhami orang untuk mencari pemahaman sendiri tentang kebenaran melalui Alkitab, yang menghasilkan rasa kebebasan intelektual. -
Tantangan terhadap Otoritas Paus
Dengan menolak klaim otoritas Paus, Luther membuka jalan bagi individu dan komunitas untuk
mempertanyakan otoritas agama dan politik yang mapan.Konsekuensi Psikososial:
- Pertanyaan Kolektif terhadap Hierarki: Luther menginspirasi masyarakat Jerman untuk mempertanyakan apakah tatanan agama dan politik yang ada benar-benar mewakili kepentingan mereka,
- Solidaritas Sosial dalam Reformasi: Komunitas yang merasa tersingkirkan oleh Gereja Katolik mulai merasa bahwa mereka memiliki hak untuk menyuarakan dan mengejar keyakinan mereka sendiri. -
Kebebasan Beragama dan Sekuler
Teologi Luther tentang kebebasan Kristen secara bertahap diinterpretasikan dalam konteks kebebasan beragama yang lebih luas. Dengan menekankan bahwa iman adalah keputusan personal, Luther mempromosikan gagasan bahwa kepercayaan tidak bisa dipaksakan oleh institusi manapun.Klaim Aspek Psikologi Sekuler:
- Kemandirian Religius: Masyarakat mulai melihat agama sebagai bagian dari identitas pribadi yang tidak selalu harus diatur oleh otoritas negara atau gereja,
- Tumbuhnya Toleransi Beragama: Walaupun konflik agama tetap ada, gagasan Luther meletakkan dasar bagi penghormatan terhdap keragaman keyakinan di kemudian hari. -
Dasar bagi Federalisme di Jerman
Reformasi Luther memungkinkan para penguasa lokal di Jerman untuk memutuskan afiliasi agama wilayah mereka sesuai dengan prinsip Cuius regio, cius religio (siapa yang memerintah, menentukan agama).Klaim Kontribusi pada Psikologi Nasional:
- Penguatan Identitas Lokal: Keputusan agama di tingkat wilayah memperkuat rasa identitas regional, yang kemudian menjadi fondasi federalisme Jerman,
- Identitas Nasional Kolektif: Melalui Alkitab dalam bahasa Jerman, Luther membantu membangun rasa persatuan budaya dan bahasa yang menjadi ciri khas identitas Luther.