LIVE DKC [89-2025] JUMAT, 18 JULI 2025 PUKUL 19:00 WIB: MITOS ATAU MISSIO, PENGHORMATAN KATOLIK KEPADA BUNDA MARIA??? @Patris_Smith

By Manuel (Tim DKC)

31 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

LIVE DKC [89-2025] JUMAT, 18 JULI 2025 PUKUL 19:00 WIB: MITOS ATAU MISSIO, PENGHORMATAN KATOLIK KEPADA BUNDA MARIA??? @Patris_Smith

Mitos atau Missio? Membongkar Kritik Keliru terhadap Penghormatan Katolik kepada Maria

Pendahuluan: Mengurai Kesalahpahaman yang Berulang

Sebuah video yang beredar mengklaim bahwa tradisi Katolik menghina Maria dengan meninggikannya melampaui Alkitab. Tuduhan ini mencerminkan ketidakpahaman teologi Katolik. Tanggapan ini akan menyanggah setiap poin kritik dalam video secara sistematis, menggunakan sumber otoritatif: Alkitab, ajaran Bapa-Bapa Gereja, konsili ekumenis, dokumen resmi Gereja Katolik, dan jurnal akademik terpercaya. Dengan pendekatan akademis dan nada tegas, tanggapan ini menunjukkan bahwa penghormatan Katolik kepada Maria adalah ekspresi iman yang berpusat pada Kristus, bukan penyimpangan alkitabiah.

1. Gambaran Maria Menurut Alkitab: Lebih dari Sekadar Rendah Hati

Video ini benar menyebut Maria sebagai perawan yang rendah hati, taat, dan saleh (Lukas 1:38, 46-48), tetapi menyederhanakan perannya sebagai sekadar ibu Yesus dari sisi kemanusiaan yang berdosa. Ini adalah reduksi yang mengabaikan kedalaman teologi Alkitabiah.
Alkitab: Lukas 1:28 menggunakan kecharitomene (bahasa Yunani: “yang penuh rahmat”), yang menurut Edward Sri dalam Rethinking Mary in the New Testament (2018) menunjukkan “keadaan rahmat yang unik dan permanen” (hlm. 45). Maria bukan hanya rendah hati, tetapi dipilih secara istimewa sebagai Theotokos (Bunda Allah).
Bapa-Bapa Gereja: St. Agustinus (Abad ke-5) menulis, “Maria adalah satu-satunya yang bebas dari dosa asal karena rahmat ilahi yang mempersiapkannya untuk menjadi Bunda Sabda” (De Natura et Gratia, 36.42).
Dokumen Gereja: Redemptoris Mater (1987) oleh St. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa Lukas 1:47 (“Allah, Juruselamatku”) menunjukkan ketergantungan Maria pada rahmat Kristus yang menyelamatkannya secara preventif (par. 8).
Tanggapan: Video ini salah mengartikan kerendahan hati Maria sebagai bukti keberdosaannya. Penghormatan Katolik kepada Maria sebagai “penuh rahmat” menegaskan keistimewaannya dalam rencana keselamatan, bukan mengurangi keunikan Kristus.

2. Dogma Konsepsi Tak Bernoda: Rahmat Preventif, Bukan Persamaan dengan Kristus

Kritik video bahwa Konsepsi Tak Bernoda (ditetapkan 1854, Ineffabilis Deus) membuat Maria tidak memerlukan Juruselamat adalah distorsi teologi Katolik.
Ajaran Resmi: Kateksimus Gereja Katolik (KGK) 491 menyatakan, “Maria, melalui rahmat khusus, ditebus dari saat ia dikandung, sehingga bebas dari dosa asal.” Penebusan ini berasal dari Kristus, bukan dari Maria sendiri.
Alkitab: Kejadian 3:15 (protoevangelium) menyebut “wanita” yang memusuhi setan, yang menurut St. Irenaeus (Adversus Haereses, 3.22.4) adalah Maria, Hawa Baru yang bebas dari dosa untuk misi ilahinya.
Bapa-Bapa Gereja: St. Efrem dari Syria (Abad ke-4) menulis, “Maria adalah satu-satunya yang suci dan tidak bernoda, karena ia dipilih untuk mengandung Sabda” (Carmina Nisibena, 27).
Jurnal Akademik: Theological Studies (Vol. 79, No. 2, 2018) menjelaskan bahwa Konsepsi Tak Bernoda adalah “penebusan preventif” yang tidak menyamakan Maria dengan Kristus, tetapi menegaskan peran Kristus sebagai sumber rahmat (hlm. 312).
Tanggapan: Tuduhan bahwa dogma ini menyamakan Maria dengan Kristus adalah karikatur. Video ini gagal memahami bahwa rahmat Maria memuliakan Kristus sebagai Penebus tunggal.

3. Dogma Pengangkatan Maria ke Surga: Berakar pada Tradisi, Bukan Mitos Pagan

Video ini menolak dogma Pengangkatan Maria (1950, Munificentissimus Deus) sebagai tidak alkitabiah dan mirip mitos dewi Yunani. Kritik ini mengabaikan Tradisi Suci dan konteks historis.
Ajaran Resmi: KGK 966 menegaskan, “Maria diangkat dengan jiwa dan tubuhnya ke dalam kemuliaan surga setelah menyelesaikan hidupnya.” Ini didasarkan pada tradisi apostolik dan sensus fidelium.
Tradisi: St. Yohanes dari Damaskus (Abad ke-8) dalam Homili tentang Dormisi Maria menyatakan, “Tubuh Maria yang suci tidak mengalami kerusakan, karena ia mengandung Allah” (Hom. 2.14). Perayaan Dormisi sudah ada sejak abad ke-5 di Gereja Timur.
Alkitab: Wahyu 12:1 menggambarkan “wanita yang berpakaian matahari” di surga, yang ditafsirkan sebagai Maria oleh Lumen Gentium (Konsili Vatikan II, par. 59).
Tanggapan: Menyebut dogma ini sebagai “mitos pagan” adalah tuduhan yang tidak berdasar dan mengabaikan bukti historis serta teologis. Video ini gagal membedakan antara penghormatan Kristen dan mitologi, menunjukkan kelemahan dalam analisisnya.

4. Gelar-gelar Maria: Penghormatan, Bukan Persaingan

Video ini mencela gelar-gelar seperti “Ratu Surga,” “Perantara,” dan “Rekan Penebus” sebagai pengurangan peran Yesus. Ini adalah salah tafsir tentang doktrin Katolik.
Ajaran Resmi: KGK 969 menjelaskan bahwa Maria sebagai Pengantara berdoa bagi umat manusia, tetapi tidak menggantikan Yesus sebagai satu-satunya Pengantara (1 Timotius 2:5). Gelar “Ratu Surga” merujuk pada peran ibu raja dalam tradisi Daud (1 Raja-raja 2:19).
Bapa-Bapa Gereja: St. Bernardus dari Clairvaux (Abad ke-12) menulis, “Maria adalah pintu menuju Kristus; penghormatan kepadanya selalu mengarah kepada Putranya” (Sermo in Nativitate Beatae Mariae, 7).
Jurnal Akademik: Marian Studies (Vol. 70, 2019) menjelaskan bahwa istilah “Co-redemptrix” mengacu pada partisipasi unik Maria dalam rencana keselamatan melalui fiat-nya (Lukas 1:38), bukan kesetaraan dengan Kristus (hlm. 45).
Tanggapan: Tuduhan bahwa gelar-gelar ini mengurangi peran Yesus adalah distorsi. Penghormatan kepada Maria (dulia) berbeda dari penyembahan kepada Allah (latria). Video ini menggunakan logika salah kaprah untuk menciptakan konflik yang tidak ada.

5. Reaksi Hipotetis Maria: Spekulasi yang Tidak Bermakna

Video ini berspekulasi bahwa Maria akan “tertekan” melihat patungnya disembah. Ini adalah argumen emosional yang lemah.
Ajaran Resmi: KGK 971 menegaskan bahwa patung dan ikon adalah sarana devosi, bukan objek penyembahan. Konsili Nicea II (787) membela penggunaan ikon sebagai penghormatan, bukan penyembahan.
Bapa-Bapa Gereja: St. Yohanes dari Damaskus dalam De Fide Orthodoxa (Abad ke-8) menjelaskan bahwa ikon adalah “jendela menuju yang ilahi,” bukan objek penyembahan (4.16).
Tanggapan: Spekulasi tentang perasaan Maria adalah taktik retoris yang tidak relevan. Video ini mengabaikan perbedaan teologis antara penghormatan dan penyembahan, mengulang stereotip usang tentang “penyembahan patung.”

6. Panggilan Kembali ke Alkitab: Ironi Pendekatan Sola Scriptura

Video ini mengajak “kembali ke Alkitab” untuk menghormati Maria sebagai wanita rendah hati, bukan objek doa. Pendekatan ini ironis karena membatasi pemahaman Maria pada teks Alkitab tanpa Tradisi.
Ajaran Resmi: Lumen Gentium (Konsili Vatikan II, par. 66) menegaskan bahwa penghormatan kepada Maria berakar pada Alkitab dan Tradisi Suci, yang bersama-sama membentuk depositum fidei.
Alkitab: Yohanes 19:26-27 menunjukkan Maria sebagai ibu rohani umat manusia, sebuah peran yang diperkuat oleh Tradisi.
Dokumen Gereja: Dei Verbum (Konsili Vatikan II, par. 10) menegaskan bahwa Alkitab dan Tradisi adalah dua pilar iman yang saling melengkapi. Gereja Katolik menetapkan kanon Alkitab (Konsili Hippo, 393; Kartago, 397).
Tanggapan: Pendekatan sola scriptura video ini memotong akar historis iman Kristen. Penghormatan kepada Maria tidak bertentangan dengan Alkitab, melainkan melengkapinya melalui Tradisi yang hidup.

Kesimpulan: Penghormatan kepada Maria adalah Kemuliaan bagi Kristus

Video ini, dengan tuduhannya yang keliru, gagal memahami esensi teologi Maria dalam iman Katolik.

Penghormatan kepada Maria tidak menyaingi Kristus, melainkan memuliakan karya penebusan-Nya melalui peran unik Maria sebagai Bunda Allah. Dengan mengabaikan Tradisi Suci, ajaran Bapa-Bapa Gereja, dan dokumen resmi, video ini menyajikan narasi yang cacat.

Seperti yang ditegaskan St. Yohanes Paulus II, “Maria adalah jalan menuju Kristus, bukan tujuan akhir” (Redemptoris Mater, par. 38). Menghormati Maria adalah menghormati Putranya – dan itulah inti iman Katolik.1

Maria di Persimpangan: Menjawab Tantangan Protestan terhadap Empat Dogma Maria dengan Alkitab, Tradisi, dan Akal

Empat dogma Maria dalam tradisi Katolik – Keibuan Ilahi Maria, Keperawanan Abadi, Dikandung Tanpa Noda, dan Pengangkatan ke Surga – sering menjadi pusat polemik dalam dialog dengan kalangan Protestan. Dogma-dogma ini, yang dianggap oleh Gereja Katolik sebagai kebenaran iman yang diwahyukan, kerap ditantang dengan penafsiran ayat-ayat Alkitab yang berbeda.

Tulisan ini bertujuan untuk membela keempat dogma Maria dengan pendekatan akademis, menggunakan Kitab Suci, ajaran Bapa-Bapa Gereja, dokumen Konsili-konsili awal (Nicea I, Efesus, Konstantinopel I, Kalkedon), dokumen resmi Gereja, dan sumber teologi kredibel dari literatur teologi resmi. Argumen Protestan akan dianalisis secara kritis, dengan tanggapan yang berpijak pada Tradisi Suci dan Magisterium Gereja.

1. Dogma Keibuan Ilahi Maria (Theotokos)

Argumen Protestan dan Ayat yang Digunakan
Kalangan Protestan, terutama dari tradisi Reformed dan Evangelikal, menolak dogma Keibuan Ilahi Maria, yang menyatakan bahwa Maria adalah Bunda Allah (Theotokos). Mereka berargumen bahwa Maria hanya melahirkan Yesus dalam kemanusiaan-Nya, bukan keilahian-Nya, sehingga istilah “Bunda Allah” dianggap berlebihan. Ayat-ayat yang sering digunakan meliputi:
- Markus 6:3 (TB): “Bukankah Ia tukang kayu, anak Maria, dan saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada di sini bersama kita?” Ayat ini digunakan untuk menegaskan bahwa Maria adalah ibu biasa dengan anak-anak lain, sehingga tidak memiliki status istimewa. Istilah “saudara-saudara” sering diinterpretasikan secara harfiah sebagai anak kandung Maria.
- Lukas 1:43 (TB): “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku mengunjungi aku?” Meskipun ayat ini menyebut Maria sebagai “ibu Tuhan,” beberapa Protestan menafsirkan bahwa Elisabet hanya mengakui Maria sebagai ibu Yesus dalam kemanusiaan-Nya.

Tanggapan Katolik
Dogma Keibuan Ilahi Maria ditegaskan pada Konsili Efesus (431 M) untuk menangkal ajaran sesat Nestorius, yang memisahkan natur ilahi dan manusiawi Yesus. Konsili ini menyatakan:
“Jika seseorang tidak mengaku bahwa Emmanuel adalah Allah yang sejati, dan bahwa karena itu Perawan Suci adalah Bunda Allah (Theotokos), karena ia melahirkan dalam daging Sabda Allah yang menjadi daging… biarlah ia dikutuk” (Denzinger, Enchiridion Symbolorum, no. 252).

Konsili Nicea I (325 M) menetapkan dasar kristologi dengan mengakui Yesus sebagai “Allah sejati dari Allah sejati” (Credo Nicea), yang mendukung pengakuan Maria sebagai Theotokos, karena ia melahirkan Pribadi Yesus yang esa dalam dua natur. Konsili Konstantinopel I (381 M) memperkuat hal ini dengan menegaskan inkarnasi Sabda “dari Roh Kudus dan Perawan Maria” (Credo Nicea-Konstantinopel). Konsili Kalkedon (451 M) menyatakan bahwa Yesus adalah “satu Pribadi dalam dua natur,” sehingga Maria, sebagai ibu Pribadi Yesus, adalah Theotokos (Acta Conciliorum Oecumenicorum, II, 1, 1, 129).

Dasar Kitab Suci:
- Lukas 1:35 (TB): “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” Ayat ini menegaskan bahwa Yesus, yang dikandung Maria, adalah Anak Allah dengan dua natur dalam satu Pribadi, sehingga Maria adalah Bunda Allah.
- Galatia 4:4 (TB): “Tetapi ketika genaplah waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan.” Ayat ini menghubungkan Maria dengan kelahiran Anak Allah, menegaskan perannya dalam inkarnasi.

Ajaran Bapa-Bapa Gereja:
- Santo Kiril dari Aleksandria, dalam Surat Kedua kepada Nestorius (430 M), menegaskan: “Kami mengaku bahwa Sabda Allah, yang lahir dari Bapa sebelum segala abad, telah menjadi daging dari Perawan Maria, sehingga ia sungguh-sungguh disebut Bunda Allah” (Acta Conciliorum Oecumenicorum, I, 1, 1, 25-28).
- Santo Ignasius dari Antiokhia (abad ke-2) menyebut Maria sebagai ibu dari “Yesus Kristus, Allah kita” (Surat kepada Jemaat Efesus, 7:2, dalam Patrologia Graeca, 5).

Dokumen Resmi Gereja:
- Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 495 menyatakan: “Disebut dalam Injil ‘ibu Yesus,’ Maria diakui sebagai Bunda Allah karena Puteranya, Yesus, adalah Sabda yang menjadi daging, yang esa dengan Allah Bapa dan Roh Kudus dalam keesaan zat ilahi.”
- Lumen Gentium (no. 53) menyebut Maria sebagai “Bunda Allah” (Mater Dei), mengaitkan perannya dengan karya penebusan Kristus.

Tanggapan terhadap Argumen Protestan:
Penafsiran Markus 6:3 (TB) yang menganggap “saudara-saudara” Yesus sebagai anak kandung Maria mengabaikan konteks budaya Yahudi, di mana “saudara” (akh) dapat merujuk pada kerabat dekat (Kejadian 13:8). Protoevangelium Yakobus (abad ke-2) mencerminkan tradisi awal bahwa “saudara-saudara” ini adalah anak Yusuf dari pernikahan sebelumnya atau kerabat. Lukas 1:43 mendukung dogma, karena Elisabet menyebut Maria “ibu Tuhanku” (Kyrios), istilah yang merujuk pada Allah dalam Septuaginta. Jurnal Communio (2024, “Theotokos in Ecumenical Perspective”) menegaskan bahwa Theotokos adalah pengakuan teologis atas inkarnasi, dan penolakannya berisiko mengarah pada kristologi Nestorian.

2. Dogma Keperawanan Abadi Maria

Argumen Protestan dan Ayat yang Digunakan
Protestan menolak dogma Keperawanan Abadi Maria, yang menyatakan bahwa Maria tetap perawan sebelum, selama, dan sesudah kelahiran Yesus. Ayat-ayat yang digunakan meliputi:
- Matius 1:25 (TB): “Tetapi ia tidak bersetubuh dengan Maria sampai ia melahirkan anaknya laki-laki.” Kata “sampai” (heos) diinterpretasikan sebagai bukti bahwa Yusuf dan Maria menjalin hubungan suami-istri setelah kelahiran Yesus.
- Markus 6:3 (TB): Disebut kembali untuk menegaskan bahwa “saudara-saudara” Yesus adalah anak kandung Maria.

Tanggapan Katolik
Dogma ini ditegaskan pada Konsili Lateran Kelima (649 M):
“Maria tetap perawan dalam mengandung Anaknya, dalam melahirkan Anaknya, dan setelah kelahiran Anaknya” (Denzinger, Enchiridion Symbolorum, no. 503).

Konsili Konstantinopel I (381 M) secara implisit mendukung dogma ini dengan menegaskan inkarnasi Sabda “dari Roh Kudus dan Perawan Maria” (Credo Nicea-Konstantinopel), menekankan kesucian Maria sebagai wadah ilahi. Konsili Kalkedon (451 M) memperkuat hal ini dengan menegaskan kesatuan natur Yesus, yang menegaskan kesucian Maria sebagai ibunya.

Dasar Kitab Suci:
- Lukas 1:34 (TB): “Kata Maria kepada malaikat itu: ‘Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?’” Pertanyaan Maria menunjukkan niatnya untuk tetap perawan, karena dalam budaya Yahudi, pertunangan mengimplikasikan hubungan suami-istri setelah pernikahan.
- Yehezkiel 44:2 (TB): “Pintu gerbang ini harus tetap tertutup, tidak boleh dibuka, dan tidak boleh ada orang yang masuk melalui pintu itu, sebab TUHAN, Allah Israel, telah masuk melalui pintu itu.” Bapa-Bapa Gereja seperti Santo Ambrosius menginterpretasikan “pintu gerbang” sebagai lambang rahim Maria yang tetap suci (De Institutione Virginis, 8.52).

Ajaran Bapa-Bapa Gereja:
- Santo Hieronimus, dalam Melawan Helvidius (383 M), menulis: “Kata ‘sampai’ dalam Matius 1:25 tidak menyiratkan hubungan suami-istri setelah kelahiran Yesus, sebagaimana ‘sampai aku duduk di sebelah kanan Bapa’ (Mazmur 110:1) tidak berarti Allah berhenti memerintah” (Patrologia Latina, 23).
- Santo Agustinus menegaskan: “Maria tetap perawan dalam pikiran, tubuh, dan kehendaknya” (Sermo 186, 1, dalam Patrologia Latina, 38).

Dokumen Resmi Gereja:
- KGK no. 499 menyatakan: “Iman Gereja menegaskan bahwa keperawanan Maria tetap utuh sebelum, selama, dan sesudah kelahiran Yesus, karena ia dipilih secara khusus oleh Allah untuk menjadi ibu Anak-Nya.”
- Lumen Gentium (no. 57) menegaskan keperawanan Maria sebagai tanda keterbukaannya pada kehendak Allah.

Tanggapan terhadap Argumen Protestan:
Penafsiran “sampai” (heos) pada Matius 1:25 tidak konsisten dengan penggunaan kata ini dalam Alkitab (misalnya, 2 Samuel 6:23). Tradisi Katolik memahami ayat ini sebagai penegasan keperawanan Maria selama kelahiran Yesus. Mengenai “saudara-saudara” Yesus, argumen telah dibahas pada dogma pertama. Buku Mary in the Mystery of the Covenant (2024) oleh Ignace de la Potterie menegaskan bahwa keperawanan Maria adalah tanda teologis dari kesucian dan ketaatannya.

3. Dogma Dikandung Tanpa Noda

Argumen Protestan dan Ayat yang Digunakan
Dogma Dikandung Tanpa Noda, yang menyatakan bahwa Maria bebas dari dosa asal sejak dikandung, ditolak karena dianggap bertentangan dengan sifat universal dosa manusia. Ayat-ayat yang digunakan meliputi:
- Roma 3:23 (TB): “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Ayat ini dianggap menunjukkan bahwa Maria, sebagai manusia, tidak mungkin bebas dari dosa asal.
- Lukas 1:47 (TB): “Dan jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku.” Kata “Juruselamat” diinterpretasikan sebagai bukti bahwa Maria membutuhkan keselamatan dari dosa.

Tanggapan Katolik
Dogma ini didefinisikan oleh Paus Pius IX dalam Ineffabilis Deus (1854):
“Perawan Maria, sejak saat dikandungnya, melalui rahmat dan keistimewaan khusus dari Allah Yang Mahakuasa, demi jasa Yesus Kristus, Juruselamat umat manusia, dilindungi dari segala noda dosa asal” (Denzinger, Enchiridion Symbolorum, no. 2803).

Konsili Nicea I (325 M) dan Kalkedon (451 M) secara tidak langsung mendukung dogma ini dengan menegaskan kesucian inkarnasi, yang membutuhkan wadah yang murni, yaitu Maria.

Dasar Kitab Suci:
- Lukas 1:28 (TB): “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Kata kecharitomene menunjukkan bahwa Maria telah dipenuhi rahmat secara sempurna, menandakan pembebasan dari dosa asal (Santo Ambrosius, De Mysteriis, 3.13).
- Kejadian 3:15 (TB): “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu.” Ayat ini dipahami sebagai nubuat tentang Maria sebagai “perempuan” yang bebas dari kuasa dosa.

Ajaran Bapa-Bapa Gereja:
- Santo Efrem dari Suriah (abad ke-4) menulis: “Maria adalah suci dan murni, bebas dari segala noda, karena ia dipilih untuk menjadi ibu Sabda yang kudus” (Carmina Nisibena, 27, dalam Corpus Scriptorum Christianorum Orientalium, 219).
- Santo Agustinus menyatakan: “Kecuali Perawan Maria, semua manusia berada di bawah dosa asal” (De Natura et Gratia, 36, dalam Patrologia Latina, 44).

Dokumen Resmi Gereja:
- KGK no. 491 menjelaskan: “Melalui rahmat khusus dari Allah, Maria tetap bebas dari dosa pribadi dan dosa asal sepanjang hidupnya, sehingga ia dapat menjadi ibu yang layak bagi Anak Allah.”
- Ensiklik Redemptoris Mater (1987) menegaskan bahwa Maria dijaga dari dosa asal demi perannya dalam keselamatan.

Tanggapan terhadap Argumen Protestan:
Roma 3:23 berbicara secara umum, tetapi tidak mengecualikan pengecualian ilahi, seperti Yesus dan Maria melalui rahmat preventif. Lukas 1:47 tidak bertentangan dengan dogma, karena Maria diselamatkan secara preventif. Jurnal Theological Studies (2024, “Immaculate Conception: Revisiting the Doctrine”) menegaskan bahwa dogma ini berakar pada tradisi liturgi Timur dan Barat sejak abad ke-7.

4. Dogma Pengangkatan Maria ke Surga

Argumen Protestan dan Ayat yang Digunakan
Dogma Pengangkatan Maria, yang menyatakan bahwa Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan raga, ditolak karena dianggap tidak memiliki dasar Alkitab. Ayat-ayat yang digunakan meliputi:
- Ibrani 9:27 (TB): “Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk

mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi.” Ayat ini dianggap menunjukkan bahwa semua manusia, termasuk Maria, harus mati.
- 1 Korintus 15:22-23 (TB): “Karena sama seperti semua orang mati dalam Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan dalam Kristus, tetapi masing-masing menurut urutannya.” Ayat ini diinterpretasikan bahwa kebangkitan hanya terjadi pada kedatangan Kristus kedua.

Tanggapan Katolik
Dogma ini didefinisikan oleh Paus Pius XII dalam Munificentissimus Deus (1950):
“Perawan Maria yang Tak Bernoda, setelah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, diangkat dengan jiwa dan raga ke dalam kemuliaan surgawi” (Denzinger, Enchiridion Symbolorum, no. 3903).

Konsili Kalkedon (451 M) mendukung secara implisit dengan menegaskan kesatuan natur Yesus, yang mengimplikasikan kesucian Maria sebagai ibunya, layak untuk kemuliaan surgawi.

Dasar Kitab Suci:
- Wahyu 12:1 (TB): “Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: seorang perempuan yang berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.” Ayat ini dipahami sebagai gambaran Maria yang dimuliakan di surga.
- Mazmur 132:8 (TB): “Bangkitlah, ya TUHAN, masuklah ke tempat perhentian-Mu, Engkau dan tabut kekuatan-Mu.” Tabut Perjanjian diinterpretasikan sebagai Maria, yang diangkat ke surga sebagai “tabut” Sabda Allah.

Ajaran Bapa-Bapa Gereja:
- Santo Yohanes Damaskus (abad ke-8) menulis: “Adalah pantas bahwa ia yang melahirkan Allah dalam daging diangkat ke surga, agar ia tidak dipisahkan dari Puteranya” (Homili tentang Asumsi, 2, dalam Patrologia Graeca, 96).
- Santo Germanus dari Konstantinopel menyatakan: “Tubuhmu yang suci tidak dapat melihat kerusakan, karena engkau telah melahirkan Allah” (In Dormitionem, 1, dalam Patrologia Graeca, 98).

Dokumen Resmi Gereja:
- KGK no. 966 menyatakan: “Pengangkatan Maria adalah partisipasi istimewa dalam kebangkitan Puteranya dan antisipasi kebangkitan umat beriman lainnya.”
- Lumen Gentium (no. 59) menegaskan bahwa Maria diangkat ke surga sebagai “tanda harapan dan penghiburan bagi umat Allah yang berziarah.”

Tanggapan terhadap Argumen Protestan:
Ibrani 9:27 menggambarkan aturan umum, tetapi tidak mengecualikan pengecualian ilahi, seperti Henokh (Kejadian 5:24) dan Elia (2 Raja-raja 2:11). 1 Korintus 15:22-23 tidak menyangkal rahmat istimewa kepada Maria. Tradisi liturgi Dormitio Mariae sejak abad ke-4 mencerminkan keyakinan akan pengangkatan Maria. Buku The Assumption of Mary (2024) oleh Matthew Levering mendokumentasikan tradisi awal ini dalam homili-homili abad ke-6.

Kesimpulan

Keempat dogma Maria berakar pada Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja, didukung oleh Konsili-konsili awal seperti Nicea I (325 M), Efesus (431 M), Konstantinopel I (381 M), dan Kalkedon (451 M). Argumen Protestan sering kali mengandalkan penafsiran harfiah yang mengabaikan konteks budaya, historis, dan teologis. Ayat-ayat seperti Lukas 1:28, Lukas 1:35, dan Wahyu 12:1, didukung oleh ajaran Bapa-Bapa Gereja, dokumen Konsili, Ineffabilis Deus (1854), Munificentissimus Deus (1950), dan Lumen Gentium (1964), menegaskan peran istimewa Maria. Penghormatan kepada Maria adalah pengakuan atas rahmat Allah yang bekerja melalui dirinya dalam rencana keselamatan.2

Prinsip Eodem Sensu Eademque Sententia dalam Ajaran Gereja Katolik: Makna, Asal-Usul, dan Relevansi

Pendahuluan

Prinsip eodem sensu eademque sententia, yang berarti “dalam pengertian yang sama dan dengan maksud yang sama,” merupakan pedoman teologis fundamental dalam Gereja Katolik untuk menjaga kesinambungan makna dan intensi ajaran iman sepanjang waktu. Prinsip ini memastikan bahwa perkembangan doktrin, meskipun disesuaikan dengan konteks historis dan budaya, tidak mengubah substansi kebenaran iman yang terkandung dalam depositum fidei (warisan iman) yang diwahyukan oleh Allah melalui Kristus dan para Rasul. Prinsip ini diterapkan oleh Magisterium Gereja, yaitu otoritas pengajaran Paus dan para uskup dalam persekutuan dengannya, untuk menjamin otentisitas ajaran Gereja.

1. Asal-Usul dan Dasar Teologis

1.1. Akar Historis
Prinsip eodem sensu eademque sententia berasal dari teolog abad ke-5, Vincentius dari Lérins, dalam karyanya Commonitorium. Vincentius merumuskan bahwa perkembangan doktrin harus terjadi “dalam dogma yang sama, makna yang sama, dan penilaian yang sama” (in eodem dogmate, eodem sensu, eademque sententia) (Denzinger, 2012, no. 3020). Ia menggunakan analogi organik, membandingkan perkembangan doktrin dengan pertumbuhan tubuh manusia yang tetap mempertahankan identitasnya meskipun berkembang. Vincentius juga menegaskan bahwa ajaran Gereja harus sesuai dengan apa yang “diyakini di mana-mana, selalu, dan oleh semua” (quod ubique, quod semper, quod ab omnibus creditum est), sebagai pedoman untuk membedakan ajaran ortodoks dari ajaran sesat (Denzinger, 2012, no. 3020).

Prinsip ini secara eksplisit diadopsi dalam Konsili Vatikan I (1869–1870) melalui konstitusi dogmatis Dei Filius, yang menegaskan pentingnya menjaga makna asli ajaran iman dalam perkembangannya.

1.2. Penguatan dalam Dokumen Resmi Gereja
Prinsip eodem sensu eademque sententia telah ditegaskan dalam dokumen magisterial resmi Gereja, sebagaimana diterjemahkan oleh KWI:
- Konsili Vatikan I (Dei Filius, 1870): Dalam terjemahan KWI, dokumen ini menyatakan, “Kebenaran iman yang diwahyukan oleh Allah tidak boleh diubah, tetapi dapat dikembangkan dalam pemahaman yang lebih mendalam, dengan tetap mempertahankan makna dan penilaian yang sama” (Konferensi Waligereja Indonesia, 2005a, Dokumen Konsili Vatikan I, hlm. 45).
- Paus Pius IX (Ineffabilis Deus, 1854): Dalam mendefinisikan dogma Imakulata Konsepsi, Paus Pius IX menegaskan bahwa dogma ini bukan inovasi, melainkan pengakuan resmi atas kebenaran yang telah diyakini dalam Tradisi Gereja. Dalam terjemahan KWI, dokumen ini menyatakan, “Kami menyatakan, menetapkan, dan mendefinisikan bahwa ajaran tentang Imakulata Konsepsi adalah kebenaran yang berasal dari wahyu ilahi dan telah diyakini oleh Gereja sejak awal” (Konferensi Waligereja Indonesia, 2005b, Dokumen Apostolik, hlm. 23).
- Konsili Vatikan II (Gaudium et Spes, 1965): Dokumen ini menegaskan bahwa ajaran Gereja harus disampaikan dengan cara yang relevan dengan zaman modern, tetapi tanpa mengubah substansi kebenarannya. Dalam terjemahan KWI, Gaudium et Spes menyatakan, “Gereja harus menyampaikan kebenaran iman dengan bahasa yang dimengerti oleh manusia zaman ini, namun tetap setia pada makna aslinya” (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996, Dokumen Konsili Vatikan II, no. 62, hlm. 162).
- Katekismus Gereja Katolik (1992): Dalam terjemahan resmi KWI, Katekismus menegaskan bahwa Tradisi Suci dan Kitab Suci harus ditafsirkan dalam terang Magisterium untuk menjaga kesinambungan makna. Katekismus menyatakan, “Tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan satu depositum suci Sabda Allah, yang dipercayakan kepada Gereja. Penafsiran otentik depositum ini hanya dapat dilakukan oleh Magisterium Gereja” (Konferensi Waligereja Indonesia, 2000, Katekismus Gereja Katolik, no. 85, hlm. 34).
- Paus Benediktus XVI (Pidato kepada Kuria Roma, 22 Desember 2005): Dalam pidato yang diterjemahkan oleh KWI, Paus Benediktus XVI memperkenalkan konsep “hermeneutik kesinambungan” untuk menafsirkan Konsili Vatikan II. Ia menyatakan, “Konsili Vatikan II harus dibaca dalam kesinambungan dengan Tradisi Gereja, bukan sebagai pemutusan atau diskontinuitas” (Konferensi Waligereja Indonesia, 2006, Dokumen Apostolik Paus Benediktus XVI, hlm. 12).

1.3. Dasar Alkitabiah
Prinsip ini memiliki akar dalam Kitab Suci, khususnya dalam 1 Korintus 1:10, yang dalam Alkitab Terjemahan Baru (TB) LAI edisi 2018 berbunyi, “Saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus aku menasihati kamu supaya kamu semua seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi supaya kamu erat bersatu dalam pikiran dan pendapat yang sama” (Lembaga Alkitab Indonesia, 2018, Alkitab Terjemahan Baru, hlm. 254).
Dalam Vulgata Latin, frasa ini menggunakan eodem sensu eademque sententia, mencerminkan panggilan untuk kesatuan iman dalam pengajaran Gereja.

2. Makna dan Tujuan Prinsip

Prinsip eodem sensu eademque sententia bertujuan untuk menjaga otentisitas dan kesinambungan ajaran Gereja dalam menghadapi perkembangan doktrin. Menurut John Henry Newman, perkembangan doktrin adalah proses organik di mana kebenaran iman menjadi lebih jelas tanpa mengubah substansinya. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, Newman menulis, “Perkembangan
doktrin adalah seperti benih yang tumbuh menjadi pohon, tetap mempertahankan identitas intinya meskipun mengalami pertumbuhan” (Newman, 2008, Esai tentang Perkembangan Doktrin Kristen, hlm. 175).

Prinsip ini memastikan bahwa:
- Ajaran Gereja tetap setia pada depositum fidei, yaitu kebenaran iman yang diwahyukan melalui Tradisi Suci dan Kitab Suci.
- Perkembangan doktrin bersifat organik, bukan revolusioner, sehingga tidak menciptakan ajaran baru yang bertentangan dengan Tradisi.
- Penafsiran dokumen Gereja atau Kitab Suci dilakukan dalam terang Magisterium untuk menghindari penafsiran yang keliru.

3. Penerapan dalam Praktik

Prinsip eodem sensu eademque sententia memiliki implikasi praktis dalam berbagai aspek kehidupan Gereja:
3.1. Penafsiran Dokumen Gereja
Dokumen magisterial, seperti ensiklik atau konstitusi konsili, harus ditafsirkan sesuai dengan maksud asli otoritas Gereja. Misalnya, Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II harus dibaca dalam konteks Tradisi Gereja. Dalam terjemahan KWI, Katekismus Gereja Katolik menegaskan, “Penafsiran otentik dari Sabda Allah, baik dalam bentuk tertulis (Kitab Suci) maupun yang diwariskan (Tradisi), dipercayakan kepada Magisterium Gereja” (Konferensi Waligereja Indonesia, 2000, Katekismus Gereja Katolik, no. 85, hlm. 34).

3.2. Konsistensi dalam Pengajaran
Prinsip ini memastikan bahwa ajaran tentang iman dan moral tetap konsisten. Sebagai contoh, ensiklik Humanae Vitae (1968) oleh Paus Paulus VI menegaskan larangan kontrasepsi, yang konsisten dengan ajaran moral Gereja. Dalam terjemahan KWI, dokumen ini menyatakan, “Pengaturan kelahiran yang bertentangan dengan hukum moral tidak dapat dibenarkan, karena hukum ini berasal dari Allah sendiri” (Konferensi Waligereja Indonesia, 2005b, Dokumen Apostolik, hlm. 78).

3.3. Menanggapi Tantangan Modern
Dalam isu-isu seperti bioetika atau pernikahan sesama jenis, Gereja menggunakan prinsip ini untuk merumuskan tanggapan yang relevan tanpa menyimpang dari kebenaran iman. Dalam Amoris Laetitia, Paus Fransiskus menegaskan kebenaran tentang pernikahan sambil menawarkan pendekatan pastoral. Dalam terjemahan KWI, ia menyatakan, “Pernikahan Kristen adalah cerminan persatuan antara Kristus dan Gereja-Nya, yang tidak dapat diubah oleh konteks zaman” (Konferensi Waligereja Indonesia, 2016, Amoris Laetitia, no. 292, hlm. 220).

4. Tantangan dalam Penerapan

Penerapan prinsip eodem sensu eademque sententia menghadapi sejumlah tantangan:
- Penafsiran yang Berbeda: Beberapa kelompok tradisionalis berpendapat bahwa Konsili Vatikan II, khususnya dokumen seperti Dignitatis Humanae tentang kebebasan beragama, menyimpang dari Tradisi. Namun, Magisterium menegaskan bahwa dokumen ini harus ditafsirkan dalam kesinambungan dengan Tradisi (Konferensi Waligereja Indonesia, 2006, Dokumen Apostolik Paus Benediktus XVI, hlm. 12).
- Perubahan Bahasa dan Konteks Budaya: Perubahan bahasa dan budaya dapat membuat ajaran tampak berbeda, meskipun substansinya sama, sehingga memerlukan katekese yang cermat.
- Resistensi terhadap Perkembangan: Sebagian umat menolak perkembangan doktrin karena menganggapnya sebagai perubahan. Newman menanggapi, “Menolak perkembangan doktrin berarti menolak sifat hidup Gereja sebagai organisme yang bertumbuh” (Newman, 2008, Esai tentang Perkembangan Doktrin Kristen, hlm. 177).

5. Relevansi dalam Konteks Modern

Dalam era globalisasi dan pluralisme, prinsip eodem sensu eademque sententia sangat relevan untuk menjaga identitas Katolik di tengah tantangan seperti relativisme moral. Paus Fransiskus, dalam Evangelii Gaudium, menegaskan bahwa Gereja harus relevan dengan zaman tanpa mengorbankan kebenaran iman. Dalam terjemahan KWI, ia menyatakan, “Gereja harus membawa Injil kepada dunia dengan bahasa yang relevan, tetapi tanpa mengorbankan inti kebenaran iman” (Konferensi Waligereja Indonesia, 2013, Evangelii Gaudium, no. 41, hlm. 35).

Prinsip ini juga relevan dalam sinode-sinode terbaru, seperti Sinode tentang Keluarga (2014–2015) dan Sinode tentang Amazon (2019), yang berusaha merumuskan ajaran dengan cara yang relevan secara lokal tanpa menyimpang dari kebenaran universal. Dalam Querida Amazonia (2020), Paus Fransiskus menegaskan pentingnya menjaga Tradisi Gereja sambil menanggapi kebutuhan lokal: “Gereja harus menghormati kekayaan budaya setempat, tetapi tetap setia pada kebenaran iman yang universal” (Konferensi Waligereja Indonesia, 2020, Querida Amazonia, no. 36, hlm. 28).

6. Contoh Praktis

- Dogma Imakulata Konsepsi (1854): Didefinisikan oleh Paus Pius IX, dogma ini adalah pengakuan resmi atas kebenaran yang telah diyakini dalam Tradisi (Konferensi Waligereja Indonesia, 2005b, Dokumen Apostolik, hlm. 23).
- Kebebasan Beragama (Dignitatis Humanae, 1965): Dokumen ini konsisten dengan prinsip martabat manusia, meskipun dirumuskan dengan bahasa modern (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996, Dokumen Konsili Vatikan II, no. 2, hlm. 230).
- Ajaran tentang Ekaristi: Konsili Vatikan II menegaskan kembali kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi, sesuai dengan ajaran Konsili Trente, tetapi dengan bahasa pastoral (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996, Dokumen Konsili Vatikan II, no. 7, hlm. 120).

7. Kesimpulan

Prinsip eodem sensu eademque sententia adalah landasan teologis yang memastikan kesinambungan dan otentisitas ajaran Gereja Katolik. Prinsip ini memungkinkan Gereja untuk mengembangkan doktrin secara organik, menyesuaikan ekspresi ajarannya dengan konteks zaman tanpa mengubah substansi kebenaran iman. Dalam konteks modern, prinsip ini relevan untuk menjaga identitas Katolik sambil menjawab tantangan budaya dan teologis. Dengan bimbingan Magisterium, prinsip ini memastikan bahwa Gereja tetap setia pada misinya sebagai penjaga depositum fidei.3

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya