LIVE DKC [88-2025] KAMIS, 17 JULI 2025 PUKUL 19:00 WIB: APA YANG SALAH DENGAN ROMO @patris_allegro???
Membela Sang Gembala Apologet Kita dari Gempuran Para Serigala Relativisme & Ular-Ular Indiferentisme
By Ecclesia Romana – Tim DKC
A. PENGANTAR
Dalam kesempatan kali ini, kami TIM DKC hendak melakukan apologetika terhadap posisi / legal standing dari gembala kita yakni, Romo Patris Allegro. Secara lebih tepatnya pembelaan sistematis kami terhadap 2 statement Romo berikut di dalam videonya yakni:
- Statement 1: https://www.youtube.com/watch?v=fRj2kGp5xBE\&t=153s menit ke: 0:29 - 01:20.
- Statement 2 : https://www.youtube.com/watch?v=fRj2kGp5xBE\&t=153s menit ke: 02:31- 02:41.
Jika kita melihat dan menonton video Romo Patris tersebut, amat terlihat bahwa baik dari judul maupun isi/substansi pemaparan video, beliau sedang menanggapi pihak-pihak yang beliau istilahkan sebagai “Para Pembenci”. Nah, mereka inilah yang akan kami sapah dengan kasih sepanjang video ini dengan sebutan ‘para serigala relativisme dan ular-ular indiferentisme’. Hal mana, jika Bapak/ Ibu hendak mendalami apa itu relativisme dan indiferentisme silahkan menyaksikan 2 video berikut:
Maka seluruh isi dari pemaparan kami malam ini, ialah berfokus pada 2 Topik Sentral berikut: “Pembenaran Penyebutan Protestan sebagai Bidat” dan “Pembuktian Akan Konsistensi KV II Terhadap Iman dan Tradisional dan Apologetika”.
Namun sebelum masuk pada bagian pokok pembahasan yakni 2 Topik Sentral tersebut, pada bagian pengantar ini kami akan langsung pula menunjukkan kutipan-kutipan Magisterial Latin yang otoritatif yang mendasari standing position Romo Patris, sehingga beliau itu kokoh dan tak dapat dikritisi oleh para serigala relativis dan ular-ular indiferentis:
- KEWAJIBAN ANGGOTA GEREJA KATOLIK DALAM MENJAGA, MEMBELA, dan MEWARTAKAN IMAN KATOLIK sekaligus ‘MENCELAH AJARAN BIDAH YANG TELAH DI ANATHEMA’:
Paus Leo XIII, Sapientiae Christianae #14, 10 Januari 1890: “St. Thomas menyatakan: ‘Setiap orang memiliki kewajiban untuk memperlihatkan imannya, baik dengan mengajarkan dan mendorong para umat beriman lainnya, maupun dengan menghalau serangan-serangan dari orang-orang yang tak beriman.’ Seseorang yang berkecut hati di depan seorang musuh, atau yang tetap diam sewaktu kegaduhan-kegaduhan semacam itu bangkit dari segala sisi untuk melawan kebenaran, tergolong seorang manusia yang tidak memiliki karakter atau yang meragukan kebenaran akan hal yang diakui dipercayainya.”
Paus Gregorius XVI, Mirari Vos (#13), 15 Agustus 1832: “Sebab sang Rasul telah memberi teguran bahwa ‘hanya ada satu Tuhan, satu iman, satu pembaptisan’ (Efesus 4:5); maka,semoga mereka menjadi takut, yakni, orang-orang yang membuat-buat gagasan bahwa dermaga keselamatan terbuka kepada orang-orang yang menganut agama apa pun. Hendaknya mereka sungguh-sungguh merenungkan kesaksian sang Juru Selamat sendiri, bahwa ‘barangsiapa tidak bersama Kristus, ia melawan Kristus’ (Lukas 11:23) dan barangsiapa tidak memanen bersama-Nya akan tercerai-berai dengan tidak bahagia. Dan itulah sebabnya, ‘jikalau mereka tidak menjaga iman Katolik utuh dan murni, tidak diragukan bahwa mereka akan binasa selamanya. (Syahadat Atanasius).”
- KEWAJIBAN ANGGOTA GEREJA KATOLIK UNTUK MENGIMANI BAHWA PROTESTANTISME MEMANGLAH SUATU BIDAH TERKUTUK:
Paus Pius XI, Rerum omnium perturbationem (#4), 26 Januari 1923: “Orang kudus itu tidak lain dari Fransiskus de Sales … ia tampaknya telah secara khusus diutus oleh Allah untuk memerangi bidah-bidah yang terlahir dari
Reformasi [Protestan]. Di dalam bidah-bidah inilah kita mendapati asal-muasal kemurtadan umat manusia dari Gereja. Dampak-dampak yang menyedihkan dan mematikan dari kemurtadan ini sungguh diratapi, bahkan sampai masa ini, oleh semua orang yang berpikir dengan objektif.”1
Paus Yulius III, Konsili Trente, Sesi 13, Kanon 1 tentang Ekaristi, ex cathedra: “Barangsiapa menyangkal bahwa di dalam sakramen Ekaristi yang Mahakudus, terkandung secara nyata, riil, dan substansial Tubuh dan Darah bersama dengan jiwa dan keilahian Tuhan kita Yesus Kristus, dan oleh karena itu Kristus sepenuhnya, tetapi berkata bahwa Ia berada di dalamnya sebagai suatu tanda atau lambang atau kekuatan, terkutuklah dia.”2
Paus Yulius III, Konsili Trente, Sesi 14, Kanon 13 tentang Sakramen Tobat, ex cathedra: “Barangsiapa berkata bahwa kata-kata dari sang Juru Selamat: ‘Terimalah Roh Kudus; barangsiapa kauampuni dosanya, dosanya diampuni; dan barangsiapa dosanya kaunyatakan tetap ada, dosanya tetap ada’ (Yohanes 20:22ff), tidak harus dimengerti sebagai kekuatan untuk mengampuni dan mempertahankan dosa-dosa di dalam sakramen tobat … terkutuklah dia.”3
Paus Yulius III, Konsili Trente, Sesi 14, tentang Sakramen Pengurapan Terakhir dan Tobat: “Inilah hal-hal yang diakui dan diajarkan oleh sinode ekumenis yang kudus ini tentang sakramen tobat dan sakramen pengurapan terakhir, dan ia [sinode ini] menetapkan hal-hal tersebut untuk dipercayai dan dipegang oleh semua umat beriman Kristus. Di samping itu, ia [sinode ini] berkata bahwa kanon-kanon berikut, harus ditaati secara utuh, dan ia [sinode ini] mengutuk dan menganatemakan untuk selamanya orang-orang yang menyatakan hal yang bertentangan.”4
Paus Paulus III, Konsili Trente, Sesi 6, Bab 16, ex cathedra: “Setelah mendedahkan doktrin Katolik tentang pembenaran – yang – barangsiapa tidak menerimanya dengan setia dan teguh, ia tidak dapat dibenarkan – Sinode kudus ini menilai baik adanya untuk menambahkan kanon-kanon ini agar semua orang dapat mengetahui, bukan hanya apa yang harus mereka pegang dan ikuti, tetapi juga apa yang harus mereka elakkan dan hindari.”5
Paus Pius IX, Konsili Vatikan I, 1870, Sesi 4, Bab 3, ex cathedra: “ … semua umat beriman Kristus diwajibkan untuk percaya bahwa Takhta Suci apostolik dan Sri Paus Roma memiliki Keutamaan atas seluruh alam semesta, bahwa Sri Paus Roma yang sama adalah penerus Petrus yang terberkati, Pangeran para Rasul dan vikaris Kristus yang sejati, kepala segenap Gereja … Maka, Kami mengajarkan dan Kami mendefinisikan bahwa atas dasar suatu pengaturan ilahi, Gereja Roma memiliki keunggulan dalam kuasa pemerintahan atas semua Gereja yang lain … Demikianlah ajaran dari kebenaran Katolik, yang darinya, tidak seorang pun dapat menyimpang tanpa kehilangan iman dan keselamatan.”6
Sehingga bertolak dengan kutipan-kutipan magisterial Latin otentik kita di atas, kita akan membela statement Romo Patris bahwa “Bidah Protestan memanglah tepat dan obyektif disebut sebagai bidah, dan Konsili Vatikan II tetap meneruskan dogma tradisional Gereja Katolik.”
B. POKOK BAHASAN
B.1. “Pembenaran Penyebutan Protestan sebagai Bidat”
Statement 1: https://www.youtube.com/watch?v=fRj2kGp5xBE\&t=153s menit ke: 0:29 - 01:20.
Dalam kita membela dan mempertahankan statement Romo Patris ini, yakni “bidat layak disebut sebagai bidat” (dalam hal ini Protestantisme), kita akan membantah argument-argumen yang sering dijadikan dasar oleh para serigala relativis dan ular-ular indiferentis untuk melarang orang Katolik Sejati agar jangan menyebut para bidat protestan sebagai bidat. Dalam hemat kami, para para serigala relativis dan ular-ular indiferentis sering mendasarkan diri pada argumentasi dari situs katolisitas (yang adalah situs andalan kami juga TIM DKC), sebagai landasan terkuat bagi larangan penyebutan bidat terhadap para penganut Protestan. Lebih tepatnya ialah ulasan argumentasi situs katolisitas pada tema berikut: https://katolisitas.org/apakah-gereja-gereja-non-katolik-adalah-bidah-dan-skisma/
Ada 3 Poin besar yang sering ditarik dari argumentasi situs katolisitas di atas sebagai larangan menyebut bidat Protestan sebagai bidat. Maka kami akan tampilkan 3 poin utama yang sering dirujuk itu dan akan kami berikan tanggapan:
1). Berdasarkan KGK 2089 dan KHK 751, yang pada dasarnya mendefinisikan istilah ‘bidah’ sebagai penyangkalan atau keraguan atas suatu kebenaran yang harus diimani dengan sikap iman ilahi dan katolik sesudah penerimaan sakramen baptis, maka katolisitas menegaskan bahwa bidah (heresy) adalah dosa individual yang hanya dapat diterapkan pada seseorang dan bukan kelompok, yang telah atau sebelumnya pernah dibaptis secara Katolik.
Tim Katolisitas:
- “Oleh karena itu, saya pikir, baptisan sah di sini adalah baptisan yang dilakukan oleh Gereja Katolik”.
- ”Dari sini kita melihat bahwa walaupun umat Kristen dipersatukan dengan Sakramen Baptis, namun tidak semua menjadi bagian penuh dalam Tubuh Mistik Kristus (lihat pembahasan tentang Tubuh Mistik Kristus – silakan klik). Oleh karena itu baptisan yang sah (valid) yang dilakukan oleh gereja-gereja lain tidak menjadikan orang yang terbaptis menjadi anggota penuh dari Gereja Katolik. Oleh karena itu, agak sulit untuk mengaplikasikan bidah dan skismatik kepada mereka gereja-gereja lain, karena mereka memang tidak pernah masuk secara penuh dalam Gereja Katolik, yang menjadi kondisi untuk skisma dan bidah”.
Tanggapan kami: Terhadap argumentasi pertama dari Tim Katolisitas di atas yang mana kami sungguh hargai dan hormati, perlu pula kami tanggapi berdasarkan Iman Kekatolikan yang bertradisi Latin. Jika kita melihat inti dari argument mereka ialah kurang lebih seperti berikut: “Karena orang Protestan yang dibaptis secara sah, tidak pernah masuk secara penuh ke dalam Gereja Katolik, maka mereka TIDAK BISA disebut sebagai bidah menurut definisi KGK 2089 dan KHK 751, yang hanya berlaku bagi orang yang tergabung secara penuh dalam Gereja Katolik yang kemudian menyangkal”.
