LIVE DKC43-2025 KAMIS, 27 MARET 2025 PUKUL 19:00 WIB: ALLAH (YESUS) MATI/ TIDAK??? KOK SALING MEMBIDATKAN??? @didityuli @tidakbiasa
Tayangan Video Apologet Didit Yuli Menanggapi Seniornya Elyas Zulkifli di Channel @tidakbiasa tentang Ajarannya bahwa Yesus Mati Merupakan Kematian Karya Abadi 2 Natur (lih. 1 Petrus 3:18)
Elyas Zulifli menyatakan bahwa Yesus mati di salib dalam 2 natur, sebagai Allah dan Manusia, bila dikatakan hanya kemanusiaan Yesus yang mati maka orang tersebut sudah terjebak dalam ajaran Nestorian.
Menurut Didit Yuli, Pak Zul salah menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang dikutip, salah memahami Nestorian dan sudah terjerat dalam ajaran Modalisme dan Sabellianisme yang membahayakan. Mengutip 1 Petrus 3:18-20, Pak Zul hanya mengambil 1 ayat saja dan tidak memahami konteksnya, dalam ayat ini kematian Yesus terpisah jasmaninya dari roh/ jiwanya yang kembali kepada Bapa/ Sang Pemilik. Artinya Roh Yesus tidak mengalami kematian (lih. 1 Timotius 1:17). Pak Zul juga salah memahami 1 Korintus 11:26, seharusnya dilihat dan dipahami mulai ayat 23-27. Dalam Konsili Kalsedon 451 M mengatakan pribadi Yesus mempunyai 2 natur yang: 1) TIDAK BERCAMPUR, 2) TIDAK BERUBAH, 3) TIDAK TERPISAH dan 4) TIDAK TERBAGI.
Didit juga mengutip John Damaskus dalam Exposition of the Orthodox Faith Vol. 3 No. 27 mengatakan: “Jiwanya terpisah dari tubuhnya, Keilahian-Nya tetap tidak terpisah akan dari keduanya.” Tubuh dalam kubur, jiwa dalam hades. Calvin juga mengatakan 2 natur Kristus bersatu tetapi tidak tercampur, tidak terpisahkan.
Jadi ketika Yesus wafat di salib, Kemanusiaan-Nya saja yang mati tetapi Keilahian-Nya tidak, karena ketika dikatakan 2 natur Yesus mati maka Allah juga mati, ini adalah ajaran bidat Modalisme dan Sabellianisme.
Tanggapan Tim DKC: Didit Yuli layak diapresiasi karena tidak berdasarkan Alkitab saja akan tetapi juga mengutip ajaran Bapa Gereja (John Damaskus).
Yesus Tidak Benar-benar Mati Di Salib?
Kami umat Kristiani menerima apa yang disampaikan oleh keseluruhan Kitab Suci, dan tidak hanya menerima sebagian ayat dan menolak ayat yang lain. Hal kematian Yesus dicatat di dalam Injil dengan jelas. Sebab walaupun di ayat Markus 15: 39 memang dikatakan bahwa kepala pasukan “melihat” mati-Nya Yesus, namun ayat sebelumnya mengatakan, “Lalu berserulah Yesus dengan suara nyaring dan menyerahkan nyawaNya”. (lih. Markus 15:37; Matius 27:50; Lukas 23:46; Yohanes19:30). ‘Menyerahkan nyawa’ adalah perkataan lain (sinonim) dari kata ‘mati’. Injil Lukas mencatat bahwa sebelum menyerahkan nyawa-Nya, Yesus berkata, “Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawa-Ku”. (lih. Lukas 23:46).
Banyak Bapa Gereja yang mengartikan teriakan nyaring ini pada saat kematian-Nya sebagai indikasi bahwa Ia adalah Tuhan dan bahwa Ia wafat atas kehendak bebasNya sendiri. Perkataan yg diucapkan sedemikian menunjukkan bahwa Ia tetap mempunyai kesadaran penuh dan pengendalian diri yang sempurna sampai pada akhir hidupNya. Kematian Kristus adalah kematian yang dikehendaki oleh DiriNya sendiri: Ia mempunyai kuasa untuk menyerahkan nyawaNya dan memperolehNya kembali (lih. Yohanes10:17), namun Ia memberikannya demi menyelesaikan rencana Ilahi untuk keselamatan manusia. Kata-kata terakhir-Nya merupakan pernyataan kehendak bebas-Nya untuk menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib demi menyelamatkan umat manusia. Pada saat jam tiga petang, pada saat anak domba paska dikorbankan di bait Allah (yang hanya beberapa yard dari tenpat penyaliban Yesus) menurut ritual Perjanjian Lama, Anak Domba Allah telah wafat (lih. 1 Korintus 5:7).
Maka hipotesa yang menyatakan Yesus hanya mati suri ataupun pingsan (tidak sungguh-sungguh wafat) tidak cocok dengan banyak ayat dalam Kitab Suci yang menyatakan bahwa Kristus sungguh wafat/ menyerahkan nyawa-Nya.
- Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci…” (lih. 1 Korintus 15:3),
- Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal” (lih. 1 Korintus 15:20),
- Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan…” (1 Petrus 1:3),
- Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh…” (lih. 1 Petrus 3:18).
Di atas semua itu, hal kematian Yesus telah berkali- kali dikatakan oleh Yesus sendiri (lih. Matius 17: 22, 20:19, 26:2; Markus 9:30, 10:33-34; Lukas 18:32).
- Ia (Yesus) berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan” (lih. Matius 17:22),
- Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” (lih. Markus 9:30),
- … kata-Nya: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, dan Ia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh, dan sesudah tiga hari Ia akan bangkit” (lih. Markus 10:33-34),
- “Sebab Ia akan diserahkan kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, diolok-olokkan, dihina dan diludahi, dan mereka menyesah dan membunuh Dia, dan pada hari ketiga Ia akan bangkit”.
Maka seseorang yang mengatakan bahwa Yesus hanya mati suri, sama saja ia menuduh Yesus berdusta. Bagi kami umat Kristiani, argumen tersebut tidak berdasar, justru karena bertentangan dengan perkataan Yesus yang adalah Sang Kebenaran. Sebab yang mempunyai hipotesa tersebut adalah manusia yang tak luput dari kesalahan, sedangkan yang mengatakan bahwa Yesus wafat dibunuh adalah Tuhan Yesus sendiri, yang tidak mungkin salah. Maka argumen yang mengatakan bahwa Yesus pingsan (yang biasanya didahului gejala berangsur kehilangan kesadaran), juga tidak sesuai dengan kenyataan, karena justru sampai akhirnya, Yesus dengan sadar berseru, bahkan dengan suara lantang, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (lih. Lukas 23:46).
