LIVE DKC [84-2025] SABTU, 5 JULI 2025 PUKUL 19:00 WIB: 95 DALIL LUTHER: PEMBERONTAKAN ATAU KESESATAN??? @EDISTV

By Manuel (Tim DKC)

25 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

LIVE DKC [84-2025] SABTU, 5 JULI 2025 PUKUL 19:00 WIB: 95 DALIL LUTHER: PEMBERONTAKAN ATAU KESESATAN??? @EDISTV

95 Dalil Luther: Pemberontakan atau Kesesatan???

Pada 31 Oktober 1517, Martin Luther, seorang biarawan Agustinian dan teolog di Wittenberg, Jerman, menerbitkan 95 Dalil (Disputatio pro declaratione virtutis indulgentiarum), sebuah dokumen yang memicu Reformasi Protestan dan mengguncang fondasi Gereja Katolik. Ditulis dalam bahasa Latin untuk debat akademis, dalil-dalil ini menyerang penyalahgunaan indulgensi, otoritas kepausan, dan beberapa doktrin inti Katolik, sambil mempromosikan sola fide (keselamatan hanya melalui iman) dan sola scriptura (Alkitab sebagai otoritas tunggal). Meskipun Luther mengaku berniat mereformasi Gereja, dalil-dalilnya memicu perpecahan besar dalam Kekristenan Barat. Artikel ini menyajikan isi lengkap 95 Dalil dengan penjelasan, bantahan dari perspektif Katolik berbasis Kitab Suci, Tradisi Suci, dan magisterium Gereja, serta peran Konsili Trente (1545 - 1563) dalam menanggapi tantangan Luther.

Isi dan Penjelasan 95 Dalil

95 Dalil Luther dikelompokkan ke dalam lima tema utama: pertobatan, indulgensi, harta Gereja, otoritas Paus, dan sola fide. Berikut adalah isi lengkapnya, dengan penjelasan singkat:

1. Pertobatan Sejati (Dalil 1 - 7)

- Dalil 1: “Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus, ketika Ia mengucapkan ‘Bertobatlah,’ menyatakan bahwa seluruh hidup orang-orang yang percaya harus diwarnai dengan pertobatan.”
- Dalil 2: “Kata ‘bertobatlah’ ini tidak merujuk pada sakramen pertobatan, yaitu pengakuan dosa dan kepuasan di bawah kuasa imam.”
- Dalil 3: “Namun, itu juga bukan hanya pertobatan batiniah; karena pertobatan batiniah tanpa perubahan eksternal adalah sia-sia.”
- Dalil 4: “Hukuman dosa tetap ada selama kebencian terhadap diri sendiri (penyesalan sejati) berlangsung, hingga masuk ke Kerajaan Surga.”
- Dalil 5: “Paus tidak memiliki kuasa untuk menghapus hukuman dosa, kecuali yang dikenakan oleh otoritasnya atau hukum kanonik.”
- Dalil 6: “Paus tidak dapat menghapus rasa bersalah, tetapi hanya menyatakan bahwa itu telah diampuni oleh Allah.”
- Dalil 7: “Allah mengampuni dosa seseorang hanya jika orang itu tunduk sepenuhnya kepada imam, wakil Allah.”

Penjelasan: Luther menegaskan bahwa pertobatan adalah proses batiniah yang berkelanjutan, menolak sakramen Pengakuan Dosa sebagai sarana pengampunan resmi. Ia membatasi kuasa Paus pada hukuman kanonik dan menekankan pengampunan langsung dari Allah.

2. Kritik terhadap Indulgensi (Dalil 8 - 55)

- Dalil 8 - 13: Luther menolak bahwa indulgensi berlaku untuk jiwa di api penyucian, menyebut doktrin ini tidak alkitabiah (Dalil 10: “Mereka yang mengajarkan bahwa indulgensi membebaskan jiwa dari api penyucian tanpa bukti Alkitab adalah keliru”).
- Dalil 21 - 24: Ia menuduh pengkhotbah indulgensi, seperti Johann Tetzel, menyesatkan umat dengan klaim bahwa indulgensi membebaskan semua hukuman (Dalil 21: “Mereka yang mengatakan bahwa indulgensi Paus membebaskan semua hukuman telah keliru”).
- Dalil 27 - 32: Luther mengecam slogan Tetzel, “Begitu koin di peti berdenting, jiwa dari api penyucian terbang keluar” (Dalil 27), sebagai manipulasi emosional dan finansial.
- Dalil 41 - 55: Ia mengkritik indulgensi karena menghambat perbuatan baik dan menyesatkan umat (Dalil 50: “Paus lebih suka Basilika Santo Petrus terbakar daripada dibangun dengan kulit dan daging dombanya”).

Penjelasan: Luther menyoroti eksploitasi finansial dalam penjualan indulgensi, terutama untuk membiayai Basilika Santo Petrus, dan menolak doktrin indulgensi sebagai tidak memiliki dasar alkitabiah.

3. Harta Sejati Gereja (Dalil 56 - 66)

- Dalil 56: “Harta Gereja yang sejati tidak diketahui dan tidak dipahami oleh kebanyakan umat Kristen.”
- Dalil 57: “Harta Gereja menjadi terkenal melalui khotbah-khotbah tentang indulgensi, yang menyebabkan umat lebih menghargai indulgensi daripada kebenaran Injil.”
- Dalil 58: “Harta Gereja bukanlah indulgensi, melainkan Kabar Baik tentang rahmat Allah yang diberikan melalui Kristus.”
- Dalil 59: “Khotbah tentang indulgensi membuat orang Kristen percaya bahwa mereka dapat membeli pengampunan tanpa pertobatan sejati.”
- Dalil 60: “Indulgensi tidak menjamin keselamatan, tetapi hanya memberikan keringanan hukuman temporal bagi dosa yang telah diampuni.”
- Dalil 61: “Harta Gereja bukanlah surat indulgensi, melainkan rahmat Allah yang diberikan melalui Kristus.”
- Dalil 62:Harta sesungguhnya dari Gereja adalah Kabar Kemenangan (Kristus) yang Paling Suci dan rahmat dari Tuhan.
- Dalil 63: “Khotbah tentang indulgensi membuat orang Kristen meremehkan kebenaran Injil.”
- Dalil 64: “Umat Kristen harus didorong untuk mengikuti Kristus, bukan membeli indulgensi.”
- Dalil 65: “Khotbah tentang indulgensi telah menyesatkan umat Kristen, menjauhkan mereka dari kasih kepada Allah.”
- Dalil 66: “Harta Gereja adalah rahmat Allah, yang diberikan melalui Kristus, bukan surat indulgensi.”

Penjelasan: Luther mendefinisikan harta Gereja sebagai Injil, menolak konsep thesaurus ecclesiae (jasa Kristus dan para kudus) yang menjadi dasar indulgensi, dan menuduh pengkhotbah indulgensi menyesatkan umat.

4. Otoritas Paus dan Alkitab (Dalil 5 - 7, 81 - 90)

- Dalil 81: “Pengkhotbah indulgensi menyebabkan orang-orang terpelajar mengecam Paus karena memberikan indulgensi yang meragukan.”
- Dalil 82:Mengapa Paus tidak membebaskan semua jiwa dari api penyucian karena kasih, bukan karena uang?
- Dalil 83: “Mengapa kanon-kanon tentang api penyucian tidak dihapus, jika indulgensi dapat membebaskan jiwa?”
- Dalil 84: “Apa artinya doktrin baru ini, bahwa jiwa dibebaskan karena uang, bukan karena rahmat Allah?”
- Dalil 85: “Mengapa Paus, yang memiliki kuasa atas api penyucian, tidak membebaskan semua jiwa sekaligus?”
- Dalil 86:Mengapa Paus, yang lebih kaya dari Croesus, membangun Basilika dengan uang orang miskin, bukan hartanya sendiri?
- Dalil 87: “Apa yang diberikan Paus kepada mereka yang, melalui pertobatan sejati, telah menerima pengampunan penuh?”
- Dalil 88: “Apa manfaatnya jika Paus memberikan indulgensi seratus kali sehari kepada setiap orang percaya?”
- Dalil 89: “Jika Paus ingin membebaskan jiwa dari api penyucian, mengapa ia tidak melakukannya tanpa indulgensi?”
- Dalil 90: “Menekan pertanyaan-pertanyaan umat dengan kekerasan, bukan alasan, adalah tanda ketidakbenaran.”

Penjelasan: Luther menantang otoritas Paus untuk mengeluarkan indulgensi, menuduhnya mengeksploitasi umat miskin, dan menegaskan Alkitab sebagai otoritas tertinggi (sola scriptura).

5. Iman vs. Perbuatan (Dalil 36 - 37, 91 - 95)

- Dalil 36: “Setiap orang Kristen yang merasakan penyesalan sejati akan mendapatkan pengampunan dosa seluruhnya, bahkan tanpa surat indulgensi.”
- Dalil 37: “Setiap orang Kristen sejati, baik hidup maupun mati, memiliki bagian dalam semua rahmat Kristus dan Gereja, tanpa perlu indulgensi.”
- Dalil 91: “Jika indulgensi dikhotbahkan sesuai dengan semangat dan kehendak Paus, semua keraguan akan hilang dengan sendirinya.”
- Dalil 92: “Jauhkan semua nabi palsu yang berkata kepada umat Kristen, ‘Damai, damai,’ padahal tidak ada damai.”
- Dalil 93: “Berbahagialah mereka yang berkata kepada umat Kristen, ‘Salib, salib,’ tetapi tidak ada salib.”
- Dalil 94: “Orang-orang Kristen harus didorong untuk mengikuti Kristus, kepala mereka, melalui penderitaan, kematian, dan neraka.”
- Dalil 95: “Dan dengan demikian, lebih baik memasuki surga melalui banyak penderitaan daripada melalui jaminan palsu dari kedamaian.”

Penjelasan: Luther mempromosikan sola fide, menolak peran perbuatan baik atau sakramen dalam keselamatan, dan menyerukan kembalinya ke iman sejati yang diwujudkan melalui penderitaan.

Bantahan dari Perspektif Katolik

Berikut adalah bantahan terperinci terhadap tema-tema utama dalil Luther, dengan dukungan dari Kitab Suci, Tradisi Suci, magisterium, dan respons Konsili Trente:

1. Pertobatan dan Sakramen Pengakuan Dosa

Penolakan Luther terhadap sakramen Pengakuan Dosa (Dalil 2 - 3) menciptakan dikotomi palsu antara pertobatan batiniah dan tindakan eksternal. Gereja Katolik mengajarkan bahwa sakramen ini mencakup tiga elemen: pertobatan batiniah (contritio cordis), pengakuan mulut (confessio oris), dan kepuasan (satisfactio operis). Yohanes 20:22-23 menyatakan, “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa seseorang, dosanya diampuni.” Kuasa ini diberikan kepada para rasul dan diwariskan melalui suksesi apostolik kepada imam-imam (KGK 1441).
Konsili Trente menegaskan, “Sakramen Pengakuan Dosa adalah sarana yang ditetapkan Kristus untuk pengampunan dosa, dan siapa pun yang menyangkal kebutuhannya melakukan anatema” (Sessio XIV, Kanon 6, 1551). Penolakan Luther terhadap sakramen ini mengabaikan struktur ilahi yang ditetapkan Yesus. Ironisnya, Dalil 7 Luther mengakui peran imam, tetapi ia gagal memahami bahwa imam bertindak in persona Christi.

2. Indulgensi: Penyalahgunaan vs. Doktrin

Kritik Luther terhadap penyalahgunaan indulgensi (Dalil 8 - 55),
terutama oleh Johann Tetzel, beralasan karena praktik seperti slogan “Begitu koin di peti berdenting” memang manipulatif. Namun, penolakan Luther terhadap doktrin indulgensi secara keseluruhan keliru. Indulgensi adalah penghapusan hukuman temporal akibat dosa yang telah diampuni melalui sakramen, berdasarkan kuasa “mengikat dan melepaskan” (Matius 16:19). Katekismus Gereja Katolik (KGK) menjelaskan, “Indulgensi diperoleh melalui Gereja yang, berdasarkan kuasa yang diberikan oleh Kristus, campur tangan demi kepentingan umat Kristen” (KGK 1478).

Konsili Trente menanggapi Luther dengan mereformasi praktik indulgensi, melarang penjualannya untuk keuntungan finansial: “Semua keuntungan jahat dari indulgensi harus dihapuskan” (Sessio XXV, Dekret tentang Indulgensi, 1563). Konsili ini juga menegaskan keabsahan doktrin: “Gereja memiliki kuasa untuk memberikan indulgensi, dan penggunaannya sangat bermanfaat bagi umat Kristen” (Sessio XXV). Pendekatan Luther yang menghapus seluruh doktrin karena penyalahgunaan individu ibarat membuang bayi bersama air mandi – berlebihan dan merusak.

3. Harta Gereja

Definisi Luther bahwa harta Gereja hanya Injil (Dalil 56 - 66) mengabaikan ajaran Katolik bahwa harta Gereja mencakup jasa tak terbatas Kristus dan para kudus, yang diberikan melalui kasih karunia. KGK menyatakan, “Harta rohani ini adalah persekutuan kasih yang tak terbatas dari Kristus dan para kudus” (KGK 1476).
Konsili Trente menegaskan bahwa harta ini adalah dasar indulgensi, yang diterapkan melalui otoritas Gereja (Sessio XXV). Dikotomi Luther antara Injil dan harta Gereja adalah penyederhanaan yang menyesatkan, mengabaikan peran persekutuan para kudus dalam ekonomi keselamatan.

4. Otoritas Paus dan Sola Scriptura

Penolakan Luther terhadap otoritas kepausan (Dalil 5 - 7, 81 - 90) bertentangan dengan Matius 16:18-19, yang menyatakan, “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan
jemaat-Ku… Aku akan memberikan kepadamu kunci-kunci Kerajaan Surga.” Kuasa ini diwariskan kepada para Paus sebagai penerus Petrus. Doktrin sola scriptura Luther mengabaikan 2 Tesalonika 2:15, yang memerintahkan, “Berpeganglah pada ajaran yang telah kami ajarkan, baik secara lisan maupun melalui surat.” Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Kitab Suci dan Tradisi Suci “membentuk satu deposit iman yang kudus” (Dei Verbum 10, 1965).

Konsili Trente menanggapi Luther dengan menegaskan bahwa Tradisi Suci memiliki otoritas setara dengan Alkitab: “Kebenaran ilahi terkandung dalam Kitab Suci dan Tradisi, yang diterima dari para rasul” (Sessio IV, Dekret tentang Kitab Suci dan Tradisi, 1546). Pendekatan Luther membuka pintu bagi interpretasi subjektif, yang menyebabkan fragmentasi, sebagaimana dicatat oleh Brad S. Gregory: “Keteguhan Luther pada sola scriptura… menyebabkan proliferasi interpretasi yang saling bersaing, merusak kesatuan yang ia klaim dikejar” (The Unintended Reformation, 2012, hlm. 92).

5. Sola Fide dan Perbuatan Baik

Doktrin sola fide Luther (Dalil 36 - 37, 91 - 95) menolak peran perbuatan baik dalam keselamatan, menyatakan bahwa iman saja cukup. Namun, Yakobus 2:17 menegaskan, “Iman, jika tidak disertai perbuatan, adalah mati.” Gereja Katolik mengajarkan bahwa iman dan perbuatan adalah ekspresi kasih karunia yang sama (KGK 1815).

Konsili Trente menanggapi Luther dengan tegas: “Jika seseorang mengatakan bahwa manusia dibenarkan hanya oleh iman tanpa perbuatan, biarlah ia dikutuk” (Sessio VI, Kanon 9, 1547). Konsili ini menegaskan bahwa keselamatan melibatkan iman yang bekerja melalui kasih: “Kita dibenarkan oleh iman, tetapi iman ini harus bekerja melalui kasih” (Sessio VI, Kanon 24). Karikatur Luther bahwa Gereja mengajarkan keselamatan melalui usaha manusia semata adalah keliru.

Peran Konsili Trente

Konsili Trente (1545 - 1563), diadakan di Trento, Italia, adalah respons resmi Gereja Katolik terhadap Reformasi Protestan, termasuk tantangan Luther dalam 95 Dalil. Konsili ini, yang terdiri dari tiga sesi utama (1545 - 1547, 1551 - 1552, 1562 - 1563), bertujuan untuk memperjelas doktrin Katolik, mereformasi penyalahgunaan, dan memperkuat disiplin Gereja. Berikut adalah kontribusi utama Konsili Trente dalam menanggapi Luther:
- Reformasi Indulgensi: Konsili Trente mengakui penyalahgunaan indulgensi dan melarang penjualannya untuk keuntungan finansial: “Semua keuntungan jahat dari indulgensi harus dihapuskan” (Sessio XXV, Dekret tentang Indulgensi, 1563).
- Penegasan Sakramen: Konsili Trente menegaskan bahwa sakramen, termasuk Pengakuan Dosa, adalah sarana yang ditetapkan Kristus untuk pengampunan dosa: “Sakramen Pengakuan Dosa diperlukan untuk keselamatan bagi mereka yang berdosa setelah baptis” (Sessio XIV, Kanon 6, 1551).
- Otoritas Kitab Suci dan Tradisi: Menanggapi sola scriptura Luther, Konsili Trente menegaskan bahwa Kitab Suci dan Tradisi Suci adalah dua sumber otoritas yang saling melengkapi: “Kebenaran ilahi terkandung dalam Kitab Suci dan Tradisi, yang diterima dari para rasul” (Sessio IV, 1546).
- Doktrin Pembenaran: Konsili Trente menjelaskan doktrin pembenaran, menyatakan bahwa pembenaran adalah anugerah Allah yang diterima melalui iman, tetapi iman ini harus diekspresikan melalui kasih dan perbuatan baik (Sessio VI, Dekret tentang Pembenaran, 1547).
- Otoritas Kepausan: Konsili Trente menegaskan otoritas Paus sebagai penerus Petrus, berdasarkan Matius 16:18-19, menolak Dalil 5–7 dan 81–90 Luther yang membatasi kuasa Paus.

Konsili Trente tidak hanya menanggapi Luther tetapi juga memulai Reformasi Gereja Katolik. John W. O’Malley mencatat, “Trente bukan sekadar reaksi terhadap Luther, tetapi upaya menyeluruh untuk memperbarui Gereja” (Trent: What Happened at the Council, 2013, hlm. 247).

Konteks Historis dan Dampak

95 Dalil Luther tersebar luas melalui teknologi cetak, mengubahnya dari proposisi akademis menjadi manifesto revolusioner. Pettegree (2022) menyoroti bahwa keberhasilan 95 Dalil tidak hanya karena isinya, tetapi juga distribusinya melalui pamflet dalam bahasa vernakular. Kritiknya terhadap penyalahgunaan indulgensi mendorong Konsili Trente untuk mereformasi praktik Gereja, tetapi penolakan Luther terhadap otoritas kepausan, Tradisi Suci, dan peran perbuatan baik memicu perpecahan yang mendalam. Dampaknya adalah fragmentasi Kekristenan, dengan munculnya berbagai denominasi Protestan yang saling bertentangan dalam interpretasi Alkitab. Roper (2021) dan Oberman (2023) menegaskan bahwa perpecahan ini juga mempercepat sekularisasi dan individualisme di Eropa.

Metodologi Luther juga bermasalah. Ia mengandalkan interpretasi pribadi terhadap Alkitab, mengabaikan tradisi eksegesis Gereja yang telah teruji selama berabad-abad. Pendekatan ini membuat setiap individu menjadi “paus” bagi dirinya sendiri, menghasilkan kekacauan teologis yang masih terlihat hingga kini.

Kesimpulan

95 Dalil Martin Luther adalah pedang bermata dua: kritiknya terhadap penyalahgunaan indulgensi beralasan dan memicu reformasi melalui Konsili Trente, tetapi serangannya terhadap sakramen, otoritas kepausan, dan peran perbuatan baik adalah kesesatan yang merobek tubuh Kristus.

Konsili Trente menjawab tantangan Luther dengan memperjelas doktrin, mereformasi penyalahgunaan, dan menegaskan iman Katolik yang utuh: keselamatan adalah anugerah Allah, diterima melalui iman yang hidup dalam kasih dan perbuatan baik, di bawah bimbingan Gereja yang didirikan Kristus. Niat Luther mungkin tulus, tetapi hasilnya adalah perpecahan yang masih menghantui Kekristenan. Seperti kata pepatah, “Jalan menuju kehancuran sering diaspal dengan niat mulia.”1

Exsurge Domine – Mengecam Kesalahan Martin Luther [Paus Leo X – 1520]

Akan tetapi, jika Martinus ini, para pendukungnya, penganutnya dan kaki tangannya, yang sangat kami sesalkan, dengan keras kepala tidak menaati ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam kurun waktu yang disebutkan, maka kami akan, mengikuti ajaran Rasul Paulus yang kudus, yang mengajarkan kita untuk menjauhi seorang bidat setelah menegurnya untuk pertama dan kedua kalinya, mengutuk Martinus ini, para pendukungnya, penganutnya dan kaki tangannya sebagai pokok anggur yang tandus yang tidak ada di dalam Kristus, yang mengkhotbahkan doktrin yang menyinggung yang bertentangan dengan iman Kristen dan menyinggung keagungan ilahi, yang merugikan dan mempermalukan seluruh Gereja Kristen, dan merendahkan kunci-kunci Gereja sebagai bidat yang keras kepala dan terbuka.]* . . .2

Tayangan Video Pdt. Protestan “Kelemahan Gereja Protestan di Indonesia”

Tayangan Video Pdt. Protestan ”Ga Ada Khotbah yang Ga Ngomongin Sola Cuan; Jemaat dah Pintar, Ga Mau Dibohongi Setan Perpuluhan”

Tayangan Video ”Enam Gereja Berdiri Berdampingan”

Tayangan Video ”Pdt. Berebut Jemaat dan Perpuluhan”

Tayangan Video Podcast Pst. Charismatic tentang “Money Politic dalam Pemilihan Ketua Sinode”

“95 Dalil Luther: Sebuah Tanggapan”

Hadirin sekalian yang diberkati,
Bayangkan, tanggal 31 Oktober 1517. Udara di Wittenberg, Jerman, terasa dingin, tetapi di hati seorang rahib Augustinian bernama Martin Luther, semangatnya membara. Dengan palu di tangan dan api teologis di jiwa, ia mendekati pintu Gereja Kastel Wittenberg dan melakukan sesuatu yang akan mengubah wajah Eropa selamanya: memaku 95 dalilnya. Itu bukan sekadar pengumuman, melainkan dentuman palu yang gaungnya terdengar hingga ke Roma.

Lima abad kemudian, Gereja Katolik ingin menanggapinya. Bukan dengan palu tandingan, melainkan dengan kerendahan hati seorang koki tua yang resep supnya dikritik keasinan oleh seorang tamu yang bersemangat. Kami mengakui, beberapa bumbu di dapur kami saat itu memang sedikit berlebihan. Namun, dengan senyum ala Santo Filipus Neri – yang dikenal suka iseng – mari kita bedah keluhan ini, mempertahankan iman, dan mungkin, mengajak Saudara Luther minum kopi teologis bersama.

Indulgensi: Obat Rohani, Bukan Tiket Emas ke Surga

Dalam dalil-dalilnya, Luther melukiskan indulgensi sebagai semacam lelang tiket VVIP ke surga, terutama dengan slogan terkenal dari pengkhotbah Johann Tetzel: ”Begitu koin di kotak berdenting, jiwa dari api penyucian melompat!” (Dalil 27).

Tanggapan Katolik (sambil menyeduh teh):

“Saudara Luther, kami setuju! Jika indulgensi dijual seperti tiket konser, itu jelas sebuah skandal. Tapi, engkau salah paham. Indulgensi bukanlah undangan pesta, melainkan resep dari Apotek Iman Gereja.”
Bayangkan begini: Sakramen Pengakuan Dosa itu seperti operasi yang mengangkat tumor dosa. Dosamu diampuni, tetapi bekas lukanya masih ada. Nah, indulgensi adalah salep rohani untuk menyembuhkan bekas luka
itu (dikenal sebagai hukuman temporal). Salep ini diramu dari “kas perbendaharaan Gereja” – yaitu jasa tak terbatas dari Kristus dan doa para kudus (KGK 1471). Ini adalah obat, bukan barang dagangan.