Nah, inti dari argument Tim Katolisitas ini hendak kami bantah dengan kasih dan berdasarkan magisterium Latin yang Kudus. Bahwa, Gereja Katolik telah selalu mengajarkan bahwa siapa pun (termasuk orang awam dan non-Katolik) dapat membaptis secara valid jika ia menggunakan materi dan formula yang valid dan jika ia memiliki intensi untuk melakukan apa yang dilakukan oleh Gereja. Paus Eugenius IV, Konsili Florence, Exultate Deo, 1439: “Tetapi di dalam kasus kebutuhan, bukan hanya seorang imam atau seorang diakon, tetapi bahkan seorang pria awam atau seorang wanita, bahkan seorang pagan dan seorang bidah, dapat membaptis dengan syarat bahwa ia menggunakan formula Gereja dan memiliki intensi untuk melakukan apa yang Gereja lakukan.”7
Sehingga, Gereja Roma telah selalu mengajarkan bahwa bayi-bayi yang dibaptis di dalam gereja-gereja bidah dan skismatis, sungguh-sungguh pula dijadikan Katolik, dibuat menjadi anggota Gereja, dan tunduk kepada Paus Roma. Bahkan jika orang-orang yang membaptis mereka adalah bidah yang berada di luar Gereja Katolik. Alasannya adalah bahwa bayi tersebut berada di bawah usia akal, dan oleh karena itu tidak dapat menjadi bidah atau skismatis. Bayi itu tidak dapat memiliki suatu impediment (halangan) yang dapat mencegah Pembaptisan untuk menjadikannya seorang anggota Gereja. Bahkan, berbeda dengan Analisa/pendapat yang disampaikan oleh Tim Katolisitas, Paus Paulus III, di dalam Konsili Trente, Sesi 7, Kanon 13 tentang Sakramen Pembaptisan, menegaskan: “Barangsiapa berkata bahwa bayi-bayi, karena mereka tidak memiliki iman yang nyata, setelah menerima pembaptisan tidak terhitung sebagai umat beriman … terkutuklah dia.”8
Hal ini berarti bahwa bayi-bayi yang telah dibaptis, di mana pun mereka berada, bahkan jika mereka dibaptis oleh gereja-gereja bidah non-Katolik oleh para pelayan yang sesat, dijadikan anggota Gereja Katolik:
Bahkan, secara lebih mendalam, ajaran Paus Leo XIII pun menegaskan bahwa lewat satu pembaptisan yang sah, bayi-bayi dibuat tunduk kepada Paus Roma: Paus Leo XIII, Nobilissima (#3), 8 Februari 1884: “Gereja, penjaga integritas Iman – yang, atas dasar otoritasnya, yang diembankan oleh Allah sang Pendirinya, harus memanggil segala bangsa kepada pengetahuan akan kebenaran Kristiani, dan menjaga dengan berhati-hati ajaran-ajaran yang diberikan kepada anak-anak yang ditempatkan di bawah otoritasnya melalui pembaptisan.”9
Maka, anak-anak sekalipun yakni bayi, ditempatkan di bawah kuasa Gereja melalui pembaptisan. Artinya dengan pembaptisan, mereka dijadikan tunduk kepada Paus Roma, karena Paus Roma memiliki otoritas tertinggi di dalam Gereja (Konsili Vatikan I, de fide). Hal ini membuktikan bahwa pembaptisan sebenarnya adalah unsur pertama yang menentukan bilamana seseorang tunduk kepada Paus Roma. Jika seseorang belum dibaptis, orang tersebut tidak dapat tunduk kepada Paus Roma, karena Gereja tidak melaksanakan penghakiman (yaitu yurisdiksi) di atas orang-orang yang belum memasuki Gereja melalui Sakramen Pembaptisan (de fide).
Lalu, kapankah bayi Katolik yang telah dibaptis ini menjadi seorang non-Katolik, yang oleh karena itu memotong keanggotaannya di dalam Gereja dan kepatuhannya kepada Paus Roma? Yakni, setelah bayi yang telah dibaptis itu mencapai usia akal. Sebagaimana menurut KHK Kan. 97 § 2 usia genap tujuh tahun diandaikan dapat menggunakan akal-budinya dan menurut Kan. 891 pada usia tersebut seseorang telah layak diberikan Sakramen Krisma, maka berlaku pula prinsip yang sama, seseorang yang dibaptis secara sah sewaktu ia di bawah usia tujuh tahun ia adalah seorang umat/warga Kekatolikan. Namun Ketika ia berusia 7 tahun, anak ini menjadi seorang bidah atau skismatis dan memotong keanggotaannya di dalam Gereja sekaligus memotong kepatuhannya terhadap Paus Roma.
Sebagaimana yang diajarkan seraya ditegaskan secara bulat oleh Paus Klemens VI di dalam, Super quibusdam, 20 September 1351: “ … Kami bertanya: pertama, bilamana anda dan Gereja orang-orang Armenia yang tunduk kepada anda, percaya bahwa semua orang yang di dalam pembaptisan telah menerima iman Katolik yang sama, dan yang sesudahnya telah menarik diri dan akan menarik diri di masa depan dari persekutuan Gereja Roma yang sama ini, satu-satu Gereja yang Katolik, adalah orang-orang skismatis dan bidah, jika mereka bersikeras untuk tetap terpisah dari iman Gereja Roma ini. Kami bertanya: kedua, bilamana anda dan orang-orang Armenia yang tunduk kepada anda, percaya bahwa tidak seorang pun yang mengembara di luar iman Gereja ini, dan di luar kepatuhan kepada Paus Roma, dapat diselamatkan pada akhirnya.”10
Maka berdasarkan ajaran para magisterium Latin kita dapat dikatakan bahwa pembaptisan yang dilakukan oleh siapa saja, asalkan memenuhi 3 syarat utama yakni: forma, materia, dan intensi yang sama dengan intensi Gereja, membuat baptisan itu sah, sekaligus membuat bayi yang menerimanya menjadi Katolik dan anggota di bawah naungan Uskup Roma. Dengan begitu, para protestan yang menerima baptisan yang sah, sewaktu mereka bayi mereka adalah para umat Katolik. Dan ketika mereka telah mencapai usia 7 tahun, saat telah bersikeras tetap terpisah dari Iman Gereja Roma dan oleh karena itu memotong keanggotaan mereka dari Gereja Kristus. Sama halnya dengan para “Ortodoks Timur” yang bersikeras menolak dogma Kepausan dan Infalibilitas Kepausan. Jadi, mereka dapat disebut sebagai BIDAT menurut definsi KGK 2089 dan KHK 751, karena mereka telah dimasukan sebagai anggota Gereja Katolik oleh karena pembaptisan, namun memotong keanggotaan mereka oleh penerimaan mereka terhadap protestantisme ketika tercapainya usia akal.
2). “Berdasarkan seruan dari Unitatis Redintegratio, 3 – “Tetapi mereka, yang sekarang lahir dan di besarkan dalam iman akan Kristus di jemaat-jemaat itu, tidak dapat dipersalahkan dan dianggap berdosa karena memisahkan diri”, maka katolisitas berpendapat bahwa orang-orang Protestan tidak bisa lagi dikatakan sebagai ‘BIDAT’.
Tim Katolisitas:
- “Kita harus juga membedakan antara orang-orang yang memang sebelumnya menjadi anggota gereja Katolik secara penuh – namun memisahkan diri atau menolak iman Katolik -, dan orang-orang yang dibesarkan beberapa generasi setelah skisma dan bidah. Untuk kategori pertama, yang memang sebelumnya berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik dan kemudian memisahkan diri dari Tubuh Mistik Kristus sebenarnya telah mengambil resiko kehilangan keselamatan, karena dengan sadar mereka telah memisahkan diri dan memutuskan untuk tidak mengikuti dogma yang seharusnya dipercaya dengan iman Ilahi dan Katolik. Namun perpecahan yang telah berabad-abad membuat umat Kristen yang terpisah dari Gereja Katolik tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan, karena mereka telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan non-Katolik dan tidak pernah masuk di dalam kawanan Gereja Katolik”.
- Jadi kesimpulannya, cukup sulit untuk mengaplikasikan kata skismatik dan bidat kepada anggota gereja Protestan dan gereja Ortodoks. Konsili Vatikan II menggunakan kata “kesatuan penuh” dan “tidak dalam kesatuan penuh.”
Tanggapan Kami:
Terhadap argumentasi kedua dari Tim Katolisitas di atas, bisa ditarik bahwa alasan lainnya agar jangan bidat Protestan disebut bidat, ialah karena adanya arahan dari UR 3 yang intinya kita umat Katolik harus dengan cermat membedakan status Protestan masa lalu dan masa kini. Kalau sekarang mereka harus disebut sebagai orang-orang yang “tidak dalam kesatuan penuh” dan bukan bidat. Maka, perlu kami tanyakan secara obyektif,historis-teologis “apakah penyebab orang-orang Protestan disebut sebagai tidak dalam kesatuan penuh dan utuh?” Jawaban jujurnya ialah, Anathema dari Konsili Trente.
Konsili Trente berlangsung selama 18 tahun (1545-1563) di bawah lima Paus: Paulus III, Julius III, Marselus II, Paulus IV dan Pius IV. Dalam Konsili ini hadir 5 (7) kardinal utusan Tahta Suci, 3 Patriark, 33 Uskup Agung, 235 Uskup, 7 Kepala Biara, dan 160 Doctor of Divinity. Konsili ini diadakan untuk memeriksa dan menghukum kesalahan-kesalahan ajaran yang diajarkan oleh Luther (mantan Imam Katolik) dan “para reformator” lainnya sekaligus untuk memperbaharui disiplin Gereja. Konsili ini adalah konsili yang paling lama dilakukan oleh Gereja dan paling banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan dogmatis dan reformatoris selama sejarah Gereja. Scott Hahn menyebutkan Konsili Trente sebagai Konsili yang menghasilkan pernyataan yang sistematis untuk menegaskan kebenaran ajaran-ajaran Kristus dan Gereja Katolik terhadap ajaran-ajaran keliru Luther dan “Para Reformator” lainnya.
Konsili Trente seringkali disebut sebagai konsili “yang bertaburan anathema” karena hampir semua kanon dan dekrit Konsili Trente mengandung deklarasi anathema tersebut. Memang bahwa konsili-konsili dogmatis (konsili yang menegaskan dan mendeklarasikan dogma) sebelum Konsili Trente juga mengandung deklarasi anathema ini, tapi dari segi jumlah Konsili Trente adalah konsili yang paling banyak memuat deklarasi anathema.
Mari kita lihat contoh kanon Konsili Trente mengenai Ekaristi, yaitu Sesi 13 Kanon 1 dan 2.
1. IF ANY ONE denieth, that, in the sacrament of the most holy Eucharist, are contained truly, really, and substantially, the body and blood together with the soul and divinity of our Lord Jesus Christ, and consequently the whole Christ; but saith that He is only therein as in a sign, or in figure, or virtue; LET HIM BE ANATHEMA.
2. IF ANY ONE saith, that, in the sacred and holy sacrament of the Eucharist, the substance of the bread and wine remains conjointly with the body and blood of our Lord Jesus Christ, and denieth that wonderful and singular conversion of the whole substance of the bread into the Body, and of the whole substance of the wine into the Blood-the species Only of the bread and wine remaining-which conversion indeed the Catholic Church most aptly calls Transubstantiation; LET HIM BE ANATHEMA.
Terjemahan Bebas:
“JIKALAU ADA ORANG yang menyangkal bahwa di dalam Sakraman Ekaristi Mahakudus benar-benar, sungguh-sungguh dan secara substansial terkandung Tubuh dan Darah bersama dengan Jiwa dan Keilahian Tuhan kita Yesus Kristus, dan karenanya Kristus secara keseluruhan; namun sebaliknya berkata bahwa Dia hanya berada di dalamnya [nya = Sakramen Ekaristi] seperti di dalam sebuah simbol, atau dalam gambaran, atau dalam kebajikan; TERKUTUKLAH DIA.”
“JIKALAU ADA ORANG berkata bahwa substansi roti dan anggur tetap ada di dalam Sakramen Ekaristi yang kudus, bersamaan dengan Tubuh dan Darah Yesus, dan menolak perubahan yang ajaib dan tunggal dari keseluruhan substansi roti menjadi Tubuh Kristus dan dari keseluruhan anggur menjadi Darah Yesus, dan rupa luar dari roti dan anggur saja yang tertinggal, seperti yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi; TERKUTUKLAH DIA.”
Untuk memahami kata anatema … kita harus kembali mencermati makna sesungguhnya dari herem, kata yang merupakan padanannya. Herem berasal dari kata haram, yaitu memenggal, memisahkan, mengutuk, dan mengindikasikan hal yang terkutuk dan dikecam yang harus dipenggal dan dihancurkan, terlepas apakah hal itu adalah seseorang atau sesuatu, dan oleh karena itu, orang dilarang untuk menggunakan hal itu. Demikianlah arti dari anatema sesuai dengan ayat Kitab Ulangan 7:26: ‘Dan janganlah engkau membawa segala sesuatu sehubungan berhala itu ke dalam rumahmu, agar engkau jangan menjadi anatema seperti hal itu juga. Hendaknya engkau membencinya seperti kotoran, dan hendaknya engkau sungguh-sungguh memperkejikannya layaknya kenajisan dan sampah, karena hal itu adalah suatu anatema.’11
Maka, seorang Protestan atau “Ortodoks Timur” yang bersikeras menolak ajaran-ajaran dogmatis dianatemakan dan terpenggal dari Gereja, di luar mana tidak terdapat keselamatan. Sangatlah menarik bahwa saat Gereja mengeluarkan kanon-kanon dogmatis ini, Gereja berkata “Barangsiapa berkata … terkutuklah dia [anathema sit]” dan bukan “Barangsiapa berkata … ia terkutuk [anathema est]” Kualifikasi dari “terkutuklah” memberikan kesempatan bagi orang-orang Katolik tertentu yang mungkin tidak menyadari suatu dogma tertentu dan yang akan patuh terhadap ajaran dari kanon tersebut segera setelah ajaran itu disampaikan kepadanya. Tetapi, orang yang bersikeras, dan yang secara sengaja menentang ajaran dogmatis dari Gereja menerima segenap kekuatan dari kutukan tersebut yang terjadi secara otomatis.
Inti dari hal ini adalah jika seseorang dapat menolak dogma-dogma ini dan tetap dapat diselamatkan, definisi-definisi infalibel ini dan anatema-anatema yang menyertai definisi-definisi tersebut tidak memiliki arti, nilai, ataupun kekuatan. Tetapi sebaliknya, definisi-definisi infalibel ini memiliki arti, nilai, dan kekuatan – definisi-definisi tersebut adalah ajaran-ajaran infalibel yang dilindungi oleh Yesus Kristus. Maka, semua orang yang menolak dogma-dogma ini dianatemakan dan berada di dalam jalan menuju kebinasaan
Namun, apakah dalam Konsili Trente yang bertaburan Anathema ini, Gereja mengutuk setiap orang yang mengimani ajaran-ajaran sesat tersebut? Apakah Gereja mengutuk orangnya?
Dalam Konsili Trente, apa yang dikutuk oleh Gereja adalah ajaran-ajaran sesatnya, ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran Kristus dan Gereja. Gereja tidak mengutuk orangnya. Bukan Gereja yang mengutuk orang-orang yang mengimani dan mengajarkan ajaran sesat tersebut melainkan orang itu sendiri yang membuat dirinya menjadi seorang yang terkutuk. Gereja, dengan otoritas dari Kristus Sang Kepala Gereja, mempromulgasikan dogma-dogma secara tak dapat sesat yang wajib diimani oleh setiap umat Katolik. Karenanya, umat yang menolak atau menyangkal dogma-dogma ini atau meyakini ajaran-ajaran yang bertentangan dengan dogma-dogma ini, telah menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang yang terkutuk dan bidat. Termasuk, mereka yang pada masa kini, hendak menganut lagi berdasarkan kapasitas usia akal mereka, ajaran-ajaran yang telah dianathema oleh Trente, secara otomatis menjadi terkutuk dan bidat. Maka, yang dilakukan oleh Konsili Vatikan II lewat UR 3, bukanlah pembatalan status anathema, melainkan pengembangan istilah sebutan secara pastoral bagi para bidat yang terdampak kutukan ini, sebagai “tidak dalam kesatuan penuh”. Sehingga Protestan masa kini masih amat relevan dan layak kita katakana sebagai bidat, oleh karena kemutlakkan anathema Trente pada ajaran.
3). Alasan terakhir/ poin ketiga mengapa menurut Tim Katolisitas Protestan tidak dapat kita sebut sebagai bidah (heresy) berdasarkan KGK 2089 dan KHK 751 ialah karena adanya pembedaan kategori heresy yakni: material heresy dan formal heresy.
Tim Katolisitas: “Kalau kita mau menghubungkan hal ini dengan pengertian bidah dan skisma secara luas, maka kita dapat melihatnya dalam konteks material heresy dan formal heresy. Material heresy adalah penyangkalan tanpa disengaja/ tanpa pengetahuan penuh, atau dengan niat baik, sedangkan formal heresy adalah penyangkalan yang dilakukan dengan disengaja dan dengan pengetahuan penuh. Saya pribadi percaya bahwa banyak dari antara anggota-anggota gereja Protestan dan Ortodoks masuk dalam kategori material heresy, dimana kalau mereka dijelaskan dengan baik akan ajaran yang sebenarnya dari Gereja Katolik, maka mereka akan dapat menerimanya dan kembali kepada pangkuan Gereja Katolik. Kalaupun ada yang tidak mau menerima, maka kita serahkan kepada Tuhan, karena Tuhan yang tahu secara persis motivasi yang mendasari keputusan mereka”.
Tanggapan kami: Jika kita melihat secara obyektif dan detail, bahwa Tim Katolisitas tidak menerapkan istilah bidah kepada orang-orang Protestan masa kini dengan dalih adanya dua kategori heresy yakni formal maupun material heresy. Bahkan, menurut pendapat pribadi mereka seperti yang telah kita tunjukkan bahwa, mereka mengelompokkan para bidat Protestan masa kini sebagai ‘material heresy’, atau penyangkalan terhadap dogma Katolik tanpa disengajai atau tanpa pengetahuan penuh. Tanggapan kami terhadap argumentasi Tim Katolisitas ini, antara lain, bahwa: “pembagian 2 jenis kategori ini hanyalah pembagian dari bidang studi teologi spekulatif, dan bukan oleh otoritas magisterial.
Contoh bagaimana para paus kita mewariskan prinsip bahwa ketika suatu posisi telah divonis, disebut, atau bahkan didefinisikan sebagai BIDAH, maka penilaian tersebut harus dipegang secara konsisten:
Paus Inosensius IV, Konsili Lyon I, 1245: “Hukum sipil menyatakan bahwa mereka harus dianggap sebagai bidah, dan harus tunduk kepada vonis yang dikeluarkan untuk mereka, bahkan yang dengan bukti yang sedikit telah ditemukan menyimpang dari pengadilan dan jalan dari agama Katolik.”12
Paus Yulius III, Konsili Trente, Tentang Sakramen Pembaptisan dan Tobat, Sesi 14, Bab. 2, ex cathedra: “ … sebab Gereja tidak melaksanakan penghakiman atas seorang pun yang belum masuk ke dalamnya melalui pintu gerbang pembaptisan. Sebab apakah urusanku dengan mereka yang berada di luar? (1 Korintus 5:12), ujar sang Rasul. Kenyataan itu sebaliknya adanya, dengan orang-orang yang telah sekalinya dijadikan oleh Kristus Tuhan melalui permandian pembaptisan sebagai ‘anggota-anggota tubuh-Nya sendiri’ (1 Korintus 12:13).
Oleh karena itu, sekali lagi, seseorang telah menerima Sakramen Pembaptisan telah tunduk kepada Paus Roma beserta segala otoritas gerejawinya, yang mana Gereja (dan Paus Roma) dapat dengan layak melakukan penghakiman (yurisdiksi) terhadap seseorang yang telah dibaptis tersebut (de fide, Trente).
Bahkan, teolog kepausan kenamaan Gereja Latin yakni St. Robertus Bellarminus, secara lebih tegas menjelaskan kepada gereja bahwa, adalah suatu perkara sederhana dalam memberikan penilaian atau Analisa terhadap suatu posisi terkait perkara bidah. Ialah sebagai berikut: “…karena manusia tidak diwajibkan untuk, ataupun dapat membaca hati; tetapi sewaktu mereka melihat bahwa seseorang adalah seorang bidah lewat perilaku eksternalnya, mereka menghakiminya sebagai bidah secara murni dan sederhana, dan mengutuknya sebagai bidah.” (St. Robertus Bellarminus, De Romano Pontifice, II, 30).
Maka, jikalau kita konsisten denga napa yang ditegaskan oleh St. Bellarminus di atas adakah beliau membagi 2 jenis kategori bidah sebagai formal heresy dan material heresy ? jawaban tegasnya ialah Tidak !!! Sebaliknya beliau mengatakan bahwa perilaku eksternal seseorang dapat menjadi bukti penilaian apakah seseorang tersebut adalah bidah atau bukan. Prinsip ini amat relevan pula untuk diterapkan pada setiap penganut Protestan masa kini, yang mana amat begitu jelas bahwa perilaku ekstrenal mereka sungguh menampilkan sikap konfrontatif dan antipatif terhadap Kebenaran Iman Kekatolikan yang Kudus. Maka amat layak kita tetap sebut mereka sebagai bidah, tanpa perlu adanya pembagian 2 jenis kategori spekulatif > ‘formal heresy vs material heresy’.
Dengan demikian ketika Romo Patris Allegro di dalam setiap pelayanan apologetikanya hendak menyebut secara konsisten, “Bidah Protestan sebagai Bidah”, itu bukanlah suatu ucapan tanpa dasar, atau pun suatu perkataan yang lahir dari emosi manusiawi belaka dan sikap fanatic semata. Melainkan adalah suatu sikap religious konsisten terhadap Ajaran Dogmatika Tradisional Latin yang otentik, definitive, mutlak dan tidak berubah. Sebagai seorang klerus, beliau tentu terikat pada aturan normative ini.
B.2. Pembuktian Akan Konsistensi KV II Terhadap Iman dan Tradisional dan Apologetika”.
Statement 2 : https://www.youtube.com/watch?v=fRj2kGp5xBE\&t=153s menit ke: 02:31 - 02:41.
Pada pembelaan kita yang kedua ini, khususnya pembelaan kita pada statement yang diucapkan Romo pada cuplikan tadi, kita akan membantah mentalitas hermeneutic of discontinuity and rupture dari para serigala relativisme dan ular-ular indiferentisme terhadap Konsili Vatikan II. Hal mana menurut Bapa Suci Benediktus XVI, mentalitas penafsiran semacam ini ialah menempatkan konsili Vatikan II terpisah dari seluruh tradisi Gereja, yang menyebabkan seluruh Tradisi Ajaran Kuno sebelumnya dipandang sebagai hal yang kuno, ketinggalan zaman, sedangkan semangat konsili yang sejati hanya dapat ditemukan terhadap hal-hal baru. Tidak hanya itu, penafsiran ini akan berdampak pada adanya pemisahan antara Gereja pra-konsili dan pasca-konsili alias terputus.13
Bantahan kami terhadap mentalitas hermeneutic of discontinuity and rupture dari para serigala relativisme dan ular-ular indiferentisme atas Konsili Vatikan II, tak lain ialah pembuktian langsung berdasarkan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II sendiri bahwa, KV II tetap mempertahankan sekaligus menegaskan Kembali secara konsisten: Dogma EENS dan Keyakinan Absolut Bahwa Gereja Katolik Sebagai Satu-Satunya Kebenaran. Berikut ini kami tampilkan bukti-bukti dari dokumen Gereja Katolik yang menegaskan bahwa Konsili Vatikan II tidak menganulir dogma EENS dan tetap menegaskan bahwa Gereja Katolik sebagai satu-satunya Kebenaran Mutlak. Bahkan di dalam dokumen-dokumen yang dianggap paling liberal dan salah oleh kelompok-kelompok tradisionalis seperti SSPX dan Gerakan-gerakan sedevacantis (SSPV, CMRI, MHFM, dst):
1). Konsili Vatikan II melanjutkan dogma tentang Keunikan Status dan Peran Tuhan Yesus Kristus di dalam Nostra Aetate 3:
Penegasan Magisterial Latin Pra-KV II:
Satis Cognitum – Paus Leo XIII (1896)
Isi kutipan:
“Yesus Kristus… tidak membangun sebuah Gereja yang ditakdirkan untuk bertahan hanya selama beberapa abad… Dia dengan jelas mengatakan: ‘Akulah jalan dan kebenaran dan hidup’… Oleh karena itu, mereka tidak dapat mengikuti Kristus jika tidak mengikuti Gereja.” (Latin: Ego sum via et veritas et vita… Qui ergo Ecclesiam sequuntur, Christum sequuntur; qui Ecclesiam relinquunt, Christum relinquunt. )
Mortalium Animos – Paus Pius XI (1928)
Isi kutipan:
“…Agar mereka menjadi satu… sebagaimana Kristus adalah satu, dan Gereja-Nya adalah satu; maka kesatuan agama Kristen hanya dapat diwujudkan dalam satu Gereja yang didirikan oleh Kristus.” “Karena kebenaran tidak dapat dipotong atau dipecah-pecah. Kristus adalah kebenaran: ‘Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.’”
Mystici Corporis Christi – Paus Pius XII (1943)
Isi kutipan:
“Kristus, Sang Kepala, mengomunikasikan kuasa-Nya kepada para anggotanya… Oleh karena itu, mereka yang tidak bersatu dengan tubuh Gereja yang kelihatan tidak dapat ambil bagian dalam kehidupan Kristus.” “Kristus adalah Jalan; Gereja adalah Tubuh Mistik-Nya. Di luarnya, tidak ada keselamatan.”
Quas Primas – Paus Pius XI (1925)
Isi kutipan:
Kristus berkuasa di hati manusia melalui kebenaran-Nya… ‘Akulah jalan, kebenaran, dan hidup’… Dia harus berkuasa di pikiran kita, yang hendaknya menyetujui dengan ketundukan penuh dan keyakinan teguh kepada kebenaran yang diwahyukan dan doktrin Kristus.
Pengulangan dalam KV II - Nostra Aetate 3: Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yohanes 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.
2). Konsili Vatikan II menegaskan “Absolutisme Gereja Katolik Sebagai Satu-Satunya Kebenaran dan Sarana Keselamatan” Lewat Ad Gentes 7 dan Dignitatis Humanae Art 1. Penegasan Magisterial Latin Pra-KV II:
Paus Inosensius III, Konsili Lateran IV, Konstitusi 1, 1215, ex cathedra: “Sesungguhnya, hanya terdapat satu Gereja universal dari para umat beriman, di luar mana sama sekali tiada seorang pun yang diselamatkan, yang di dalamnya Yesus Kristus adalah imam dan kurban.”14
Paus Bonifasius VIII, Unam Sanctam, 18 November 1302, ex cathedra: “Terdesak oleh iman, Kami diwajibkan percaya dan mempertahankan bahwa Gereja itu Satu, Kudus, Katolik dan juga Apostolik. Dengan teguh Kami percaya akan Gereja itu dan dengan sederhana Kami mengakui bahwa di luar dirinya tidak ada keselamatan maupun pengampunan dosa … Di samping itu, Kami mendeklarasikan, Kami memproklamasikan,
Kami mendefinisikan bahwa setiap makhluk manusia berkeperluan mutlak demi beroleh keselamatan, untuk tunduk kepada Paus Roma.”15
Paus Klemens V, Konsili Vienne, Dekret #30, 1311-1312, ex cathedra: “Bagaimanapun, karena untuk para imam reguler dan sekuler, para superior dan subjek, yang terkecuali dan yang tak terkecuali, hanya terdapat satu Gereja universal, di luar mana sama sekali tiada seorang pun yang diselamatkan, dan karena untuk mereka semua hanya ada satu Tuhan, satu iman, dan satu pembaptisan ….”16
Paus Eugenius IV, Konsili Florence, Sesi 8, 22 November 1439, ex cathedra: “Barangsiapa hendak diselamatkan harus di atas segala hal menganut iman Katolik. Jikalau seseorang tidak menjaga iman ini utuh dan murni, tidak diragukan bahwa ia akan binasa selamanya….”17
Paus Eugenius IV, Konsili Florence, “Cantate Domino,” 1441, ex cathedra: “Ia [Gereja Roma yang Kudus] dengan teguh percaya, mengakui dan berkhotbah bahwa ‘semua orang yang berada di luar Gereja Katolik, bukan hanya orang-orang pagan tetapi juga Yahudi atau bidah dan skismatis, tidak dapat mengambil bagian di dalam kehidupan kekal dan akan masuk ke dalam api yang kekal yang telah disiapkan untuk iblis dan para
malaikatnya,’ [Matius 25:41] kecuali jika mereka bergabung ke dalam Gereja sebelum akhir hidup mereka; bahwa kesatuan dari tubuh gerejawi ini sedemikian kuatnya sehingga hanya kepada mereka yang tetap tinggal di dalamnyalah sakramen-sakramen Gereja berdaya guna menuju keselamatan, dan hanya kepada mereka jugalah puasa, derma, dan karya-karya kesalehan serta praktik-praktik lain dari para laskar Kristiani menghasilkan upah yang abadi; dan bahwa tidak seorang pun dapat diselamatkan, sebanyak apa pun ia telah berderma, walaupun ia telah menumpahkan darah dalam nama Kristus, kecuali jika ia telah bertekun di pangkuan dan di dalam kesatuan Gereja Katolik.”18
Paus Leo X, Konsili Lateran V, Sesi 11, 19 Desember 1516, ex cathedra: “Sebab, para imam reguler dan sekuler, para prelat dan subjek, yang terkecuali dan tak terkecuali, termasuk bagian dari Gereja universal yang satu, di luar mana tidak seorang pun diselamatkan, dan mereka semua memiliki satu Tuhan dan satu iman.”19
Paus Pius IV, Konsili Trente, “Iniunctum nobis,” 13 November 1565, ex cathedra: “Iman Katolik sejati ini, di luar mana tidak seorang pun dapat diselamatkan … sekarang saya akui dan percayai dengan sungguh-sungguh ….”20
Paus Benediktus XIV, Nuper ad nos, 16 Maret 1743, Pengakuan Iman: “Iman Gereja Katolik ini, yang tanpanya tidak seorang pun dapat diselamatkan, dan yang dengan persetujuan saya sendiri, saya sekarang akui dan percayai dengan sungguh-sungguh ….”21
Paus Pius IX, Konsili Vatikan I, Sesi 2, Pengakuan Iman, 1870, ex cathedra: “Iman Katolik sejati ini, di luar mana tidak seorang pun dapat diselamatkan, yang sekarang saya akui dengan sukarela dan percayai dengan sungguh-sungguh ….”22
Pengulangan dalam KV II – Ad Gentes 7 dan Dignitatis Humanae Art 1:
Maka perlulah semua orang bertobat kepada Kristus, yang dikenal melalui pewartaan Gereja, dan melalui Babtis disaturagakan ke dalam Dia dan Gereja, yakni Tubuh-Nya. Sebab Kristus sendiri “dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan babtis (lih. Markus 16:16; Yohanes 3:5), sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui Babtis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang yang mengetahui bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.” (Konsili Vatikan II, Dekrit Ad Gentes 7)
“Oleh karena itu Konsili suci pertama-tama menyatakan, bahwa Allah sendiri telah menunjukkan jalan kepada umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya, dan dengan demikian memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dalam Kristus. Kita percaya, bahwa satu-satunya Agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik dan apostolik, yang oleh Tuhan Yesus diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang, ketika bersabda kepada para Rasul: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:19-20). Adapun semua orang wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya” ( DH art 1)
Maka, sewaktu Romo Patris selalu menegaskan tentang keunikan atau spesifikasi dari peran, ciri, dan status Gereja Katolik sebagai satu-satunya Sarana keselamatan dan Kebenaran yang Absolut di masa post- KV II ini, beliau justru bertolak dari apa yang dipertahankan sendiri oleh Konsili Vatikan II, yaitu konsistensi terhadap dogma tradisional Gereja – hermeneutic of continuity. Sebagaimana KV II tetap sepakat dan selalu konsisten mewartakan bahwa Tuhan Yesus Kristus dan Gereja-Nya adalah satu-satunya Jalan, Keselamatan, dan Hidup, maka adalah wajar bagi seorang gembala jiwa seperti Romo Patris untuk terus senafas melanjutkan kebenaran ini di dalam setiap aspek pelayanannya, termasuk di dalam apologetika.
C. KESIMPULAN
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Romo Patris di dalam semua karya apologetisnya yakni sewaktu beliau menyebut “bidat sebagai bidat” dan “eksklusifitas atau pun absolutism Gereja Katolik”, tak lain hanyalah apa yang Gereja Katolik ajarkan itu sendiri secara per se. Sehingga dari fakta ini, kita dapat menyatakan bahwa Romo Patris adalah sungguh gembala jiwa yang konsisten, taat, dan apa adanya. Justru dengan konsistensi beliau pada kebenaran, beliau telah menjadi tanda dan sarana di mana Roh Kudus selalu hadir menyertai umat-Nya, yang secara khusus umat Kristiani Sejati di Indonesia yang sedang dan selalu digempur oleh paham-paham teologis yang sesat dan menyimpang. Secara khusus oleh lolongan relativisme dan racun indifferentisme. Maka bagi umat kita umat Katolik, adanya kehadiran Romo patris beserta karya pelayanan apologetisnya ini adalah wujud nyata dari Kristus hadir dalam Gereja melalui para imam dan uskup (Lumen Gentium 21). Karya apologetika beliau adalah bagian dari munus docendi (tugas mengajar) para klerus. Maka umat awam wajib mendukung, bukan melemahkan atau menentang, karya apologetika para imam dan uskup. Penolakan atau penghasutan publik terhadap karya apologetika klerus adalah bentuk pembangkangan terhadap Kristus sendiri. Sehingga, jika ternyata yang terlibat di antara para serigala relativisme dan ular-ular indifferentisme adalah justru orang-orang Katolik sendiri, maka mereka telah melanggar bunyi Kan. 1373 – 1375 dan juga apa yang dinyatakan oleh LG 37.
Selebihnya dari pada itu, orang Katolik yang termakan lolongan relativisme dan racun indifferentisme yang kemudian menghambat pewartaan Romo Patris, tak lain secara otomatis jatuh di bawah kutukan bapa suci Leo XII berikut:
Paus Leo XII, Ubi Primum, 5 Mei 1824: “ Allah yang Mahabenar, yang bahwasanya adalah kebenaran yang terluhur sendiri, sang Penyelenggara yang Mahabaik dan Mahabijak, tidak mungkin menyetujui semua sekte yang mengajarkan doktrin-doktrin sesat yang saling bertentangan dan berkontradiksi, serta menganugerahkan imbalan-imbalan abadi kepada orang-orang yang mengakui doktrin-doktrin sesat tersebut … dengan Iman Ilahi Kami percaya akan satu Tuhan, satu Iman, satu Pembaptisan, dan bahwa tiada nama lain yang diberikan di bawah Surga kepada manusia selain nama Yesus Kristus dari Nazaret, yang di dalamnya kita harus
diselamatkan, dan oleh karena itu Kami mengakui bahwa tidak terdapat keselamatan
di luar Gereja.”23
Mari kita senantiasa terus sehati dan senafas dengan Bunda Gereja, karena hanya Bersama Gereja,
kita akan selamat. AMEN !!! DEUS VULT
-
https://vatikankatolik.id/ajaran-ajaran-katolik-terhadap-agama-protestan-sekte-sekte-skismatis/#_edn2 ↩
-
https://vatikankatolik.id/ajaran-ajaran-katolik-terhadap-agama-protestan-sekte-sekte-skismatis/#_edn3 ↩
-
https://vatikankatolik.id/ajaran-ajaran-katolik-terhadap-agama-protestan-sekte-sekte-skismatis/#_edn4 ↩
-
https://vatikankatolik.id/ajaran-ajaran-katolik-terhadap-agama-protestan-sekte-sekte-skismatis/#_edn5 ↩
-
https://vatikankatolik.id/ajaran-ajaran-katolik-terhadap-agama-protestan-sekte-sekte-skismatis/#_edn6 ↩
-
https://vatikankatolik.id/ajaran-ajaran-katolik-terhadap-agama-protestan-sekte-sekte-skismatis/#_edn7 ↩
-
https://vatikankatolik.id/pembaptisan-bayi-oleh-bidah/#_edn1 ↩
-
https://vatikankatolik.id/pembaptisan-bayi-oleh-bidah/#_edn2 ↩
-
https://vatikankatolik.id/kepatuhan-kepada-gereja-paus-roma/#_edn2 ↩
-
https://vatikankatolik.id/pembaptisan-bayi-oleh-bidah/#_edn3 ↩
-
https://vatikankatolik.id/ajaran-ajaran-katolik-terhadap-agama-protestan-sekte-sekte-skismatis/#_edn1 ↩
-
https://vatikankatolik.id/takhta-petrus-di-luar-gereja-katolik-tidak-terdapat-keselamatan/#_edn1 ↩
-
https://vatikankatolik.id/takhta-petrus-di-luar-gereja-katolik-tidak-terdapat-keselamatan/#_edn2 ↩
-
https://vatikankatolik.id/takhta-petrus-di-luar-gereja-katolik-tidak-terdapat-keselamatan/#_edn3 ↩
-
https://vatikankatolik.id/takhta-petrus-di-luar-gereja-katolik-tidak-terdapat-keselamatan/#_edn4 ↩
-
https://vatikankatolik.id/takhta-petrus-di-luar-gereja-katolik-tidak-terdapat-keselamatan/#_edn5 ↩
-
https://vatikankatolik.id/takhta-petrus-di-luar-gereja-katolik-tidak-terdapat-keselamatan/#_edn6 ↩
-
https://vatikankatolik.id/takhta-petrus-di-luar-gereja-katolik-tidak-terdapat-keselamatan/#_edn7 ↩
-
https://vatikankatolik.id/takhta-petrus-di-luar-gereja-katolik-tidak-terdapat-keselamatan/#_edn8 ↩
-
https://vatikankatolik.id/takhta-petrus-di-luar-gereja-katolik-tidak-terdapat-keselamatan/#_edn9 ↩