Bahwa setelah wafat-Nya, ketika lambung Yesus ditusuk oleh tombak, lalu memancarlah air dan darah, juga tidak dapat dikatakan bahwa itu merupakan tanda bahwa Ia masih belum wafat. Sebab keadaan tersebut walaupun langka, dapat diterangkan secara medis, dan dapat pula merupakan tanda supernatural sbagai pemenuhan nubuat yg samar-samar digambarkan dalam Perjanjian Lama. Para Bapa Gereja mengajarkan bahwa seperti Hawa terbentuk dari tulang rusuk Adam, maka Gereja (sebagai Hawa yang baru, Mempelai Kristus) terbentuk dari air dan darah yang keluar dari lambung Kristus (Adam yang baru), seperti dikatakan juga oleh Rasul Paulus dalam Efesus 5: 24-27.
Kristus yang Turun ke Tempat Penantian, Pada Hari Ketiga Bangkit dari antara Orang Mati
Yang dimaksud dengan wafat adalah keterpisahan antara tubuh dan jiwa. Jadi, ketika kita mengatakan bahwa Kristus – yang walaupun mempunyai kodrat Allah, namun mempunyai tubuh dan jiwa sebagai akibat dari kodrat manusia-Nya – wafat, maka yang terjadi adalah tubuh-Nya terpisah dengan jiwa-Nya. Hal ini sama seperti ketika manusia wafat, maka jiwanya akan terpisah dengan tubuhnya. Namun, karena Kristus mempunyai kodrat manusia dan kodrat Allah, yang terikat dalam kesatuan yang tak terpisahkan (hypostatic union), maka ke-Allahan-Nya tidak pernah meninggalkan tubuh-Nya yang ‘tertidur’ di makam, sebagaimana ke-Allahan-Nya tidak beranjak dari jiwa-Nya. Pertanyaannya, apakah yang terjadi dengan jiwa Kristus? Kredo menuliskan “Kristus turun ke tempat penantian” atau dalam bahasa Inggris dituliskan, “He descended into hell”.
“Hell” di sini tidak dapat diartikan sebagai neraka – dalam pengertian penghukuman untuk selamanya bagi para terhukum, namun harus diartikan dalam pengertian yang lebih luas. Kredo dalam Bahasa Indonesia telah menggunakan istilah “Tempat Penantian”. Penggunaan kata hell adlh sama sperti penggunaan kata Sheol [Ibrani] atau Infernus (Latin) atau hades (Yunani) di dalam Perjanjian Lama. Dalam Kitab Kejadian dituliskan, ketika Yakub mengira anaknya telah mati, maka dia berkata, “Aku akan berkabung, sampai aku turun mendapatkan anakku, ke dalam dunia orang mati [Sheol]!” (lih. Kejadian 37:35; bdk. Kejadian 42:38).
Katekismus Gereja Katolik (KGK 633) menjabarkannya sebagai berikut:
Kitab Suci menamakan tempat perhentian orang mati, yg dimasuki Kristus sesudah kematian-Nya “neraka”, “sheol” atau “hades” (bdk. Filipi 2:10; Kisah Para Rasul 2:24; Wahyu 1:18; Efesus 4:9), karena mereka yg tertahan di sana tidak memandang Allah (bdk. Mazmur 6:6, 88:11-13). Itulah keadaan semua orang yang mati sebelum kedatangan Penebus, apakah mereka jahat atau jujur (bdk. Mazmur 89:49; 1 Samuel 28:19; Yehezkiel 32:17-32). Tetapi itu tidak berarti bahwa mereka semua mempunyai nasib sama. Yesus menunjukkan hal itu kepada kita dalam perumpamaan tentang Lasarus yang miskin, yg diterima (bdk. Lukas 16:22-26) “dalam pangkuan Abraham”. “Jiwa orang jujur, yang menantikan Penebus dalam pangkuan Abraham, dibebaskan Kristus Tuhan waktu Ia turun ke dunia orang mati” (Catech. R. 1,6,3). Yesus tidak datang ke dunia orang mati untuk membebaskan orang-orang terkutuk dari dalamnya (bdk. Sin. Roma 745: DS 587), juga tidak untuk menghapuskan neraka (bdk. DS 1011; 1077), tempat terkutuk, tetapi untuk membebaskan orang-orang benar, yang hidup sebelum Dia (bdk. Sin Toledo IV 625: DS 485; bdk. juga Matius 27:52-53).
Mengapa orang-orang yang telah dibenarkan oleh Allah sebelum misteri Paskah Kristus tidak dapat langsung masuk ke dalam Sorga namun harus menanti di Tempat Penantian, atau disebut juga Limbo of the Just atau Pangkuan Abraham atau Bosom of Abraham (lih. Lukas16:19-31)? Hal ini terjadi sbagai konsekuensi dosa asal, yang menyebabkan manusia tidak dapat melihat Allah muka dengan muka di dalam Kerajaan Sorga. Hubungan ini terjembatani dengan misteri Paskah Kristus. Dengan demikian, setelah misteri Paskah Kristus, maka orang-orang yang dibenarkan oleh Allah dapat masuk ke dalam surga, karena Kristus-lah yang membuka pintu Surga bagi mereka.
Yesus, Sungguh Allah Sungguh Manusia
Apakah kita mengetahui dasar-dasarnya mengapa dikatakan bahwa Yesus Kristus adalah Putera Tunggal Allah yang menjadi manusia, sehingga Ia adalah sungguh-sungguh Allah, dan sungguh-sungguh manusia?
Ya, istilah Teologi yang menjelaskan ciri khas Pribadi Yesus ini adalah “hypostatic union“. Ini merupakan misteri Kristus yang tidak sepenuhnya dapat kita pahami selama kita hidup di dunia ini, namun begitu jelas diajarkan dalam Alkitab. Yesus Kristus adalah Juru Selamat manusia yang menghapuskan dosa-dosa kita. Yesus adalah Pengantara kita yang menghubungkan kita dng Allah. Sebagai manusia, Yesus dengan kehendak bebas-Nya mempersembahkan kurban penghapus dosa, yaitu diri-Nya sendiri dan karena Ia adalah Tuhan, maka korban-Nya ini bernilai tak terbatas, sehingga mampu menghapus semua dosa manusia di sepanjang sejarah. Jika Gereja Katolik mempertahankan kebenaran ini, adalah karena kedua hal ini, ke-Allahan Yesus dan kemanusiaan-Nya, adalah “kedua hal yang sama pentingnya dalam karya keselamatan Allah.” ((lih. George D Smith, D.D, PhD. ed., The Teaching of the Catholic Church, A Summary of Catholic Doctrine, (New York: The Macmillan Company, 1960) p. 361)).
Protestant Kenotic Christology: Apakah itu?
Dewasa ini kita mengenal teori-teori baru dari para peneliti Alkitab/ exegete modern yang berusaha memisahkan Kristus yang kita imani dengan Yesus menurut sejarah (the Christ of Faith and the Jesus of history). Pandangan ini sesungguhnya berakar dan tidak terlepas dari pendapat yang mengatakan bahwa selama hidup-Nya di dunia (33.5 tahun) Yesus itu ‘hanya’ manusia biasa, bukan Tuhan [walaupun disertai oleh Allah Bapa dan Roh Kudus secara istimewa]; dan baru setelah kebangkitan-Nya, Yesus adalah Tuhan.
- Pandangan di atas mengambil dasar utama dari Filipi 2: 6-11 yang mengatakan bahwa Kristus Yesus, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia…. Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib….” Pandangan ini dikenal dengan ajaran Martin Luther,Protestant Kenotic Christology, ((Lihat De libertate christiana (Weimar, 1883), vol. 7, p.65)) yang pada dasarnya bukan memahami bahwa Yesus mempunyai 2 kodrat (yaitu Allah dan manusia) dalam satu Pribadi-Nya semasa hidup-Nya di dunia, melainkan membaginya menjadi dua tahapan: tahap pengosongan (state of self-emptying) dan tahap pemuliaan (state of exaltation) sesudah kebangkitan. Dengan demikian, Luther tidak membedakan kodrat dan Pribadi Yesus, sehingga sebenarnya ajarannya mempunyai kemiripan dngan campuran ajaran Arianism dan Monophisitism, ajaran yang menyimpang pada abad ke-3 dan ke-5.
Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa interpretasi yang dipegang oleh Bapa Gereja adalah bahwa yang dimaksud oleh Paulus dalam “pengosongan diri” ini adalah bahwa Pribadi kedua dari Trinitas yaitu Sang Firman Allah, mengambil rupa manusia melalui Inkarnasi, agar dengan demikian Ia dapat menderita dan mati. Maka dikatakan Ia yang “dalam rupa Allah…. mengambil rupa seorang hamba” sehingga di dalam rupa tersebut Ia “merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati …di kayu salib.” Maka disini yang tidak dipertahankan Kristus adalah ketidakterbatasanNya sebagai Allah, bahwa sebagai Allah Ia tidak mungkin menderita dan mati, sedangkan dengan menjelma menjadi manusia Ia dapat menderita dan mati. Maka dari teks itu sendiri sebenarnya tidak menunjukkan bahwa dengan mengambil rupa sebagai manusia, Yesus berhenti menjadi Allah. Sebab dari kodrat-Nya, Allah tidak mungkin berhenti menjadi Allah, ataupun berubah dari yang sempurna – dalam Trinitas – menjadi tidak sempurna – karena pada satu periode Allah tidak berupa Trinitas. Karena kalau demikian, maka Allah mempertentangkan Diri-Nya sendiri dan ini tidak mungkin (lih. 2 Timotius 2:13). Di atas semua itu, mari kita merenungkan kebenaran yang tertulis dalam Mazmur 49:8-9, bahwa seorang manusia tidak akan bisa memberikan tebusan (dosanya) kepada Allah; maka untuk itu, untuk menjadi tebusan dosa bagi banyak orang, maka Yesus tidak mungkin ‘hanya’ manusia, Ia harus sekaligus Allah, agar dapat menyelamatkan umat manusia dengan wafat-Nya di kayu salib.
Jika kita memahami kodrat Allah, maka kita mengetahui bahwa Allah tidak dapat menjadi tidak sempurna. Allah Trinitas adalah Allah yang maha sempurna dan kekal, alfa dan omega, dan sungguh tidak terbatas oleh waktu. Maka jika ada yang terbatas dalam diri Yesus itu adalah karena keterbatasan kodrat manusia (yang terbatas oleh ruang dan waktu), sedangkan kuasa-Nya sebagai Allah tetap sempurna. Karena itulah, dalam penjelmaan-Nya sebagai manusia Ia dapat mengampuni dosa dlm namaNya sendiri (lih. Matius 9:2-8; Markus 2:3-12; Lukas 5:24, 7:48), melakukan banyak mukjizat dalam namaNya (lih. Matius 8:26, 14:13-20; Markus 6:30-44; Lukas 9:10-17; Yohanes 6:1-13), mengusir setan (lih. Matius 8:28-34), menyembuhkan yang sakit (lih. Matius 8:1-16, 9:18-38, 14:36, 15:29-31) dan membangkitkan orang mati dalam nama-Nya sendiri (lih. Lukas 7:14; Yohanes 11:39-44), dan para malaikatpun melayani Dia (lih. Matius 4:11). Ini tidak mungkin terjadi, jika pada waktu penjelmaan-Nya Ia bukan Allah. Untuk menilai bahwa ucapan dan perbuatan Yesus itu “hanya” perbuatan manusia biasa adalah sikap yang “menutup mata” terhadap kenyataan yang sesungguhnya tidak perlu dibuktikan. Menolak untuk percaya bahwa selama 33.5 tahun hidup-Nya di dunia Yesus bukan Tuhan, adalah suatu bentuk distorsi pengenalan akan Pribadi Yesus. Ini hampir saja serupa bahwa seseorang menolak kenyataan bahwa matahari itu sumber terang, walaupun sudah jelas-jelas cahayanya tersebar ke mana-mana.
Mereka yang menganggap Yesus “hanya” manusia biasa semasa hidupnya, menyetarakan Dia dengan para nabi sebelum Kristus. Padahal, kita mengingat bahwa bahkan para nabi tersebut, tidak pernah mengampuni dosa ataupun melakukan mukjizat dalam nama mereka sendiri, ataupun mengajar dengan otoritas mereka sendiri. Lihat saja bagaimana ungkapan ayat-ayat Alkitab dalam PL, dimana berkali-kali disebutkan, “Berfirmanlah Allah kepada (Musa/ nabi-Nya)…“, sedangkan dalam Injil, Yesus tak terhitung mengatakan, “Tetapi Aku berkata kepadaMu….” Jangan lupa bahwa para nabi bahkan sudah menubuatkan kedatangan hamba Tuhan yang adalah Allah sendiri.
