LIVE DKC [90-2025] SELASA, 22 JULI 2025 PUKUL 19:00 WIB: @CRUSNET KAU KATAKAN KONSILI VATIKAN II SESAT???
MITOS BAHWA SI CN KATOLIK; FAKTA BAHWA SI CN BIDAT AKUT – Membela Status dan Nilai Konsili Vatikan II dan Pengacaranya Dari Serangan Katolik Palsu-Sedevakantisme
Oleh: @Ecclesia-Romana – TIM DKC
PENGANTAR
Pembelaan terhadap posisi Romo Patris Allegro dari fitnahan para serigala relativisme dan ular-ular indifferentisme yang kami lakukan minggu lalu, kini hendak diperkuat oleh serangan kekatolikan palsu yang menyamar di balik topeng tradisionalisme-katolik latin. Ya. Serangan dari channel sesat Crusader Network (CN) yakni bidat sedevakantisme-katolik palsu terhadap Romo Patris, makin mematahkan fitnahan liberal terhadap Romo. Ketika minggu lalu kita Tim DKC, hendak membantah tuduhan para serigala relativisme dan ular-ular indifferentisme, yang menyebut Romo Patri situ sebagai intoleran, Anti-KV II atau pun fanatisme, justru kelompok yang Anti-KV II sendiri malah memandang Romo Patris sebagai “Pengacara KV II”.
https://www.youtube.com/watch?v=olyG_x_paG8\&t=2s menit ke 01:37 - 02:14
Maka, ketika perwakilan kelompok sesat Anti-KVII seperti channel CN, mengatakan secara gambling bahwa Romo Patris Allegro adalah sebagai “Pengcara Konsili Vatikan II” makin gugur dan batallah fitnahan kubu liberal yang menyebut Romo Patris sebagai klerus yang nerttentangan dengan semangat inklusif KV II (Anti-KVII). Nah, sekarang kami akan memberikan tanggapan sekaligus patahkan semua narasi sesat CN yang ada dalam videonya tersebut. Hal mana di dalam hemat kami Tim DKC, terdapat tujuh kelemahan fundamental yang terkandung di dalamnya setiap narasi CN terhadap Romo Patris Allegro mengenai Konsili Vatikan II, terutama mengenai dokumen-dokumen seperti: Nostra Aetate, Lumen Gentium 8 2 dan Dei Verbum 8. Sebagai informasi singkat, tujuah kelemahan ini bukan hanya sekadar misinterpretasi minor, melainkan menunjukkan pemahaman sesat yang sangat akut dari CN terhadap hakikat Gereja Katolik, Tradisi Suci, dan Magisterium, sehingga secara teologis, posisi CN terbukti rapuh dan bertentangan dengan ajaran Katolik yang otentik.”
7 KELEMAHAN MENDASAR CRUSADER NETWORK TENTANG KV II
I. Kesesatan Cara Pandang akan Status dan Fungsi Dokumen Gereja: Mengaburkan Batas antara Dokumen Pastoral dan Dogmatis
Argumen CN:
(02:43) “Ini adalah tanggapan apologetik yang khas dan standar dari kaum konservatif pembela konsili Vatikan 2. Romo Patris Alegro di sini tidak menambahkan hal-hal baru apapun. Apakah pernyataan bahwa agama-agama lain memiliki sebagian kebenaran itu pernyataan yang keliru? Tidak. Jika pada saat yang sama dokumen tersebut mengatakan bahwa agama-agama tersebut selain memiliki sebagian kebenaran juga memiliki kesalahan-kesalahan”
Tanggapan Kami:
Si bidat CN terbukti menunjukkan kebutaan akut mengenai tingkatan, status, dan fungsi dokumen magisterial Gereja. Ketika ia menuntut agar dokumen Nostra Aetate harus secara eksplisit menyatakan “kesalahan-kesalahan yang pasti” atau “kesesatan doktriner” dari agama-agama non-Kristen, ia secara fatal mengabaikan sifat dan tujuan fundamental dari dokumen tersebut:
PERAN DAN SIFAT PENDEKATAN PASTORAL
“The Council clearly did not wish to issue binding definitions, and dogmatic pronouncements were avoided. The pastoral approach does not aim to define new dogma, nor to pronounce anathemas, but to illuminate.” – Joseph Ratzinger, Theological Highlights of Vatican II, p. 16
(“Konsili dengan jelas tidak bermaksud mengeluarkan definisi-definisi yang mengikat, dan pernyataan dogmatis dihindari. Pendekatan pastoral tidak bertujuan untuk mendefinisikan dogma baru, atau mengucapkan kutukan, tetapi untuk memberikan pencerahan.”)
Sifat Nostra Aetate sebagai Deklarasi Pastoral: Nostra Aetate (NA) adalah sebuah Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Non-Kristen. Sifat dasarnya adalah pastoral dan dialogis, bukan dogmatis atau doktriner dalam artian mendefinisikan iman atau mengutuk bid’ah. Tujuannya adalah untuk mendorong dialog, saling pengertian, dan penghargaan terhadap nilai-nilai kebenaran dan kesucian yang mungkin ada pada agama lain, sebagai langkah awal untuk memperkenalkan kepenuhan kebenaran Kristus:
- “Konsili Suci ini dalam penelitiannya tentang misteri Gereja, seraya mengenang ikatan-ikatan yang menghubungkan bangsa-bangsa dengan Gereja, pertama-tama ingin menyelidiki apa yang dimiliki manusia pada umumnya, dan yang mempersatukan mereka dalam masyarakat.” (Nostra Aetate, art. 1). Ini menunjukkan fokus pada apa yang mempersatukan, bukan yang memisahkan secara dogmatis.
- Mengenai Yudaisme: “Gereja, yang menghayati warisan ini bersama orang-orang Yahudi, didorong oleh kasih Injil, bukan oleh motif politik, melainkan oleh kasih religius, menghargai warisan rohani dan hubungan khusus yang mengikatnya dengan umat Perjanjian Lama.” (Nostra Aetate, art. 4).
- Mengenai Islam: “Gereja juga memandang dengan penghargaan kaum Muslim, yang menyembah Allah yang satu, hidup, ada dengan sendirinya, penuh belas kasih dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah berbicara kepada manusia.” (Nostra Aetate, art. 3).
- Ini adalah pengakuan terhadap particulae veri (butir-butir kebenaran)
atau semina Verbi (benih-benih Sabda) yang mungkin ada, tanpa mengkompromikan keunikan Kristus dan Gereja.
Dasar Patristik Nostra Aetate – ‘Particulae Veri’: Konsep particulae veri (butir-butir kebenaran) dalam agama-agama non-Kristen bukanlah hal baru yang diperkenalkan oleh Vatikan II. Konsep ini sudah ada sejak masa Bapa-Bapa Gereja, seperti St. Justin Martir dan St. Klemens dari Alexandria, yang berbicara tentang semina Verbi (benih-benih Sabda) yang tersebar di antara bangsa-bangsa dan filosofi non-Kristen. Konsili Vatikan II hanya mengartikulasikannya dalam konteks pastoral modern:
Santo Yustinus Martir dan Logos Spermatikos (Benih Logos/Sabda)
Apologia Kedua, Bab 8: “Sebab, semua penulis telah mampu melihat kebenaran secara samar-samar, melalui benih Logos yang diwariskan dalam diri mereka. Tetapi ada perbedaan antara memiliki benih dan meniru sesuatu menurut kapasitasnya, dan memiliki keberadaan itu sendiri, dan kepenuhan, dan sumber dari mana benih dan tiruan itu berasal. Sebab, kami mengatakan bahwa Kristus adalah seluruh Logos, yang telah menampakkan diri-Nya dalam diri setiap orang.”
Apologia Kedua, Bab 10: “Sebab, kami tahu bahwa segala sesuatu yang diucapkan dengan baik oleh siapa pun adalah milik kami orang Kristen. Karena [semuanya] itu adalah milik Logos yang sama, yang memiliki bagian-Nya pada semua orang. Apakah mereka para penyair atau ilmuwan atau sejarawan atau filsuf, mereka berbicara dengan baik tentang apa pun yang telah mereka pahami dari benih yang telah tertanam dari Logos.”
Santo Klemens dari Alexandria dan Semina Verbi (Benih Sabda)
Stromata, Buku I, Bab 7: “Mungkin saja bahwa filsafat diwahyukan kepada orang Yunani secara langsung oleh Allah, bukan sebagai sarana keselamatan yang sempurna (seperti halnya Injil), tetapi sebagai ‘persiapan’ yang mengajar mereka untuk menerima Kristus, dan sebagai ‘landasan’ untuk membangun iman yang sejati.”
Stromata, Buku VI, Bab 5: “Sebab, Allah adalah sumber segala kebaikan; baik sebagian dari kebaikan itu yang mengalir ke dalam filsafat [Yunani], maupun kebaikan yang lebih sempurna yang diwahyukan melalui Putra.”
Stromata, Buku VII, Bab 2: “Filsafat, sebelum kedatangan Tuhan, diperlukan bagi orang Yunani untuk kebenaran; sekarang, ia menjadi tambahan untuk kesalehan, sebagai sejenis persiapan yang membuka jalan bagi mereka yang disempurnakan oleh Kristus. Ia adalah tembok pertahanan, yang mempersiapkan jalan bagi mereka yang akan menjadi saleh.”
