LIVE DKC [85-2025] SELASA, 8 JULI 2025 PUKUL 19:00 WIB: TRADISI AGAMA TIDAK PENTING VS YESUS KRISTUS!!! @MuriwaliYantoMataluGKKR
Video yang berjudul “TRADISI AGAMA TAK PENTING VS YESUS KRISTUS,” Membahas Perbedaan antara Praktik Keagamaan Lahiriah dan Hal-hal Rohaniah
https://www.youtube.com/live/GNzpndc-n3I?si=y-UmGHJ8vwsoMKRk
Detail isi video:
1. Pembicara menjelaskan bahwa dalam teologi Reformed, tidak ada pembedaan antara keduanya, karena semua aspek kehidupan, termasuk kegiatan sehari-hari seperti makan, minum, dan rekreasi, dianggap rohaniah bila dilakukan dalam hubungannya dengan Tuhan [00:45].
2. Namun, video tersebut mengklarifikasi bahwa istilah “lahiriah” dan “rohaniah” dalam konteks ini mengacu pada praktik keagamaan [01:56].
3. Pembicara menggunakan perspektif Rasul Paulus dalam Filipi 3:1b-11 untuk menggambarkan bagaimana orang-orang Kristen Yahudi tertentu menekankan praktik-praktik lahiriah seperti sunat, ketaatan pada Hukum Musa, dan berbagai ritual, yang oleh Paulus dianggap “lahiriah” dan pada akhirnya tidak berguna setelah Kristus menggenapi Hukum Taurat [02:11].
4. Video ini menyoroti sikap tegas Paulus terhadap praktik-praktik ini, di mana ia menegaskan latar belakangnya sendiri yang unggul dalam hukum dan tradisi Yahudi, namun menganggap semua pencapaian “lahiriah” ini sebagai “sampah” atau “kerugian” dibandingkan dengan mengenal Kristus [33:36].
5. Pembicara menekankan bahwa realitas spiritual sejati ditemukan dalam baptisan Roh Kudus, yang menuntun pada iman kepada Kristus, bukan pada ritual lahiriah seperti baptisan air atau sunat [18:04].
6. Pesan intinya adalah bahwa berfokus pada pencapaian keagamaan lahiriah sama dengan meninggikan “sampah” dan mengurangi sentralitas Kristus [38:46].
7. Video diakhiri dengan menekankan bahwa hal terpenting bagi seorang Kristen adalah mengenal Kristus, bersekutu dengan-Nya, dan hidup di dalam-Nya, karena inilah landasan dan harapan sejati untuk masa depan [40:17].
Tanggapan terhadap Video “TRADISI AGAMA TAK PENTING VS YESUS KRISTUS”
Dengan penuh kemegahan, video “TRADISI AGAMA TAK PENTING VS YESUS KRISTUS” melangkah masuk dengan semangat Reformed yang membara, seolah telah menemukan rahasia abadi iman Kristen dengan menyapu bersih segala praktik “lahiriah” ke bak sampah sejarah. Mengacungkan Filipi 3:1b-11 sebagai pedang kemenangan, video ini dengan penuh percaya diri mencap sunat, Hukum Musa, dan ritual lain sebagai “sampah” dibandingkan kemuliaan pengenalan akan Kristus, sembari menobatkan baptisan Roh Kudus sebagai satu-satunya pahlawan, sementara baptisan air dan tradisi keagamaan dikira sebagai pernak-pernik usang yang layak dilupakan. Baiklah, izinkan kami memeriksa argumen ini dari sudut pandang Katolik, dengan dukungan Alkitab, ajaran Bapa-Bapa Gereja, dokumen resmi Gereja Katolik, dan sumber-sumber terpercaya lainnya, sembari dengan sopan menyingkap betapa… menariknya kekeliruan ini.
1. Filipi 3:1b-11: Legalisme Bukan Sakramen, Mohon Perhatikan Konteksnya
Video ini dengan bangga mengibarkan Filipi 3:1b-11, seolah Paulus telah mengutuk segala praktik keagamaan lahiriah ke dalam limbo teologis. Maaf atas gangguannya, tetapi tampaknya konteks ayat ini luput dari perhatian. P
Paulus sedang menghadapi legalisme Yahudi – mereka yang mengira sunat dan ketaatan pada Hukum Taurat adalah kunci menuju surga. Ia menyebut pencapaian hukumnya “kerugian” (Filipi 3:7-8) karena keselamatan hanya ditemukan melalui iman kepada Kristus. Namun, apakah Paulus benar-benar membenci semua praktik keagamaan? Mari kita buka Roma 6:3-4:
“Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus Yesus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan ke dalam kematian, supaya seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.”
Jelas sekali, baptisan air bukanlah hiasan gerejawi yang bisa diabaikan begitu saja. St. Ireneus dari Lyons (abad ke-2) dalam Against Heresies menegaskan dengan tegas:
“Baptisan, yang diberikan dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, memberikan kelahiran kembali kepada mereka yang percaya, menyatukan mereka dengan Kristus” (Ireneus, Against Heresies, Buku I, Bab 21).
Katekismus Gereja Katolik (KGK) turut menegaskan:
“Sakramen adalah tanda-tanda yang kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan, yang ditetapkan oleh Kristus dan dipercayakan kepada Gereja, yang melalui itu rahmat ilahi diberikan kepada kita” (KGK 1131).
Menyamakan sakramen Kristen dengan legalisme Yahudi? Itu seperti menyamakan lukisan Michelangelo dengan coretan krayon.
2. Sakramen: Inkarnasi Rahmat, Bukan Sandiwara Kosong
Dengan sikap yang agak terlalu percaya diri, video ini meremehkan baptisan air sebagai bayangan pucat dari baptisan Roh Kudus yang lebih menggugah. Sayangnya, Katolisisme memandang sakramen sebagai cerminan inkarnasi – di mana Allah, dalam kebijaksanaan-Nya, memilih unsur material untuk menyampaikan rahmat rohani. Yesus, Sabda yang menjadi daging (Yohanes 1:14), telah menunjukkan caranya. Yohanes 3:5 berbicara tanpa tedeng aling-aling:
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
St. Agustinus dari Hippo (abad ke-4) dalam Tractates on the Gospel of John tidak membuang-buang kata:
“Air baptisan adalah tanda lahiriah yang, melalui kuasa Roh Kudus, menghasilkan kelahiran kembali rohani” (Agustinus, Tractates on the Gospel of John, 6.7).
Ekaristi? Bukan sekadar roti dan anggur untuk estetika liturgi. Kristus sendiri berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diberikan bagimu” (Lukas 22:19). Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, menegaskan:
“Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Kristen, karena di dalamnya umat mengambil bagian dalam pengurbanan Kristus” (Lumen Gentium 11).
KGK menambahkan:
“Sakramen-sakramen menampakkan dan menghidupkan rahmat yang tidak kelihatan yang diberikan oleh Kristus” (KGK 1127).
Menolak sakramen sebagai “lahiriah”? Itu seperti menolak undangan kerajaan karena stempelnya kurang berkilau.
3. Tradisi Suci: Harta Warisan, Bukan Barang Rongsokan
Video ini memperlakukan tradisi keagamaan seperti relik usang yang mengacaukan kemurnian iman. Dalam Katolisisme, Tradisi Suci adalah penjaga ajaran rasuli, berdampingan dengan Kitab Suci. KGK menyatakan dengan jelas:
“Tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan satu deposit suci Sabda Allah, yang dipercayakan kepada Gereja” (KGK 97).
Paulus sendiri memuji umat Korintus: “Aku memuji kamu, karena dalam segala hal kamu memegang teguh adat-istiadat yang kuteruskan kepadamu” (1 Korintus 11:2). Ia juga meneruskan tradisi Ekaristi “dari Tuhan” (1 Korintus 11:23). St. Ignatius dari Antiokhia (abad ke-2) dalam Letter to the Smyrnaeans tidak berbasa-basi:
“Ekaristi adalah daging Penyelamat kita Yesus Kristus, yang menderita demi dosa-dosa kita” (Ignatius, Letter to the Smyrnaeans, 7.1).
Dei Verbum dari Konsili Vatikan II menegaskan:
“Tradisi Suci, yang diterima dari para Rasul, berkembang dalam Gereja di bawah bantuan Roh Kudus” (Dei Verbum 8).
Mencap tradisi sebagai “sampah”? Itu seperti membakar arsip kuno karena kertasnya tidak berwarna.
4. Iman dan Perbuatan: Duet Harmonis, Bukan Solo
Dengan penuh semangat, video ini memamerkan sola fide ala Reformed, seolah sakramen adalah gangguan yang mengotori kemurnian iman. Katolisisme, dengan rendah hati, menegaskan bahwa iman dan perbuatan adalah pasangan yang tak terpisahkan. Yakobus 2:17 tidak meminta izin untuk berbicara:
“Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”
Sakramen adalah perbuatan iman yang menghubungkan umat dengan Kristus. Pengakuan dosa, misalnya, berdasar pada Yohanes 20:22-23:
“Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni.”
St. Cyprianus dari Kartago (abad ke-3) dalam On the Lapsed menegaskan:
“Pengampunan dosa melalui kuasa yang diberikan Kristus kepada Gereja memulihkan umat kepada persekutuan dengan Allah” (Cyprianus, On the Lapsed, 28).
Mengabaikan sakramen? Itu seperti menolak tangan penyelamat karena gelangnya kurang modis.
5. Kristus: Pusat Panggung Sakramen
Video ini dengan berani menuduh praktik keagamaan mencuri sorotan dari Kristus. Dalam Katolisisme, Kristus adalah bintang utama semua sakramen. KGK menyatakan:
“Semua sakramen berpusat pada misteri Paskah Kristus” (KGK 1118).
Ekaristi adalah kehadiran nyata Kristus, sebagaimana ditegaskan dalam Yohanes 6:51:
“Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.”
St. Yustinus Martir (abad ke-2) dalam First Apology menegaskan:
“Ekaristi bukan roti biasa, tetapi daging dan darah Yesus Kristus” (Yustinus, First Apology, 66).
Robert Barron dalam Catholicism: A Journey to the Heart of the Faith menulis:
“Sakramen adalah perpanjangan dari inkarnasi, di mana Kristus menggunakan dunia material untuk tetap hadir” (Barron, 2011, hlm. 112).
Menuduh sakramen mengalihkan perhatian dari Kristus? Itu seperti bilang panggung mengganggu aktor utama.
6. Tuduhan “Sampah”: Salah Alamat
Dengan penuh semangat, video ini menyebut praktik keagamaan “sampah.” Baptisan (Roma 6:3-4) dan Ekaristi (1 Korintus 10:16) adalah sarana rahmat yang menghubungkan umat dengan Kristus. Sacrosanctum Concilium dari Konsili Vatikan II menegaskan:
“Liturgi, terutama Ekaristi, adalah puncak aktivitas Gereja dan sumber kekuatannya” (Sacrosanctum Concilium 10).
Mencap ini “sampah”? Itu seperti membuang permata karena kotaknya tidak sesuai selera.
7. Reformed vs. Katolik: Dua Dunia Berbeda
Teologi Reformed, seperti diuraikan dalam The Westminster Confession of Faith (1646), memandang sakramen sebagai “tanda dan meterai” tanpa secara langsung memberikan rahmat:
“Sakramen adalah tanda-tanda dan meterai-meterai kudus dari perjanjian rahmat” (Westminster Confession, Bab 27).
Sebaliknya, Konsili Trente (1545-1563) menegaskan:
“Sakramen mengandung dan memberikan rahmat kepada mereka yang menerimanya dengan layak” (Sesi VII, Kanon 6).
Perbedaan ini menjelaskan mengapa video ini meremehkan sakramen sebagai “lahiriah,” sementara Katolisisme melihatnya sebagai saluran rahmat Kristus. Pilihan ada di tangan Anda: tanda kosong atau hadiah nyata?
Kesimpulan
Video “TRADISI AGAMA TAK PENTING VS YESUS KRISTUS” dengan gegabah melempar sakramen dan tradisi ke keranjang sampah, salah menafsirkan Filipi 3:1b-11 sebagai penolakan terhadap semua praktik keagamaan. Alkitab (Yohanes 3:5, Lukas 22:19), Bapa-Bapa Gereja seperti Ireneus dan Yustinus, dokumen seperti Lumen Gentium dan Dei Verbum, serta sumber seperti Barron menegaskan bahwa sakramen dan Tradisi Suci adalah sarana rahmat yang ditetapkan Kristus. Kristus adalah pusat sakramen, menghadirkan rahmat-Nya melalui tanda-tanda lahiriah.
Jadi, jika ada yang ingin membuang “sampah,” mungkin sebaiknya mereka memeriksa lagi – jangan-jangan itu harta karun iman Gereja yang mereka buang begitu saja.1
Yesus Saja Cukup? Menggugat Kekonyolan Menolak Tradisi dalam Kekristenan
“Tradisi agama? Sekadar beban kuno! Yang penting cuma Yesus!” Demikian teriakan beberapa kalangan Protestan yang menganggap tradisi Gereja Katolik sebagai ornamen usang yang bisa dilempar ke gudang sejarah. Pandangan ini ibarat mencoba menikmati kopi tanpa cangkir: idenya mungkin terdengar sederhana, tapi hasilnya berantakan.
Tulisan ini akan membongkar kekeliruan anggapan tersebut dari empat aspek – teologis, historis, eklesiologis, dan praktis – sembari menegaskan bahwa tradisi suci (Traditio Sacra), yang dijaga oleh Magisterium Gereja, adalah bagian tak terpisahkan dari iman Kristen yang berpusat pada Yesus. Dengan pendekatan akademis yang disisipi humor, argumen disusun secara sistematis, didukung oleh Kitab Suci, Tradisi Gereja, Konsili Roma, dan sumber-sumber kredibel lainnya. Kita akan menunjukkan bahwa menolak tradisi bukan hanya keliru, tetapi seperti mencoba membaca novel klasik tanpa memahami konteksnya: Anda mungkin tahu ceritanya, tapi maknanya hilang.
Aspek Teologis: Tradisi sebagai Wahyu Ilahi
Secara teologis, klaim “hanya Yesus penting” adalah seperti menyatakan bahwa kita bisa menikmati sup tanpa mangkuk atau sendok. Tradisi suci bukanlah hiasan buatan manusia, melainkan wadah wahyu ilahi yang diteruskan melalui Gereja. Katekismus Gereja Katolik menegaskan: “Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat dan saling memengaruhi. Keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, membentuk satu kesatuan, dan menuju tujuan yang sama” (KGK, 1997, no. 80). Tradisi adalah cara Roh Kudus memastikan sabda Kristus tetap segar, seperti roti yang baru keluar dari oven, sesuai perintah Yesus: “Pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Matius 28:19, Alkitab Terjemahan Baru, 1974).
Paulus, yang jelas bukan penggemar omong kosong, menegaskan pentingnya tradisi apostolik: “Berpeganglah pada ajaran yang telah kamu terima, baik secara lisan maupun melalui surat kami” (2 Tesalonika 2:15). Ajaran lisan ini adalah bagian dari tradisi suci, dan Magisterium – paus dan uskup dalam kesatuan – bertugas menjaga agar resep iman ini tidak dicampur aduk. Katekismus menjelaskan: “Tugas untuk memberikan tafsiran otentik atas sabda Allah, baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, dipercayakan kepada Magisterium hidup Gereja” (KGK, 1997, no. 85). Magisterium memastikan bahwa tradisi suci tetap selaras dengan kehendak ilahi, bukan sekadar kebiasaan kuno yang bisa diabaikan.
Teolog Katolik Yves Congar menambahkan: “Tradisi adalah pengalihan hidup dari sabda Allah yang diwahyukan, yang dipegang teguh oleh Gereja melalui kuasa Roh Kudus” (Congar, 1966, hlm. 23). Tanpa tradisi, kita seperti pelancong tanpa peta, rentan tersesat dalam interpretasi pribadi. Menolak tradisi dan Magisterium berarti mengabaikan cara Tuhan menyampaikan kebenaran-Nya melalui para rasul, seolah-olah kita bisa langsung menelepon Yesus untuk klarifikasi tanpa perantara yang Dia sendiri tunjuk.
Aspek Historis: Tradisi sebagai Konteks Kitab Suci
Secara historis, Kitab Suci tanpa tradisi ibarat buku tanpa indeks atau catatan kaki: Anda tahu isinya bagus, tapi bingung mulai dari mana. Kanon Alkitab ditetapkan melalui otoritas Gereja dalam Konsili Roma (382 M), Konsili Hippo (393 M), dan Konsili Kartago (397 M). Di Konsili Roma, Paus Damasus I, dengan kebijaksanaan yang dipandu Magisterium, menghasilkan daftar kanonik Kitab Suci yang menjadi dasar Alkitab Katolik, termasuk kitab-kitab deuterokanonika seperti Tobit, Kebijaksanaan, dan Makabe (Tanner, 1990, hlm. 8). Tanpa tradisi dan Magisterium, kita mungkin masih bertengkar soal apakah Surat kepada Filemon atau Kitab Henokh layak masuk Alkitab. John Henry Newman, yang punya kebiasaan membuat argumen tak terbantahkan, menulis: “Kitab Suci bergantung pada Gereja untuk keberadaannya; menolak Gereja berarti meragukan Alkitab itu sendiri” (Newman, 1845, hlm. 89).
Tradisi, dengan Magisterium sebagai wasitnya, juga menjaga konteks teologis untuk menafsirkan Kitab Suci. Ambil contoh Ekaristi: sejak abad pertama, tradisi apostolik mengajarkan bahwa Ekaristi adalah kehadiran nyata Kristus. Ignasius dari Antiokhia, yang jelas bukan tukang cerita, menulis: “Ekaristi adalah daging Penyelamat kita Yesus Kristus, yang menderita demi dosa-dosa kita” (Surat kepada Jemaat Smirna, 7:1, dalam Roberts & Donaldson, 1885, hlm. 89).
Magisterium menegaskan doktrin ini melalui Konsili Trente (1545-1563), yang menyatakan bahwa Ekaristi adalah “sakramen yang benar-benar mengandung tubuh dan darah Kristus” (Tanner, 1990, hlm. 695). Mengabaikan tradisi ini berarti menolak perintah Yesus: “Perbuatlah ini untuk mengenang Aku” (Lukas 22:19). Tanpa tradisi dan Magisterium, kita hanya akan punya tebakan liar soal apa yang Yesus maksud—seperti mencoba memecahkan teka-teki tanpa petunjuk.
Lebih jauh, tradisi suci mencakup ajaran-ajaran awal Gereja, seperti Trinitas dan Inkarnasi, yang tidak diuraikan secara eksplisit dalam Alkitab tetapi dikembangkan melalui refleksi teologis di bawah bimbingan Magisterium. Konsili Nicea (325 M) dan Konstantinopel (381 M) merumuskan doktrin Trinitas, yang kini diterima oleh sebagian besar denominasi Kristen, termasuk Protestan (Tanner, 1990, hlm. 24-31). Menolak tradisi berarti menyangkal fondasi doktrin-doktrin inti yang membentuk iman Kristen, seperti mencoba membangun rumah tanpa pondasi.
Aspek Eklesiologis: Tradisi, Magisterium, dan Otoritas Gereja
Secara eklesiologis, menolak tradisi dan Magisterium adalah seperti menolak kapten di tengah badai laut. Yesus berkata: “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku” (Matius 16:18). Gereja adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Timotius 3:15) dengan otoritas untuk “mengikat dan melepaskan” (Matius 18:18). Magisterium, sebagai pengajar resmi Gereja, memastikan bahwa tradisi suci tetap lurus, seperti GPS rohani yang mencegah kita nyasar. Konsili Roma (382 M) adalah bukti nyata: Magisterium menetapkan kanon Alkitab agar umat tidak tersesat dalam tumpukan tulisan kuno. Joseph Ratzinger, dengan kecerdasan yang selalu membuat kita kagum, menulis: “Tradisi bukanlah pengetahuan manusia, tetapi kehidupan Gereja yang diarahkan oleh Roh Kudus” (Ratzinger, 1968, hlm. 52).
Konsili Vatikan II menegaskan peran Magisterium: “Magisterium tidak berada di atas sabda Allah, melainkan melayaninya, dengan mengajar hanya apa yang telah diwariskan” (Dei Verbum, 1965, no. 10). Magisterium menjaga depositum fidei (warisan iman), memastikan bahwa ajaran Kristus tetap murni melalui tradisi suci. Tanpa Magisterium, Gereja akan seperti kapal tanpa kemudi, terombang-ambing oleh interpretasi pribadi. Menolak tradisi dan Magisterium berarti memutuskan diri dari kapal yang Yesus sendiri rancang untuk mengarungi sejarah, seolah-olah kita bisa berenang sendiri di lautan badai.
Aspek Praktis: Inkonsistensi dalam Menolak Tradisi
Secara praktis, mereka yang berteriak “tradisi tidak penting” sering kali tanpa sadar memeluk tradisi baru – seperti ibadah dengan gitar elektrik, khotbah ala motivator, atau bahkan kebiasaan membaca Alkitab secara pribadi.
Baptisan, perjamuan, dan ibadah mingguan? Semua itu tradisi apostolik, dijaga ketat oleh Magisterium. G.K. Chesterton, yang selalu punya cara untuk membuat kita tersenyum kecut, menulis: “Orang-orang yang membenci tradisi biasanya hanya menggantinya dengan tradisi yang lebih buruk” (Chesterton, 1908, hlm. 47). Jika tradisi benar-benar tak penting, mengapa masih ada yang baptis bayi, merayakan Natal, atau mengadakan kebaktian mingguan? Inkonsistensi ini ibarat mengaku vegetarian sambil menyantap bakso – lucu, tapi membingungkan.
Magisterium memastikan bahwa praktik-praktik ini tetap sesuai dengan ajaran apostolik. Misalnya, Konsili Trente menetapkan tata cara sakramen baptisan dan Ekaristi agar tidak menyimpang dari maksud Kristus (Tanner, 1990, hlm. 685-695). Tanpa tradisi dan Magisterium, umat Kristen mungkin akan berakhir dengan ritus-ritus yang lebih mirip konser rock daripada ibadah yang berpusat pada Kristus. Tradisi, dengan Magisterium sebagai penutupnya, adalah resep yang menjaga rasa iman tetap otentik.
Bantahan terhadap Keberatan Umum
- Keberatan: Yesus menolak tradisi dalam Matius 15:3-6. Bantahan: Yesus mengkritik tradisi manusia yang korup, seperti aturan Farisi yang mengabaikan perintah Allah, bukan Traditio Sacra yang ilahi. Paulus malah memuji tradisi apostolik: “Aku memuji kamu, karena dalam segala hal kamu tetap mengingat aku dan memegang teguh ajaran yang kuyampaikan kepadamu” (1 Korintus 11:2). Magisterium memastikan tradisi suci tetap selaras dengan kehendak Allah, bukan seperti kebiasaan Farisi yang Yesus sindir dengan pedas.
- Keberatan: Tradisi adalah tambahan manusia yang tidak perlu. Bantahan: Tradisi suci adalah bagian dari depositum fidei, diilhamkan oleh Roh Kudus dan dijaga oleh Magisterium. Konsili Vatikan II menegaskan: “Tradisi Suci meneruskan secara utuh sabda Allah yang dipercayakan kepada para Rasul oleh Kristus” (Dei Verbum, 1965, no. 9). Konsili Roma (382 M) menunjukkan peran Magisterium dalam menetapkan kanon Alkitab, bukan sekadar menambah-nambah resep seenaknya.
- Keberatan: Sola Scriptura cukup untuk iman kepada Yesus. Bantahan: Ironisnya, sola scriptura tidak ditemukan dalam Alkitab. Yesus mendirikan Gereja, bukan hanya menyerahkan naskah. Magisterium, melalui konsili seperti Nicea dan Roma, memastikan bahwa ajaran seperti Trinitas dan kanon Alkitab tetap utuh. Tanpa tradisi dan Magisterium, sola scriptura hanyalah undangan untuk interpretasi pribadi yang kacau, seperti membiarkan semua orang menjadi koki tanpa resep.
Kesimpulan
Menganggap “tradisi tidak penting, yang penting Yesus” adalah seperti mengira kita bisa menikmati simfoni Beethoven tanpa orkestra atau partitur. Secara teologis, tradisi adalah wahyu ilahi yang dijaga Magisterium; secara historis, tradisi dan Magisterium menjamin kanon Kitab Suci dan doktrin-doktrin inti; secara eklesiologis, tradisi mencerminkan otoritas Gereja yang dipandu Magisterium; dan secara praktis, tradisi adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan Kristen.
Santo Agustinus, yang tak pernah kehilangan kata-kata tajam, menegaskan: “Aku tidak akan percaya pada Injil jika otoritas Gereja Katolik tidak mendorongku untuk itu” (Contra Epistulam Manichaei, 5:6, dalam Migne, 1844, hlm. 176). Tradisi, Magisterium, dan Yesus adalah trio harmonis dalam pewahyuan ilahi – bukan boyband yang bisa dipisah-pisah. Menolak tradisi adalah seperti mencoba menari tango sendirian: mungkin terlihat berani, tapi hasilnya cuma kekonyolan.2