- Berikutnya, pandangan ini (Protestant Kenotic Christology) juga mengambil ayat-ayat dari Roma 4:24, 6:4, 8:11; 1 Korintus 4:14, 6:14; Kisah Para Rasul 2:24, 3:25, 10:40, yang mengatakan bahwa Yesus itu “dibangkitkan” oleh Allah. Sehingga kesimpulan pendapat ini adalah Yesus bukan Allah sehingga tidak dapat bangkit sendiri melainkan perlu dibangkitkan oleh Allah. Padahal di ayat-ayat yg lain dalam Alkitab jg dikatakan demikian, bahwa Yesus bangkit (bukan dibangkitkan), misalnya di Matius 28:6; Markus16:6, 9; Lukas 24:34.
Apakah ayat-ayat tersebut bertentangan? Tentu tidak! Kuncinya adalah:
- Kita harus memahaminya dengan pemahaman para rasul itu sendiri;
- Kita membaca ayat-ayat tersebut dan juga Filipi 2:6-11 dengan kesatuan dengan ayat-ayat Alkitab yang lain. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa para rasul percaya bahwa Yesus, semasa hidupNya, adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh manusia. Maka dari kodrat-Nya sebagai manusia Ia dibangkitkan Allah, sedangkan dari kodrat-Nya sebagai Allah, maka Ia bangkit dengan kuasa-Nya sendiri. Ini adalah pemahaman Gereja sejak awal mula dan berkali-kali ditegaskan, namun yang paling jelas dalam Konsili Chalcedon (451), di mana dikatakan:
“Kristus mempunyai dua kodrat, yang tidak tercampur baur, tanpa perubahan, tidak dapat dibagi-bagi dan dipisahkan…. Ia menjadi satu Pribadi dan satu hakikat (hypostatis), tidak terbagi menjadi dua pribadi, namun kedua kodrat itu membentuk Pribadi Yesus yang unik, satu dan sama.” ((Denz. 148; DS 301-2)).
Dasar Alkitab
- Kesaksian dari Rasul Yohanes, murid yang dikasihi Yesus secara istimewa, menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Justru karena kedekatannya dengan Yesus, maka kita selayaknya percaya kepada kebenaran kesaksian Rasul Yohanes tentang Yesus. Yohanes 1:1-14: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah….. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”.
Rasul Yohanes memulai Injilnya dengan menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Sesungguhnya, untuk membuktikan ke- Allahan Yesuslah maka Yohanes menuliskan Injilnya, yang merupakan kitab Injil yg terakhir. Dalam Yohanes 20:31 dikatakan, “tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”
Jadi, karena Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah sendiri, maka artinya, kebersamaan dengan Allah dalam kepenuhannya itu tidak terputuskan oleh penjelmaan-Nya menjadi manusia dalam diri Yesus.
- Kesaksian Rasul Petrus: Matius 16:16, “Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Rasul Petrus adalah orang yang pertama mengakui dengan mulutnya tentang ke-Allahan Yesus semasa Yesus hidup di dunia. Dan Yesus membenarkan iman Petrus ini, dengan mengatakan bahwa Bapa di sorgalah yang menyatakan hal ini kepadanya (ayat 17). Yesus kemudian mempercayakan Gereja-Nya ke dalam pimpinan Petrus (ayat 18) Gereja Katolik dengan setia mengajarkan pengakuan iman Petrus ini, bahwa Yesus Kristus, adalah sungguh Anak Allah yang hidup. Mesias Anak Allah yang hidup ini tidak bisa direduksi menjadi manusia biasa yang bukan Allah, sebab jika demikian, Ia bukan sungguh-sungguh Anak Allah.
Setelah kebangkitan Kristus, Rasul Petrus memberikan kesaksian di hadapan Mahkamah Agama, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia [Yesus Kristus], sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (lih. Kisah Para Rasul 2:14).
Sebab hanya di dalam nama Tuhan-lah manusia dapat diselamatkan.
- Kesaksian dari Malaikat Gabriel, yang berkata kepada Bunda Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (lih. Lukas 1: 35). Maka kita ketahui bahwa oleh Roh Kudus yang turun atas Maria, maka Yesus bukanlah manusia biasa, namun Anak Allah.
- Perkataan Elisabet yang ditujukan kepada Bunda Maria, dalam Lukas 1:42: “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Jika Yesus hanya manusia biasa, tentu Elisabet tidak berkata demikian.
- Kesaksian Yesus sendiri tentang Diri-Nya Lukas 2:49: Perkataan Yesus yang pertama yang dicatat di Alkitab adalah pernyataan-Nya tentang identitas-Nya sebagai Putera Allah, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Sedangkan kehidupan publik Yesus dimulai dengan pernyataan Allah Bapa kepada Yesus pada saat Pembaptisan di sungai Yordan, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (lih. Matius 3:17). Jika yang memberi kesaksian tentang Yesus sebagai Putera Allah adalah Allah Bapa sendiri, maka selayaknya kita percaya bahwa Yesus adalah Allah.
Yohanes 8:58: Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia adalah Allah dengan mengatakan bahwa Ia sudah ada sebelum Abraham, “sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” Jika Ia “hanya” manusia biasa, Ia tidak dapat berkata demikian, sebab sebagai manusia biasa Ia tidak mungkin ada sebelum Abraham. Perkataan-Nya ini hanya masuk di akal jika Ia adalah Allah yang keberadaan-Nya tak terbatas oleh waktu, dan kemudian menjadi manusia sehingga dapat mengatakan pernyataan tersebut dengan ucapan mulut manusia dalam diri Yesus.
Yohanes 13:13, “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan.” Ini adalah pernyataan yang sangat jelas, yang dikatakan Yesus dalam Perjamuan Terakhir, sebelum kebangkitan-Nya. Maka tidak mungkin bahwa Ia baru menjadi Tuhan setelah kebangkitan-Nya, sebab jika demikian, maka Ia tidak akan berkata demikian kepada para murid-Nya.
Selanjutnya, kita harus dengan jeli melihat bahwa di seluruh Injil, dalam mengidentifikasikan diri-Nya sebagai Anak Allah, Yesus tidak menyamakan Diri-Nya secara persis dengan kita yang juga disebut anak-anak Allah. Kita yang percaya kepada-Nya adalah anak-anak angkat Allah, sedangkan Kristus adalah Anak Allah yang Tunggal yang sehakekat dengan Allah (istilahnya, homo-ousios, the only begotten Son). Maka tepatlah jika Yesus mengatakan, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa…Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (lih. Yohanes 14:9, 11) Tidak ada satu nabipun yang dapat berkata demikian; tidak ada seorang manusiapun yang berhak berkata demikian, kalau Ia bukan sekaligus Allah.
- Sekarang mari kita melihat kesaksian Rasul Paulus dalam surat-suratnya untuk melihat keutuhan pengajaran Rasul Paulus :
Kolose 1:15-20: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan….. karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu….. Ia yang lebih utama dari segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.”
Yesus menjadi “gambar Allah” yang hidup pada saat Ia menjelma menjadi manusia. Dan kepenuhan Allah ini adalah kesempurnaan Allah yang diam di dalam-Nya, sehingga artinya selama hidup-Nya di dunia dan selama-lamanya, Yesus adalah Allah. Jika tidak demikian, tentunya tidak dikatakan “kepenuhan Allah diam di dalam Dia.” Selanjutnya, justru karena kodrat-Nya sebagai Allah dan manusia, maka Ia dapat “mengadakan pendamaian” antara Allah dan manusia. Jika Ia hanya manusia biasa saja, maka Ia tidak bisa mendamaikan Allah dan manusia dengan sempurna; sebab Ia hanya seperti nabi-nabi yang lain yang datang sebelum Kristus. Ini tidak sesuai dengan nubuat para nabi, dan bahkan pengajaran Yesus sendiri dalam perumpamaan penggarap kebun anggur (lih. Matius 21:33-46; Lukas 20: 9-19). Kalau Ia ‘hanya’ manusia biasa yang bukan Allah, Ia tentu tidak mengajarkan demikian.
Maka Filipi 2:6-7 ”Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah….. mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi manusia”, selayaknya dibaca berdampingan dengan Kolose 1:15-20, yg menyatakan keistimewaan dan keutamaan Kristus yang tidak terdapat dalam manusia yang lain, justru karena Ia adalah Tuhan. Sebab hanya di dalam Tuhanlah segala sesuatu dapat diciptakan. Dan Tuhan yang di dalamNya semua diciptakan ini menjelma menjadi manusia dalam rupa seorang hamba, agar gambaran Allah yang merendahkan Diri dapat diwujudkan. Maka walaupun “mengosongkan diri” selama hidup-Nya di dunia, Yesus tetaplah Tuhan; hanya saja, Ia mengambil rupa manusia.
Ibrani 1:2-3: “Pada jaman akhir ini, Ia (Allah) telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada….. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah”.
Kita ketahui bahwa “Allah telah berbicara” melalui Yesus kepada para rasul dan pengikut-Nya pada saat Ia menjelma menjadi manusia. Pada saat menjadi manusia itulah Yesus menjadi gambaran Allah yang hidup, yang sebelum penjelmaan-Nya tidak kelihatan. Karena Yesus adalah “cahaya kemuliaan Allah”, maka tidak mungkin Ia berhenti menjadi Allah, karena Allah tidak mungkin kelihangan “cahaya kemuliaan-Nya” walaupun hanya 33.5 tahun.
Maka ini sangat cocok dengan perkataan Yesus sendiri pada Yohanes 17:4-5, di mana Ia berkata, “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya. Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada”.
Galatia 4:4-5: “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak.” Maka dari ayat ini terlihat bagaimana Rasul Paulus membedakan Yesus sebagai Anak Allah yang diutus oleh Allah Bapa, sedang kita adalah anak yang ‘diangkat’ karena ditebus oleh Kristus Anak-Nya yang Tunggal.
Jadi, kita adalah anak-anak angkat Allah di dalam Kristus (lih. Efesus 1:5), karena kita baru dapat disebut anak-anak Allah, jika kita mempunyai hidup ilahi yang diberikan oleh Kristus kepada kita, yaitu jika kita menerima Roh Kudus-Nya (lih. Roma 8:11). Hidup ilahi oleh Roh Kudus ini tidak terputuskan, sebab justru Roh Kudus itulah yang menjadikan Yesus, yang menjadi janin dalam rahim Bunda Maria, sebagai Anak Allah yang menjelma menjadi manusia.
Gereja Katolik memang mengajarkan bahwa ketika lahir di dunia, Yesus Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Ini adalah sesuatu misteri yang tidak akan pernah lagi terulangi terjadi dalam sejarah manusia, bahwa seseorang pribadi adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Memang justru karena keunikan-Nya itu, di sepanjang sejarah banyak orang berusaha menyederhanakannya, namun malah akhirnya tidak konsisten dengan ajaran Alkitab itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas, Gereja Katolik mengajarkan, dalam satu Pribadi Yesus terdapat dua kodrat yaitu Allah dan manusia, sehingga terdapat predikat-predikat yang dapat ditujukan kepada kedua kodrat itu yang ditujukan pada satu Pribadi Yesus. Predikat-predikat yang sesuai dengan kedua kodrat ini yang ditujukan pada satu Pribadi Yesus dalam Teologi disebut sebagai “Communicatio Idiomatum”. Ini kita lihat jelas dalam ayat-ayat Alkitab, sebagai berikut:
- Mikha 5:1: Mesias adalah seorang yang akan lahir di Betlehem (kemanusiaan Kristus) yang permulaannya sudah sejak purbakala (ke-Allahan Kristus),
- Yesaya 9:5: Seorang anak laki-laki akan lahir (kemanusiaan Kristus) yang akan disebut sebagai Allah yang perkasa (ke-Allahan Kristus),
- Yohanes 8:58: Yesus berkata (dalam kemanusiaannya), bahwa sebelum Abraham jadi, Aku ada (ke-Allahan Kristus),
- Yohanes 14:6: Yesus berkata, “Aku adalah jalan (mengacu kepada kemanusiaan-Nya), Kebenaran dan Hidup” (mengacu kepada ke-Allahan-Nya),
- Filipi 2:5-11: Allah mengambil rupa seorang hamba, menjadi manusia dan wafat di kayu salib (kemanusiaan dan ke-Allahan Kristus),
- 1 Korintus 2:8, dikatakan “…kalau sekiranya mereka [penguasa dunia] mengenal-Nya, mereka tidak akan menyalibkan Tuhan yang mulia”. Kristus adalah Tuhan yang mulia dalam ke-Allahan-Nya, yang disalibkan dalam kemanusiaan-Nya. Jika dikatakan dalam Injil, “Yesus mati”, maka yang dikatakan mati di sini adalah Yesus dalam seluruh kepribadiaan-Nya, yang adalah Tuhan dan manusia. Memang secara hakekat, Tuhan tidak bisa mati, namun dalam Pribadi Yesus terdapat juga kodrat manusia selain dari kodrat Tuhan, maka Yesus dapat mati. Namun justru karena hakekat/ kodrat Yesus sebagai Allah, maka Ia dapat bangkit dari kematian-Nya, dan ini menjadi mukjizat yang terbesar yang dilakukan oleh-Nya (lih. Matius 28:1-10; Markus 16:1-8; Lukas 24:1-12; Yohanes 20:1-10).
Heresi Sepanjang Sejarah Gereja dan Tanggapan Para Bapa Gereja
- Docetism, Gnosticism, Manichaeism (abad ke-1 s/d 3 M): menolak kemanusiaan Yesus: Penderitaan Yesus di salib dianggap sebagai “kepura-puraan”/sham bukan sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi.
Tanggapan para Bapa Gereja:
St. Ignatius dari Antiokhia (35- 110 M), “Hanya ada satu Tabib yang aktif dalam tubuh dan jiwa…. Tuhan di dalam manusia, hidup sejati dalam kematian, putera Maria dan Putera Allah, yang pertama (sebagai putera Maria) dapat menderita, sedang yang kemudian (sebagai Putera Allah) tidak dapat menderita, Yesus Kristus, Tuhan kita.” ((St. Ignatius dari Antiokhia, Surat kepada jemaat di Efesus, Bab 3)). Kesaksian St. Ignatius adalah sangat penting, karena ia adalah murid rasul Yohanes, yang adalah murid yang dikasihi oleh Yesus.
St. Cyril dari Yerusalem (313-386 M), “Maka percayalah kepada Putera Tunggal Allah yang demi menebus dosa kita turun ke dunia, dan mengambil bagi-Nya kodrat manusia seperti kita, dan dilahirkan oleh Perawan Maria dan dari Roh Kudus, dan menjadi manusia, tidak hanya kelihatannya saja atau hanya seperti sandiwara/ “show“, melainkan sungguh-sungguh terjadi; tidak hanya sekedar lewat melalui Perawan Maria seperti melalui sebuah saluran; tetapi daripadanya dibuat menjadi sungguh-sungguh daging, dan (Ia) makan dan minum seperti kita. Sebab jika Inkarnasi hanya sebuah bayangan, maka keselamatan kita hanyalah sebuah bayangan juga. Kristus terdiri dari dua kodrat, Manusia di dalam apa yang terlihat, namun (juga) Tuhan di dalam apa yang tak terlihat. Sebagai manusia (Ia) sungguh-sungguh makan seperti kita,…. namun sebagai Tuhan (Ia) memberi makan lima ribu orang dari lima buah roti (lih. Matius 14:17-dst). ((St. Cyril dari Yerusalem, Cathecheses, No. 4:9)).
- Adoptionism (abad ke-2 dan 3 M) menolak ke-Allahan Kristus. Kristus dianggap sebagai anak adopsi Allah Bapa, namun sebagai anak yang terbesar.
Tanggapan para Bapa Gereja:
Tertullian (160- 220 M) dalam menjelaskan Inkarnasi berkata, “Kita melihat dengan jelas dua hal yang menjadi satu, yang tidak tercampur baur, tetapi yang disatukan di dalam satu Pribadi, Yesus Kristus, Tuhan dan manusia …. Kedua kodrat ini bertindak berbeda sesuai dengan karakternya masing-masing, ….” ((Tertullian, Adversus Praxean, bab 27)).
St. Thomas Aquinas (1225- 1274 M): “Ada orang-orang, seperti Ebion dan Cerinthus, dan kemudian Paul Samosata dan Photius yang mengakui kemanusiaan Yesus saja. Tetapi, ke-Allahan ada di dalam Dia… dengan semacam partisipasi yang istimewa terhadap kemuliaan ilahi… Pandangan ini (Adoptionism) merusak misteri Inkarnasi, karena menurut pandangan ini, Tuhan tidak mungkin mengambil daging untuk menjadi manusia, tetapi seorang manusia yang kemudian menjadi Allah.” ((St. Thomas Aquinas, Summa contra gentiles, ch. 28, nos. 2-5. Trans. by Charles J. O’Neil)) Heresi ini [Adoptionism] seolah berkata, “manusia dibuat menjadi Firman” daripada “Firman itu menjadi manusia” (lih. Yohanes 1:14). “Jika Kristus bukan sungguh-sungguh Tuhan, bagaimana kita mengartikan perkataan St. Paul, “Ia mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba?” (lih. Filipi 2: 6-7, 9). ((Ibid.))
- Arianism (abad ke-3 s/d 4 M) menolak Allah Tritunggal. Kristus dianggap bukan Tuhan, namun sebagai malaikat yang tertinggi (super-angel).
Heresi ini diluruskan oleh:
St. Athanasius (296-373 M), “Putera Allah ada di dalam Allah Bapa …. Bapa ada di dalam Putera. Mereka adalah satu, tidak terbagi menjadi dua, tetapi mereka (dikatakan) dua karena Bapa adalah Bapa dan bukan Putera, demikian sebaliknya; dan kodrat mereka (Bapa dan Putera) adalah satu. Allah Putera adalah Tuhan, dalam satu hakekat (homo-ousios) dengan Allah Bapa. Jika Allah Putera mempunyai awal (artinya diciptakan oleh Bapa), maka terdapat suatu waktu di mana Allah tidak mempunyai Sabda atau Kebijaksanaan yang adalah cahaya kemuliaan-Nya (lih. Ibrani 1:3); ini bertentangan dengan wahyu Allah maupun akal sehat. Karena Bapa itu ttp selamanya, maka Sabda-Nya & Kebijaksanaan-Nya pasti juga tetap selamanya.” ((St. Athanasius, Four Discourses Against the Arians, n.3:3, 4, in NPNF, 4:395)).
St. Gregorius Nazianzen (328-389 M), “…Putera Allah berkenan untuk menjadi dan dipanggil sebagai Anak Manusia, tidak karena Ia mengubah Diri-Nya (karena Ia tidak dapat berubah); tetapi dengan mengambil bagi diri-Nya sesuatu yang bukan Dia (yaitu manusia, sebab Ia penuh dengan kasih kepada manusia), sehingga Yang tak terpahami menjadi dapat dipahami…. Maka Yang tak dapat tercampur menjadi tercampur, Roh dengan daging, Kekekalan dengan waktu,…. Ia yang tak dapat menderita menjadi dapat menderita, yang Kekal dapat menjadi mati. Karena Iblis ….setelah ia menipu kita dengan harapan agar kita menjadi tuhan, ia mendapatkan dirinya sendiri tertipu oleh penjelmaan Tuhan dalam kodrat manusia; sehingga dengan menipu Adam… Ia harus berhadapan dengan Tuhan, maka Adam yang baru [Yesus Kristus] menyelamatkan Adam yang lama…..” ((St. Gregory of Nazianzen, Oration 39)).
Konsili Nicea (325 M) yang menghasilkan Credo Nicea: Kristus adalah “sehakekat dengan Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.”
- Apollinarisme (abad ke-4 M) yang menolak kemanusiaan Yesus dengan mengajarkan bahwa Yesus tidak mempunyai jiwa manusia; ke-Allahan-Nya menggantikan jiwa manusia itu.
Tanggapan para Bapa Gereja:
St Athanasius, St. Basil, St. Gregorius Nazianzen dan St. Gregorius dari Nissa (abad ke-4) yang mengajarkan, bahwa kalau Kristus tidak mempunyai jiwa manusia, maka Ia bukan sungguh-sungguh manusia. Jika Kristus tidak mengangkat/ mengambil baginya jiwa manusia, Ia tidak dapat menebus jiwa manusia.
Konsili Konstantinopel (381 M) dan Sinode Uskup di Roma (382 M): Sabda Tuhan tidak menjadi daging untuk menggantikan jiwa manusia, melainkan untuk mengambilnya, menjaganya dari dosa dan untuk menyelamatkannya. Pengajaran Apollinaris dinyatakan sesat.
- Nestorianisme (abad ke-4 s/d 5 M) yang menolak keutuhan Pribadi Yesus. Maka Maria dilihat hanya sebagai ibu Yesus sebagai manusia, bukan ibu Yesus yg adalah Tuhan. Yesus dikatakan sebagai hanya “Temple of the Logos” dan bukannya “Logos“ / Sabda itu sendiri.
Tanggapan Bapa Gereja:
St. Cyril dari Alexandria (380-444 M) menjelaskan bahwa Maria adalah Bunda Allah sebab Kristus adalah Allah: “Saya heran akan pertanyaan yang menanyakan apakah Perawan Suci harus disebut sebagai Bunda Allah, sebab itu hampir sama dengan menanyakan apakah Puteranya Putera Allah atau bukan?” ((St. Cyril of Alexandria, Epistle 1,4)). Ia mengambil baginya kodrat kemanusiaan secara penuh dari Bunda Maria supaya Ia dapat menderita dalam kemanusiaan-Nya bagi kita. “Ia memberikan tubuh-Nya untuk mati [bagi kita], meskipun secara kodrat-Nya [sebagai Allah] Ia adalah hidup dan kebangkitan.” ((lih. St. Cyril of Alexandria, First Letter to Nestorius, trans. Henry Percival, in Nicene and Post Nicene Fathers, 14: 201-205))
Kemudian dalam surat keduanya yang dibacakan dalam Konsili Efesus (431 M) St. Cyril mengajarkan, “Sang Sabda, setelah menyatukan secara hypostatik dalam Diri-Nya, daging yang dihidupi oleh jiwa manusia yang rasional, Ia menjadi manusia dan disebut sebagai Anak Manusia.” Dengan Inkarnasi, maka Putera Allah menjelma menjadi manusia dalam rahim Maria. Ini terjadi dalam saat yang berasamaan, sehingga bukan terjadi manusia terlebih dahulu, baru kemudian Sabda itu turun memenuhinya. Dengan demikian, maka Yesus dapat mengatakan bahwa kelahiran-Nya dalam daging itu sungguh-sungguh adalah kelahiran-Nya. “Maka para Bapa Gereja tidak segan-segan mengatakan bahwa Perawan Suci (Maria) adalah Bunda Allah.” ((D 111, St. Cyril of Alexandria, Second Letter to Nestorius, Ibid.))
Maka kita dapat mengatakan bahwa pada Yesus terjadi dua macam ‘kelahiran’, yang pertama adalah sebagai Allah, Ia lahir/ berasal dari Bapa sebelum segala abad, dan yang kedua, Ia lahir sebagai manusia melalui Bunda Maria.
- Monophisitism (abad ke-5 M) yang menolak adanya kemanusiaan Kristus, dan adanya dua kodrat dalam diri Yesus (sebagai Allah dan manusia). Dikatakan oleh bidaah ini bahwa sebelum inkarnasi ada dua kodrat, namun setelah inkarnasi hanya satu, yaitu ke-Allahan-Nya.
Tanggapan para Bapa Gereja:
St. Leo Agung (440-461 M) dengan tulisannya yang terkenal, “Tome of Leo” mengajarkan, “Tanpa kehilangan sifat-sifat yang berkenaan dengan kodrat dan hakekatnya, di dalam Satu Pribadi, kemuliaan mengambil kerendahan, kekuatan mengambil kelemahan, kekekalan mengambil kematian, dan untuk membayar hutang yang menjadi kondisi kita, kodrat yang tidak bisa berubah disatukan dengan kodrat yang bisa berubah, sehingga untuk memenuhi kepentingan kita, satu Pengantara kita antara Allah dan manusia, [yaitu] Manusia Yesus Kristus, dpt mati dengan kodrat-Nya sebagai manusia, namun tidak dapat mati dengan kodrat-Nya sebagai Allah. Maka Allah yang benar sungguh lahir di dalam keseluruhan dan kesempurnaan kodrat manusia, lengkap di dalam segala sesuatunya sebagai Allah, dan lengkap di dalam segala sesuatunya sebagai manusia….. Dia mengambil rupa seorang hamba tanpa noda dosa, Ia menaikkan kodrat manusia, tanpa mengurangi kodrat ke-Allahan-Nya: sebab pengosongan Dirinya adalah dengan membuat Yang tak kelihatan menjadi kelihatan, Pencipta dan Tuhan atas segala sesuatu mau menjadi mahluk ciptaan, adalah perendahan Diri bukan karena kegagalan kuat kuasa-Nya namun karena pernyataan belas kasihan-Nya…Kedua kodrat (ke- Allahan dan ke-manusiaan-Nya) tetap mempertahankan karakter yang sesuai tanpa menghilangkan satu sama lain…. ke-AllahanNya tidak menghapuskan karakter hamba, kehambaan-Nya tidak mengurangi karakter ke-Allahan-Nya…Di dalam kelahiran-Nya yang baru (sebagai manusia) … Ia yang tidak kelihatan dibuat menjadi kelihatan… Allah semesta alam mengambil rupa seorang hamba, menyembunyikan kemuliaan-Nya yang besarnya tak terhingga, … Ia yang kekal tidak segan untuk tunduk di bawah hukum kematian…. Sebab setiap kodrat melakukan apa yang sesuai dengan kodratnya dengan keterlibatan yang timbal balik dari kodrat lainnya…. Kodrat yang satu (ke-Allahan) berkilau dengan mukjizat-mukjizat, kodrat yang lain (kemanusiaan) jatuh dalam luka-luka. Seperti Sabda yang tidak menarik diri dari kesetaraan-Nya dengan Allah Bapa yang mulia, maka tubuh-Nya juga tidak membuang kodrat-Nya sebagai manusia. Sebab (dan ini harus disebut lagi dan lagi) Pribadi yang satu dan sama itu adalah sungguh Putera Allah dan sungguh Putera manusia. ((Denz 143-144)).
Konsili Chalcedon (451 M): “…. Bahwa Sang Putera, Tuhan Yesus Kristus kita, adalah satu dan sama, sama sempurna di dalam Ke-Allahan-Nya dan sama sempurna di dalam kemanusiaan-Nya, sungguh Allah, sungguh manusia, mempunyai jiwa manusia yang rasional dan sebuah tubuh, sehakekat dengan Bapa di dalam ke-Allahan dan sehakekat dengan kita di dalam kemanusiaan, ‘sama dengan kita dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa’ (lih. Ibrani 4:15), berasal dari Bapa sebelum segala abad dalam kodrat ke-Allahan-Nya, lahir di dalam waktu bagi kita dan bagi keselamatan kita dari Perawan Maria, Bunda Allah, dalam kodrat kemanusiaan-Nya. Kita mengakui Kristus yang satu dan sama, Sang Putera, Tuhan, yang Tunggal, di dalam dua kodrat, tanpa tercampur baur, tanpa perubahan, tidak dapat dibagi-bagi dan dipisahkan. Perbedaan kodrat tidak pernah dihapuskan dengan persatuannya, melainkan sifat-sifat dari kedua kodrat itu yang tetap tidak terganggu, keduanya bersama-sama membentuk satu Pribadi dan hakekat (hypostasis), tidak terbagi menjadi dua pribadi, tetapi di dalam Putera Tunggal yang satu dan sama, Sabda Ilahi, Tuhan Yesus Kristus….”
- Monothelitism (abad ke-7 M) yang menolak kemanusiaan Yesus dengan mengatakan bahwa di dalam diri Yesus hanya ada satu keinginan dan satu prinsip tingkah laku/ operasi, yaitu yang dari Allah saja.
Tanggapan Bapa Gereja:
St. Paus Agatho (678-681 M), ”Sebab kami menolak penghujatan yg membagi-bagi dan yang mencampuradukkan (kedua kodrat dalam Diri Yesus)…. Karena Tuhan Yesus Kristus yang sama mempunyai dua kodrat, maka Ia juga mempunyai dua keinginan dan dua operasi, yaitu (menurut) Allah dan manusia: Keinginan dan operasi Ilahinya sesuai dengan hakekat Allah sepanjang segala abad: sedangkan kemanusiaan-Nya, Ia menerima dari kita, mengambil kodrat kita di dalam waktu…. Sesudah Inkarnasi-Nya, maka ke-Allahan-Nya tidak dapat dipikirkan tanpa kemanusiaan-Nya dan kemanusiaan-Nya tanpa ke-Allahan-Nya.” ((St. Pope Agatho, Letter in preparation for the 6th Ecumenical Council, Constantinople III, trans. by Henry R Percival in NPNF, 14:331-333))
Konsili Lateran (649 M): Cann. 10- 11 mengajarkan bahwa Yesus mempunyai dua kehendak dan operasi [Allah dan manusia] yang disatukan secara terus menerus, dan bahwa melalui kehendak bebas-Nya dan operasi-Nya itulah Ia mengerjakan keselamatan kita.
Konsili Konstantinopel III (680-681 M): “Dan kami menyatakan adanya dua keinginan di dalam Dia, dan dua prinsip operasi tindakan yang tidak mengalami pembagian, perubahan, keterpisahan, pencampur-adukkan sesuai dengan pengajaran para Bapa Gereja. Dan kedua keinginan tersebut tidak dalam pertentangan, seperti yang dikatakan oleh para bidat, … tetapi keinginan manusia-Nya mengikuti dan tidak menahan ataupun berebut, melainkan taat kepada keinginan Ilahi yang mahakuasa”.
- Agnoetae (abad ke-6 M) yang menolak kepenuhan pengetahuan Yesus sebagai manusia sebagai akibat dari persekutuannya dengan Allah (sehubungan dengan akhir jaman dalam Markus 13:32).
Tanggapan Bapa Gereja:
St. Paus Gregorius Agung (540-604 M): “Allah Putera yang Mahatahu mengatakan bahwa Ia tidak tahu harinya [akhir jaman, sehingga] Ia tidak menyatakannya, bukan disebabkan oleh sebab Ia sendiri tidak tahu, tetapi karena Ia tidak mengizinkan hal tersebut diketahui sama sekali…. Putera Tunggal Allah yang menjelma menjadi manusia yang sempurna untuk kita, pasti mengetahui hari dan saatnya Penghakiman Terakhir di dalam diriNya sebagai manusia, namun demikian Ia tidak mengetahui hal itu dari kapasitasnya sebagai manusia…. Sebab untuk maksud apa bahwa Ia yang menyatakan DiriNya sebagai Kebijaksanaan Allah yang menjelma, jika ada sesuatu yang tidak diketahui olehNya sebagai Kebijaksanaan Allah? … Juga tertulis bahwa, …. Allah Bapa menyerahkan segala sesuatu ke dalam tanganNya (Yesus Kristus di dalam Yohanes 13:3). Jika disebutkan segala sesuatu, tentu termasuk hari dan saat Penghakiman Terakhir. Siapa yang begitu naif untuk mengatakan bahwa Allah Putera menerima di dalam tangan-Nya sesuatu yang tidak diketahui olehNya?” ((Pope St. Gregory the Great, Denz. 248)).
St. Maximus (580-662 M): Jika para nabi saja dapat mengetahui hal- hal di masa depan yang akan terjadi, betapa lebih lagi Kristus dapat mengetahui semua itu melalui kesatuan-Nya dengan Sang Sabda. ((Lihat Quaestiones et dubia 66 (I, 67), PG 90: 840)).[1]