Memang, beberapa oknum seperti Tetzel, sang salesman rohani paling mahir di zamannya, menjualnya dengan promosi “beli satu gratis satu” yang keterlaluan. Itulah sebabnya Konsili Trente (1563) turun tangan, ibarat badan pengawas obat dan makanan ilahi, yang melarang keras malapraktik dan memastikan “obat” ini diberikan dengan resep yang benar: doa, pertobatan, dan karya kasih.

Jadi, Saudara Luther, kami sepakat bahwa salesman-nya harus dipecat. Tetapi, jangan buang seluruh apoteknya!

Sola Scriptura: Peta Ilahi Butuh Kompas Tradisi

Luther berseru lantang bahwa Alkitab, dan hanya Alkitab (Sola Scriptura), adalah satu-satunya harta sejati Gereja (Dalil 62). Tradisi Suci dianggapnya sebagai tambahan yang tidak perlu, seperti aksesori yang ketinggalan zaman.

Tanggapan Katolik (sambil membuka peta kuno):

“Saudara Luther! Alkitab memang peta harta karun kita yang paling berharga. Tetapi, berlayar di lautan teologi tanpa kompas Tradisi adalah resep pasti untuk menabrak karang kesesatan!”
Pikirkan ini: Bagaimana kita tahu kitab mana yang asli dan mana yang “hoax”? Siapa yang memutuskan Injil Matius itu firman Tuhan, sementara Injil Tomas tidak? Bukan malaikat yang turun dari surga membawa daftar isi. Keputusan itu dibuat oleh Gereja perdana dalam konsili-konsili seperti Roma (382), Hippo (393) dan Kartago (397), yang dipandu oleh Roh Kudus melalui Tradisi Apostolik. Tradisi adalah konteks yang memberi makna pada teks.
Tanpa Tradisi, setiap orang bisa menjadi kapten kapalnya sendiri, menafsirkan peta sesuka hati, dan berakhir di pulau yang berbeda-beda. Konsili Trente (1546) menegaskan bahwa Kitab Suci dan Tradisi adalah dua paru-paru dari satu tubuh Wahyu Ilahi. Keduanya bernapas bersama.

Jadi, mari kita baca peta ini bersama, dengan kompas di tangan, bukan malah melempar kompasnya ke laut!

Otoritas Paus: Gembala Utama, Bukan Kaisar Romawi

Luther menggugat otoritas Paus untuk mengampuni dosa atau melepaskan jiwa dari api penyucian (Dalil 5-7), seolah-olah Paus adalah seorang kaisar absolut yang bisa mengeluarkan dekret sesuka hatinya.

Tanggapan Katolik (sambil memperbaiki tiara yang sedikit miring):

“Saudara Luther, Paus bukanlah seorang kaisar, melainkan seorang gembala. Dan, kami akui, beberapa gembala kami di zamanmu lebih sibuk mengagumi lukisan di Vatikan daripada mencari domba yang hilang.”

Otoritas Paus berasal dari janji Kristus kepada Petrus: “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga” (Matius 16:18-19). Ia adalah simbol persatuan dan penjaga ajaran iman. Tentu, infalibilitas Paus – seperti yang didefinisikan Konsili Vatikan I (1870) – sangat terbatas pada ajaran iman dan moral yang diumumkan ex cathedra. Itu bukan berarti ramalan cuacanya selalu benar atau pilihan sepatunya paling modis.

Kami mengakui, pada masa Renaisans, beberapa Paus bertindak lebih seperti pangeran daripada penerus nelayan sederhana dari Galilea. Reformasi yang Anda suarakan, ironisnya, memicu Konsili Trente, yang menjadi momen “berbenah diri” besar-besaran bagi Gereja. Kami memperbaiki pagar kandang yang rusak dan mengingatkan para gembala akan tugas utamanya.

Jadi, daripada memaku protes di pintu kandang, mari bantu kami memperbaiki pagarnya.

Iman & Perbuatan: Dua Sayap untuk Terbang ke Surga

Dengan semboyan Sola Fide, Luther menyatakan bahwa manusia dibenarkan oleh iman semata. Perbuatan baik dianggapnya tidak memiliki andil dalam keselamatan.

Tanggapan Katolik (sambil menirukan gerakan seekor burung):

“Saudara Luther, iman tanpa perbuatan itu seperti burung dengan satu sayap. Ia mungkin bisa mengepak-ngepak dengan panik di tanah, tetapi ia tidak akan pernah bisa terbang.”

Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa kita bisa “membeli” surga dengan amal, seolah-olah mengumpulkan poin loyalitas untuk ditukar dengan keselamatan. Pembenaran adalah 100% anugerah cuma-cuma dari Allah. Namun, iman yang sejati dan hidup secara alami akan menghasilkan buah, yaitu perbuatan kasih. Seperti yang dikatakan Surat Yakobus (2:17), “Iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati.”

Konsili Trente (1547) menjelaskannya dengan indah: pembenaran adalah sebuah tarian antara anugerah Allah dan tanggapan bebas kita. Allah mengulurkan tangan-Nya, dan kita menyambutnya dengan iman yang diwujudkan dalam tindakan. Iman adalah sayap kiri, perbuatan kasih adalah sayap kanan. Keduanya dibutuhkan untuk melayang menuju surga.

Tujuh Sakramen: Perjamuan Lengkap, Kenapa Cuma Pesan Appetizer?

Luther merampingkan sakramen dari tujuh menjadi dua (Baptis dan Ekaristi), dengan alasan hanya keduanya yang memiliki dasar eksplisit dalam Alkitab.

Tanggapan Katolik (sambil menata meja perjamuan):

“Saudara Luther, mengapa engkau hanya mau menyantap hidangan pembuka, padahal Kristus telah menyiapkan perjamuan tujuh hidangan yang melimpah?”
Meninggalkan lima sakramen lainnya itu seperti meninggalkan pesta di Kana setelah roti dan air, padahal Yesus baru saja akan mengubah air menjadi anggur terbaik! Setiap sakramen adalah saluran rahmat yang nyata:

- Pengakuan Dosa? Yesus sendiri memberi kuasa kepada para rasul, “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni” (Yohanes 20:23).
- Krisma (Penguatan)? Para rasul menumpangkan tangan untuk mencurahkan Roh Kudus (Kisah Para Rasul 8:17).
- Dan begitu pula dengan Perkawinan, Imamat, dan Pengurapan Orang Sakit.

Semua ini berakar kuat dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci – kompas yang tadi kita bicarakan. Konsili Trente (1547) kembali menegaskan kekayaan tujuh sakramen ini, memastikan tidak ada tamu di pesta Tuhan yang pulang kelaparan rohani.

Jadi, Saudara Luther, mari nikmati seluruh hidangan. Jangan cuma puas dengan menu pembuka!

Epilog: Undangan untuk Secangkir Kopi Teologis

Saudara Martin Luther, dengan segala (tidak) hormat, 95 dalilmu adalah alarm yang sangat berisik, tapi jujur, kami membutuhkannya. Engkau membangunkan kami dari tidur yang mungkin terlalu nyenyak. Konsili Trente adalah jawaban kami: dapur Gereja berbenah, resep-resep yang keliru diperbaiki, dan para koki diingatkan kembali akan standar ilahi.

Gereja Katolik, kapal Petrus yang telah oleng dihantam badai selama 2.000 tahun namun tak pernah tenggelam, mengakui lukanya. Ya, kadang kami salah memilih bumbu, dan beberapa pelayan kami tidak seramah seharusnya.

Namun kini, di abad ke-21, daripada terus berdebat di depan pintu gereja yang sudah reyot itu, bagaimana jika kita duduk bersama? Mari kita nikmati secangkir kopi (atau teh, pilihanmu), memecahkan Roti Ekaristi yang sama-sama kita cintai, dan berbicara sebagai saudara yang terpisah, mencari jalan pulang ke rumah Bapa yang satu. Siapa tahu, kita bisa menulis 95 dalil baru bersama-sama, bukan tentang protes, tetapi tentang harapan dan rekonsiliasi.

  1. penerjemah Hans J. Hillerbrand, ed. “The Reformation in its own Words” (London: SCM Press Ltd., 1964), hlm. 80-84 

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya