LIVE DKC JUMAT, 17 JANUARI 2025: KONSILI VATIKAN II MEMBUKA BAGI LIBERALISME …???
Alasan Tim-DKC Membawakan Materi mengenai Konsili Vatikan (KV) II
Banyaknya orang Kristen Non-Katolik yang suka berpolemik dengan mempermasalahkan Lumen Gentium (LG) 161 dan Katekismus Gereja Katolik (KGK) 8412 membuat Tim-DKC mengangkat materi malam hari ini terkait KV II. Materi malam hari ini akan menguntai bagaimana sikap Gereja Katolik yang dibimbing Roh Kudus melalui konsili-konsilinya sampai dengan KV II.
Benarkah KV II Sumber bagi Liberalisme?
Pandangan dasar/ utama dari mereka yang jatuh dalam sikap/ posisi indiferentime adalah satu kepercayaan bahwa tidak penting manusia menganut agama apapun, ia tetap bisa diselamatkan. Mereka turut membenarkan tuduhan dari kelompok Anti-KV II bahwa Gereja Katolik pasca-KV II telah mengakui adanya kebenran-kebenran yang lain dan terdapat keselamatan di dalamnya. Pandangan ini telah banyak tersebar di Gereja Katolik Nusantara.
Secara faktual inklusifitas yang dipelihara KV II dalam LG 16 dengan otoritas yang tak dapat salah ini, telah memicu banyak kesalahpahaman/ persepsi di kalangan umat Katolik sendiri.
Padahal setelah era Patristik dan Skolastik usai, jauh sebelum dicetuskan konsep tentang “Kristen Anonim” dari Karl Rahner dan sebelum dirumuskannya LG 16 dalam KV II, sikap dan pandangan yang diistilahkan sebagai teologi inklusif itu sendiri teleah diteruskan oleh Gereja Roma, baik oleh teolog, para misisionaris maupun oleh para Paus di era sebelum KV II berlangsung.
Seperti misalnya, Domingo de Soto, OP, seorang teolog pra-KV II. Ia berpendapat bahwa, bagi orang yang belum diinjili, iman yang implisit di dalam Kristus akan cukup untuk keselamatan itu sendiri. Atau juga pandangan dari Albert Pighius seorang misionaris, yang mendasarkan pada Ibrani 11:6, dengan mengemukakan bahwa bagi orang-orang yang belum diinjili, mereka bisa diselamatkan oleh wahyu umum dan rahmat meskipun tidak ada misionaris yang datang untuk menginjili mereka.
Pandangan inklusif yang sama turut dianut oleh dua Uskup Roma di zaman pra KV II sendiri, yakni Paus Pius IX dan Paus Pius XII:
Paus Pius IX dalam Ensikliknya Singulari Quadam, 9 Desember 1854, menyatakan bahwa ”Meskipun tidak ada keselamatan di luar Gereja Roma Apostolik, di sisi lain perlu dipastikan bahwa mereka yang bekerja dalam ketidaktahuan akan agama yang benar, jika ketidaktahuan ini tak dapat diatasi (invicta ignorantia), tidak ternoda oleh kesalahan apa pun dalam hal ini di mata Tuhan.”
Nada yang sama diungkapkan juga oleh Paus Pius XII, melalui ensiklik kepausannya, yakni Mystici Corporis 103, 29 Juni 1943. Dalam ensikliknya itu Bapa Suci, tidak serta-merta mengutuk mereka yang masih berada di luar Gereja Kristus. Melainkan, Bapa Suci Paus Pius XII malah ”Mendoakan mereka agar dapat bergabung ke dalam kesatuan Katolik, sehingga, bisa bertekun dalam doa kepada Roh kasih dan kebenaran, bersama dengan anggota Gereja Kristus sendiri.”
Akan tetapi, fakta-fakta historis tersebut kerap dilupakan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja oleh oknum-oknum yang menyalahpahami tentang sikap KV II sendiri terhadap kebenaran.
Bukan hanya kelompok penolak/ Anti-KV II saja yang salah paham mengenai “inklusifitas” yang ada dalam KV II (yang di tanah air kita direpresentasikan oleh Crusader Network dkk), yang mana mereka menuduh LG 16 telah menghapuskan prinsip EENS dalam Gereja Roma, tetapi juga terdapat sebagian dari kita yang berpikiran liberal, yang karena terdorong untuk mentoleransikan iman Katolik dengan cara mengeneralisasi atau menyamaratakan Kebenaran Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik dengan keyakinan/ kepercayaan lainnya, akhirnya menyebabkan diri, jatuh dalam sikap indiferentisme.
Fenomena Indiferentisme dalam Gereja Katolik
Pandangan dasar atau utama dari mereka yang jatuh dalam sikap/ posisi indiferentisme ialah suatu kepercayaan bahwa tidak penting manusia menganut agama apapun, ia tetap bisa diselamatkan. Sehingga, dengan demikian, mereka ini turut membenarkan tuduhan dari para kelompok anti KV II, bahwa Gereja Katolik pasca-KV II telah mengakui adanya kebenaran-kebenaran yang lain dan terdapat keselamatan di dalamnya. Mereka memandang LG 16 sebagai pembenaran sepihak bagi sikap indiferentisme mereka yang keliru. Bahkan pandangan yang semacam ini telah banyak tersebar atau muncul secara masif di Gereja Katolik di Indonesia.
Beberapa Contoh/ Kasus Bentuk-Bentuk Sikap-Pandangan Indiferentis yang Berkembang dan Eksis dari Beberapa Kalangan yang ada Di dalam Gereja Katolik:
Kebenaran Kekristenan Setara dengan Agama-Agama Lain
Pandangan ini berpendapat bahwa antara Kekristenan dan agama-agama lainnya, tidak terdapat perbedaan yang hakiki, tegas, dan spesifik dalam hal Kebenaran/ Relativisme.
Contoh:
Salah seorang pakar dalam teologi agama-agama zaman kontemporer (pasca-KV II) yang juga merupakan seorang klerus Gereja Katolik, yakni Raimundo Panikkar, pernah berpendapat bahwa Allah menjadi manusia tidak hanya melalui Kristus atau dengan kata lain, Allah tidak berinkarnasi di dalam Yesus saja tetapi juga dalam agama lain, seperti di agama Hindu. Menurut Panikkar :Kristus dan Yesus adalah dua tokoh yang berbeda. Kristus adalah misteri ilahi, dan bukan satu realitas yang memiliki banyak nama, tetapi dalam setiap nama yang berbeda-beda di masing-masing agama, Kristus ada dan menyelamatkan” (pernyataannya dari bukunya The Unknown Christ of Hinduism).
Penolakan akan Eksistensi Agama dan Prioritas terhadap “Humanisme” (Irenisme/ Kedamaian Palsu/ Subyektivisme/ Individualistis)
Pandangan ini meyakini bahwa agama-agama (termasuk Kekristenan) tidaklah mengandung suatu kebenaran yang mutlak dan bersifat asasi. Melainkan, kebenaran mutlak dan sejati terletak pada individu/ person tersebut di dalam agama.
Contoh:
Salah seorang Imam Yesuit asal India yang kenamaan, sekaligus seorang spiritualis, yakni Pater Anthony de Mello, SJ. dalam salah satu tulisan imajinernya, tertulis: “Yesus mengangguk setuju.” “Itulah sebabnya Aku tidak mendukung agama; Aku mendukung orang-orangnya,” katanya. “Orang lebih penting daripada agama. Manusia lebih penting dari hari Sabat”….. “Tuhan berhati-hatilah dengan kata-kata-Mu, kata salah seorang di antara kami dengan was-was….. “Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu”. “Ya dan bahkan hal itu dilakukan oleh orang-orang beragama,” kata Yesus sambil tersenyum.
Kardinal Ratzinger (saat itu adalah Prefek dari Kongregasi Ajaran Iman (CDF), sekarang Paus Emeritus Benediktus XVI) secara khusus menulis komentar tentang karya R. Mello, pada tahun 1998, yang keseluruhan teksnya dapat dibaca di …..3 Menarik untuk disimak bahwa notifikasi dari Vatikan tentang tulisan Fr. Anthony de Mello dibuat beberapa tahun setelah wafatnya di tahun 1987.
Kardinal Ratzinger mengatakan demikian,
“….. in certain passages in Father de Mello’s early works and to a great degree in his later publications, one notices a progressive distancing from the essential contents of Christian faith”
Terjemahan:
“….. di beberapa perikop dalam karya-karya awal Fr. de Mello dan dalam derajat yang besar di karya-karyanya kemudian, seseorang dapat melihat perkembangan pergeseran yang menjauh dari isi dasar ajaran iman Kristiani.”
Lanjutan:
| “….. according to the author, any belief or profession of faith whether in God or in Christ cannot but impede one’s personal access to truth. The Church, making the word of God in Holy Scripture into an idol, has ended up banishing God from the temple. She has consequently lost the authority to teach in the name of Christ. With the present Notification, in order to protect the good of the Christian faithful, this Congregation declares that the above-mentioned positions are incompatible with the Catholic faith and can cause grave harm.” | | :—- |
Terjemahan:
“….. menurut penulis, apapun kepercayaan dan pengakuan iman entah di dalam Tuhan atau di dalam Kristus, tidak dapat tidak, hanya menghalangi sampainya seseorang kepada kebenaran. Gereja, dengan menjadikan sabda Tuhan dalam Kitab Suci sebagai sebuah berhala, telah akhirnya membuang Tuhan dari bait-Nya. Gereja telah secara konsisten kehilangan otoritas untuk mengajar di dalam nama Kristus.
Dengan Notifikasi ini, demi untuk melindungi kebaikan umat beriman Kristiani, Kongregasi ini menyatakan bahwa pandangan-pandangan di atas adalah tidak sesuai dengan iman Katolik dan dapat sangat membahayakan.”
Penyelarasan Radikal antara Keimanan Katolik Fundamental dengan “Unsur-unsur Asing”, yaitu Ideologi, Paham, Trend Budaya, dan Perilaku-perilaku Zaman
Contoh:
Teologi Pembebasan (menggunakan Marxisme sebagai metodologi iman); Inkulturasi-Inkulturasi yang menggeser posisi wahyu dengan kearifan-kearifan lokal/ Sinkretisme (misalnya Praktik Santeria, Upacara Lucumi, dan praktik-praktik sinkretisme lainnya); Asosiasi Katolik Patriotik China atau Chinese Patrotic Catholic Association (CPCA) (Lembaga Keagamaan Gereja Katolik yang dihasilkan dari perpaduan antara sistem ideologi-komunisme Tiongkok dengan. Gereja Katolik Roma); “Unsur-unsur tertentu dalam PDKK” (karunia bahasa lidah, penyembuhan Ilahi, spiritualitas-kerohanian bebas, dll.)
Pandangan Skeptis terhadap Originalitas (Keaslian) Wahyu Ilahi (Kitab Suci dan Tradisi Apostolik)
Contoh:
Robert W. Funk, Roy W. Hoover, and The Jesus Seminar: “Delapan puluh dua persen dari kata-kata yang dianggap berasal dari Yesus di Injil-Injil sebenarnya tidak dikatakan oleh-Nya” (The Five Gospels, Harper One, 1996, hal. 5); Dan Brown, Da Vinci Code: “ Alkitab telah berevolusi melalui banyak sekali terjemahan, penambahan dan revisi. Sejarah tidak pernah memiliki satu versi definitive buku tersebut” (Sir Leigh Teabing).
Maka dengan berbagai realita menyedihkan dari indiferentis ini, menjadi pertanyaan sentral yang penting untuk kita jawab ialah, apakah benar akar dari indiferentis ini ialah KV II dengan seruan aggiornamento itu sendiri???
Asal Usul Otentik Pandangan Liberalisme dalam Kekristenan
Sesungguhnya, sejarah Gereja telah mencatat bahwa, Gereja Katolik telah mengutuk gagasan ini sebagai kesesatan dalam bahasa yang tegas, karena gagasan tersebut merupakan penyangkalan terhadap Dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS) yang berarti Di Luar Gereja Tidak Ada Keselamatan.
Berikut ini kutipan singkat dari Mirari Vos, oleh Paus Gregorius XVI di 15 Agustus 1832), penekanan kata-kata miring dan tebal berasal dari saya:
”Sekarang kita memikirkan sumber kejahatan berlimpah yang menyusahkan Gereja sekarang yaitu indiferentisme. Opini jahat yang tersebar luas di seluruh sisi oleh tipuan orang jahat yang mengklaim bahwa keselamatan kekal mungkin diperoleh jiwa melalui pengakuan terhadap agama apapun, selama moralitas dipertahankan. Tentu, engkau dengan komitmenmu akan mendorong kesalahan yang mematikan ini jauh-jauh dari orang-orang yang kau pedulikan. Dengan peringatan rasul bahwa “Ada Satu Allah, Satu Iman, Satu Baptisan” (16), semoga mereka (merasa) takut, (mereka) yang merencanakan gagasan bahwa pelabuhan keselamatan yang aman terbuka bagi seseorang dengan agama apapun. Mereka harus memperhatikan kesaksian Kristus sendiri bahwa “mereka yang tidak bersama Kristus berarti menentang Ia” (17) dan bahwa mereka memisahkan secara tidak bahagia mereka yang tidak berkumpul dengan-Nya. Karenanya “tanpa keraguan, mereka akan binasa selamanya, kecuali mereka memegang iman katolik yang menyeluruh dan suci” (18). Biarkan mereka mendengarkan Jerome yang mengatakan pada kita ketika Gereja terbelah menjadi tiga karena skisma, “Ia yang berada untuk tahta Petrus berada untukku” (19). Seorang skismatik merayu dirinya sendiri dengan keliru ketika ia menyatakan bahwa ia juga telah dibasuh dalam air regenerasi. Agustinus akan menjawab kepada manusia tersebut :”Ranting memiliki bentuk yang sama ketika ia dipisahkan dari pokok anggur, tapi apa yang menguntungkan bagi ranting tersebut, bila ia tidak hidup dari akar?” (20).”
Wadah indiferentisme yang memalukan ini muncul dari proposisi yang tidak masuk akal dan keliru bahwa kebebasan suara hati harus dipertahankan bagi setiap orang. Ia menyebarkan kehancuran dalam urusan sipil dan suci, walaupun beberapa orang semakin mengulangi dengan ketidaksopanan yang besar bahwa suatu keuntungan bertambah bagi agama darinya. “Tapi kematian jiwa lebih buruk daripada kebebasan dari kesalahan”, seperti yang tidak akan dikatakan oleh Agustinus (21), Ketika semua penghalang dihapus yang melaluinya manusia dijaga di jalan kebenaran yang sempit, kodrat mereka, yang cenderung kepada hal yang jahat, mendorong mereka kepada kehancuran. Maka “lubang yang tak berdasar” sungguh terbuka, saat Yohanes melihat asap muncul untuk mengaburkan matahari, dan keluar jenis tanaman yang menghancurkan bumi. Karenanya muncul tranformasi pikiran, korupsi pada orang-orang muda, hinaan pada hukum dan hal-hal yang kudus dan suci – di lain kata, wabah yang lebih mematikan bagi sebuah situasi daripada yang lain. Pengalaman menunjukkan dari masa paling awal, bahwa kota-kota yang terkenal karena kekayaan, kekuasaan, dan kemuliaan musnah sebagai akibat dari kejahatan tunggal, yaitu kebebasan berpendapat yang di luar batas, izin untuk berbicara secara bebas, dan keinginan untuk hal-hal baru.
Maka, jika sejarah Gereja mencatat bahwa Gereja pernah atau bahkan telah mengutuk indiferentisme di zaman pra-KV II, itu berarti tuduhan yang mengatakan kalau KV II tak lain adalah asal-usul penyebab bagi indeferentisme, langsung gugur dengan sendirinya. Karena, sebelum diadakannya KV II dengan adagiumnya “aggiornamento”, sikap indefentisme sendiri telah eksis dan sudah dikutuk oleh bulla Mirari Vos, dari Paus Gregorius XVI pada 15 Agustus 1832.
Apakah Penyebab Utama/ Asal-Usul dari Sikap Sesat ini?
Dalam lingkup global, pandangan liberal-indiferentis ini telah ditunjukkan oleh para teolog, yang digolongkan Alan Race sebagai para teolog pluralis (sebagaimana Alan Race sendiri termasuk di dalamnya).
Seperti yang telah kita ketahui dari video sebelumnya bahwa, Alan Race inilah dalam karya teologisnya yang berjudul Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology telah merumuskan yang namanya tipologi-tripolar yang tak lain adalah pengelompokkan pandangan teologis-soteriologis Kekristenan ke dalam 3 macam pandangan, yakni: 1) eksklusifisme, 2) inklusifisme, dan 3) pluralisme.
Jika kita meminjam pembagian atau kategorisasi dari tipologi-tripolar dari Alan Race ini, rupanya mereka yang jatuh dalam sikap liberal-indiferentisme sangat tepat dan cocok digolongkan ke dalam tipe teologi-pluralisme itu sendiri. Di mana antara liberalisme dan pluralism itu sendiri pada dasarnya saling terkait erat satu dengan yang lain.
Menurut kamus teologi karangan Gerald O’ Collins dan Edward G. Farrugia dua imam Yesuit yang sekaligus merupakan teolog, yakni, tepatnya dalam Kamus Teologi, hal. 178, tertulis arti dari Liberalisme (Ibrani: liberalis/ turunan kata liber artinya bebas, merdeka, tak terikat, dan tak tergantung). Liberalisme adalah kecenderungan luas dalam politik dan agama yang megikuti pandangan zaman pencerahan dalam mendukung kebebasan dan perkembangan dalam menerima pandangan-pandangan baru dalam ilmu kebudayaan sezaman.
Dalam arti positif, liberalisme mendorong sistem pendidikan yang terbuka dan terciptanya keadilan sosial.
Dalam arti negatif, liberalisme menjadi satu bentuk humanisme sekular yang menolak kewibawaan agama. (lih. Gerald O‟ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, hal. 178)
Pula, di kamus yang sama, dipaparkan juga pengertian dari pluralisme yakni, sebagai pandangan filosofis yang tidak mereduksikan segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, melainkan menerima adanya keragaman. Pluralisme dapat menyangkut bidang kultural, politik dan religius (lih. Gerald O‟ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, hal. 257)
Maka, bertolak dari pengertian tersebut, pandangan dari mereka yang jatuh dalam sikap indiferentis, dapat dimengerti sebagai suatu pandangan teologis kristiani yang menerima keragaman secara luas dan bebas, yang bertujuan untuk menyamaratakan iman kristiani (khususnya Kekatolikan) dengan keyakinan agama yang lain. Sehingga, keunikan dan kekhususan sejati dari Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik, menjadi pudar, sirnah, dan musnah.
Lahir dari Rahim Protestantisme
Dalam sejarah dunia teologi, pandangan pluralis yang menjadi kegemaran bagi mereka yang jatuh dalam sikap indiferentis ini, awalnya lahir dan berkembang secara subur di kalangan para Non-Katolik sendiri. Gerakan “liberalisme” dalam Kekristenan, secara khusus pertama kali dipelopori oleh para teolog Protestan. Hal tersebut, ditandai dengan adanya gerakan Protestantisme Liberal di abad ke-19 yang diprakarsai oleh seorang teolog Kristen Reformasi dari Prusia yakni Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Menurut M. Legenhausen, dalam bukunya Pluralitas dan Pluralisme Agama, hal. 17, “Protestanisme liberal adalah bentuk modernisme dalam bidang agama yang di dalamnya terdapat doktrin bahwa inti agama terletak pada pengalaman religius pribadi daripada dogma, aturan, komunitas dan ritual” (Bida’ah Montanisme).
Pada halaman 19 dalam bukunya, Legenhausen melanjutkan bahwa Schleiermacher menyatakan ”Hakikat dari agama terletak pada jiwa manusia yang melebur dalam perasaan dekat dengan Yang Tak Terbatas, agama tidak terletak pada doktrin keagamaan maupun penampakan secara lahiriah tertentu. Pengalaman religius batiniah adalah saripati dari semua agama.” Menurut Schleiermacher ”Berlipat gandanya agama merupakan hasil dari berbagai perasaan dan pengalaman keberagamaan manusia, oleh karena itu semua agama mengandung kebenaran Ilahi.”
Karakteristik liberal dalam Kekristenan Non-Katolik tersebut, semakin dimantapkan lagi oleh seorang teolog Protestan Lutheran sekaligus pakar keagamaan, yakni Rudolf Otto dalam karyanya Das Heilige (1917) menegaskan bahwa ”Semua agama memiliki esensi yang sama. Esensi dari semua agama adalah kesucian, dan konsep kesucian ini mencakup elemen rasional dan non-rasional.”
Otto menyebut bahwa elemen non-rasional itu ialah sebagai “nominous” (Latin: numen, bermakna menunjukan adanya kekuatan atau kehadiran Tuhan). Perasaan nominous disertai dengan rasa takjub, takzim, dan cinta, merupakan respon terhadap Ketuhanan.
Karakteristik liberal yang sedemikian berkembang dalam teologi protestantisme abad modern, rupanya merasuk dan turut ikut mempengaruhi beberapa teolog Gereja Anglikan:
Tokoh Anglikan pertama yang menunjukkan kecenderungan liberal dalam pandangan teologisnya ialah John Hick, yang dikategorikan oleh Allan Race sebagai bagian dari teolog pluralis, dan kemudian oleh Paul. F Knitter di dalam bukunya yang berjudul No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward the World Religions, di golongkan sebagai model Teosentris, yang mana merupakan posisi yang dianut Knitter sendiri. Model teosentris percaya bahwa ada banyak jalan menuju pusat yang satu, yaitu Allah sendiri.
Secara perlahan-lahan, karakteristik liberal yang terkandung dalam teologi pluralisme ini pun, ternyata turut menghiasi pemikiran beberapa teolog Katolik sendiri. Inilah yang lebih patut disebut sebagai awal dari jatuhnya sebagian orang Katolik ke dalam sikap indiferentisme, atau hilangnya kekhususan kebenaran Kekatolikan (kesesatan menyamakan Iman Katolik dengan iman yang lain), ketimbang menilai KV II sebagai penyebab atas itu yang pada faktanya sangat berbanding terbalik dengan tuduhan miring tersebut. Sehingga, bertolak dari adanya fenomena indiferentisme ini, perlu kita tanyakan dengan sungguh, benarkah bahwa KV II sama sekali tidak mempertahankan pengajaran soteriologis Katolik yang fundamental yakni Prinsip Extra Ecclesia Nulla Sallus, yang kalau kita meminjam istilah dari Allan Race yakni teologis yang sifatnya “eksklusif”???
Konsistensi (Ketaatan) KV II terhadap Ajaran Fundamental-Tradisional Gereja Katolik
Melanjutkan Prinsip/ Aphorisma EENS
Pengajaran atau Prnsip EENS sendiri ditegaskan dalam Konsili Lateran IV, 1215 M, dengan seruan: “Sungguh hanya ada satu Gereja universal bagi umat beriman universal, yang di luarnya tidak ada seorang pun yang diselamatkan” (Denzinger Schonmetzer/ DS 802). Penegasan dalam Konsili Lateran IV tersebut, semakin dikukuhkan lagi oleh Paus Bonifasius VIII, dalam bulla Unam Sanctam, yakni: “Kami menyatakan, mendefinisikan, dan menyatakan kepada setiap manusia bahwa untuk keselamatan, mereka harus sepenuhnya bersatu dengan Paus Roma” (DS 873).
Atas dasar inilah semakin dipahami bahwa keselamatan hanyalah tercakup dan final di dalam Gereja Roma secara eksklusif. Bunyi penegasan yang sama dari seruan Konsili Lateran dan Bulla Unam Sanctam, itu dilihat hilang dalam poin-poin dari KV II.
Apalagi KV II dalam GS 22, terkesan hanya seperti mengulangi bunyi inklusifitas dari Rasul Paulus (lih. Roma 2:14-16), ketimbang seperti bunyi eksklusif yang terdapat dalam Konsili Lateran IV dan Bulla Unam Sanctam dari Paus Bonifasius VIII.
Berkenaan dari semua pembahasan ini, pada faktanya di dalam KV II sendiri terdapat Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium). Dalam LG selain terdapat kelanjutan dari sikap inklusif yang berakar sejak Tuhan Yesus Kristus, yakni dalam LG 16, terdapat pula kebenaran eksklusif tentang Kebenaran Tuhan kita Yesus Kristus dan Gereja-Nya sebagai satu-satunya Pengantara dan Jalan Keselamatan yang khas dan khusus bagi umat manusia.
Dalam LG 144, terdapat seruan yang berbunyi:
“Berdasarkan Kitab suci dan Tradisi konsili mengajarkan, bahwa Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan Jalan Keselamatan, yakni Kristus. la hadir bagi kita dalam TubuhNya, yakni Gereja. Dengan jelas menegaskan perlunya iman dan baptis (lih. Markus 16:16; Yohanes 3:5) Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu, andaikata ada orang, yang benar benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.(LG 14).”
Menegaskan Eksklusifitas Yesus Kristus Di antara Agama-agama
Selain “seruan ekslusif” yang terdapat dalam LG 14 tentang Kebenaran Kekatolikan di dalam Yesus Kristus, seruan yang sama pun kembali dipertegas oleh KV II. Sekali lagi, dalam dekret atau poin yang sering disalah pahami sebagai ajaran kesesatan, yakni dalam Nostra Aetate 25:
“Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni jalan, kebenaran dan hidup (lih. Yohanes 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.”
Menonjolkan Kebenaran Gereja Katolik sebagai Satu-satunya Agama Sejati
Selanjutnya, kesetiaan KV II terhadap eksklusifitas ajaran tradisional Gereja Katolik pun sangat tampak, justru sekali lagi di dalam bagian/ dokumen yang sering disalahpahami sebagai dokumen kompromistis atau indeferentis, yakni dalam Pernyataan Dignitatis Humanae art. I6, di mana KV II sambil memberikan pandangan terbuka atas sikap manusia terhadap keyakinan dan ajaran-ajaran iman lainnya, juga pertama-tama menegaskan spesifikasi Gereja Katolik sbg satu-satunya agama yang benar dan sejati:
“Oleh karena itu Konsili suci pertama-tama menyatakan, bahwa Allah sendiri telah menunjukkan jalan kepada umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya, dan dengan demikian memperoleh keselamatan dan kebahadiaan dalam Kristus. Kita percaya, bahwa satu-satunya Agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik dan apostolic, yang oleh Tuhan Yesus diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang, ketika bersabda kepada para Rasul: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (lih. Matius 28:19-20). Adapun semua orang wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya” (DH art. 1).
Menegaskan Keabsahan dan Originalitas Wahyu Ilahi
Dari mereka yang berpandangan bahwa KV II adalah asal-usul dari indiferentis dan spirit liberalis dalam keimanan kristiani, banyak yang menuduh bahwa KV II telah mendorong banyak jiwa untuk bersikap relatif terhadap kebenaran Katolik dihadapan keyakinan dan ajaran-ajaran asing. Di samping itu, mereka menuduh bahwa KV II mau membuat Gereja berkompromi dengan dunia modern, sehingga bersikap skeptis terhadap keabsahan dan originalitas + otentisitas dari Wahyu Ilahi. Maka, benarkah demikian? Konstitusi Dogmatis dari KV II yakni Dei Verbum (DV)7 dengan segera langsung membantah tuduhan-tuduhan miring tersebut:
Pertama, melalui DV 4 KV II menegaskan secara bulat dan definitif bahwa Yesus Kristus adalah Kepenuhan Wahyu Ilahi: “Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya” (lih. 1 Timotius 6:14 dan Titus 2:13)” (DV 4).
Kedua, di dalam DV pun ditegaskan originalitas atau otentisitas dari Kitab Suci dan Tradisi Apostolik sebagai sumber valid dan absah bagi Kebenaran Wahyu Ilahi: “Jadi Tradisi Suci dan Kitab suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. . Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui kitab suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun Kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama” (DV 98)
Mempertahankan Liturgi sebagai Puncak dan Sumber Kehidupan Gereja
Kesetiaan KV II terhadap eksklusifitas ajaran tradisional Gereja Katolik, diperlihatkan pula dalam hal sikap atau pandangan Konsili sendiri terhadap Liturgi Gereja, yakni Liturgi Kekatolikan. KV II secara terang-terangan mempertahankan prinsip Gereja sejak Para Rasul (Perjanjian Baru) bahwa Liturgi adalah Puncak sekaligus Sumber bagi kehidupan dari Gereja itu sendiri. Melalui Konstitusi Tentang Liturgi (Sacrosanctum Concillium), KV II menyatakan bahwa “Akan tetapi liturgi itu puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala daya-kekuatannya. Sebab usah-usaha kerasulan mempunyai tujuan ini: supaya semua orang melalui iman dan baptis menjadi putera-putera Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam Kurban dan menyantap perjamuan Tuhan.”
Di lain pihak liturgi sendiri mendorong umat beriman, supaya sesudah dipuaskan “dengan Sakramen-sakramen Paskah menjadi sehati-sejiwa dalam kasih” (26) . Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman” (27) . Adapun pembaharuan perjanjian Tuhan dengan manusia dalam Ekaristi menarik dan mengobarkan Umat beriman dalam cinta kasih Kristus yang membara. Jadi dari liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya” (SC 109).
Kesetiaan dalam Militansi Penginjilan/ Pengenalan akan Allah Tritunggal bagi Setiap Makhluk
Masih dalam dokumen konstitusi yang sama, yang berbicara mengenai Liturgi yakni SC, KV II pun secara otomatis telah menepis tuduhan-tuduhan miring seputar penyebab sikap sesat indiferentis sekaligus asal-usul bagi spirit liberalisme, antara lain: KV II berkompromi dengan iman/agama lain, menyamaratakan ketuhanan dalam setiap agama, menghentikan penginjilan dan menggantikannya dengan ekumenisme dan dialog, menghapus EENS, dll.
Hal mana, tepatnya pada SC 9 yang berbicara tentang “Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja”, KV II pun menegaskan militansi Penginjilan sebagai salah satu dari Kegiatan Gereja yang bersifat wajib dan mutlak: “Liturgi suci tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebab sebelum manusia dapat mengikuti liturgi, ia perlu dipanggil untuk beriman dan bertobat: bagaimana ia akan berseru kepada Dia yang tidak mereka imani? Atau bagaimana mereka akan mengimani-Nya bila mereka tidak mendengar tentang Dia? Dan bagaimana mereka akan mendengar bila tidak ada pewarta? Lalu bagaimana mereka akan mewartakan kalau tidak diutus?” (lih. Roma 10:14-15).
Oleh karena itu Gereja mewartakan berita keselamatan kepada kaum tak beriman, supaya semua orang mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya lalu bertobat dari jalan hidup mereka seraya menjalankan ulah tapa (24). Tetapi kepada umat beriman pun Gereja selalu wajib mewartakan iman dan pertobatan; selain itu harus menyiapkan mereka untuk menerima sakramen-sakramen, mengajar mereka mengamalkan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Kristus (25) , dan mendorong mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Berkat karya-karya itu akan menjadi jelas bahwa kaum beriman Kristiani memang bukan dari dunia ini, melainkan menjadi terang dunia dan memuliakan Bapa di hadapan orang-orang (SC 9).
Kesimpulan
Dengan adanya fakta-fakta pengajaran, penegasan, serta pernyataan fundamental dalam dokumen-dokumen KV II sendiri, terjawab sudah bahwa KV II sungguh meneruskan eksklusifitas Pengajaran dan Kekhasan Gereja Kuno sepanjang masa; sekaligus ditepisnya juga tuduhan dan kesalahpahaman bahwa KV II sesungguhnya sama sekali bukan merupakan asal-usul bagi sikap sesat liberal-indiferentisme.
Sehingga, sekali lagi KV II bersaksi kepada dunia bahwa Yesus Kristus dan Gereja-Nya adalah satu-satunya jalan dan sarana keselamatan yang sejati… sebagaimana tertulis secara jelas dalam dokumen-dokumennya.
Dengan demikian, hal yang patut dapat kita katakana secara bersama dan final ialah: “Apa yang diajarkan oleh Gereja sepanjang masa: mulai dari Gereja Perdana hingga Gereja pasca-KV II” ini adalah sungguh-sungguh kebenaran yang hakiki. Dan di luar kebenaran ini, tidak ada keselamatan.10
Mari kembangkan terus sikap ketaatan kita pada Bunda Gereja, bersedia sehati dan senafas dengan Gereja, karena hanya dengan selaras bersama Gereja kita bisa selamat!
Apakah Benar-benar “Tidak Ada Keselamatan di Luar Gereja Katolik?
Ringkasan:
Ada enam poin penting yang menurut saya perlu kita ingat di sini:
- Tidak seorang pun yang dengan sengaja dan sadar menolak kebenaran akan diselamatkan. Tidak peduli seberapa baiknya dia sebagai seorang Muslim, Yahudi, Baptis, atau apa pun. Jika seseorang menolak kebenaran Kristus dan Gereja-Nya – bahkan satu ajaran definitif – mereka akan terhilang.
- Agama-agama yang memiliki prinsip-prinsip dalam iman mereka masing-masing yang menolak Yesus dan Gereja-Nya tidak memiliki kuasa untuk menyelamatkan siapa pun. “Kebenaranlah yang memerdekakan kita” (lih. Yohanes 8:32), bukan kepalsuan.
- Dalam kasus seseorang yang tidak mengetahui kebenaran Iman Katolik, “bukan karena kesalahan (dirinya) sendiri,” ia dapat diselamatkan, jika ia benar-benar “tidak dapat diatasi ketidaktahuannya, (diberi) keutamaan adikodrati iman dan (memiliki) kasih yang sempurna di (hatinya)” (lih. Instruksi Ibadat Harian Suci, 20 Desember 1949).
- Kita harus ingat bahwa kita bukanlah hakim keselamatan. Allah adalah hakim tunggal dan terakhir. Kita tidak tahu siapa yang benar-benar “tidak dapat diganggu gugat” dan siapa yang tidak. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati untuk “memberitakan Injil kepada semua orang” sebagaimana diperintahkan Katekismus dan menyerahkan penghakiman kepada Allah.
- “Apa pun kebaikan atau kebenaran yang ditemukan di antara (agama-agama dunia lain) dianggap oleh Gereja sebagai ‘suatu persiapan untuk Injil dan diberikan oleh Dia yang menerangi semua orang agar mereka akhirnya memperoleh kehidupan’” (LG 16). Dan jika mereka mencari Allah yang benar, dengan terang yang telah mereka terima, mereka memiliki kemungkinan untuk diselamatkan.
- Ini tidak berarti mereka tidak membutuhkan Ekaristi! Tanpa rahmat yang datang dari sakramen-sakramen, seseorang akan sangat sulit untuk masuk surga. Dan jika seseorang telah menolak kebenaran, maka tidak ada cara baginya untuk memperoleh surga tanpa pertobatan dan penerimaan kebenaran. Gereja menjelaskan dengan sangat jelas: “Kata-kata mengikat dan melepaskan berarti: siapa pun yang kamu singkirkan dari persekutuanmu, akan disingkirkan dari persekutuan dengan Allah; siapa pun yang kamu terima kembali ke dalam persekutuanmu, akan diterima kembali oleh Allah ke dalam persekutuan-Nya. Rekonsiliasi dengan Gereja tidak dapat dipisahkan dari rekonsiliasi dengan Allah” (KGK 144511).
- Jika seseorang berhasil masuk surga tanpa melalui apa yang disebut Gereja sebagai “cara pengudusan biasa yang datang melalui sakramen-sakramen,” atau “persatuan formal dengan Gereja,” mereka hanya akan melakukannya melalui hubungan keselamatan dengan Gereja yang datang melalui cara-cara luar biasa.12
Contoh Indiferentisme dalam video Bambang Noorsena
”Kalau anda ingin menjadi Protestan, silahkan, tapi jangan terlalu Protestan, kalau anda ingin menjadi Katolik, silahkan, tapi jangan terlalu Kekatolik-katolikan”
Pendapat BN ini terbantahkan dengan ayat-ayat dalam Alkitab:
- 2 Petrus 3:1813 – ”Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Bagi-Nya kemuliaan, sekarang dan sampai selama-lamanya.”
- Kolose 2:6-714 – Kepenuhan Hidup dalam Kristus ”Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.”