LIVE DKC SELASA, 18 FEBRUARI 2025 PUKUL 19:00 WIB: DOA PADA JAM TERTENTU DALAM KEKRISTENAN TIDAK PENTING...???

Di mata mereka, dalam ukuruan dimana mereka dibentuk dan dikembangkan, jam-jam kanonik adalah sebagai pengesahan dan hasil dari doa Gereja yang terus-menerus; para klerus memiliki lebih banyak alasan untuk mengambil bagian secara aktif, karena mereka memiliki lebih banyak kebebasan dan waktu luang, dan dalam ukuran yang sangat besar untuk tujuan ini, mata pencaharian yang jujur dijamin bagi mereka. Sejak abad ke-5, konsili-konsili telah merumuskan hukum-hukum mengenai hal ini dengan sanksi dan hukuman; demikianlah kanon ke-14 dari konsili provinsial provinsi Tours yang diselenggarakan di Vannes, Britanny, pada tahun 465 M.

By Manuel (Tim DKC)

17 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

LIVE DKC SELASA, 18 FEBRUARI 2025 PUKUL 19:00 WIB: DOA PADA JAM TERTENTU DALAM KEKRISTENAN TIDAK PENTING…???

Menanggapi Video Andrey Thunggal ”Rasul Yesus Sembahyang, Kok Orang Kristen Nggak?”

Dalam video ini Andrey menanggapi Arya Dwipangga yang menanyakan kenapa dalam Kisah Para Rasul 3:1, Rasul Petrus dan Yohanes berdoa pada jam 3 petang? Menurut Andrey, ini adalah budaya Yahudi tetapi orang Kristen berdoa tidak pada jam-jam tertentu, menyembah Tuhan itu dalam Roh dan Kebenaran, tidak dibatasi tempat/ waktu (lih. Kolose 3:23). Jangan paksakan ajaran agamamu pada kami.

Menurut Katolik dan Ortodoks, doa ada di jam-jam tertentu, sementara Protestan tidak pernah mengenalnya karena bukan apostolik.

Jam Kanonik

Bagian-bagian tetap dari iIbadat Ilahi yang ditetapkan Gereja untuk dibacakan pada jam-jam yang berbeda.

Kanonik-I: Jam yang dimaksud dengan jam kanonik adalah semua bagian tetap dari Ibadat Ilahi yang ditetapkan Gereja untuk dibacakan pada jam-jam yang berbeda. Istilah ini dipinjam dari kebiasaan orang-orang Yahudi, dan diteruskan ke dalam pembicaraan orang-orang Kristen mula-mula. Dalam Kisah Para Rasul kita melihat bahwa dia ditetapkan berdasarkan waktu pengucapannya (lih. Kisah Para Rasul, iii, 1). Ketaatan yang tadinya bersifat opsional menjadi wajib bagi kelas-kelas tertentu berdasarkan kanon atau tata cara yang ditetapkan Gereja, setiap bagian dari Ibadat Ilahi disebut jam kanonik dan seluruh doa yang ditetapkan untuk suatu hari tertentu dinamakan jam kanonik. Istilah ini diperluas untuk diterapkan pada buku atau koleksi berisi doa-doa ini, karenanya disebut ”buku jam.” Aturan Santo Benedictus adalah salah satu dokumen paling kuno, di dalamnya terdapat ungkapan ”jam-jam kanonik”; dalam bab Ixvii tertulis ”ad omnes canonicas horas.” Istilah ini mulai digunakan secara umum pada abad berikutnya, sebagaimana dapat dilihat dari tulisan Santo Isidore dari Sevilla (”De ecclesiasticis officiis”, I, xix, dalam P.L. LXXXIII, 757), dan lain-lain. Artikel Breviary membahas berbagai bagian yang membentuk jabatan Ilahi, bersama dengan asal-usul dan sejarah pembentukannya; di bawah setiap kata yang menunjuk pada bagian-bagian itu akan ditemukan rincian mengenai susunannya, perubahan-perubahan yang telah terjadi, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan asal-usulnya (bdk. Compline); disini kita hanya akan membahas kewajiban membacanya yang dibebankan Gereja kepada kelas-kelas tertentu umat manusia, kewajiban yang mengingatkan kita akan, sebagaimana sudah dikatakan, kualifikasi yang sangat kanonis.

Kewajiban Membaca

Setelah mencurahkan beberapa baris pada disiplin Gereja saat ini, mengenai hal ini, asal-usul dan perkembangan selanjutnya dari kewajiban itu akan diuraikan secara panjang lebar:

Disiplin Gereja Masa Kini

Hal ini dikemukakan semua teolog moral dan para ahli kanon. Mereka membahas secara lebih atau kurang ekstensif tentang karakter dari kewajiban-kewajiban ini, kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mematuhinya, dan contoh-conoth praktis dari pelanggaran atau kelalaian. Semua penulis modern mendapatkan inspirasi mereka dari St. Aphonsis Liguori (Theologia Moralis, VI, no. 140). Tesis umum tentang keberadaan kewajiban ini dan orang-orang yang menjadi sasarannya dapat dirumuskan sebagai berikut: orang-orang berikut ini terikat setiap hari pada pembacaan, setidaknya secara pribadi pada jam-jam kanonik: a) semua klerus dalam ordo-ordo suci, b) semua penerima warisan, c) para religius, pria dan wanita, yang terikat oleh peraturan mereka pada jabatan koor (Deshayes, ”memento juris ecclesiastici”, no. 430).

Menurut ketentuan-ketentuan pernyataan ini, haruslah dipertimbangkan:

  1. Sifat wajib pembacaan ini berkaitan dengan sebuah ajaran Gereja yang bertujuan mengikat kelas-kelas tertentu dari orang-orang yang ia jadikan sebagai wakil-wakilnya di hadapan Allah. Kewajiban ini didasarkan pada kebajikan agama, pelanggarannya dapat menjadi dosa besar jika bagian yang dihilangkan itu penting,

  2. Keabsahan bacaan yang dilakukan secara pribadi, tetapi dalam hal ini orang yang membacanya harus benar-benar mengucapkan lafadznya, karena ini adalah sesuatu yang lebih dari doa dalam hati,

  3. Orang-orang yang diwajibkan mendaraskan jam-jam:

Semua klerus dalam ordo-ordo kudus, yakni semua orang yang telah menerima sub-diakonat atau salah satu ordo yang lebih tinggi, karena sejak abad ke-12 sub-diakonat tidak dapat dibantah lagi berada di antara ordo-ordo kudus (Innocentius III, cap. ”Miramur”, 7 ”de servis non ordinandis”). Semua terikat kecuali dibebaskan secara sah oleh Paus yang berdaulat meskipun mereka dikucilkan, ditangguhkan atau dilarang,

Semua penerima manfaat, yaitu semua orang yang menikmati hak abadi untuk memperoleh pendapatan dari kekayaan Gereja, dengan alasan muatan rohani yang telah diinvestasikan oleh Gereja kepada mereka meskipun mereka hanya sebagai penyandang dana; kewajiban ini mengikat dibawah rasa sakit karena kehilangan hak mereka atas dana tersebut, sebanding dengan tingkat kelalaian mereka, sesuai dengan ketetapan Konsili Lateran Kelima (1512-1517 M), dan

Terakhir, para religius baik pria maupun wanita, terikat oleh peraturan mereka untuk jabatan paduan suara, sejak mereka mengikrarkan diri dengan khidmat dalam sebuah ordo yang disetujui Gereja.

Mengenai kaul-kaul khidmat, setiap orang setuju bahwa mereka terikat mengucapkannya baik dalam koor maupun secara pribadi (kalau tidak dapat membantu dalam koor), bahkan ketika mereka belum menjadi anggota ordo suci; inilah arti dari kebiasaan kuno yang dipatuhi oleh para biarawan biarawati, dan sebuah surat jawaban dari Lembaga Pemasyarakatan secara definitif mengukuhkan interpretasi ini (26 November 1852). Tetapi setelah Paus Pius IX (17 Maret 1857) menetapkan melalui Kongregasi Reguler bahwa di masa depan kaul-kaul khidmat harus didahului oleh tiga tahun kaul sederhana, timbul pertanyaan apakah selama tiga tahun ini para religius terikta pada pendarasan jabatan ilahi. Keraguan yang idajukan oleh Jenderal Dominikian kepada Kongregasi Suci tentang syarat-syarat para biarawan menerima jwaban negatif. Namun demikian jawaban ini tetap mempertahankan kewajiban bagi para religius unutk membantu dalam paduan suara (6 Agustus 1858). Oleh karena itu, bagi para religius dengan kaul-kaul sederhana, pembebasan dari jabatan hanya berlaku untuk pembacaan pribadi ketika mereka tidak dapat membantu dalam paduan suara. Demikianlah secara ringkas, kondisi legislasi kanonik tentang kewajiban mendaraskan pada jam-jam kanonik sejauh menyangkut pribadi-pribadi.

Asal-usul dan Perkembangan Selanjutnya dari Kewajiban ini

  1. Doa resmi Gereja yang disebut Gereja dalam Alkitab sebagai ”persembahan bibir” sejak masa awal Kekristenan dibebankan kepada orang-orang yang ditugaskan mendoakan seluruh umat Kristen. Dapat dikatakan bahwa kewajiban yang dibebankan kepada sekolompok orang itu ditemukan dalam benih-benih kepercayaan yang diberikan oleh para rasul (Kisah Para Rasul, vi, 4) kepada para diaken untuk mengurus jemaat secara lahiriah, sementara para Rasul sendiri menyerahkan tugas doa dan pemberitaan Injil kepada para diaken,

  2. Disini kami akan meringkaskan pasal-pasal dimana Thomassin menguraikan sejarah doa dan perkembangan kewajiban itu (”Vetus et nova ecclesiae disciplina”, bagian I, II, Ixxii, dstnya; Roiskovany membahas tema yang sama dalam ”Coelibatus et Breviarium”, v, viii, xi, xii). Selama lima abad pertama, meskipun badan Kristen di bawah kepemimpinan uskup dan para imam mengambil bagian setiap hari dalam pelayanan-pelayanan Ilahi, para klerus berada di bawah sebuah kewajiban yang lebih ketat untuk membantu dalam hal itu; jika mereka dicegah oleh suatu tugas lain, mereka berada di bawah sebuah kewajiban untuk memenuhi kelalaian itu, dengan bacaan pribadi. Kesaksian bagi Gereja Timur pada abad ke-4 ini adalah teks Konstitusi Apostolik ”Precationes facite mane et tertia hora, ac sexta et nona vespera atque in gallicinio”, VIII, xxxiv, P. G-I, 1135). Bab yang sama menambahkan bahwa jika pertemuan tidak dapat dilakukan dalam Gereja karena orang-orang kafir, uskup harus mengumpulkan jemaatnya di sebuah rumah pribadi, dan jika ia tidak dapat melakukannya, setiap orang harus melakukan tugas yang saleh ini, baik sendirian atau dengan dua atau tiga orang saudara-saudaranya.

Dengan demikian, kata Thomas, sejak masa pertumbuhan Gereja telah ada sebuah Kantor Ilahi yang terdiri dari mazmur-mazmur, doa-doa, dan pelajaran-pelajaran, kantor ini telah diucapkan di depan umum di dalam gereja-gereja atau oratorium-oratorium, para gerejawan ditugaskan memimpin doa bersama uskup, umat beriman dimasukkan ke dalam kewajiban kesalehan yang sama, dan apabila tidak dapat berkumpul, doa-doa ini harus diucapkan secara pribadi. Ketentuan-ketentuan liturgi Konsili Laodika (± Tahun 387 M) yang tampaknya dipinjam dari Liturgi Konstantinopel merupakan gema dari praktik-praktik ini (Hefele-Leclercq, ”Historire des conciles”, I, 994). Para anchorite, murid-murid St. Pachomius, para biarawan di Mesir dan kaum Thebaid mendapatkan inspirasi dari peraturan Gereja mengenai doa ini (lih. Sozomen, ”Hist. Eccles”, P.G. LXVII, c. 1071; Cassian, ”De soenobiorum institutione” P.L-XLIX, c. 82-7).

Dengan cara inilah Gereja dimanifestasikan; jika tidak lagi merumuskan dengan tepat hukum doa bagi para imam dan biarawan, Gereja membiarkan hal itu dimengerti sejauh mana Gereja mengikat mereka. Para imam melalui pentahbisannya terikat pada pelayanan Gereja; fungsi utama para pelayan di setiap Gereja adalah Misa dan doa umum, yang terdiri dari pembacaan Ilahi. Harus dikatakan lebih lanjut bahwa nafkah material para pemangku jawatan dijamin oleh Gereja sebagai konsekuensi penahbisan mereka tetapi dengan syarat bahwa mereka membantu dalam pelayanan Ilahi; mereka yang gagal tidak akan mendapat bagian dalam pembagian harian. Bagi Gereja Barat, kesimpulan yang sama juga dapat ditarik dari cara para Bapa Gereja mengungkapkan diri mereka sendiri ketika berbicara tentang doa publik (lihat beberapa kesaksian mereka dalam hal ini dalam Brevir). Di mata mereka, dalam ukuruan dimana mereka dibentuk dan dikembangkan, jam-jam kanonik adalah sebagai pengesahan dan hasil dari doa Gereja yang terus-menerus; para klerus memiliki lebih banyak alasan untuk mengambil bagian secara aktif, karena mereka memiliki lebih banyak kebebasan dan waktu luang, dan dalam ukuran yang sangat besar untuk tujuan ini, mata pencaharian yang jujur dijamin bagi mereka. Sejak abad ke-5, konsili-konsili telah merumuskan hukum-hukum mengenai hal ini dengan sanksi dan hukuman; demikianlah kanon ke-14 dari konsili provinsial provinsi Tours yang diselenggarakan di Vannes, Britanny, pada tahun 465 M. (Hefele-Leclercq, ”Historire des conciles”, II, 905; lihat juga Baumer, ”Histoire du Breviare”, I. 219). Untuk Spanyol dapat disebutkan berbagai keputusan konsili yang diadakan di Toledo sekitar tahun 400 (Hefele-Leclercq, op. Cit-II, 123).

  1. Abad ke-6 hingga ke-8: Keputusan-keputusan yang berlipat ganda terutama di Barat yang mewajibkan para klerus untuk merayakan secara terbuka Jabatan Ilahi. Saat ini ”statuta ecclesiae antiqua” paling sering dianggap berasal dari abad ke-6 dan Gereja Arles di Galia, meskipun telah lama dikaitkan dengan Konsili Kartago ke-4 (398 M); kanon xlix menetapkan ”bahwa seorang imam yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas harus kehilangan haknya menerima pelayanan (Hefele-Leclercq, ”Histoire des conciles”, II, 105). Konsili-konsili khusus diikuti dalam jumlah besar dan sambil menunjukkan kesungguhan dalam membangun keseragaman dalam urutan mazmur dan jabatan, membuat peraturan-peraturan untuk perayaan yang layak oleh para imam, diakon dan anggota-anggota klerus lainnya. Para biarawan yang dipanggil untuk melengkapi kekurangan para klerus dalam melaksanakan tugas inim juga harus mematuhi keputusan-keputusan ini, bahkan dalam banyak kesempatan mereka berperan penting dalam persiapannya. Di antara konsili-konsili tersebut dapat disebutkan konsili Agde pada tahun 506, konsili Taragona pada tahun 516, konsili Epaon pada tahu 517, dan lain-lain. Tujuan konsili-konsili ini adalah untuk mengikuti penggunaan Timur dan Romawi. Aturan-aturan biara tidak menunggu aturan-aturan ini untuk mempromosikan perayaan jam-jam yang layak; diketahui betapa pentingnya St. Benedictus melekat pada apa yang disebutnya sebagai karya Ilahi par excellence: ”Nihil opera Dei praeponatur”, kita membaca dalam bab xliii. Sketsa tentang kewajiban para imam dan klerus untuk mengambil bagian dalam pearayaan Ibadat Ilahi dapat disimpulkan dengan mengutip dekrit yang diumumkan oleh Kaisar Yustianus I pada tahun 528 M: ”Sancimus ut omnes clerici per singulas ecclesias constituti per seipsos nocturnas et matutinas et vespertinas preces canant” (Kriegel dan Hermann, ”Corpus juris civilis”, Leipzig, II, 39).

Mengenai pendarasan pribadi dari Tahta Suci, Thomassin (”Vetus et nova ecclesiae disciplina”, bag. I, II, Ixxxiii sqq.) memberikan bukti-bukti yang menetapkan sifat wajibnya sejak abad ke-5 bagi para imam dan klerus; Grancolas dalam ”Commentarius historisus dalam Brevarium romanum” mengandalkan kesaksian St. Jerome. Untuk hal yang berkaitan dengan para biarawan, kita memiliki kesaksian yang lebih pasti dalam aturan St. Benedictus, Bab 1 menetapkan bahwa mereka yang bekerja di luar rumah atau yang sedang dalam perjalanan harus melakukan pekerjaan Tuhan pada waktu yang telah ditentukan, dan di tempat manapun mereka berada, dengan sebaik-baikinya. Oleh karena itu, mereka hanya dibebaskan dari pelajaran tetapi menghafalkan mazmur, nyanyian pujian dan doa-doa pendek. Dom Ruinart (Kata pengantar untuk karya-karya Gregorius dari Tours, P.L.LXXI: 36-40) meyakinkan kita bahwa dalam karya-karnyanya dapat ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan kesetiaan para gerejawan dalam setiap tingkatan terhadap pendarasan jam-jam doa secara pribadi, ketika mereka tidak dapat membantu dalam pelayanan publik. Orang-orang ini tidak menganggap diri mereka bebas mengabaikan pembacaan ini. Untuk literatur, lihat Breviary.

Doa Brevir 7 Waktu Katolik

Buku Puji Syukur menulis kebiasaan-kebiasaan orang-orang Kristen, salah satunya adalah melaksanakan Liturgi Harian. Gereja tiada putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Liturgi Harian (Sacrosanctum Consilium art. 83).

Dasar Alkitab

Allah menyucikan waktu pagi, siang dan malam, oleh sebab itu Ia memberi perintah kepada para imam untuk menyucikan hari melalui kurban sembelihan pada apgi dan petang (lih. Keluaran 29:38-39; Bilangan 28:3-8; 1 Raja-raja 18:36). Setelah menghancurkan Bait Allah, praktik tersebut diganti dengan pembacaan Taurat, Mazmur dan kurban pujian di sinagoga. Praktik doa tersebut dapat kita temukan dalam berbagai ayat kitab Mazmur (lih. Mazmur 5:4, 88:14, 119:164, 141:2). Bahkan pada masa pembuangan umat Israel melaksanakan doa-doa pada jam-jam tertentu (lih. Daniel 6:10, 13). Misalnya pemazmur melaksanakan puji-pujian tujuh kali dalam sehari (lih. Mazmur 119:164).

Pada masa penjajahan Romawi, kaum Yahudi mengikuti sistem pembagian waktu Romawi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga mempengaruhi waktu doa kaum Yahudi, adapun di kota-kota jajahan itu terdapat bel penanda jam kerja. Waktu itu bel biasanya berbunyi pada jam 6 pagi, 9, tengah hari jam 1 siang, jam 3 dan 6 sore sebagai penanda waktu kerja ditutup. Jemaat perdana mengikuti dan meneruskan tradisi Yahudi terutama jam-jam doa pada waktu tertetntu di sepanjang hari, terutama sistem waktu yang dipengaruhi Romawi.

Injil sendiri seringkali mengisahkan Yesus dan para rasul berdoa pada jam-jam tertentu (lih. Lukas 3:21-22, 6:12, 9:28-29, 11:1, 9:18, 22:32, 5:16; Matius 4:19, 15:36, 11:25, 19:13, 4:1, 14:23, 25; Yohanes 11:41; Markus 1:35, 6:46). Bahkan para rasul juga berdoa pada jam-jam tertentu antara lain jam 3, jam 6, jam 9 dan tengah malam (lih. Kisah Para Rasul 3:1, 10:3, 9-49, 16:25). Setelah Kristen perdana terpisah dari Yudaisme, praktik berdoa pada waktu-waktu tertentu berlanjut terus, mereka mendaraskan Mazmur, membaca Kitab Suci dan mengucapkan madah (lih. Kisah Para Rasul 4:23-30).

Masa Para Bapa Gereja

Penetapan waktu doa juga tercatat dalam Kitab Didache (95 M) yang berjudul “Orismenois Kairois Kai Horeis.” Selain itu tertulis juga dalam Dokumen Konstitusi Rasuli (380 M) dan Bapa Gereja St. Basilius Agung (330-379 M) dalam Regulae Fusius Tractate mengatakan bahwa penetapan waktu-waktu berdoa telah dilakukan oleh para rasul sendiri di Yerusalem. Hampir semua Bapa Gereja baik Timur seperti St. Yohanes Krisostomus (354-407 M) dan Gereja Barat seperti St. Hieronimus (340-240 M) menulis tentang tradisi penyucian waktu tersebut. Bahkan St. Agustinus dari Hippo dalam aturan hidup membiara menganjurkan ”untuk bertekun dengan setia dalam doa pada jam-jam dan waktu-waktu yang telah ditentukan.”

Selain itu St. Benedictus Nursia dalam regulanya menuliskan panduan praktik doa liturgi harian. Pada masa itu doa harian disebut doa Ofisi Ilahi, ungkapan St. Benedictus Nursia yang terkenal adalah ”Orare est laborare, laborare est orare.” Kemudian pada abad ke-3, para rahib pertapa mengikuti anjuran St. Paulus ”untuk berdoa tanpa henti” dan mempraktikkan doa tersebut secara berkelompok (lih. 1 Tesalonika 5:17). Sementara itu perkembangan liturgi harian di Gereja Timur beralih dari Yerusalem menuju Konstantinopel. St. Theodorus (758-826 M) memadukan doa tersebut dengan pengaruh Byzantium dan madah gubahannya sendiri.

Selanjutnya doa liturgi harian berkembang lebih pesat dalam praktik hidup monastik baik di barat maupun di timur. Memasuki abad ke-4, praktik doa ibadat harian telah mendapat bentuk lebih pasti, baik untuk awam, monastik dan imam sekuler. Meskipun demikian pada awalnya buku panduan doa kurang lengkap karena terpisah-pisah, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan Gereja. Ada buku yang isinya hanya kumpulan Mazmur, kumpulan masah dan ada Buku Injil untuk bacaan Kitab Suci. Oleh sebab itu disusunlah versi sederhana dari doa-doa ibadat harian tersebut dalam satu buku yaitu Buku Brevir (Latin: pendek).

Konsili Trente – Paus Pius V

Konsili Trente (13 Desember 1545 – 4 Desember 1563) mempercayakan kepada Paus Pius V untuk mereformasi Brevir, kemudian di tanggal 9 Juli 1968

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya