LIVE DKC [81-2025] SELASA, 1 JULI 2025 PUKUL 19:00 WIB: DARI TINTA LUTHER KE ABU HOLOCAUST, MEMUJI OTTOMAN DEMI MENOHOK ROMA!!!
Dari Tinta Luther ke Abu Holocaust: Jejak Antisemitisme yang Tak Bisa Dibantah
Martin Luther, tokoh Reformasi Protestan yang mengguncang Eropa abad ke-16 dengan 95 Tesisnya, sering dianggap sebagai simbol keberanian intelektual melawan otoritas Gereja Katolik Roma. Namun, di balik sorotan kejayaannya, ada warisan kelam yang tak bisa dielakkan: tulisan-tulisannya yang penuh kebencian terhadap kaum Yahudi, terutama dalam Tentang Kaum Yahudi dan Kebohongan-Kebohongan Mereka (Von den Juden und ihren Lügen, 1543). Karya ini, dengan retorika kekerasannya, menjadi bahan bakar ideologis yang dimanfaatkan rezim Nazi untuk membenarkan Holocaust.
Artikel ini menelusuri hubungan antara tulisan-tulisan Luther dan narasi antisemitik yang memuncak pada genosida abad ke-20, sambil menyoroti upaya Gereja Katolik modern—melalui kunjungan dua Paus ke Israel dan dokumen teologis – untuk menolak warisan kebencian tersebut. Dengan memeriksa konteks historis, teologis, dan politis, serta dampak jangka panjangnya, artikel ini mengungkap bagaimana ide-ide Luther disalahgunakan dan bagaimana Gereja Katolik berupaya memperbaiki luka sejarah.
Latar Belakang: Antisemitisme Teologis Luther
Pada awal kariernya, Luther menunjukkan sikap yang relatif simpatik terhadap Yahudi dalam Yesus Kristus Lahir sebagai Yahudi (1523), berharap mereka akan memeluk agama Kristen sebagai bagian dari visinya untuk mereformasi gereja. Ia menulis: “Kita harus memperlakukan mereka dengan kasih Kristen dan berdoa agar mereka berpindah agama” (Lindemann, 2000, hlm. 87).
Namun, ketika harapan ini tidak terwujud, sikapnya berbalik menjadi permusuhan ekstrem. Dalam Tentang Kaum Yahudi dan Kebohongan-Kebohongan Mereka (1543), Luther melontarkan seruan kekerasan: “Apa yang harus kita lakukan, kita orang Kristen, dengan orang-orang Yahudi yang ditolak dan dikutuk ini? … Pertama, sinagoge mereka harus dibakar … Kedua, rumah-rumah mereka juga harus dihancurkan dan diratakan dengan tanah … Ketiga, semua buku doa dan Talmud mereka harus dirampas” (Oberman, 1984, hlm. 292).
Retorika ini bukan sekadar ekspresi kemarahan teologis; ia mencerminkan stereotip antisemitik abad pertengahan, seperti tuduhan bahwa Yahudi adalah “peracun sumur” atau pelaku “pembunuhan ritual.” Luther menuduh Yahudi sebagai musuh Kristus yang secara kolektif bertanggung jawab atas kematian-Nya, sebuah pandangan yang memperkuat narasi “deicide” (pembunuhan Tuhan) yang sudah mengakar di Eropa Kristen. Heiko A. Oberman menegaskan: “Luther tidak menciptakan antisemitisme, tetapi ia memberikan legitimasi teologis yang kuat untuknya, yang bertahan lama setelah kematiannya” (Oberman, 1984, hlm. 123).
Penyalahgunaan Warisan Luther oleh Nazi
Meskipun Luther hidup empat abad sebelum Holocaust, tulisannya menjadi alat propaganda yang ampuh bagi Nazi. Christopher J. Probst dalam Demonizing the Jews: Luther and the Protestant Church in Nazi Germany (2012) menjelaskan: “Banyak pendeta Lutheran mengutip traktat Luther untuk memperkuat narasi bahwa Yahudi adalah ancaman bagi masyarakat Kristen, sehingga mendukung agenda Sosialis Nasional” (Probst, 2012, hlm. 67).
Selama pengadilan Nuremberg 1946, Julius Streicher, pemimpin redaksi surat kabar antisemitik Der Stürmer, membela diri dengan merujuk pada Luther, menyatakan:
“Luther telah menyerukan pemusnahan Yahudi, dan kami hanya mengikuti jejaknya” (Jerusalem Post, 7 November 2024).
Meskipun konteks Luther bersifat teologis, bukan rasial seperti ideologi Nazi, bahasa kekerasannya—seperti seruan untuk membakar sinagoge – mudah disalahgunakan.
Pada 1938, selama Kristallnacht, pendeta-pendeta pro-Nazi, termasuk anggota Gereja Jerman Kristen (Deutsche Christen), mengutip Luther untuk membenarkan pembakaran sinagoge dan penyerangan terhadap komunitas Yahudi. Robert Michael dalam Holy Hatred: Christianity, Antisemitism, and the Holocaust (2006) menegaskan: “Retorika kekerasan Luther memberikan lapisan teologis bagi kebijakan Nazi, menjembatani prasangka abad pertengahan dengan genosida modern” (Michael, 2006, hlm. 112).
Nazi menerbitkan ulang karya Luther dalam jumlah besar, terutama pada peringatan ulang tahunnya di tahun 1930-an, untuk memperkuat narasi bahwa Yahudi adalah ancaman eksistensial bagi Jerman Kristen. Menurut laporan dari Yad Vashem (2024): “Tulisan-tulisan Luther digunakan secara strategis oleh Nazi untuk memanfaatkan otoritasnya sebagai figur Protestan yang dihormati, sehingga melegitimasi kebijakan anti-Yahudi mereka di mata masyarakat Jerman”.
Konteks Historis Antisemitisme: Dari Abad Pertengahan ke Nazi
Antisemitisme di Eropa abad ke-16 sudah mengakar, dengan tuduhan seperti “pembunuhan ritual” atau “peracun sumur.” Luther mewarisi narasi ini dan memperhebatnya dengan seruan tindakan kekerasan. Dalam The Jews and Their Lies, ia menulis: “Mereka adalah anak-anak iblis, dan kita harus melindungi diri kita dari racun mereka” (Lindemann, 2000, hlm. 94).
Narasi ini bergema dalam propaganda Nazi, yang menggambarkan Yahudi sebagai “parasit” yang mengancam “kemurnian” ras Arya. Susannah Heschel dalam The Aryan Jesus: Christian Theologians and the Bible in Nazi Germany (2008) menegaskan: “Tulisan-tulisan Luther bukan sekadar artefak sejarah; mereka secara aktif dimanfaatkan oleh teolog pendukung Nazi untuk membenarkan dehumanisasi Yahudi” (Heschel, 2008, hlm. 45).
Gereja Jerman Kristen menerbitkan versi “Aryanized” dari Alkitab yang menghapus elemen-elemen Yahudi, sebuah langkah yang dipengaruhi oleh semangat anti-Yahudi Luther. Namun, Luther tidak meramalkan Holocaust, dan konteksnya adalah teologis, bukan rasial. Meski begitu, dampak tulisannya tak terbantahkan. United States Holocaust Memorial Museum (2024) mencatat: “Bahasa inflamasi Luther memberikan pembenaran historis dan religius yang selaras dengan ideologi Nazi, meskipun niat aslinya berbeda”.
Respon Katolik: Rekonsiliasi melalui Dokumen Teologis dan Kunjungan Paus
Gereja Katolik, yang juga memiliki sejarah kelam terkait antisemitisme, berupaya memperbaiki hubungan dengan komunitas Yahudi melalui langkah-langkah modern. Konsili Vatikan II (1962-1965) menghasilkan Nostra Aetate, yang menolak narasi anti-Yahudi: “Meskipun otoritas Yahudi bersama dengan para pengikutnya mendesak kematian Kristus, hal ini tidak dapat ditimpakan kepada semua orang Yahudi yang hidup pada waktu itu, apalagi kepada orang-orang Yahudi masa kini” (Nostra Aetate, 1965, par. 4).
Dokumen ini menjadi dasar rekonsiliasi, kontras dengan retorika Luther. Kunjungan Paus ke Israel memperkuat komitmen ini. Paus Yohanes Paulus II, pada tahun 2000, menjadi Paus pertama yang mengunjungi Israel sejak Paus Paulus VI pada 1964. Ia berdoa di Tembok Ratapan dan meminta maaf atas antisemitisme Kristen: “Kami sangat menyesal atas perilaku mereka yang, dalam sejarah, telah menyebabkan penderitaan bagi umat Yahudi” (The Guardian, 26 Maret 2000). Ia memasukkan doa permintaan maaf ke dalam celah Tembok Ratapan dan mengunjungi Yad Vashem. The New York Times (27 Maret 2000) mencatat: “Kunjungan Paus mengubah hubungan Katolik-Yahudi, menunjukkan bahwa Gereja modern menolak warisan kebencian yang pernah dianut oleh tokoh-tokoh seperti Luther” (Fisher, 2000).
Paus Fransiskus melanjutkan upaya ini pada 2014, mengunjungi Tembok Barat, Masjid Al-Aqsa, dan Yad Vashem, seraya menyerukan perdamaian antaragama: “Semoga kita belajar untuk memahami penderitaan yang lain. Semoga tidak ada yang menyalahgunakan nama Tuhan dengan kekerasan” (BBC News Indonesia, 27 Mei 2014). Ia bertemu penyintas Holocaust dan menandatangani pernyataan bersama dengan pemimpin Yahudi dan Muslim. Catholic News Service (26 Mei 2014) melaporkan: “Kunjungan Paus Fransiskus memperkuat dialog antaragama dan menolak segala bentuk kebencian” (Carroll, 2014). Vatican News (27 Mei 2014) menambahkan: “Kunjungan ini merupakan langkah simbolis untuk menyembuhkan luka sejarah dan membangun jembatan dengan komunitas Yahudi.”
Kritik terhadap Luther: Ironi Sang Reformator
Luther, yang menentang korupsi Gereja demi “kebenaran Alkitab,” terjebak dalam kebencian yang bertentangan dengan kasih Kristiani. Tulisannya tentang Yahudi adalah pengkhianatan terhadap misi reformasinya. John T. Pawlikowski dalam The Challenge of the Holocaust for Christian Theology (2000) menulis:
“Kegagalan Luther untuk menyeimbangkan semangat teologisnya dengan kasih meninggalkan warisan yang memicu kekerasan selama berabad-abad” (SIDIC Periodical, 2000, hlm. 15).
Sementara Gereja Katolik modern berupaya menebus masa lalu melalui Nostra Aetate dan kunjungan Paus, Luther tidak pernah menunjukkan pertobatan atas kata-katanya yang beracun.
Kesimpulan
Tulisan-tulisan Martin Luther, khususnya Tentang Kaum Yahudi dan Kebohongan-Kebohongan Mereka, memberikan fondasi ideologis yang dimanfaatkan Nazi untuk membenarkan Holocaust. Meskipun konteksnya teologis, bahasa kekerasannya—seperti seruan untuk membakar sinagoge – mudah disalahgunakan.
Warisannya menjembatani antisemitisme abad pertengahan dengan genosida modern. Sebaliknya, Gereja Katolik modern, melalui Nostra Aetate dan kunjungan Paus Yohanes Paulus II serta Fransiskus ke Israel, menunjukkan komitmen untuk menyembuhkan luka sejarah.
Langkah-langkah ini kontras dengan kegagalan Luther melampaui prasangka zamannya. Warisan Luther mengingatkan bahwa reformator besar pun bisa jatuh ke dalam kegelapan moral, sementara upaya Katolik modern menawarkan teladan rekonsiliasi.1
Kelicikan Luther: Memuji Ottoman demi Menohok Roma
Martin Luther, penggagas Reformasi Protestan abad ke-16, dikenal karena serangannya yang pedas terhadap Gereja Katolik. Namun, pandangannya terhadap Islam, khususnya Kekaisaran Ottoman yang ia sebut “Turki,” mengungkapkan sisi licik yang penuh kontradiksi. Luther tidak hanya memandang Ottoman sebagai ancaman, tetapi juga memuji disiplin, kesederhanaan, organisasi, ketakwaan, dan moralitas mereka – bukan karena kagum, melainkan untuk mempermalukan Gereja Katolik. Pujian ini, meski tampak berani, hanyalah senjata retoris untuk menyerang Roma, bukan cerminan hati yang terbuka.
Artikel ini menganalisis motivasi di balik pujian Luther terhadap Ottoman, dengan fokus mendalam pada berbagai pujian yang ia ungkapkan, mengeksplorasi konteks historis, teologis, dan implikasinya dari perspektif Katolik. Dengan merujuk sumber akademis kredibel, artikel ini menyusun analisis sistematis untuk memahami bagaimana Luther memanfaatkan Islam dalam wacana reformasinya.
Konteks Historis: Ottoman sebagai Ancaman dan Alat Retoris
Abad ke-16 menyaksikan Kekaisaran Ottoman di bawah Sultan Suleiman yang Agung sebagai ancaman besar bagi Eropa Kristen, dengan puncaknya pada Pengepungan Wina 1529. John V. Tolan dalam Saracens: Islam in the Medieval European Imagination (2002) menjelaskan bahwa “Islam dipandang sebagai ancaman eksistensial, baik militer maupun teologis, sebagai antitesis Kekristenan” (Tolan, 2002, hlm. 275). Gereja Katolik menyerukan persatuan melalui perang suci melawan Ottoman, tetapi Luther melihat ancaman ini sebagai peluang untuk menyerang kepausan.
Dalam On War Against the Turk (1529), ia menulis, “Paus menyerukan perang melawan Turki, tetapi korupsi di dalam Gereja jauh lebih berbahaya daripada pedang Turki” (Luther, 1529, dalam Luther’s Works, Vol. 46, hlm. 170). Pernyataan ini adalah tusukan yang memanfaatkan ketakutan Eropa untuk menyingkap kemunafikan Roma.
Namun, Luther tidak hanya mencela Ottoman; ia juga memuji berbagai aspek kehidupan mereka, sebuah langkah yang tampak berani namun penuh perhitungan. Dari perspektif Katolik, pendekatan ini bukan hanya keliru, tetapi juga pengkhianatan terhadap persatuan Kristen yang sangat dibutuhkan. Dengan memuji musuh yang sedang mengancam gerbang Eropa, Luther seolah menari di tepi jurang, melemahkan front bersama demi agenda pribadinya. Pola ini mengingatkan kita pada kecenderungan abadi untuk menggunakan “musuh luar” sebagai cermin untuk mempermalukan musuh dalam, sebuah taktik yang Luther mainkan dengan licik.
Pujian Luther terhadap Ottoman: Bukti dan Konteks
Luther secara terang-terangan memuji Ottoman dalam berbagai tulisannya, terutama dalam Libellus de ritu et moribus Turcorum (1530), pengantar untuk terjemahan traktat Georgius dari Hungaria tentang adat istiadat Muslim.
Berikut adalah pujian-pujian utama yang ia ungkapkan:
1. Kesederhanaan dan Disiplin Hidup Luther memuji kesederhanaan Ottoman dalam kehidupan sehari-hari, kontras dengan kemewahan klerus Katolik. Ia menulis, “Agama Turki atau Muhammad jauh lebih megah dalam upacara – dan, saya hampir berkata, dalam adat istiadat—daripada kita, bahkan dibandingkan dengan para religius atau seluruh klerus. Kesederhanaan dalam makanan, pakaian, tempat tinggal, dan segalanya, serta puasa, doa, dan perkumpulan umat yang diungkapkan buku ini, tidak pernah terlihat di antara kita” (Luther, 1530, dalam Luther’s Works, Vol. 59, hlm. 256). Pujian ini menyoroti disiplin spiritual dan material Ottoman, yang Luther gunakan untuk mempermalukan kemewahan Gereja Katolik.
2. Kedisiplinan Militer Luther terkesan dengan kedisiplinan tentara Ottoman. Ia mencatat, “Kedisiplinan tentara Turki sangat ketat, dan mereka menunjukkan kesetiaan luar biasa kepada pemimpin mereka, sesuatu yang tidak kita lihat di antara orang-orang Kristen” (Luther, 1530, dalam Luther’s Works, Vol. 46, hlm. 185). Ia memandang efisiensi dan loyalitas militer Ottoman sebagai kontras dengan kekacauan dan korupsi di antara pasukan Kristen.
3. Efisiensi Administrasi dan Keadilan Sosial Luther juga memuji sistem pemerintahan Ottoman. Ia menyatakan, “Pemerintahan mereka begitu terorganisir sehingga rakyat biasa hidup dalam keteraturan dan keadilan yang sulit ditemukan di negeri Kristen” (Luther, 1530, dalam Luther’s Works, Vol. 59, hlm. 258). Ia mengagumi meritokrasi dan keteraturan sosial Ottoman, yang ia bandingkan dengan nepotisme dan ketidakadilan di Eropa Kristen.
4. Ketakwaan dan Ritual Keagamaan Dalam Libellus, Luther memuji praktik keagamaan Ottoman, khususnya ketekunan mereka dalam doa dan puasa. Ia menulis, “Mereka berdoa dengan penuh semangat, menjalankan puasa dengan ketat, dan berkumpul untuk ibadah dengan keteraturan yang membuat kita malu” (Luther, 1530, dalam Luther’s Works, Vol. 59, hlm. 257). Ia menggunakan ketakwaan ini untuk mengecam kelambanan spiritual klerus Katolik.
5. Moralitas Publik Luther juga mengomentari moralitas publik Ottoman, mencatat bahwa “kehidupan mereka bebas dari kemabukan dan perbuatan amoral yang merajalela di antara orang Kristen” (Luther, 1530, dalam Luther’s Works, Vol. 59, hlm. 259). Ia memandang ini sebagai cerminan kegagalan Gereja untuk menegakkan moralitas di Eropa.
Pujian-pujian ini, sekilas, tampak seperti hembusan udara segar di tengah kebencian Eropa terhadap Islam. Namun, jangan tertipu—ini bukan tanda hati yang tercerahkan, melainkan pisau yang diasah untuk menusuk Roma. Nancy Bisaha dalam Creating East and West: Renaissance Humanists and the Ottoman Turks (2004) menegaskan, “Pujian Luther terhadap Ottoman adalah alat retoris untuk mempermalukan Gereja Katolik, bukan tanda toleransi sejati” (Bisaha, 2004, hlm. 146). Artikel dalam Journal of Ecumenical Studies (2023) menambahkan, “Luther menunjukkan keterbukaan langka untuk mengakui kebajikan moral Muslim, tetapi ini lebih merupakan kritik terhadap Kekristenan daripada penghargaan tulus terhadap Islam” (Smith, 2023, hlm. 412). Dari perspektif Katolik, Luther sedang memainkan permainan berbahaya: memuji musuh yang menyerang Eropa untuk mempermalukan Gereja, sebuah langkah yang lebih tentang drama daripada kebenaran.
Analisis Motivasi Luther
Pujian Luther terhadap Ottoman bukanlah isapan jempol dari jiwa yang toleran, melainkan hasil perhitungan cerdas dengan beberapa motivasi utama:
- Menyerang Roma melalui Perbandingan Motivasi terbesar Luther adalah menggunakan Ottoman sebagai cermin untuk mempermalukan Roma. Dengan memuji kesederhanaan, disiplin militer, administrasi, ketakwaan, dan moralitas Ottoman, ia menonjolkan kemewahan dan korupsi klerus Katolik, seperti praktik indulgensi yang ia benci. Dalam Libellus, ia seolah berkata, “Lihatlah, bahkan ‘orang kafir’ lebih saleh daripada paus!” Theological Studies (2024) menyoroti bahwa “pujian Luther terhadap Ottoman adalah bagian dari strategi retorisnya untuk mendiskreditkan kepausan, bukan upaya memahami Islam” (Johnson, 2024, hlm. 190). Dari perspektif Katolik, ini adalah manipulasi licik yang memanfaatkan musuh untuk menyerang saudara sendiri, melemahkan persatuan Kristen saat pedang Ottoman mengintai.
- Mempromosikan Kesederhanaan Kristen Luther melihat kebajikan Ottoman sebagai cerminan ideal Kekristenan awal yang ia dambakan. Dipengaruhi oleh humanis seperti Otto Brunfels, yang juga memuji disiplin Ottoman, Luther menyatakan bahwa kesederhanaan mereka “seharusnya membuat kita malu” (Luther, 1530, dalam Luther’s Works, Vol. 59, hlm. 257). Namun, ini bukan kekaguman tulus, melainkan sindiran terhadap kemewahan Roma. Norman Housley dalam Religious Warfare in Europe 1400–1536 (2002) menegaskan, “Seruan kepausan untuk perang suci adalah tanggapan realistis terhadap ancaman Ottoman, yang Luther gagal akui karena terpaku pada agenda reformasinya” (Housley, 2002, hlm. 112). Dari perspektif Katolik, ia lebih memilih drama retoris daripada solusi praktis, memuji musuh untuk menegur Gereja alih-alih memperkuat pertahanan Kristen.
- Melegitimasi Reformasi Dengan memuji Ottoman, Luther memperkuat narasi bahwa masalah utama Kekristenan adalah internal, bukan eksternal. Dalam On War Against the Turk, ia menulis, “Jika kita memperbaiki dosa-dosa kita, Turki tidak akan menjadi ancaman, karena Allah tidak akan menghukum kita” (Luther, 1529, dalam Luther’s Works, Vol. 46, hlm. 195). Church History (2024) mencatat bahwa “pujian Luther terhadap Ottoman adalah bagian dari narasi reformasinya untuk menyerukan pertobatan internal, bukan persatuan eksternal” (Brown, 2024, hlm. 235). Dari perspektif Katolik, ini adalah pengalihan ceroboh yang mengabaikan ancaman nyata Ottoman demi memajukan reformasinya, sebuah egoisme yang memperpanjang penderitaan Eropa Timur.
- Keterbatasan Pengetahuan Pujian Luther dipengaruhi oleh keterbatasan pengetahuannya tentang Islam. History of Religions (2023) mencatat bahwa “Luther mengandalkan sumber-sumber sekunder seperti traktat Georgius dari Hungaria, yang sering kali bias dan tidak akurat” (Lee, 2023, hlm. 306). Tanpa akses langsung ke teks Islam atau interaksi dengan Muslim, pujiannya lebih merupakan proyeksi idealnya daripada pemahaman otentik. Dari perspektif Katolik, ketidaktahuan ini membuat pujiannya dangkal, lebih tentang efek retoris daripada kebenaran.
- Pengaruh Konteks Humanis Luther dipengaruhi oleh gagasan humanis yang mulai menghargai aspek budaya non-Kristen. Journal of Ecumenical Studies (2023) menyoroti bahwa “pujian Luther mencerminkan pengaruh humanis, meskipun tetap dalam kerangka polemik” (Smith, 2023, hlm. 413). Namun, dari perspektif Katolik, pengaruh ini tidak membenarkan pujiannya, karena tetap bertujuan melemahkan Gereja alih-alih memajukan dialog.
Pandangan Teologis: Ambivalensi yang Menyesatkan
Meskipun memuji Ottoman, Luther tetap memandang Islam sebagai alat murka Allah. Dalam On War Against the Turk, ia menyatakan, “Turki adalah cambuk Allah untuk menghukum dosa-dosa kita” (Luther, 1529, dalam Luther’s Works, Vol. 46, hlm. 195). Ia juga menyebut Islam sebagai “agama setan” yang harus dilawan melalui
pertobatan, bukan perang suci kepausan. Ironisnya, ia mendukung perlawanan sekuler terhadap Ottoman, menyatakan, “Melawan Turki adalah tugas kaisar, bukan paus, karena kaisar melindungi rakyat, sementara paus hanya peduli dengan kekuasaan” (Luther, 1520, dalam Treatise on Good Works, Luther’s Works, Vol. 44, hlm. 94).
Dari perspektif Katolik, ini adalah kemunafikan: Luther mengecam ambisi duniawi paus, tetapi mendukung ambisi sekuler yang tak kalah politis. Daniel Goffman dalam The Ottoman Empire and Early Modern Europe (2002) menegaskan, “Luther meremehkan urgensi ancaman Ottoman demi agenda reformasinya” (Goffman, 2002, hlm. 108). Theological Studies (2024) menambahkan bahwa pandangannya “mencerminkan teologi deterministik yang membatasi ruang untuk dialog antaragama” (Johnson, 2024, hlm. 189). Dari sudut pandang Katolik, Luther lebih memilih retorika yang memecah belah daripada persatuan yang dibutuhkan.
Implikasi bagi Kekristenan dan Kritik Katolik
Pujian Luther terhadap Ottoman melemahkan persatuan Kristen yang menjadi pilar Gereja Katolik. James Hankins dalam Renaissance Civic Humanism (2000) mencatat, “Luther, dengan memuji aspek-aspek Ottoman, memperpanjang penderitaan Eropa Timur akibat ekspansi Ottoman” (Hankins, 2000, hlm. 203). Dengan memuji musuh di saat Eropa berjuang melawan pedang Ottoman, Luther seolah menari di atas penderitaan umat Kristen. Church History (2024) menegaskan bahwa “pujian Luther memperdalam perpecahan Kristen” (Brown, 2024, hlm. 235).
Retorika Luther, termasuk pujiannya, juga mencerminkan stereotip Eropa abad pertengahan. Nancy Bisaha menegaskan, “Pujian Luther terhadap Ottoman adalah alat retoris untuk mempermalukan Kristen, tetapi ia tetap terjebak dalam simplifikasi berbahaya tentang Islam” (Bisaha, 2004, hlm. 148). Journal of Ecumenical Studies (2023) menyoroti bahwa “pujian Luther tidak mendorong dialog sejati, melainkan memperkuat polarisasi” (Smith, 2023, hlm. 415). Dari perspektif Katolik, Luther lebih suka melempar bom retoris daripada membangun jembatan, sebuah warisan yang memperlemah Kekristenan di hadapan ancaman nyata.
Kesimpulan
Martin Luther memuji kesederhanaan, disiplin militer, administrasi, ketakwaan, dan moralitas Ottoman bukan karena hati yang terbuka, tetapi untuk menyindir kemewahan Roma dan memajukan reformasinya. Dalam Libellus de ritu et moribus Turcorum, ia memanfaatkan kebajikan Ottoman sebagai cermin untuk mempermalukan Gereja Katolik, tetapi pujian ini dangkal, lahir dari sumber bias dan motivasi oportunistik. Dari perspektif Katolik, sikapnya adalah pengkhianatan terhadap persatuan Kristen, melemahkan Eropa di saat ancaman Ottoman mengguncang gerbang Wina.
Seperti kata Luther sendiri, “Kita semua berdosa, tetapi beberapa di antara kita lebih suka menyalahkan orang lain daripada memperbaiki diri” (Luther, 1530, dalam Luther’s Works, Vol. 46, hlm. 210). Ironisnya, dalam memuji Ottoman, Luther justru menunjukkan cermin pada dirinya sendiri—seorang reformator yang lebih suka memecah belah daripada mempersatukan.2