Maka, singkatnya, si bidat CN gagal memahami hierarki kebenaran dan tujuan spesifik setiap dokumen Konsili. Menuntut dokumen pastoral untuk bertindak sebagai dokumen dogmatis, adalah bukti ketidaktahuan yang akut sekaligus adalah kesalahan metodologis yang serius dan fundamental tentang hukum kanon dan teologi konsili.
II. Logika CN Memukul Seluruh Posisinya: Argumen yang Menjadi Bumerang
Argumen CN:
(03:17) “Berdasarkan ajaran Rasul Paulus bahwa sedikit ragi sudah menghamirkan seluruh adonan. Galatia 59. Dan juga ajaran Rasul Yakobus bahwa menolak satu bagian sama dengan menolak seluruhnya. Yakobus 210. Maka kekeliruan tersebut cukup untuk merusak seluruh kebenaran yang dimiliki sehingga pada akhirnya agama-agama tersebut tidak memiliki kebenaran yang layak untuk mengantar manusia pada keselamatan.
(03:50) Tapi di sinilah kekeliruan dari dokumen Konsili Vatikan 2 yang tidak mau berterus terang menyatakan bahwa di samping memiliki sebagian kebenaran, agama lain juga memiliki kekeliruan yang merusak”
Tanggapan Kami:
Si bidat CN menggunakan analogi ragi dari Galatia 5:9 (“Sedikit ragi mengkhamirkan seluruh adonan”) dan Yakobus 2:10 (“Barangsiapa menaati seluruh hukum Taurat, tetapi melanggar satu bagian saja, ia bersalah terhadap seluruhnya”) untuk menuduh bahwa sedikit “kesesatan” dalam dokumen Konsili Vatikan II merusak keseluruhan Konsili. Namun, logika ini justru menjadi bumerang yang memukul telak posisinya sendiri.
DILEMA FATAL DARI LOGIKA KONSISTEN CN:
- Pertanyaan Dilematis Untuk Logika Konsisten CN: “Manakah Yang Ragi dan Manakah Yang Adonan dari Konsili Vatikan II ?”
Jika CN secara konsisten menjawab bahwa yang menjadi ‘Ragi” dalam dokumen-dokumen KV II adalah bagian-bagian yang bersifat heterodoks, sedangkan yang menjadi ‘Adonan’ adalah bagian-bagian yang bersifat ortodoks maka nilai mayoritas di dalam dokumen-dokumen KV II tak lain adalah NILAI ORTODOKSI. Sedangkan nilai-nilai heterodoks adalah nilai yang minoritas semata (sedikit). Contoh misalnya dokumen Nostra Aetate itu sendiri. Maka, berdasarkan jawaban konsisten CN, harusnya secara haris besar, mayoritas nilai yang ada di dalam Nostra Aetate adalah kebenaran, dan hanya sedikit saja kesesatannya. Sehingga dokumen ini berisikan nilai kebenaran yang harus diterima CN.
Sebaliknya, jika CN (dan menurut sedevacantistisme secara umum) menjawab bahwa yang menjadi ‘Ragi” dalam dokumen-dokumen KV II justru bagian-bagian yang bersifat ortodoks, dan yang menjadi ‘Adonan’ malah bagian-bagian yang bersifat heterodoks, maka KV II tetaplah bersifat ortodoks dan tidak sesat. Karena berdasarkan logika analogi CN, sedikit saja ragi kebenaran yang masih terpelihara di dalamnya akan menghamirkannya dan membuatnya bersifat ortodoksi Katolik. Hal mana terbukti oleh adanya 2 fakta “ragi kebenaran mutlak” berikut:
Pertama, KV II tetap mempertahankan paradigma penilaian obyektif – jujur tentang ciri atau fakta ‘kekurangan/ketidaksempurnaan’ agama-agama di luar Gereja Katolik di dalam beberapa bagian dokumennya:
- Lumen Gentium (LG) art. 16: “ Tetapi sering orang-orang, karena ditipu oleh si Jahat, jatuh ke dalam pikiran-pikiran yang sesat, yang mengubah kebenaran Allah menjadi dusta, dengan lebih mengabdi kepada ciptaan daripada Sang Pencipta (lih. Roma 1:21 dan 25). Atau mereka hidup dan mati tanpa Allah di dunia ini dan menghadapi bahaya putus asa yang amat berat. Maka dari itu, dengan mengingat perintah Tuhan: “Wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Markus 16:15), Gereja dengan sungguh-sungguh berusaha mendukung misi-misi, untuk memajukan kemuliaan Allah dan keselamatan semua orang itu.”
- Unitatis Redintegratio (UR) art. 3: “Akan tetapi saudara-saudari yang tercerai dari kita, baik secara perorangan maupun sebagai Jemaat dan Gereja, tidak menikmati kesatuan, yang oleh Yesus Kristus hendak dikurniakan kepada mereka semua, yang telah dilahirkan-Nya kembali dan dihidupkan-Nya untuk menjadi satu tubuh, bagi kehidupan yang serba baru, menurut kesaksian Kitab suci dan Tradisi Gereja yang terhormat. Sebab hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yang adalah ‘sarana umum untuk keselamatan’,
dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan”.
Fakta pertama ini sekaligus membantah perktaan dusta CN bahwa menurutnya Konsili Vatikan 2 tidak mau berterus akan banyaknya kekeliruan yang merusak pada agama-agama lain. Buktinya terdapat bagian dalam LG 16 yang menegaskan betapa mudahnya orang-orang agama lain di luar Gereja ditipu oleh si Jahat, sekaligus bagian di dalam UR 3 yang menegaskan perpecahan internal sebagai ciri utama dari gereja-gereja non-Katolik.
Kedua, KV II di dalam dokumen-dokumennya tetap konsisten dan menegaskan Kebenaran Mutlak Gereja Katolik beserta EENS:
- Lumen Gentium (LG) art. 14: “Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan baptis (lih. Markus 16:16; Yohanes 3:5). Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan”.
- Dignitatis Humanae (DH) art. 1: “Kita percaya, bahwa satu-satunya Agama yang benar itu berada dalam Gereja kiatolik dan apostolik, yang oleh Tuhan Yesus diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang, ketika bersabda kepada para Rasul: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:19-20). Adapun semua orang wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya”.
- Ad Gentes (AG) art. 7: “Maka perlulah semua orang bertobat kepada Kristus, yang dikenal melalui pewartaan Gereja, dan melalui Babtis disaturagakan ke dalam Dia dan Gereja, yakni Tubuh-Nya. Sebab Kristus sendiri “dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan babtis (lih. Markus 16:16; Yohanes 3:5), sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui Babtis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang yang mengetahui bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.”
Fakta kedua di atas menegaskan bahwa KV II tidak seliberal seperti yang ada di dalam imajinasi bidat CN. Sehingga, kutipan-kutipan ini, yang diabaikan oleh bidat CN, adalah “ragi kebenaran” yang sangat kuat dalam Konsili Vatikan II yang menghamirkankan dan menetralkan setiap kekhawatiran yang ia bangkitkan tentang relativisme atau indiferentisme. Jika Konsili Vatikan II secara keseluruhan bersifat sesat, maka ajaran-ajaran ortodoks yang eksplisit ini tidak mungkin ada atau akan bertentangan dengan dirinya sendiri. Faktanya adalah, Konsili secara konsisten mengulang dan mengembangkan ajaran tradisional.
III. Kebutaan Total CN antara Tafsiran Resmi Atas Konsili Vatikan II dan Praktik-Praktik Atas Nama KV II itu Sendiri
Argumen CN:
(03:50) “Akibatnya pernyataan adanya sebagian kebenaran dalam agama-agama lain pada dokumen Konsili Vatikan 2 sekarang ditafsirkan secara positif sebagai adanya kesempatan bagi agama-agama tersebut untuk dapat menjadi jalan menuju kepada Tuhan.
(04:24) Ini penafsiran yang berbahaya dan cepat atau lambat akan mengarahkan gereja pada sikap relativisme dan indiferentisme. Buah-buahnya sudah bisa kita lihat berupa kegiatan doa bersama semua agama yang dipelopori oleh Paus Yohanes Paulus. Lalu dilanjutkan dengan Paus yang sama mencium Quran”.
Tanggapan kami:
Bidat CN secara buta mengklaim bahwa “dokumen Konsili Vatikan 2 (yakni Nostra Aetate) sekarang ditafsirkan secara positif sebagai adanya kesempatan bagi agama-agama tersebut untuk dapat menjadi jalan menuju kepada Tuhan.” Klaim ini mengungkapkan ketidaktahuan mendalamnya sebagai bidat, tentang tafsiran resmi Magisterial atas Konsili dan penyalahgunaan atau interpretasi pribadi yang menyimpang.
TAFSIRAN RESMI VS PRAKTIK PERSONAL ATAS KV II
Salah satu kelemahan paling mendasar dalam argumentasi kelompok sedevacantist adalah ketidakmampuan, atau mungkin penolakan disengaja, untuk membedakan antara tafsiran resmi Magisterial atas Konsili Vatikan II dengan praktik-praktik atau gestur personal dari para klerus (termasuk para Paus) yang mengatasnamakan Konsili, atau bahkan interpretasi pribadi yang menyimpang. Tuduhan mereka seringkali mengidentifikasi penyalahgunaan atau misinterpretasi sebagai ajaran Konsili itu sendiri, yang merupakan kesalahan fatal.
- Otoritas Tafsiran Resmi Konsili: Hak Prerogatif Magisterium
Setiap Konsili Ekumenis, termasuk Konsili Vatikan II, menghasilkan dokumen-dokumen yang otentik dan memiliki otoritas. Namun, interpretasi yang benar dan mengikat atas dokumen-dokumen ini, terutama dalam hal doktrin, adalah hak prerogatif Magisterium Gereja yang hidup, yang dipimpin oleh Paus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya.
- Katekismus Gereja Katolik (KGK), art. 85: “Tugas menafsirkan Deposit Iman secara otentik dipercayakan hanya kepada Magisterium Gereja, yaitu kepada Paus dan para uskup yang bersekutu dengannya.”
Maka, apakah si bidat CN adalah seorang Uskup Roma, atau minimal adalah uskup sehingga ia dapat melakukan penilaian atas KV II, khususnya pernyataan yang terdapat di dalam Nostra Aetate ? Pertanyaan sentralnya ialah, “Benarkah Tafsiran Resmi Atas dokumen-dokumen KV II berkata bahwa agama-agama memiliki kesempatan untuk dapat menjadi jalan menuju kepada Tuhan, sebagaimana yang dituduhkan bidat CN ?”
- Praktik Personal dan Misinterpretasi: Bukan Ajaran Konsili
Masalah muncul ketika beberapa individu atau kelompok, termasuk terkadang para klerus (yang bukan Paus yang berbicara ex cathedra atau Uskup yang mengajar dalam kesatuan dengan Paus sebagai bagian dari Magisterium Universal), melakukan tindakan atau memberikan interpretasi yang keliru atas semangat Konsili. Ini seringkali didasarkan pada pemahaman yang cacat atau penyalahgunaan kebebasan yang tidak bertanggung jawab, namun hal tersebut tidak mencerminkan ajaran resmi Konsili. Misalnya pandangan-pandangan sesat dan menyimpang dari para teolog terkenal pasca-KV II berikut yang amat liberal:
- Hans Küng (1928-2021) Küng adalah figur yang sangat kontroversial karena kritiknya yang tajam terhadap doktrin Gereja, terutama otoritas Magisterium. Meskipun ia juga menulis tentang teologi agama-agama (misalnya, “Christianity and the World Religions”), masalah utamanya yang menyebabkan intervensi Magisterium adalah tentang eklesiologi. Karya Utama yang Dinilai Bermasalah (mengenai liberalisme/otoritas): “Infallible? An Inquiry” (1971): Ini adalah buku yang paling terkenal dan paling bermasalah dari Küng. Di dalamnya, ia secara terbuka mempertanyakan dan menantang dogma infalibilitas Paus dan Konsili, seperti yang didefinisikan oleh Konsili Vatikan I dan ditegaskan kembali secara implisit oleh Vatikan II. Ia berargumen bahwa konsep infalibilitas harus diganti dengan “indefektibilitas” Gereja, yang ia tafsirkan dengan cara yang meremehkan kepastian doktrinal.
- Raimon Panikkar (1918-2010) Panikkar adalah seorang teolog yang sangat produktif dan pemikir antaragama yang kompleks. Kritik terhadapnya seringkali bersifat menyeluruh terhadap pendekatan teologisnya yang fundamental, bukan hanya satu buku tunggal. Namun, karya-karya yang paling mencerminkan pandangannya tentang pluralisme agama yang dinilai bermasalah adalah “The Unknown Christ of Hinduism: Towards an Ecumenical Christophany” (1964; edisi revisi 1981) yang mengeksplorasi gagasan bahwa ada kehadiran Kristus yang transhistoris atau universal yang tidak sepenuhnya terbatas pada Yesus dari Nazaret. “The Intrareligious Dialogue” (1978) yang mengaburkan batas-batas identitas agama dan dapat mengarah pada pandangan bahwa semua agama pada dasarnya sama di tingkat esensialnya serta “A Dwelling Place for Wisdom” (1993): yang mengkaburkan keunikan Yesus Kristus sebagai inkarnasi tunggal dan definitif dari Logos Ilahi, serta keunikan Gereja sebagai sarana keselamatan yang esensial. Pandangannya dapat diinterpretasikan sebagai mengarah pada relativisme radikal di mana semua agama menjadi jalan yang setara atau manifestasi yang setara dari realitas ilahi yang tak terlukiskan.
- Paul F. Knitter adalah salah satu teolog paling vokal dalam “teologi agama-agama yang pluralistik.” Karyanya secara eksplisit menantang klaim-klaim tradisional Gereja Katolik mengenai keunikan dan universalitas Kristus. Karya Utama yang Dinilai Bermasalah: “No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions” (1985): Ini adalah salah satu karyanya yang paling berpengaruh dan kontroversial. Dalam buku ini, Knitter secara sistematis meninjau berbagai model teologi agama-agama (eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme) dan secara terbuka menganjurkan model pluralisme normatif. Ia berargumen bahwa klaim keunikan Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan tidak dapat dipertahankan secara teologis atau etis dalam dunia plural. “Introducing Theologies of Religions” (2002): Buku teks yang lebih baru yang terus mengadvokasi pendekatan pluralistik.
- Romo Jacques Dupuis, SJ (1923-2004) adalah seorang teolog Yesuit Belgia yang menghabiskan sebagian besar karirnya di India dan kemudian mengajar di Universitas Kepausan Gregorian di Roma. Ia terkenal karena karyanya dalam teologi agama-agama, khususnya bukunya “Toward a Christian Theology of Religious Pluralism” (1997). Dupuis ingin menekankan bahwa Roh Kudus dapat bekerja dalam agama-agama lain secara independen dari inkarnasi Kristus, atau bahwa Kristus yang tidak berinkarnasi (Logos asarkos) memiliki peran penyelamatan yang terpisah dan meluas di luar Kristus yang berinkarnasi (Logos ensarkos). Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana peran Kristus sebagai satu-satunya mediator penyelamatan universal dipahami secara penuh dan eksklusif.
- Anthony de Mello, SJ (1931-1987) Karya-karya de Mello berfokus pada spiritualitas dan kesadaran, tetapi penggunaan bahasa dan konsep dari tradisi Timur, tanpa klarifikasi teologis yang memadai, menyebabkan kekhawatiran serius. Karya Utama yang Dinilai Bermasalah: “Sadhana: A Way to God” (1978): Meskipun buku ini berisi latihan-latihan spiritual yang bermanfaat, beberapa formulasi di dalamnya dan dalam ceramah-ceramahnya yang kemudian dikumpulkan, mulai menunjukkan beberapa kecenderungan sesat berikut: Relativisme Agama- Gagasan bahwa semua agama adalah jalan yang sama baiknya menuju Tuhan, dan bahwa dogma-dogma Katolik (serta dogma agama lain) hanyalah “label” atau “konsep” yang tidak mengungkapkan kebenaran objektif mutlak, melainkan hanya sarana untuk pengalaman; Mengurangi Wahyu Kristiani-Pertanyaan atau keraguan tentang keunikan Kristus sebagai Anak Allah dan Penebus, serta kelengkapan dan definitifnya wahyu Kristiani; Keraguan terhadap Efektivitas Sakramen dan Institusi Gereja-Kecenderungan untuk meremehkan peran mediasi Gereja dan sakramen-sakramen dalam keselamatan, dan menekankan pengalaman pribadi di atas segalanya.
Semua pandangan teologi liberal oleh para teolog tadi bukanlah tafsiran resmi magisterium atas Nostra Aetate (NA), melainkan penyimpangan. Hal mana takhta suci sendiri melalui CDF memberikan notifikasi bahaya atas teologi para teolog liberal tersebut. Lantas, bagaimana dengan tafsiran resmi sendiri? Tafsiran resmi Magisterium, seperti yang ditemukan dalam Deklarasi Dominus Iesus (Kongregasi Ajaran Iman, 2000), secara tegas mengoreksi misinterpretasi semacam itu, menegaskan keunikan dan universalitas keselamatan dalam Kristus dan Gereja-Nya:
- Kongregasi Ajaran Iman, Dominus Iesus, art. 4: “Gereja tidak hanya mewartakan Kristus dan Injil-Nya dengan gembira, tetapi juga mencari dialog yang tulus dan menghormati para pengikut agama-agama lain. Tetapi bersamaan dengan itu, ia tidak dapat mengabaikan bahwa semua manusia membutuhkan Kristus, satu-satunya Penebus.”
- Kongregasi Ajaran Iman, Dominus Iesus, art. 6: “Maka, adalah sesat jika menganggap bahwa satu-satunya agama yang benar adalah agama Katolik, dan bahwa Gereja Katolik adalah satu-satunya jalan keselamatan. Adalah ajaran yang benar bahwa Gereja Kristus yang satu-satunya ada secara penuh hanya dalam Gereja Katolik.” (Catatan: ini adalah kutipan umum dari DI yang menolak relativisme, bukan kalimat persis). Dominus Iesus adalah contoh nyata bagaimana Magisterium secara aktif memberikan tafsiran resmi atas semangat Konsili, mengoreksi penyimpangan dan menegaskan ortodoksi. Ini adalah bukti bahwa penyimpangan yang diklaim sedevacantist bukanlah ajaran Konsili itu sendiri, melainkan hasil dari interpretasi yang salah yang telah dikoreksi oleh otoritas Gereja yang sah.
PRAKTIK PRIBADI PAUS VS. REPRESENTASI FORMAL MAGISTERIUM:
Si bidat CN gagal membedakan antara tafsiran resmi Magisterium dan praktik-praktik yang mengatasnamakan KV II atau bahkan gesture pribadi dari para Paus.
Tuduhan tentang “doa bersama di Assisi” oleh Paus Yohanes Paulus II atau “penghormatan Pacamama” oleh Paus Fransiskus sering digunakan sebagai bukti “kesesatan” Gereja. Namun, ini adalah gestur pastoral atau tindakan personal yang tidak berada pada tingkat pengajaran Magisterial yang mengikat, dan tidak dimaksudkan untuk mengubah doktrin Katolik.
- Seorang Paus, sebagai pribadi, dapat melakukan tindakan yang mungkin tidak sempurna atau bahkan kurang bijaksana menurut pandangan beberapa orang, tanpa mengkompromikan infallibilitasnya atau ajaran Magisterium universal. Ini adalah perbedaan antara actus Papae (tindakan pribadi Paus) dan actus Pontificis (tindakan Paus dalam kapasitasnya sebagai Pemimpin Gereja Universal yang mengikat). Tuduhan sedevacantist gagal membedakan kedua hal ini.
- Pribadi Paus dan elektibilitas personalnya (gestur pribadi, tindakan non-magisterial) belum tentu adalah representasi relevan dan formal dari tafsiran resmi Konsili atau ajaran Magisterium yang mengikat. Ketika seorang Paus mencium Al-Qur’an atau mengadakan doa bersama di Assisi, ini adalah gestur pastoral yang bertujuan membangun jembatan dan mendorong dialog antar-iman, bukan pernyataan dogmatis bahwa semua agama sama atau bahwa Al-Qur’an adalah Sabda Allah. Tindakan semacam itu tidak mengubah doktrin Katolik
yang sudah mapan.
- Teologi moral Katolik membedakan antara acta papae (tindakan Paus sebagai pribadi) dan actus pontificis (tindakan Paus dalam kapasitasnya sebagai gembala universal). Hanya yang terakhir, dalam kondisi tertentu (seperti ex cathedra atau pengajaran ordinarius universal), yang mengikat secara magisterial.
- Sejak kapankah Paus (dan Kepausannya) itu merepresentasikan Magisterium Resmi yang otentik? Paus Pius IX, Konsili Vatikan I, Sesi 4, Bab 4, 1870: “ … sewaktu Sri Paus Roma berbicara secara ‘ex cathedra’, yakni, sewaktu ia mendefinisikan atas dasar otoritas apostoliknya yang tertinggi, demi menunaikan tanggung jawabnya sebagai gembala dan pengajar segenap umat Kristiani, bahwa suatu doktrin tentang iman atau moral harus dipercayai oleh Gereja universal, ia bertindak sepenuhnya dengan infalibilitas ini, … yang telah dikehendaki oleh sang Penebus ilahi sebagai bekal bagi Gereja dalam mendefinisikan doktrin yang menyangkut iman atau moral … Barang siapa, hendaknya Allah mencegahnya, sedemikian gegabahnya sehingga menentang definisi Kami ini; terkutuklah dia.”(Denzinger, Ed. du Cerf, no. 3074, 3075.)
Jadi hanya ketika Paus secara ex cathedra lah, kita dapat memandang beliau sebagai reperesentasi infallible dari Magisterium yang Resmi dan Otentik. Maka, Paus Yohanes Paulus II yang mencium Al-Quran dan Paus Fransiskus yang menghormati Pachamama, Tindakan mereka tidak di dalam suatu kondisi ex-cathera dogmatis, melainkan sekali lagi hanyalah aksi pastoral semata. Namun, yang perlu kita tanyakan dari bidat CN ialah, benarkah Tindakan kedua Paus tersebut adalah Tindakan atau sikap mereka yang satu-satunya saja? Benarkah terhadap Islam Paus Yohanes Paulus II hanya mencium Al-Quran mereka saja? Atau benarkah Paus Fransiskus seluruh rangkaian sikapnya sebagai Paus hanya diisi oleh sikap toleran/pluralis semata? Biarkan tokoh-tokoh dari luar Gereja Katolik sendiri yang menjawab pertanyaan kita ini:
Pandangan Ahmad Deedat Tentang Sikap Paus JP 2 Terkait Islam
(https://youtu.be/D_0Ra6panZQ?si=giLRdRA5pQy0qvBf)
Kesaksian Pdt. Esra Soru Mengenai Khotbah Natal Paus Fransiskus Tentang Yesus Kristus
(https://youtu.be/WXFn896CKFw?si=2W2W5qDazNsWqLVQ menit ke 25:17-50)
Maka, selain bidat CN mempertontonkan straw man fallacy di mana ia menyerang karikatur dari ajaran Konsili yang sesungguhnya dan mengidentifikasi penyalahgunaan atau interpretasi yang salah sebagai ajaran Konsili itu sendiri, si bidat ini juga hanya memandang para Paus Pasca-KV II dengan kacamata kudanya, sehingga cherry-picking dan hanya mau focus pada sikap-sikap pastoral dari para paus semata, dan menghindar dari sikap ortdoksi mereka.
IV. Penyangkalan Bidat CN Atas Indefektibilitas Gereja
Argumen CN:
(04:48) “Kemudian Paus Fransiskus menghormati berhala pacamama di dalam basilika Santo Petrus. Dan akhirnya pernyataan eksplisit Paus Fransiskus di Jakarta dan Singapura yang menyatakan bahwa semua agama adalah jalan menuju kepada Tuhan. Itu semua adalah tanda-tanda yang nyata bahwa Gereja Katolik memang sedang terjangkiti virus relativisme dan indiferentisme”.
Tanggapan kami:
Ini adalah pandangan bidat CN yang paling fatal dan sesat, yang makin mempertegas bahwa ia bukan seorang Katolik. Ialah ketika si bidat ini mengklaim bahwa semua sikap para Paus pasca-KV II yang ia anggap “buah-buah relativisme dan indiferentisme” adalah “tanda-tanda yang nyata bahwa Gereja Katolik memang sedang terjangkiti virus relativisme dan indiferentisme,”. Ucapan sesatnya ini adalah penyerangan terhadap dogma Indefaktibilitas Gereja secara langsung yang senantiasa dipegang teguh oleh kita umat Latin Sejati.
DOGMA INDEFAKTIBILITAS GEREJA KATOLIK
- Ensiklopedia Katolik tahun 1917 memberikan definisi berikut tentang indefaktibilitas Gerja: “Dengan istilah ini, Gereja tidak hanya dimaknai akan tetap lestari hingga akhir zaman, tetapi lebih jauh lagi, akan tetap terpelihara tanpa cacat dalam karakteristik hakikinya. Gereja tidak akan pernah mengalami perubahan konstitusional apa pun, yang akan menjadikannya, sebagai organisme sosial, sesuatu yang berbeda dari aslinya. Gereja tidak akan pernah rusak dalam iman maupun moral; Gereja juga tidak akan pernah kehilangan hierarki Apostolik, atau Sakramen-sakramen yang melaluinya Kristus mengkomunikasikan rahmat kepada manusia”.
Maka ketika si bidat itu berkata, “Gereja Katolik memang sedang terjangkiti virus relativisme dan indiferentisme**”, ia menyangkal Dogma Indefaktibilitas Gereja. Ia percaya bahwa Gereja tidak lestari, tanpa cacat, dapat berubah, mengalami kerusakan, dan kehilangan. Sehingga, ia pun menyangkal penegasan-penegasan Magisterial berikut secara serius:
- **Paus Pius IX, Konsili Vatikan I, Sesi 4, Bab 4, ex cathedra:“…mengetahui secara penuh bahwa Takhta St. Petrus tidak pernah ternodakan oleh suatu kesalahan pun, seturut janji ilahi yang dibuat oleh Tuhan kita sang Juru Selamat kepada sang kepala dari para rasul-Nya: ‘Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan sewaktu engkau telah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.’ (Lk. 22:32)” (Peter Hünermann, Heinrich Denzinger, Enchiridion Symbolorum, Symboles et définitions de la Foi catholique {Simbol-Simbol dan Definisi-Definisi Iman Katolik}, edisi ketiga puluh delapan, Edisi bahasa Prancis, Editions du Cerf, Paris, 2010, no. 3070.)
- Paus Pius XI, Quas Primas, 11 Desember 1925: “Gereja telah menerima manfaat-manfaat yang mewajibkannya untuk memberikan penghormatan secara publik dan legitim kepada Bunda Allah dan para kudus di Surga. Salah satu dari manfaat-manfaat itu, yang bukanlah manfaat yang terkecil, adalah kekebalan yang sempurna yang senantiasa dimiliki oleh Gereja terhadap kesalahan dan bidah.” (Pius XI, Lettre encyclique Quas primas {Surat Ensiklik Quas Primas}, Pierre Téqui penyunting, Paris, 1987, hal. 15-16.)
- Paus Pius XI, Mortalium Animos, 6 Januari 1928: “**Karena, sang Mempelai mistis Kristus tidak pernah ternodai di sepanjang abad, tidak pun sang Mempelai mistis akan pernah ternodai, sebagaimana kesaksian Santo Siprianus: **‘Mempelai Kristus tidak dapat ternodai; ia tidak pernah dapat mengalami kerusakan dan murni adanya. Hanya ada satu rumah yang dia kenal dan kekudusan dari pelaminannya yang esa itu dijaganya dengan kesucian yang murni.’” (Pius XI, Lettre encyclique Mortalium Animos contre l’oecuménisme {Surat Ensiklik Mortalium Animos Melawan Ekumenisme}, Association Saint-Jérôme, Bruxelles, 1987, hal.29.)
Sehingga, dengan ia membantah Magisterium yang secara Ex-Cathedra mendogmakan tentang “Indefaktibilitas Gereja”, konsekuensi utama yang harus diterima bidat CN ialah penyangkalan secara langsung terhadap Dia yang menerapkan Janji-Indekattibilitas yakni: Tuhan Yesus Kristus yang bersabda: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” (Matius 16:18). Ini adalah janji langsung dari Kristus tentang indefektibilitas Gereja. Juga, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.” (Matius 28:20). Sebagai bidat yang akut, CN telah secara terang-terangan meremehkan dan menyangkal janji Kristus atas Gereja-Nya. Jika Gereja bisa jatuh ke dalam kesesatan seperti yang diklaim CN, maka Kristus telah berbohong, dan seluruh bangunan iman kita runtuh. Ini adalah ajaran sesat yang sangat berbahaya, karena menggugat fondasi iman itu sendiri.
Dengan demikian, posisi CN tidak hanya menunjukkan ketidaktahuan, tetapi juga secara langsung menyerang dogma fundamental Gereja yang telah dipegang selama dua milenium.
V. Subyektivisme CN Multi-Sumber
Argumen CN:
(05:13-06:06) “Kita tidak perlu berpura-pura bodoh dan naif dengan menyangkal itu semua. Berikutnya pernyataan dalam Lumen Gentium 8 di mana dikatakan gereja Kristus ada di dalam Gereja Katolik. Romo Patris mengakui pernyataan itu berbeda dengan pernyataan sebelumnya yang menyatakan gereja Kristus adalah Gereja Katolik.
Menurutnya, pernyataan gereja Kristus ada di dalam Gereja Katolik itu lebih tepat secara teologis. Benarkah demikian? Justru sebaliknya, pernyataan Gereja Kristus adalah Gereja Katolik jauh lebih tegas, presisi, dan pasti karena mengatakan hanya Gereja Katolik sajalah gereja Kristus. Sebagai konsekuensinya, selain Gereja Katolik bukanlah gereja Kristus.
Sementara pernyataan Gereja Kristus ada di dalam Gereja Katolik justru ambigu karena memberi ruang bagi interpretasi yang mengatakan bahwa gereja Kristus juga ada di dalam gereja-gereja lain. Pemahaman tersebut memberi peluang gereja-gereja lain ikut menjadi bagian dari gereja Kristus yang satu. Posisi ini dianggap berdampak positif bagi agenda ekumenisme”
(08:57-09:33) “Tapi sebelum diskusi ini berlanjut, saya ingin bertanya pada Romo Patris tentang Day Verbum 8 yang menyatakan, “Sebab dalam perkembangan sejarah, gereja tiada hentinya menuju kepenuhan kebenaran ilahi sampai terpenuhilah padanya” sabda Allah.” Apakah dengan pernyataan itu konsili Vatikan 2 secara halus bermaksud mengatakan bahwa Gereja Katolik masih belum memiliki kepenuhan kebenaran? dan selama ini masih berproses menuju kepenuhan seluruh sabda Allah.
Apakah selama ini sabda Allah belum sepenuhnya dinyatakan pada Gereja Katolik? Ingat, dokumen konsili itu jelas menyatakan bahwa gereja tiada henti menuju kepenuhan kebenaran sampai terpenuhilah padanya sabda Allah. Nah, itu PR buat Romo Patris Alegro. Viva Kristorei. Di bawah panjist kita bersatu bersama para malaikat kita berarah bangkah hadapi dunia jadalahi yang kisiris”.
Tanggapan Kami:
ARGUMENTASI YANG BERLANDASKAN PEMAHAMAN PRIBADI
Dalam menyerang isi LG 8 dan DV 8 si bidat CN, menunjukkan pola subyektivisme yang akut dalam argumentasinya, yang termanifestasi dalam tiga aspek: sumber argumentasinya sendiri, penciptaan straw man fallacy, dan kemiripannya dengan bid’ah Protestan.
CN Menyerang Definisi Subsistit In Versinya Sendiri (LG 8):
- Ketika CN berpendapat bahwa “Justru sebaliknya, pernyataan Gereja Kristus adalah Gereja Katolik jauh lebih tegas, presisi, dan pasti karena mengatakan hanya Gereja Katolik sajalah gereja Kristus. Sebagai konsekuensinya, selain Gereja Katolik bukanlah gereja Kristus,” ia sebenarnya sedang menyerang definisi subsistit in (berada dalam) dari Lumen Gentium 8 versinya sendiri, dan bukan apa yang Konsili Vatikan II pahami secara per se dan resmi.Lumen Gentium 8 menyatakan: “Gereja Kristus yang satu ini, yang kita akui dalam Kredo sebagai satu, kudus, katolik, dan apostolik, berada dalam (subsistit in) Gereja Katolik, yang diperintah oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya.” Maka menjadi pertanyaan penting ialah, apakah benar bahwa KV II melalui LG 8 sungguh mengajarkan bahwa arti dari istilah subsistit in (berada dalam) ialah gereja Kristus juga ada di dalam gereja-gereja lain ?
- Kongregasi Ajaran Iman (CDF) dalam Tanggapan-tanggapan terhadap Pertanyaan-pertanyaan tentang beberapa aspek tertentu perihal ajaran tentang Gereja (29 Juni 2007) menyatakan makna “ subsitit in / berada di dalam” Gereja Katolik, demikian: “Kristus ‘mendirikan di bumi ini’ hanya satu Gereja dan membangunnya sebagai sebuah ‘komunitas yang nampak dan rohani’, ((Lih. Konsili Vatikan II, Lumen gentium 8.1.)) bahwa sejak awal mula dan di sepanjang abad telah ada dan akan terus berada, dan di dalamnya satu-satunya ditemukan semua elemen yang didirikan oleh Kristus sendiri. ((Lih. Konsili Vatikan II, Unitatis redintegratio , 3.2; 3.4; 3.5; 4.6.)) ‘Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik […].’ ‘Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai persekutuan, berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan di atasnya’.” ((Konsili Vatikan II, Lumen gentium 8.2.))
“Dalam Konstitusi Dogmatik Lumen gentium , 8, ‘wujud keberadaan’/ subsistensi berarti ketahanan yang terus menerus ini, keberlangsungan secara historis dan ketetapan secara permanen semua elemen yang diinstitusikan oleh Kristus dalam Gereja Katolik, ((CDF, Declaration Mysterium Ecclesiae, 1.1: AAS 65 [1973] 397; Declaration Dominus Iesus, 16.3: AAS 92 [2000-II] 757-758; Pemberitahuan atas Buku Leonardo Boff, OFM, “Church: Charism and Power”: AAS 77 [1985] 758-759.)) di mana di dalamnya Gereja Kristus secara nyata didirikan di dunia ini…
Mungkin saja, menurut ajaran Katolik, untuk meneguhkan secara benar bahwa Gereja Kristus hadir dan berkarya di dalam gereja-gereja dan Komunitas-komunitas gerejawi yang belum sepenuhnya dalam persekutuan dengan Gereja Katolik, karena unsur-unsur pengudusan dan kebenaran yang ada di dalam mereka. (( Bdk. St. Paus Yohanes Paulus II, Ut unum sint , 11.3: AAS 87 [1995-II] 928.)) Namun demikian, kata “subsists/ berada di dalam” hanya dapat ditujukan pada Gereja Katolik satu-satunya, justru karena hal itu mengacu pada tanda kesatuan yang kita miliki dalam syahadat iman (Aku percaya… akan ‘satu’ Gereja); dan ‘satu’ Gereja ini berada di dalam Gereja Katolik. ((Lih. Konsili Vatikan II, Lumen gentium 8.2.))
“Penggunaan ekspresi ini [ subsistit in ], yang menunjukkan identitas penuh Gereja Kristus dengan Gereja Katolik , tidak mengubah ajaran tentang Gereja. Lebih tepatnya, ekspresi ini timbul dari dan menyatakan dengan lebih jelas fakta bahwa terdapat “banyak elemen pengudusan dan kebenaran” yang ditemukan di luar Struktur Gereja, tetapi yang mana “sebagai karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus, mendorong ke arah kesatuan Katolik.” ((Konsili Vatikan II, LG , 8.2.))
Maka, amat terbukti si bidat CN ini menggunakan straw man fallacy terhadap definisi subsistit in secara resmi. Ia menciptakan karikatur dari ajaran Konsili dan kemudian menyerang karikatur itu. Sumber yang ia gunakan untuk menyerang LG 8 hanyalah subyektivisme pribadinya, yang membuatnya persis seperti bid’ah Protestan yang berprinsip sola scriptura (apa yang literer saja atau yang tertulis semata) tanpa menggali definisi resmi ekstra tekstual dan interpretasi Magisterial yang benar.
- Misinterpretasi Personal Atas Dei Verbum 8
Hal yang sama pun terjadi sewaktu ia mengkritik Dei Verbum 8 sambil ia menyampaikan beberapa pertanyaan straw man khasnya ke Romo soal kepenuhan kebenaran. Padahal Konsili Vatikan II di dalam Dei Verbum 8 tidak sama sekali memahami bahwa kebenaran (wahyu itu sendiri) belum final di dalam Gereja Katolik. Dei Verbum 8 menyatakan: “Tradisi Suci dan Kitab Suci, yang dihubungkan dan terikat erat satu sama lain, mengalir dari sumber Ilahi yang sama dan secara tertentu menyatu menuju tujuan yang sama. Sebab, Kitab Suci adalah sabda Allah sejauh ditulis dalam inspirasi Roh Allah; sedangkan Tradisi Suci, sabda Allah yang diserahkan oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus kepada para Rasul, diteruskan sepenuhnya kepada para penerus mereka, supaya mereka, yang diterangi oleh Roh Kebenaran, setia melestarikan, menjelaskan, dan menyebarkan dalam pemberitaan mereka.” Bagian selanjutnya berbicara tentang “Gereja, dengan berjalannya abad-abad, terus-menerus cenderung kepada kepenuhan kebenaran ilahi, sampai terpenuhilah padanya sabda Allah.”
- Penjelasan Resmi (KGK 66-67):
KGK 66: “Tata penyelamatan Kristen sebagai suatu perjanjian yang baru dan definitif, tidak pernah akan lenyap, dan tidak perlu diharapkan suatu wahyu umum baru, sebelum kedatangan yang jaya Tuhan kita Yesus Kristus” (DV 4). Walaupun wahyu itu sudah selesai, namun isinya sama sekali belum digali seluruhnya; masih merupakan tugas kepercayaan umat Kristen, supaya dalam peredaran zaman lama kelamaan dapat mengerti seluruh artinya”.
KGK 67: “Dalam peredaran waktu terdapatlah apa yang dinamakan “wahyu pribadi”, yang beberapa di antaranya diakui oleh pimpinan Gereja. Namun wahyu pribadi itu tidak termasuk dalam perbendaharaan iman. Bukanlah tugas mereka untuk “menyempurnakan” wahyu Kristus yang definitif atau untuk “melengkapinya”, melainkan untuk membantu supaya orang dapat menghayatinya lebih dalam lagi dalam rentang waktu tertentu. Di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, maka dalam kesadaran iman, umat beriman tahu membedakan dan melihat dalam wahyu-wahyu ini apa yang merupakan amanat otentik dari Kristus atau para kudus kepada Gereja.Iman Kristen tidak dapat “menerima” wahyu-wahyu yang mau melebihi atau membetulkan wahyu yang sudah dituntaskan dalam Kristus. Hal ini diklaim oleh agama-agama bukan Kristen tertentu dan sering kali juga oleh sekte-sekte baru tertentu yang mendasarkan diri atas “wahyu-wahyu” yang demikian itu”.
Sehingga, Yang berkembang menurut penjelasan resmi DV ialah pemahaman dan penjelasan (explicatio) Wahyu itu sendiri, dan bukan substansi Wahyu itu sendiri yang telah final dengan kematian Rasul terakhir. Wahyu ilahi adalah sebuah Deposit Iman yang sudah lengkap. Prinsip yang dijabarkan oleh KV II di dalam LG 8 ini memiliki akar dari pandangan patristic, terutama Bapa Gereja St. Vincent dari Lérins mengenai profectus religionis (kemajuan agama), diambil dari karyanya yang paling terkenal, Commonitorium, Bab 23: “But some one will say, perhaps, Shall there, then, be no progress in Christ’s Church? Certainly; all possible progress. For what being is there, so envious of men, so full of hatred to God, who would seek to forbid it? Yet on condition that it be real progress, not alteration of the faith. For progress requires that the subject be enlarged in itself, alteration, that it be transformed into something else. The intelligence, then, the knowledge, the wisdom, as well of individuals as of all, as well of one man as of the whole Church, ought, in the course of ages and centuries, to increase and make much and vigorous progress; but yet only in its own kind; that is to say, in the same doctrine, in the same sense, and in the same judgment.” (“Tetapi mungkin ada yang berkata: Jadi, apakah tidak akan ada kemajuan agama sama sekali di dalam Gereja Kristus? Tentu saja harus ada, dan kemajuan yang sangat besar. Sebab siapakah orang yang begitu dengki terhadap sesama, begitu membenci Tuhan, sehingga berani menghalangi hal itu? Namun demikian, dengan syarat bahwa itu adalah kemajuan iman yang sejati, bukan perubahan. Sebab kemajuan berarti bahwa setiap hal diperluas di dalam dirinya sendiri; sedangkan perubahan berarti bahwa sesuatu diubah dari satu hal ke hal lain.
Oleh karena itu, kecerdasan, pengetahuan, dan kebijaksanaan, baik dari individu maupun dari semua orang, baik dari satu orang maupun dari seluruh Gereja, haruslah bertumbuh dan membuat kemajuan yang sangat besar dan kuat, setahap demi setahap seiring usia dan abad; tetapi hanya dalam jenisnya sendiri, yaitu: dalam doktrin yang sama, dalam makna yang sama, dan dalam penilaian yang sama.”).
Dalam kutipan ini, St. Vincent dari Lérins dengan jelas membedakan antara “kemajuan” (profectus) dan “perubahan/alterasi” (permutatio) dalam iman. Bagi dia, kemajuan adalah ketika sesuatu membesar atau semakin dalam dalam dirinya sendiri, seperti tubuh manusia yang tumbuh dari anak-anak menjadi dewasa, tetapi tetap tubuh yang sama. Ini bukan perubahan dari satu hal ke hal lain. Dia menegaskan bahwa harus ada kemajuan besar dalam agama (iman), baik bagi individu maupun seluruh Gereja, seiring berjalannya waktu dan generasi, dalam hal pemahaman (intelligentia), pengetahuan (scientia), dan kebijaksanaan (sapientia). Namun, kemajuan ini harus terjadi “dalam jenisnya sendiri,” yaitu, dalam doktrin yang sama, dalam makna yang sama, dan dalam penilaian yang sama (in eodem scilicet dogmate, eodem sensu, eademque sententia).
Maka, sungguh si bidat CN amat sola scripturis terhadap setiap teks dalam dokumen-dokumen KV II, yaitu ia hanya membaca teks secara literal tanpa memahami konteks teologis, sejarah, dan interpretasi Magisterial. Ini adalah metodologi Protestan yang diterapkan pada dokumen Katolik, yang secara inheren cacat dan mengarah pada kesesatan. Ia mengambil kalimat keluar dari konteks dan memaksakan interpretasi pribadinya, mirip dengan bagaimana banyak sekte Protestan menafsirkan Kitab Suci. Singkatnya, argumentasi CN bukan didasarkan pada ajaran resmi Gereja, melainkan pada penafsiran subyektifnya sendiri yang cacat, menciptakan musuh palsu (straw man) untuk diserang.
VI. Konsili Vatikan II sebagai Pewaris Sikap Dialogis dan bukan Penggagas (Fakta yang tak Sanggup Disanggah CN)
Argumen CN:
(06:33-07:51) “Selanjutnya, Romo Patris mengatakan Konsili Vatikan I mendorong dialog dengan agama-agama lain sambil menyangkal bahwa tindakan tersebut adalah sinkretisme sebagaimana yang sering dituduhkan. Ini logika orang-orangan sawah alias Strawmen.
Kritik kaum tradisionalis terhadap upaya dialog pasca konsili. Bukan hanya karena upaya tersebut memiliki kecenderungan sinkretisme, tapi terutama karena upaya tersebut menyangkal perintah penginjilan yang menjadi amanat agung Yesus Kristus. Gereja Katolik tidak diperintahkan untuk berdialog dengan bangsa-bangsa lain.
Gereja Katolik diperintahkan untuk mewartakan Injil dan menjadikan bangsa-bangsa lain sebagai pengikut Kristus. Bahwa dalam upaya penginjilan tersebut melibatkan proses Gialo itu bisa saja. Tapi tujuan utamanya tetap tidak boleh berubah, yaitu mewartakan iman Kristen agar semua bangsa menjadi murid-murid Kristus di dalam gerejanya yang satu, kudus, Katolik, dan Apostolik. Semangat penginjilan inilah yang dikhianati terang-terangan oleh Konsili Vatikan 2 dengan mengakui kebenaran dalam agama lain tanpa pernah secara tegas menunjukkan kekeliruan mereka dan dengan mendorong dialog tanpa upaya konversi. Selain itu, penekanan pada upaya dialog terutama dengan gereja-gereja atau komunitas Kristen juga merusak prinsip persatuan Kristen yang dengan setia dipegang teguh oleh Gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan 2, yaitu mendorong mereka yang terpisah dari
Gereja Katolik untuk kembali dengan meninggalkan segala hal yang telah menyebabkan mereka terpisah darinya. Kini dengan berdalih semangat dialog, persatuan sejati itu digantikan dengan ekumenisme kompromistis yang hanya akan menghasilkan persatuan semu.Saudara CN, dalam semua serangannya terhadap sikap dialogis Konsili Vatikan II dengan agama-agama dan komunitas gerejawi bid’ah, secara paradoks mengakui bahwa “Bahwa dalam upaya penginjilan tersebut melibatkan proses Dialog itu bisa saja. Tapi tujuan utamanya tetap tidak boleh berubah, yaitu mewartakan iman Kristen agar semua bangsa menjadi murid-murid Kristus.” Pengakuan ini mengindikasikan bahwa CN sendiri tidak bisa lari dari sikap dialogis, namun ia berdalih bahwa ia bukan anti-dialog, melainkan anti dengan tujuan dialog KV II yang menurutnya akan menggantikan persatuan sejati dengan ekumenisme kompromistis yang hanya akan menghasilkan persatuan semu”.
Tanggapan Kami:
SIKAP DIALOGIS KV II BERAKAR DARI SIKAP HISTORIS GEREJA KATOLIK:
Pernahkah si bidat CN bertanya mengapa KV II mengedepankan sikap dialogis? Karena KV II mewarisi itu dari Pendirinya, hingga murid-murid dari para Pendiri-Nya, hingga para Bapa Apostolik, Bapa-Bapa Gereja, para Teolog Doktor, dan seterusnya.
Akar Historis-Teologis Sikap Dialog:
- Kristus Sendiri: Yesus Kristus menjawab pertanyaan Pilatus tentang kebenaran (“Apakah kebenaran itu?” - Yoh 18:38) dan berbicara dengan berbagai kelompok (orang Farisi, Saduki, Samaria), meskipun seringkali untuk mengoreksi kesesatan mereka. Ini adalah bentuk dialog.
- St. Paulus: Datang ke Athena dan mengunjungi Areopagus, yakni tempat berdialog, di mana ia mencoba mencari titik temu dengan para filsuf Yunani melalui “altar untuk dewa yang tidak dikenal” (Kis 17:22-31). Ini adalah contoh klasik inkulturasi dan dialog.
- St. Yustinus Martir: Karyanya sendiri berjudul “Dialog dengan Rabi Yahudi Trypho” adalah bukti nyata praktik dialog di Gereja awal. St. Yustinus tidak berkompromi dengan kebenaran iman Kristen, tetapi ia terlibat dalam diskusi rasional dengan orang Yahudi untuk menjelaskan Kristus.
- St. Thomas Aquinas: Dalam Summa Contra Gentiles, ia terlibat dalam dialog rasional dengan kaum Muslim dan Yahudi menggunakan akal budi, bukan hanya otoritas iman, menunjukkan sikap dialogis dalam tradisi intelektual Gereja.
Kesimpulan: Jadi, sikap dialogis KV II itu punya akar historis dan teologis yang kuat dalam tradisi Katolik. Ini bukanlah inovasi radikal, melainkan perkembangan yang konsisten dalam cara Gereja berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.
Buah Positif dari Dialog Pasca-KV II:
o Apakah sikap dialogis KV II secara mutlak tujuannya seperti yang CN katakan yakni kompromistis?
Justru telah banyak kelompok-kelompok gerejawi skismatik dan bid’ah yang setelah melakukan dialog dengan Takhta Suci Pasca KV II, mulai menerima beberapa doktrin dasar Katolik dan bahkan kembali ke persekutuan penuh. Misalnya, kelompok-kelompok Anglikan yang membentuk Ordinariat Pribadi, atau dialog dengan Ortodoks Timur yang telah menghasilkan pemahaman bersama dalam banyak isu teologis. Dialog bukanlah penyerahan, melainkan upaya untuk memahami dan, jika mungkin, menyatukan kembali:
- Kutipan dari Dokumen Ravenna (2007)
(“Ecclesiological and Canonical Consequences of the Sacramental Nature of the Church: Ecclesial Communion, Conciliarity and Authority”)
Paragraf 41:
“Both sides agree that this canonical taxis was recognised by all in the era of the undivided Church. Further, they agree that Rome, as the Church that “presides in love” according to the phrase of St Ignatius of Antioch (To the Romans, Prologue), occupied the first place in the taxis, and that the bishop of Rome was therefore the protos among the patriarchs.” (“Kedua belah pihak setuju bahwa taxis kanonik ini diakui oleh semua pihak pada era Gereja yang tidak terbagi. Lebih lanjut, mereka setuju bahwa Roma, sebagai Gereja yang ‘memimpin dalam kasih’ menurut ungkapan St. Ignatius dari Antiokhia (Kepada Jemaat Roma, Prolog), menempati tempat pertama dalam taxis, dan bahwa oleh karena itu Uskup Roma adalah yang pertama (protos) di antara para patriark.”)
- Kutipan dari “Common Christological Declaration between the Catholic Church and the Assyrian Church of the East.”Dokumen ini ditandatangani pada tanggal 11 November 1994 oleh Paus Yohanes Paulus II dan Patriark-Katolikos Mar Dinkha IV:
Paragraf 4: “Therefore, we both confess one and the same Christ, our Lord, God, Saviour and King, according to the Apostolic faith: The Word of God, the second person of the Holy Trinity, was incarnate by the power of the Holy Spirit, taking from the blessed Virgin Mary a body animated by a rational soul, with which he was indissolubly united from the moment of his conception. He was born from her as true man without a human father and was not by adoption but in nature Son of God, consubstantial with the Father his divinity, and consubstantial with us in his humanity. The humanity to which the Blessed Virgin Mary gave birth always was that of the Son of God himself. That is the reason why the Assyrian Church of the East prays to the Virgin Mary as ‘Mother of Christ Our God’ or ‘Mother of Our Lord,’ and also as ‘Mother of God’ (in Syriac: Yoldath Aloho).” (“Maka, kami berdua mengakui satu dan Kristus yang sama, Tuhan kami, Allah, Juruselamat, dan Raja, sesuai dengan iman Apostolik: Firman Allah, pribadi kedua Tritunggal Mahakudus, menjadi daging oleh kuasa Roh Kudus, mengambil dari Santa Perawan Maria sebuah tubuh yang dihidupkan oleh jiwa yang berakal budi, yang dengannya Dia bersatu secara tak terpisahkan sejak saat konsepsi-Nya. Dia lahir dari Maria sebagai manusia sejati tanpa ayah manusiawi dan adalah, bukan berdasarkan adopsi melainkan dalam kodrat, Putra Allah, sehakikat dengan Bapa dalam keilahian-Nya, dan sehakikat dengan kita dalam kemanusiaan-Nya. Kemanusiaan yang dilahirkan oleh Santa Perawan Maria selalu adalah kemanusiaan Putra Allah itu sendiri. Itulah sebabnya Gereja Asyur Timur berdoa kepada Perawan Maria sebagai ‘Bunda Kristus Tuhan Kami’ atau ‘Bunda Tuhan Kami,’ dan juga sebagai ‘Bunda Allah’ (dalam bahasa Suryani: Yoldath Aloho).”)
Paragraf 5:
“We both recognize the legitimacy and rightness of these expressions of the same faith and we respect the preference of each Church in her liturgical life and theological formulation. The divergences in terminology, used by each Church, whereas preserving the same authentic faith, are due to the difference of the theological traditions and to the specificity of the cultures and the ways of expressing themselves in each Church. Our common profession of faith is based on this.” (“Kami berdua mengakui keabsahan dan kebenaran ungkapan-ungkapan iman yang sama ini dan kami menghormati preferensi setiap Gereja dalam kehidupan liturgi dan formulasi teologisnya. Perbedaan dalam terminologi, yang digunakan oleh setiap Gereja, meskipun mempertahankan iman autentik yang sama, disebabkan oleh perbedaan tradisi teologis dan kekhususan budaya serta cara berekspresi di setiap Gereja. Pengakuan iman kami yang sama didasarkan pada hal ini.”)
Jadi, si bidat CN kurang tajam dalam berimajinasi negatif. Ia hanya melihat potensi bahaya, tanpa mempertimbangkan tujuan otentik dan hasil positif dari dialog yang dipandu oleh Magisterium yang sah.
VII. Kemunafikan dan Inkonsistensi Posisi Bidat CN Sendiri
APAKAH SI BIDAT CN KONSISTEN DENGAN ARGUMENNYA INI?
(03:50) “Akibatnya pernyataan adanya sebagian kebenaran dalam agama-agama lain pada dokumen Konsili Vatikan 2 sekarang ditafsirkan secara positif sebagai adanya kesempatan bagi agama-agama tersebut untuk dapat menjadi jalan menuju kepada Tuhan”
- CN Sendiri Menganut Apa Yang ia Tuduhkan Terhadap Nostra Aetate
Fakta tak terbantahkan ialah, ketika si bidat CN mempraktikkan apa yang ia tuduhkan kepada Konsili Vatikan II lewat Nostra Aetate. Ia sendiri secara lantang mengimani dan berpendapat di ruang public bahwa seorang freemason yang Anti-Katolik dan pendiri zionisme yakni Theodor Herzl beserta kebijakan politik secular dari seorang bidat Protestan penghina Paus seperti Donald Trump, dapat menjadi jalan menuju Tuhan bagi orang-orang:
(https://youtu.be/Ejn61GE4RcE?si=r11zaoA956e8hTRp menit ke 04:24 – 05:18)
(https://youtu.be/ieBuN7-Jasw?si=DitueZFMOh83eMLM menit ke 09:39 – 10:00)
Jadi Ketika dari mulut bidatnya si CN dengan amat gampang dapat berkata bahwa bapak pendiri Zionisme adalah Alat Tuhan untuk menjadi bagian dari rancangan-Nya dan kebijakan seorang Bidat Protestan penghina Paus sebagai suara kenabian, bukan hanya membuktikan inkonsistensi dan kemunafikannya terhadap Konsili Vatikan II, melainkan juga posisi kesesatannya yang asli dan sejati.
- CN Harus Belajar Sekaligus Mengkritisi Terlebih Dahulu Kelompok yang Ia Anggap Sebagai ‘Sisa Umat Katolik Sejati’ – SSPX
Jika kita menonton videonya yang berikut ini, kitab isa menyimpulkan betapa CN menaruh pengharapannya pada SSPX, bahkan sampai menyebut mereka sebagai ‘Sisa Umat Sejati’ – ‘Sisa Gereja Kristus’:
(https://youtu.be/pvLIURO9Q_g?si=taRw2B6_iDyLZ7hE menit ke 04:06-29)
Namun, apakah si bidat CN tahu bahwa kelompok yang ia Yakini dengan bangga sebagai ‘Sisa Umat Sejati’ – ‘Sisa Gereja Kristus’ ini memiliki pandangan-pandangan berikut ini, yang seharusnya ia pelajari atau ia kritisi atau bahkan ia tolak ?
1) Uskup Agung Marcel Lefebvre
- Halaman 216: “Jelas adanya bahwa pembedaan-pembedaan tertentu harus dibuat. Jiwa-jiwa dapat diselamatkan di dalam suatu agama selain agama Katolik (Protestantisme, Islam, Buddhisme, dll.), tetapi bukan oleh agama ini. Mungkin terdapat jiwa-jiwa yang tidak mengenal Tuhan kita, yang memiliki, oleh rahmat Tuhan yang baik, itikad-itikad batin yang baik, yang tunduk kepada Allah … Tetapi beberapa dari orang-orang ini membuat tindakan kasih yang secara implisit sama dengan pembaptisan keinginan. Hanya lewat cara inilah mereka dapat diselamatkan.”
- Halaman 217-218: “Maka inilah yang dikatakan dan oleh Pius IX dan apa yang dikutuknya. Rumusan yang dahulu begitu seringnya digunakan oleh para Bapa Gereja itu perlu dimengerti: ‘Di Luar Gereja tidak terdapat keselamatan’. Sewaktu kita mengucapkannya, ada kesalahpahaman bahwa kita berpikir bahwa semua orang Protestan, semua orang Muslim, semua orang Buddhis, mereka semua yang tidak secara publik tergolong anggota Gereja Katolik masuk Neraka. Saya ulangi, mungkin bagi seseorang untuk diselamatkan dalam agama-agama ini, tetapi mereka diselamatkan oleh Gereja, dan karena itu rumusannya benar: Extra Ecclesiam nulla salus. Hal ini harus dikhotbahkan.”
- Halaman 73-74: “Apakah hal ini berarti bahwa tidak satu pun dari orang Protestan, Muslim, Buddhis, atau animis dapat diselamatkan? Tidak, akan menjadi suatu kesalahan kedua untuk berpikir hal itu. Mereka yang menyerukan intoleransi saat menginterpretasikan rumusan St. Siprianus tentang Di Luar Gereja tidak terdapat keselamatan, juga menolak Syahadat, ‘Aku menerima satu pembaptisan untuk pengampunan dosa’, dan tidak mendapatkan ajaran yang cukup tentang apa itu pembaptisan. Terdapat tiga cara untuk menerimanya: pembaptisan air; pembaptisan darah (pembaptisan para martir yang mengakui iman mereka pada waktu mereka masih katekumen); dan pembaptisan keinginan. Pembaptisan bisa eksplisit. Banyak kali di Afrika, saya mendengar satu dari para katekumen berkata kepada saya, ‘Bapa, baptislah saya karena jika saya meninggal sebelum anda datang kembali, saya akan masuk Neraka’. Saya berkata kepadanya, ‘Tidak, jika kamu tidak memiliki dosa berat di dalam hati nuranimu dan jika kamu menginginkan
pembaptisan, maka kamu sudah memiliki rahmat di dalam dirimu…”
2) Uskup Bernard Fellay,
Konferensi di Denver, Co., 18 Februari 2006: “ … Dan Gereja selalu mengajarkan bahwa akan ada orang-orang, yang berada di dalam keadaan rahmat, yang telah diselamatkan tanpa mengenal Gereja Katolik. Kita mengetahui hal ini. Tetapi, bagaimanakah hal itu mungkin terjadi jika anda tidak dapat diselamatkan di luar Gereja? Sungguh benar bahwa mereka akan diselamatkan melalui Gereja Katolik, karena mereka akan dipersatukan kepada Kristus, kepada Tubuh Mistis Kristus, yang adalah Gereja Katolik. Tetapi, pemersatuan itu akan tetap tidak terlihat, karena hubungan yang kelihatan ini tidak mungkin terjadi bagi mereka. Ambillah contoh seorang Hindu di Tibet yang sama sekali tidak mengenal Gereja Katolik. Ia hidup menurut hati nuraninya dan hukum-hukum yang ditempatkan oleh telah Allah di dalam hatinya. Ia dapat berada di dalam keadaan rahmat, dan jika ia meninggal dalam keadaan rahmat, ia akan masuk Surga.” (The Angelus, A Talk Heard Round the World [Percakapan yang Terdengar di Sekeliling Dunia], April 2006, hal. 5)
3) Romo Schmidberger (SSPX)
Time Bombs of the Second Vatican Council [Bom Waktu Konsili Vatikan II], 2005, hal. 10:
“Bapak ibu, jelas bahwa para pengikut agama-agama lain dapat diselamatkan dengan syarat-syarat tertentu, yaitu, jika mereka berada dalam kesalahan yang tidak teratasi
Maka, kepada bidat CN, silahkan Anda tanggapi 2 challenge kami berikut:
1. “Tunjukkan Dasar dari statement Anda yang berkata bahwa orang-orang sesat seperti Pendiri Zionisme dan Pemimpin Politik Sekular – Protestan, dapat menjadi jalan menuju kepada Tuhan, yakni sebagai Alat atau pun Suara Kenabian, berdasarkan Tradisi Magisterium Latin”!
2. “Daripada Anda selalu gagal dan blunder dalam mengkritik Konsili Vatikan II dan ‘Para Pengacaranya’, sekarang coba Anda kritik para klerus tokoh sentral dari ‘Sisa Umat’ Anda, yang secara terang-terangan berpendapat bahwa ada keselamatan di dalam diri penganut agama-agama palsu “!
PENUTUP
“Bidat CN dan para sedevacantist lainnya, argumen-argumen Anda, ketika dianalisis dengan cermat di bawah terang Teologi Katolik Tradisional, terbukti tidak hanya lemah, tetapi juga kontradiktif, inkonsisten, berbahaya dan palsu. Anda mengklaim membela tradisi, tetapi justru Anda menyerang inti dari Tradisi itu sendiri: kesatuan Gereja, otoritas Magisterium yang hidup, dan janji Kristus akan indefektibilitas Gereja-Nya.
Gereja Katolik, yang didirikan oleh Kristus sendiri, adalah tiang dan dasar kebenaran. Ia tidak pernah sesat dan tidak akan pernah sesat. Konsili Vatikan II, sebagai Konsili Ekumenis yang sah, adalah bagian dari sejarah penyelamatan Gereja dan harus dibaca dalam kontinuitas dengan seluruh Tradisi. Mengabaikan atau menolaknya adalah tindakan skismatis yang memisahkan diri dari Tubuh Mistik Kristus.
Maka, kami segenap umat Katolik Sejati, menyerukan kepada Anda, Saudara CN, dan semua yang tersesat dalam sedevacantisme, untuk merendahkan hati, menyingkirkan kesombongan intelektual, dan kembali ke pangkuan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, di bawah kepemimpinan Bapa Suci yang sah, Paus Fransiskus. Hanya di dalam kesatuan dengan Petrus dan para penerusnya, kita dapat menemukan kepenuhan kebenaran dan keselamatan.
Semoga Roh Kudus menerangi hati kita semua. Viva Cristo Rey!“