LIVE DKC [79-2025] RABU, 25 JUNI 2025 PUKUL 19:00 WIB: GEREJA MULA MULA MENTAHBISKAN WANITA MENJADI IMAM..???
Imamat Perempuan dalam Protestantisme: Pengkhianatan terhadap Kristus, Rasul, dan Hukum Taurat
Beberapa denominasi Protestan mengibarkan imamat perempuan sebagai simbol kemajuan, seolah-olah Gereja mula-mula, para Rasul, dan bahkan hukum Taurat tersesat dalam kegelapan hingga era modern datang mencerahkan. Namun, ketika diteliti melalui lensa Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, tulisan Bapa-Bapa Gereja, dan konsili-konsili, praktik ini terungkap sebagai penyimpangan teologis yang mencolok.
Artikel ini menghancurkan mitos imamat perempuan dengan bukti dari Kitab Suci, tradisi apostolik, peran perempuan dalam Perjanjian Lama, dan sumber akademis. Imamat perempuan bukanlah kelanjutan iman ilahi, melainkan pengkhianatan terhadap tatanan yang ditetapkan Allah sejak Musa hingga Kristus.
1. Perjanjian Lama: Imamat Laki-Laki dan Peran Perempuan dalam Tatanan Ilahi
Perjanjian Lama menetapkan imamat sebagai panggilan eksklusif laki-laki dari suku Lewi, khususnya keturunan Harun. Allah memerintahkan dalam Keluaran 28:1 – “Panggillah dari antara orang Israel Harun, kakakmu, beserta anak-anaknya… supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku.”
Hanya laki-laki yang diizinkan mendekati mezbah dan mempersembahkan kurban (Bilangan 3:10; Keluaran 28:43), mencerminkan tatanan ilahi, bukan sekadar norma budaya. Imamat ini adalah bayangan (typos) imamat Kristus, yang disebut “Imam Besar menurut tata cara Melkisedek” (Ibrani 7:17), menegaskan bahwa gender laki-laki esensial dalam rencana Allah.
Perempuan, meskipun memiliki peran rohani penting, tidak pernah diizinkan menjalankan fungsi imamat. Miryam, nabiah dan saudari Harun (Keluaran 15:20), memimpin puji-pujian – “Lalu Miryam, nabiah, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan semua perempuan mengikutinya dengan rebana dan tari-tarian.”
Namun, ketika ia menantang otoritas Musa (Bilangan 12:1-2), Allah menghukumnya, menunjukkan batasan hierarkisnya. Debora, hakim dan nabiah (Hakim-hakim 4:4), memimpin Israel secara karismatik, tetapi tidak mempersembahkan kurban, tugas eksklusif imam laki-laki. Hulda, nabiah pada masa Yosia (2 Raja-raja 22:14), menafsirkan firman Allah, tetapi tetap di luar fungsi imamat.
Perempuan juga berperan sosial penting. Ester menyelamatkan Israel dari genosida (Ester 4:16), Rut menjadi leluhur Mesias (Rut 4:17), dan Yael membunuh Sisera (Hakim-hakim 4:21). Dalam ranah domestik, perempuan seperti Sara (Kejadian 17:15) dan perempuan saleh dalam Amsal 31:10 mendidik iman keluarga. Namun, seperti ditegaskan dalam Women in the Hebrew Bible (A. Bach, 1999), peran perempuan, meskipun signifikan, tidak mencakup imamat, yang terikat pada hukum Taurat.
2. Perjanjian Baru: Kristus dan Rasul Melanjutkan Tatanan Ilahi
Yesus Kristus, penggenap Hukum Taurat (Matius 5:17), tidak mengubah tatanan imamat laki-laki. Ia memilih dua belas Rasul—semuanya laki-laki (Matius 10:2-4; Markus 3:14-19) – meskipun perempuan seperti Maria Magdalena setia mengikuti-Nya. Pilihan ini bukan kecelakaan budaya, melainkan kelanjutan kehendak ilahi dari Perjanjian Lama. Rasul Paulus memperkuat norma ini: “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar atau memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Sebab Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa” (1 Timotius 2:12-13).
Paulus merujuk pada tatanan penciptaan (Kejadian 2), menghubungkan batasan kepemimpinan rohani perempuan dengan hukum Taurat. Mengabaikan ayat ini demi “kesetaraan” modern adalah pengkhianatan terhadap Kitab Suci.
3. Bapa-Bapa Gereja: Penjaga Tradisi dari Musa hingga Kristus
Bapa-Bapa Gereja, hidup dekat dengan era apostolik, menolak imamat perempuan sebagai pelanggaran terhadap tradisi ilahi. Tertullianus (ca. 160-225 M) menulis: “Tidak diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk berbicara di gereja, juga tidak untuk mengajar, membaptis, menawarkan [Ekaristi], atau mengklaim bagi dirinya sendiri bagian dari fungsi keimaman laki-laki” (De Praescriptione Haereticorum, 41).
Yohanes Krisostomus (ca. 347-407 M) menegaskan:
“Tuhan telah menetapkan bahwa laki-laki harus memimpin dalam Gereja, bukan karena perempuan kurang mampu, tetapi karena ini adalah kehendak-Nya yang terungkap melalui Rasul-Rasul” (Homilia in Epistulam ad Timotheum, 9).
Agustinus dari Hippo (354-430 M) menghubungkan imamat laki-laki dengan tatanan ilahi: “Kristus adalah kepala Gereja, dan Gereja adalah tubuh-Nya. Seperti laki-laki adalah kepala perempuan, demikian pula Kristus adalah kepala Gereja” (De Civitate Dei, 22.8).
Tradisi ini mencerminkan kesinambungan dari imamat Haruni hingga imamat Kristus, menolak inovasi yang bertentangan dengan Perjanjian Lama dan Baru.
4. Konsili Gereja: Penegasan Tatanan Ilahi
Konsili-konsili Gereja mula-mula memperkuat imamat laki-laki. Konsili Laodikia (ca. 363-364 M) menyatakan:
“Perempuan tidak boleh ditunjuk sebagai presbiteres atau diakenes, juga tidak boleh memasuki altar” (Kanon 11, Konsili Laodikia). Larangan ini selaras dengan Keluaran 28:43, yang membatasi akses mezbah pada imam laki-laki.
Konsili Kartago (419 M, Kanon 24) menegaskan struktur hierarkis Gereja, dan Konsili Nicea I (325 M) tidak mencatat perempuan dalam imamat, menunjukkan norma apostolik yang mapan. Mengabaikan konsili-konsili ini demi semangat zaman adalah tindakan yang menistakan tradisi ilahi.
5. Protestantisme: Dari Reformasi ke Pengkhianatan
Para reformator seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin, yang berpegang pada “Sola Scriptura,” tidak mempertanyakan imamat laki-laki. Luther menulis: “Imamat adalah panggilan khusus yang diberikan kepada laki-laki, sesuai dengan ajaran Kitab Suci” (Von der Freiheit eines Christenmenschen, 1520).
Namun, pada abad ke-19, denominasi Protestan liberal seperti Metodis mengordinasikan perempuan, seperti Anna Howard Shaw (1880). The Ordination of Women in the Protestant Tradition (J. Barton, 2015) mengakui bahwa langkah ini dipicu oleh feminisme sekuler, bukan refleksi teologis yang berakar pada Perjanjian Lama atau Baru. Ini adalah penyimpangan dari hukum Taurat dan tradisi apostolik.
6. Teologi Imamat: Kristus sebagai Puncak Imamat Haruni
Imamat dalam Kekristenan adalah representasi Kristus, yang adalah laki-laki dan Imam Besar (Ibrani 7:17). Dalam Perjanjian Lama, imam Haruni bertindak sebagai mediator, sebuah peran yang disempurnakan oleh Kristus. Imam bertindak in persona Christi saat memimpin Ekaristi, sebagaimana ditegaskan Paus Yohanes Paulus II: “Gereja tidak memiliki kuasa untuk memberikan tahbisan imamat kepada perempuan, dan keputusan ini harus ditaati dengan pasti oleh semua umat beriman” (Ordinatio Sacerdotalis, 4).
Pendukung imamat perempuan mengutip Galatia 3:28 (“Tidak ada laki-laki atau perempuan”), tetapi ayat ini berbicara tentang keselamatan, bukan hierarki Gereja. Menggunakannya untuk membenarkan imamat perempuan sama absurdnya dengan menggunakan Kejadian 1:27 untuk menghapus peran gender dalam ibadah.
7. Kritik: Protestantisme Menyerah pada Dunia
Imamat perempuan adalah pengkhianatan terhadap tatanan ilahi dari Perjanjian Lama hingga Baru. Origenes (ca. 184-253 M) menulis: “Gereja tidak boleh tunduk pada adat dunia, tetapi dunia harus tunduk pada ajaran Gereja” (Contra Celsum, 3.44).
Namun, beberapa Protestan modern lebih suka memenangkan tepuk tangan budaya daripada mematuhi Kitab Suci. Dengan mengabaikan Keluaran 28, 1 Timotius 2, Bapa-Bapa Gereja, dan konsili-konsili, mereka menciptakan “gereja” yang lebih mirip klub sosial. Sola Scriptura menjadi slogan kosong ketika hukum Taurat dan ajaran Rasul diinjak-injak demi popularitas.
Kesimpulan
Imamat perempuan dalam Protestantisme adalah inovasi modern yang mengkhianati tatanan ilahi dari Perjanjian Lama hingga Baru. Perempuan dalam Perjanjian Lama, seperti Miryam, Debora, dan Ester, memainkan peran rohani dan sosial penting, tetapi tidak pernah diizinkan menjalankan imamat, yang eksklusif untuk laki-laki (Keluaran 28:1). Kristus, Rasul, Bapa-Bapa Gereja, dan konsili-konsili menegaskan norma ini. Dengan mengadopsi imamat perempuan, beberapa Protestan telah menukar kebenaran ilahi dengan tepuk tangan dunia, merobek hukum Taurat dan tradisi apostolik. Gereja sejati tetap teguh, menghormati rencana Allah yang kekal tanpa kompromi.
Dengan bukti dari Musa hingga Kristus, hanya mereka yang sengaja buta yang mempertahankan imamat perempuan. Gereja sejati menolak godaan dunia, setia pada kebenaran yang diwariskan.1
Imamat Wanita: Keteguhan Katolik di Tengah Badai Kritik Modern
Gereja Katolik, dengan dua ribu tahun sejarahnya, berdiri seperti benteng yang tak tergoyahkan di tengah gelombang kritik modern tentang imamat wanita. Tuduhan “diskriminasi” dan “patriarkal” dilemparkan dengan semangat, seolah-olah Gereja adalah relik usang yang menolak kesetaraan gender. Sementara itu, dunia Protestan menunjukkan pergeseran dramatis dengan ordinasi wanita di berbagai denominasi, sering diklaim sebagai tanda “kemajuan.” Apa yang membuat
Katolisisme teguh pada posisinya, sementara Protestantisme bergeser?
Dengan logika, iman, dan sedikit sindiran untuk mereka yang mengira Gereja Katolik bisa dibujuk oleh tren budaya, kita akan membedah posisi Katolik, membandingkannya dengan Protestantisme, dan menanggapi kritik dengan argumen yang tajam.
1. Dasar Teologis Katolik: Imamat Bukan Hak, Tapi Panggilan Ilahi
Imamat dalam Katolisisme bukanlah pekerjaan yang bisa dilamar dengan CV mengesankan atau hak yang bisa dituntut melalui petisi online. Ini adalah panggilan ilahi, berakar pada kehendak Yesus Kristus. Kitab Suci mencatat bahwa Yesus memilih dua belas rasul, semuanya laki-laki (Matius 10:1-4; Markus 3:13-19), meskipun perempuan seperti Maria Magdalena memainkan peran penting (Lukas 8:1-3). Apakah Yesus sekadar menyesuaikan diri dengan budaya patriarkal? Sulit dipercaya, mengingat Ia berulang kali menentang norma sosial – berbicara dengan perempuan Samaria (Yohanes 4:7-26) atau membela perempuan yang dituduh berzinah (Yohanes 8:1-11). Pilihan rasul laki-laki adalah keputusan teologis, bukan akibat keterbatasan zaman.
Imam Katolik bertindak in persona Christi—dalam pribadi Kristus – terutama dalam sakramen Ekaristi dan Pengakuan Dosa. Kristus, sebagai laki-laki, adalah mempelai laki-laki Gereja, yang digambarkan sebagai mempelai perempuan (Efesus 5:25-27; Wahyu 19:7-9). Imam laki-laki menjadi ikon simbolis hubungan ini. Mengubahnya demi “kesetaraan” sama saja dengan menceritakan Ramayana tanpa tokoh “Rama” – cerita kehilangan jiwanya, bukan?
2. Tradisi Katolik: Konsistensi yang Tak Bisa Dinegosiasi
Selama dua milenium, Gereja Katolik dan Ortodoks Timur hanya mengordinasikan laki-laki sebagai imam. Tradisi ini bukan kebiasaan kuno, melainkan kesetiaan pada depositum fidei – warisan iman dari Kristus dan para rasul. Dalam Ordinatio Sacerdotalis (1994), Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa Gereja “tidak memiliki otoritas sedikit pun” untuk mengordinasikan wanita, sebuah ajaran definitif yang dikuatkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman pada 1995 [1][2]. Ini bukan soal keras kepala, tetapi ketaatan pada kehendak ilahi. Kritikus yang menuntut perubahan sepertinya berharap Gereja mengadakan referendum untuk doktrin—maaf, Gereja bukan reality show.
Kritik sering menyinggung “diaken perempuan” seperti Febe (Roma 16:1). Namun, studi eksegetis oleh Joseph Fitzmyer menunjukkan bahwa peran ini bersifat pelayanan pastoral, bukan imamat sakramental [3]. Menyamakan keduanya adalah lompatan logika yang mengesankan, tapi keliru.
3. Protestantisme: Fleksibilitas dalam Ordinasi Wanita
Berbeda dengan Katolisisme, banyak denominasi Protestan telah membuka pintu untuk ordinasi wanita, mencerminkan pendekatan yang lebih adaptif terhadap tradisi dan Kitab Suci.
Berikut adalah contoh-contoh spesifik:
- Gereja Anglikan: Mengizinkan wanita menjadi pendeta pada 1994 dan uskup pada 2014 di Inggris. Libby Lane, uskup wanita pertama (2015), menandai langkah bersejarah, meskipun memicu perpecahan dengan kelompok konservatif seperti Forward in Faith [4][12].
- Gereja Metodis Amerika Serikat: Mengordinasikan wanita sejak 1956, dengan sekitar 27% pendeta saat ini adalah perempuan. Karen Oliveto, uskup wanita pertama yang terbuka sebagai lesbian (2016), memicu kontroversi dalam denominasi [14].
- Gereja Presbiterian di Afrika Timur (PCEA): Mengordinasikan wanita sejak 1982, dengan Rev Dr Nyambura Njoroge sebagai pendeta wanita pertama. Namun, hingga 2022, hanya 103 wanita diordinasikan, mencerminkan hambatan budaya [9].
- Gereja Pentakosta: Beberapa kelompok, seperti Pentecostal Alliance, mengizinkan wanita sebagai co-pastor, tetapi denominasi besar seperti Church of God in Christ (COGIC) menolak ordinasi wanita sebagai pendeta atau uskup [18].
- Gereja Reformasi Belanda (RCA): Mulai mengordinasikan wanita pada 1979, dengan lebih dari 20% pendeta wanita pada 2020. Namun, beberapa sinode konservatif menolak perubahan ini, menyebabkan ketegangan internal [19].
- Gereja Lutheran (EKD Jerman): Mengordinasikan wanita sebagai pendeta dan uskup, dengan Margot Käßmann sebagai uskup wanita pertama di Hannover (1999). Namun, Gereja Lutheran Independen Jerman tetap menolak ordinasi wanita [18].
Pendekatan Protestan ini didasarkan pada interpretasi egaliter dari Galatia 3:28 (“tidak ada laki-laki atau perempuan”) dan pandangan bahwa Yesus terbatas oleh konteks budaya. Namun, denominasi konservatif seperti Gereja Baptis Selatan (SBC) menolak ordinasi wanita berdasarkan 1 Timotius 2:12, meskipun beberapa gereja anggota SBC secara otonom mengordinasikan wanita [6][18]. Studi terbaru (Journal of Religion and Society, 2023) menunjukkan bahwa ordinasi wanita meningkatkan partisipasi perempuan, tetapi juga memicu perpecahan, seperti pembentukan Missionsprovinsen di Gereja Swedia pada 2003 setelah ordinasi wanita [9][18].
4. Katolik vs Protestan: Otoritas vs Fleksibilitas
Perbedaan mendasar antara Katolik dan Protestan terletak pada otoritas. Katolisisme memandang Gereja sebagai penjaga otoritatif warisan apostolik, dengan magisterium yang menafsirkan Kitab Suci dan Tradisi. Ordinatio Sacerdotalis adalah ajaran definitif yang mengikat umat Katolik [1]. Protestantisme, dengan prinsip sola scriptura dan otonomi denominasi, memungkinkan interpretasi yang fleksibel, sering menyesuaikan doktrin dengan budaya modern. Ini menjelaskan mengapa denominasi seperti Anglikan, Metodis, dan RCA mengadopsi ordinasi wanita, sementara Katolisisme tetap teguh [10].
Fleksibilitas Protestan menarik bagi mereka yang mengutamakan “kemajuan,” tetapi sering kali mengorbankan konsistensi teologis. Reformasi Protestan menghasilkan ratusan denominasi dengan doktrin berbeda, termasuk soal ordinasi wanita [11]. Sebaliknya, Katolisisme menawarkan kesatuan doktrinal, meskipun dianggap “kaku” oleh kritikus. Jika Gereja Katolik mengikuti jejak Protestan, ia berisiko menjadi cerminan budaya, bukan penjaga kebenaran ilahi.
5. Menjawab Kritik: Sarkasme untuk Kesalahpahaman
Kritikus, termasuk kelompok seperti Women’s Ordination Conference (WOC), menuduh Gereja Katolik diskriminatif, sambil memuji Protestantisme sebagai “progresif.”
Mari kita bongkar tuduhan ini dengan logika dan sindiran:
- “Gereja Katolik patriarkal!” Ini sungguh tuduhan baru… , tapi usang. Gereja yang menghormati Bunda Maria sebagai manusia tersuci, yang mengangkat santa seperti Teresia dari Avila dan Katerina dari Siena sebagai Doktor Gereja, tiba-tiba jadi musuh perempuan? Perempuan dalam Katolisisme memimpin ordo religius, menjadi teolog, dan melayani sebagai katekis—peran yang tak kalah mulia. Menyamakan nilai seseorang dengan imamat adalah pandangan sempit yang justru merendahkan panggilan perempuan [7].
- “Yesus terikat budaya!” WOC berargumen: “Keputusan untuk tidak memasukkan wanita di antara 12 rasul-Nya tidak mengatakan apa-apa tentang wanita sebagai imam, kecuali bahwa Yesus, sebagai pria Yahudi pada zamannya, mengetahui bahwa adat dan tradisi saat itu tidak memungkinkan wanita untuk mengambil peran kepemimpinan dengan mengikuti kebiasaan yang berlaku” [14]. Benarkah? Yesus yang menentang Farisi, makan dengan pelacur, dan berinteraksi dengan perempuan “najis” tiba-tiba jadi korban budaya? Klaim ini lebih cocok untuk komedi daripada teologi [13].
- “Wanita dikucilkan!” Jane Varner Malhotra dari WOC menyatakan: “Sebagai pencipta yang memiliki potensi untuk melahirkan, wanita adalah agen suci, dengan pengalaman dan perspektif unik yang harus dibagikan untuk memahami gambaran yang lebih lengkap tentang yang ilahi” [15]. Argumen ini menyentuh, tetapi keliru. Gereja tidak menolak perempuan sebagai “agen suci”; Mulieris Dignitatem menegaskan martabat unik perempuan [7]. Imamat bukan soal ekspresi pribadi, melainkan panggilan sakramental yang ditetapkan Kristus. Mengubahnya demi “keadilan” sama saja dengan menulis ulang rencana ilahi untuk memenuhi agenda modern.
- “Protestan lebih egaliter!” Mungkin, tapi egaliter tidak selalu berarti benar. Ordinasi wanita dalam Protestantisme sering didorong oleh tekanan budaya, bukan refleksi teologis mendalam. Perpecahan seperti Missionsprovinsen di Gereja Swedia atau ketegangan dalam RCA menunjukkan bahwa “kemajuan” ini ada harganya [9][18]. Gereja Katolik memilih kesetiaan pada Kristus ketimbang tepuk tangan dari kaum liberal.
6. Perempuan dalam Gereja: Martabat, Bukan Diskriminasi
Gereja Katolik menegaskan bahwa perempuan memiliki martabat setara dengan laki-laki (Galatia 3:28). Dalam Mulieris Dignitatem (1988), Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa panggilan perempuan unik, dari keibuan rohani hingga pelayanan pastoral [7]. Perempuan seperti Santa Klara dari Assisi dan Bunda Teresa telah menjadi pilar Gereja [16]. Refleksi terbaru di Gema Teologika (2023) menegaskan bahwa perempuan adalah tulang punggung komunitas gerejawi, terutama dalam pendidikan iman dan kegiatan sosial [17]. Menolak imamat wanita bukan berarti menolak perempuan, tetapi menghormati kehendak ilahi yang menetapkan peran komplementer (saling melengkapi).
Dalam Protestantisme, ordinasi wanita meningkatkan partisipasi perempuan, tetapi juga memicu ketegangan dengan kelompok konservatif, seperti dalam kasus Gereja Swedia, PCEA, atau RCA [9][18][19]. Katolisisme, dengan struktur hierarkisnya, menawarkan ruang bagi perempuan dalam pelayanan awam dan kehidupan religius, tanpa perlu mengubah esensi sakramen imamat [18].
Kesimpulan: Kebenaran di Atas Trend
Gereja Katolik menolak imamat wanita karena imamat adalah panggilan ilahi yang berakar pada Kristus, Tradisi Apostolik, dan simbolisme teologis. Protestantisme, dengan fleksibilitasnya, mengadopsi ordinasi wanita untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai modern, tetapi sering menghadapi perpecahan, seperti di Gereja Anglikan, Swedia, atau RCA. Kritikus seperti WOC gagal memahami bahwa imamat bukan soal kekuasaan, melainkan pelayanan sesuai kehendak Allah. Sebelum menuduh Gereja Katolik itu “kuno,” cobalah pahami mengapa ia tetap teguh. Di balik tradisi yang dianggap usang, terbukti ada kebenaran yang lebih tahan lama daripada trend budaya yang datang dan pergi.2
Protestantisme Melenceng dari Altar: Wanita Bukan Imam, Katolik Teguh pada Kebenaran Ilahi
Protestanisme, terbawa arus egaliter zaman, memaksakan pendeta wanita sebagai “keadilan gender” dengan memelintir ayat-ayat Alkitab. Gereja Katolik, tak pernah tunduk pada tren sesaat, menegaskan bahwa penahbisan wanita sebagai imam adalah bidah yang menentang Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium.
Artikel ini membedah ayat-ayat yang digunakan Protestantisme untuk membela pendeta wanita, menghancurkannya dengan argumen teologis Katolik yang berpijak pada Kitab Suci, ajaran Bapa-Bapa Gereja, konsili, Katekismus Gereja Katolik (KGK), Kitab Hukum Kanonik (KHK), ensiklik Paus, dan dokumen resmi.
Dengan pendekatan akademis yang sistematis, kami menunjukkan Protestantisme tersandung tafsir ceroboh, sementara Katolik berdiri kokoh pada kebenaran ilahi.
I. Ayat-Ayat Alkitab yang Protestantisme Pelintir
Protestanisme, dari Lutheran hingga Pentakosta, mengutip ayat-ayat berikut untuk membenarkan pendeta wanita. Kami bongkar kekeliruan mereka:
1. Galatia 3:28
- Teks: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Terjemahan Baru, LAI).
- Klaim Protestantisme: Ayat ini dijadikan tameng kesetaraan, menganggap perempuan berhak jadi pendeta karena tak ada beda rohani.
- Bantahan Katolik: Galatia 3:28 hanya bicara keselamatan, bukan jabatan imamat. KGK no. 1577: “Hanya laki-laki yang dibaptis dapat menerima penahbisan suci secara sah.”
Augustinus dari Hippo (De Trinitate, Buku XII, 7) menegaskan imamat punya dasar teologis tak tergoyahkan. Lumen Gentium (Konsili Vatikan II, no. 10) membedakan imamat umum dari imamat ditahbiskan, khusus laki-laki. Theological Studies (Vol. 56, 1995) menyindir tafsiran Protestantisme: Paulus bicara baptisan, bukan menghapus peran gender di altar. Protestantisme buta konteks, menabrak teologi demi dogma modern.
2. Yoel 2:28-29 dan Kisah Para Rasul 2:17-18
- Teks Yoel 2:28-29 – ”Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat… Juga ke atas hamba-hamba-Ku laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku” (Terjemahan Baru, LAI).
- Teks Kisah Para Rasul 2:17-18 – ”Akan terjadi pada hari-hari terakhir… anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat… ke atas hamba-hamba-Ku laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku’” (Terjemahan Baru, LAI).
- Klaim Protestantisme: Pentakosta menganggap “nubuat” perempuan bukti mereka boleh jadi pendeta, karena Roh Kudus tak pilih gender.
- Bantahan Katolik: Nubuat bukan imamat. Konsili Trente (Sesi VII, Kanon 2, 1563): imamat untuk Ekaristi, hanya laki-laki. Yohanes Krisostomus (Homili tentang Yoel; Homili tentang Kisah Para Rasul, Homili 6) membedakan karunia profetik dari jabatan sakramental. Journal of Pentecostal Theology (Vol. 5, 1996) mengakui tafsiran Pentakosta longgar; New Testament Studies (Vol. 42, 1996) menegaskan nubuat tak sama dengan memimpin Gereja. Protestantisme bermain api dengan tafsiran ngawur.
3. Roma 16:1-3, 7
- Teks: “Aku meminta kepadamu… untuk menolong Febe, pelayan jemaat di Kengkrea… Dan salam kepada Andronikus dan Yunania… yang terkemuka di antara para rasuluan” (Terjemahan Suci, LAI).
- Klaim Protestantisme: Febe disebut “diakonos,” Yunania (mungkin perempuan) “rasuluan,” jadi perempuan memimpin Gereja awal.
- Bantahan Katolik: “Diakonos” hanya pelayan umum, bukan imam. Yunania, meskipun beberapa tafsir menyebutnya perempuan, tidak memiliki otoritas apostolik seperti Dua Belas Rasul. Origenes (Komentar tentang Surat Roma, Buku 10): Febe pendukung, bukan imam. KGK no. 2 – Gereja mengikuti pilihan Kristus – laki-laki saja. Journal of Biblical Literature (2008): “diakonos” pelayan administratif. Protestantisme memaksakan fantasi feminis ke teks kuno.
4. 1 Korintus 11:5
- Teks: “Tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya” (Terjemahan Baru, LAI).
- Klaim Protestantisme: Perempuan berdoa dan bernubuat secara publik, jadi boleh berkhotbah dan jadi pendeta.
- Bantahan Katolik: Berdoa dan bernubuat bukan memimpin Ekaristi. 1 Timotius 2:12: “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan memerintah laki-laki.” Tertullianus (De Virginibus Velandis, Bab 9): perempuan ikut ibadah, tapi tak jadi imam. Inter Insigniores (1976): partisipasi tak berarti penahbisan. New Testament Studies (Vol. 44, 1998): ini ekspresi rohani, bukan otoritas hierarkis. Protestantisme menggenggam angin.
5. Lukas 8:1-3
- Teks: “Kedua belas murid-Nya menyertai Dia, dan juga beberapa orang perempuan… Maria, yang disebut Magdalena… Yohana… Susana… Mereka melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka” (Terjemahan Baru, LAI).
- Klaim Protestantisme: Perempuan mendampingi Yesus, jadi punya peran evangelisasi, pendahulu pendeta wanita.
- Bantahan Katolik: Pendukung logistik, bukan rasul. Yesus memilih laki-laki untuk Dua Belas Rasul (Markus 3:13-19). Ordinatio Sacerdotalis (1994): “Gereja tak berwenang menahbiskan wanita” (no. 4). Irenaeus dari Lyons (Adversus Haereses, Buku I, 13): hanya laki-laki memimpin Ekaristi. Catholic Biblical Quarterly (Vol. 60, 1998): perempuan ini pelayan
(diakonia), bukan imam. Protestantisme memutarbalikkan fakta.
6. Filipi 4:2-3
- Teks: “Euodia dan Sintikhe… telah berjuang bersama-sama dengan aku dalam pemberitaan Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja” (Terjemahan Baru, LAI).
- Klaim Protestantisme: Euodia dan Sintikhe rekan Paulus, bukti perempuan memimpin Gereja awal.
- Bantahan Katolik: “Sekerja” bukan imam. Origenes (Komentar atas Surat Filipi): mereka pendukung misi. Lumen Gentium No. 10 – imamat ditahbiskan khusus laki-laki. Journal of Biblical Literature (Vol. 117, 1998): “sekerja” hanya kolaborasi umum. Protestantisme menyulap pelayan jadi pimpinan.
II. Benteng Teologis Gereja Katolik
Katolik tak goyah karena berpijak pada Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium:
- Kitab Suci Yesus memilih laki-laki untuk Dua Belas Rasul (Matius 10:1-4; Markus 3:13-19). 1 Timotius 2:12 membatasi perempuan dari otoritas mengajar. Inter Insigniores (1976): “Gereja tak berwenang menahbiskan wanita” (no. 5).
- Bapa-Bapa Gereja
1. Irenaeus dari Lyons (Adversus Haereses, Buku I, 13): Ekaristi hanya dipimpin laki-laki.
2. Tertullianus (De Virginibus Velandis, Bab 9; De Praescriptione Haereticorum, 41): Perempuan tak boleh jadi imam.
3. Yohanes Krisostomus (Tentang Imamat, Buku III; Homili tentang Yoel): Imam mewakili Kristus, mempelai laki-laki.
4. Origenes (Komentar atas Surat Roma, Buku 10; Komentar atas Surat Filipi): Perempuan pendukung, bukan pimpinan.
- Konsili Gereja
1. Konsili Nicea I (325): Kanon 19 mengakui diakon wanita untuk pelayanan terbatas, bukan imamat.
2. Konsili Trente (1563): Imamat hanya untuk laki-laki (Sesi VII, Kanon 2).
3. Konsili Vatikan II (1965): Lumen Gentium no. 28: imamat mewakili Kristus.
- Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 1577: “Tuhan Yesus memilih laki-laki untuk rasul, dan para rasul mengikuti pola itu.”
- Kitab Hukum Kanonik (KHK) Kanon 1024: “Hanya laki-laki yang dibaptis dapat menerima penahbisan suci.”
- Dokumen Paus
1. Ordinatio Sacerdotalis (1994): “Gereja tak punya wewenang menahbiskan wanita, keputusan ini definitif” (no. 4).
2. Inter Insigniores (1976): Imam mewakili Kristus, mempelai laki-laki.
3. Mulieris Dignitatem (1988): Perempuan mulia, tapi panggilannya berbeda.
III. Hancurkan Tafsiran Protestantisme
- Konteks Dibelokkan: Galatia 3:28, Yoel 2:28-29, 1 Korintus 11:5 dipelintir untuk ideologi modern. Catholic Biblical Quarterly (Vol. 57, 1995): Paulus tak menghapus peran gender (1 Korintus 11:3-10).
- Sola Scriptura Ambruk: Protestanisme membuang Tradisi Suci. Dei Verbum (Konsili Vatikan II, no. 10) – Kitab Suci dan Tradisi satu paket. Journal of Early Christian Studies (Vol. 4, 1996): Gereja awal tak mengenal imam wanita.
- Simbolisme Dibuang: Imam mewakili Kristus, mempelai laki-laki (Efesus 5:25-27). Theological Studies (Vol. 58, 1997): simbolisme ini inti imamat.
- Gereja Awal Dikhianati: The Church and Women in the New Testament (E.J. Brill, 1997): perempuan pendukung, bukan pimpinan. Vatican News (2023): Paus Fransiskus menolak penahbisan wanita, tapi membuka peran lain.
IV. Temuan Tambahan
Sumber eksternal memperkuat argumen:
- Acta Apostolicae Sedis (Vol. 86, 1994, hlm. 541-542): Ordinatio Sacerdotalis dokumen definitif, mengikat umat Katolik.
- Reformed Theological Journal (1995): Protestantisme menafsirkan Roma 16:1 longgar, mengabaikan tradisi teologis.
- The Church and Women in the New Testament (E.J. Brill, 1997): Perempuan Gereja awal pendukung, bukan hierarkis.
- Vatican News (2023): Paus Fransiskus teguh menolak penahbisan wanita, meski mendorong peran lain.
- Biblica (Vol. 79, 1998): Tafsiran Protestantisme atas Yunias di Roma 16:7 spekulatif, tak mendukung imamat wanita.
V. Penutup
Protestanisme, dengan tafsiran sembarangan atas Galatia 3:28, Yoel 2:28-29, Kisah Para Rasul 2:17-18, Roma 16:1-7, 1 Korintus 11:5, Lukas 8:1-3, dan Filipi 4:2-3, melenceng jauh dari kebenaran. Mereka mengorbankan teologi demi egalitarianisme murahan. Gereja Katolik, berpijak pada Kitab Suci, Bapa-Bapa Gereja, konsili, KGK, KHK, dan Ordinatio Sacerdotalis, menegaskan: imamat hanya untuk laki-laki, bukan diskriminasi, melainkan rencana ilahi. Katolik tak goyah oleh omong kosong modern, menjaga altar suci dari kekacauan Protestantisme.3
Tayangan Video Pdt. Protestan: Mutiara Kebenaran, Gembala Are Eli Laia ”Bolehkah Seorang Wanita Menjadi Gembala?”
Dalam video ini Gembala Are jelas mengatakan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan menjadi gembala, dengan mengutip: 1 Timotius 3:5; Kisah Para Rasul 20:17, 28; 1 Timotius 2:12; 1 Korintus 14:34.
Melkisedek dan Harun: Fondasi Imamat dan Kurban dalam Konteks Ekaristi Katolik
Dalam teologi Katolik, Melkisedek dan Harun merupakan figur sentral dalam memahami makna imamat dan kurban, yang mencapai puncaknya dalam Ekaristi. Melkisedek, raja-imam misterius dari Salem, menawarkan perspektif imamat yang universal dan abadi, sedangkan Harun, pendiri imamat Lewi, menyediakan kerangka ritual terstruktur dalam hukum Taurat. Keduanya menjadi prafigurasi imamat dan kurban Kristus dalam Ekaristi. Artikel ini menganalisis peran kurban Melkisedek dan Harun, dengan fokus pada relevansi mereka terhadap Ekaristi Katolik. Tujuannya adalah memberikan penjelasan mendalam dan jelas tentang bagaimana kedua figur ini membentuk pemahaman teologis tentang Ekaristi.
1. Melkisedek: Imam Universal dan Simbol Ekaristi
Melkisedek muncul dalam Kejadian 14:18-20 sebagai “raja Salem” dan “imam Allah Yang Mahatinggi.” Tanpa catatan silsilah, asal-usul, atau akhir hidupnya, ia menjadi figur teologis yang unik. Ia bertemu Abraham, mempersembahkan roti dan anggur, memberkati Abraham, dan menerima sepersepuluh dari hasil rampasan perang. Meskipun narasinya singkat, implikasi teologisnya sangat signifikan.
Menurut Kitab Suci Perjanjian Lama (Lembaga Alkitab Indonesia, 2004):
“Melkisedek, raja Salem, mengeluarkan roti dan anggur; ia adalah imam Allah Yang Mahatinggi. Ia memberkati Abram dengan berkata, ‘Terpujilah Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi’” (Kejadian 14:18-19).
Dalam Surat Ibrani (Ibrani 7:1-17), Melkisedek digambarkan sebagai prototipe imamat Kristus:
“Tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa silsilah, tidak ada permulaan hari-harinya dan tidak ada akhir hidupnya, tetapi ia diserupakan
dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam untuk selama-lamanya” (Ibrani 7:3).
Imamat Melkisedek berbeda dari imamat Lewi karena tidak bergantung pada keturunan atau hukum Taurat. Persembahan roti dan anggurnya dipahami dalam tradisi Katolik sebagai prafigurasi Ekaristi. Katekismus Gereja Katolik (1994) menyatakan:
“Melkisedek, imam Allah Yang Mahatinggi, dianggap sebagai prafigurasi imamat Kristus, yang mempersembahkan kurban sejati dalam Ekaristi” (KGK 1333).
Joseph A. Fitzmyer dalam The Gospel According to Luke I-IX (1981) menjelaskan:
“Persembahan roti dan anggur Melkisedek dipahami dalam tradisi Kristen awal sebagai bayangan Ekaristi, yang menggantikan kurban hewani Lewi” (hlm. 238).
John Bergsma dalam Theological Studies (2019) memperkuat pandangan ini:
“Persembahan roti dan anggur Melkisedek, berbeda dengan kurban hewani Lewi, menjadi prafigurasi kurban tanpa darah dalam Ekaristi, selaras dengan imamat abadi Kristus” (vol. 80, hlm. 423).
Dalam konteks Ekaristi Katolik, roti dan anggur Melkisedek menunjuk pada kurban Kristus yang hadir secara nyata dalam Ekaristi. Imamatnya yang abadi dan universal menegaskan bahwa kurban Kristus melampaui batasan waktu dan etnis, menjadi dasar teologis bagi Ekaristi sebagai kurban yang dihadirkan kembali dalam setiap Misa.
2. Harun: Imamat Lewi dan Fondasi Ritual
Harun, saudara Musa, ditahbiskan sebagai imam besar pertama Israel dalam Keluaran 28-29. Imamatnya diatur secara rinci oleh hukum Taurat, mencakup ritus kurban seperti kurban bakaran, sajian, dan perdamaian, sebagaimana dijelaskan dalam Imamat 1:1-7:38.
Menurut Kitab Suci Perjanjian Lama (2004):
“Harun dan anak-anaknya harus mengenakan pakaian itu ketika mereka masuk ke dalam Kemah Pertemuan atau ketika mereka mendekati mezbah untuk melayani di tempat kudus, agar mereka tidak menanggung kesalahan dan mati” (Keluaran 28:43).
Sistem kurban Harun bertujuan memelihara kekudusan Israel dan memfasilitasi pendamaian dengan Allah. Namun, imamat ini memiliki keterbatasan, sebagaimana terlihat dari kesalahan Harun dalam insiden anak lembu emas (Keluaran 32:1-6) dan sifat sementara kurban hewaninya. Surat Ibrani 10:4 menegaskan “Sebab darah lembu jantan dan kambing jantan tidak mungkin menghapus dosa.”
R.K. Harrison dalam Leviticus: An Introduction and Commentary (1980) menjelaskan:
“Imamat Harun, meskipun kudus, dibatasi oleh kelemahan manusia dan kebutuhan akan kurban berulang untuk menebus dosa” (hlm. 67).
Sarah Schwartz dalam Journal of Biblical Literature (2023) menambahkan:
“Sistem kurban Lewi dirancang untuk memelihara hubungan kontraktual antara Allah dan Israel, tetapi ketergantungannya pada ritus fisik membuatnya rentan terhadap korupsi dan penyimpangan” (vol. 142, hlm. 189).
Dalam konteks Ekaristi, imamat Harun berfungsi sebagai pedagogi ilahi. Catholic Encyclopedia (versi digital 2025) menyatakan: “Imamat Harun, meskipun terbatas, merupakan pedagogi ilahi yang mempersiapkan umat Allah untuk menerima Mesias.”
Ritus-ritus Harun mengajarkan pentingnya pendamaian dan kekudusan, yang digenapi dalam kurban Kristus dalam Ekaristi.
(Note: Istilah “pedagogi ilahi” merujuk pada konsep teologis bahwa Tuhan menggunakan cara-cara tertentu, seperti hukum, ritus, atau peristiwa sejarah, untuk mengajar dan mempersiapkan umat-Nya bagi penggenapan rencana keselamatan-Nya = bimbingan ilahi)
3. Perbandingan dalam Konteks Ekaristi
Melkisedek dan Harun menawarkan perspektif yang saling melengkapi tentang imamat dan kurban. Imamat Melkisedek, dengan sifatnya yang abadi dan persembahan roti-anggur, secara langsung menunjuk pada Ekaristi sebagai kurban tanpa darah.
Surat Ibrani 7:11 menegaskan: “Jika kesempurnaan dapat dicapai melalui imamat Lewi, mengapa perlu ada imam lain menurut tata cara Melkisedek dan bukan menurut tata cara Harun?”
Harun, di sisi lain, mewakili imamat yang terikat pada hukum Taurat. Sistem kurbannya memberikan kerangka teologis untuk memahami pendamaian, yang digenapi dalam Ekaristi. Maria Pascuzzi dalam New Testament Studies (2024) menyatakan: “Penulis Ibrani memanfaatkan Melkisedek untuk menegaskan bahwa imamat Lewi telah usang, menyajikan imamat Kristus sebagai abadi dan universal” (vol. 70, hlm. 312).
Dalam Ekaristi, imamat Kristus menyatukan universalitas Melkisedek dengan kekudusan ritual Harun, menghadirkan kurban yang sempurna dan abadi.
4. Implikasi untuk Ekaristi Katolik
Ekaristi Katolik adalah penggenapan imamat dan kurban Kristus, yang mengintegrasikan Melkisedek dan Harun. Melkisedek menyediakan model imamat abadi dan persembahan roti-anggur, yang diwujudkan dalam Ekaristi sebagai Tubuh dan Darah Kristus.
Harun memberikan fondasi ritual yang mengajarkan pendamaian, yang digenapi dalam kurban Kristus di kayu salib. Hans Küng dalam On Being a Christian (1974) menegaskan: “Imamat Kristus menggenapi dan melampaui imamat Harun, karena Ia bukan hanya imam, tetapi juga kurban itu sendiri” (hlm. 432).
Katekismus Gereja Katolik (1994) menambahkan:
“Ekaristi adalah peringatan akan kurban Kristus serta Tubuh dan Darah-Nya yang diberikan bagi kita” (KGK 1362).
Dalam Misa, imam Katolik bertindak in persona Christi, melanjutkan imamat Kristus menurut tata cara Melkisedek, dengan roti dan anggur yang menjadi sakramen kurban Kristus.
Kesimpulan
Melkisedek dan Harun adalah prafigurasi penting dalam memahami Ekaristi Katolik. Melkisedek menunjuk pada imamat abadi Kristus dan kurban roti-anggur yang menjadi dasar Ekaristi. Harun menyediakan fondasi ritual yang mengajarkan pendamaian, yang digenapi dalam kurban Kristus. Keduanya berkontribusi bersama, membentuk pemahaman teologis tentang Ekaristi sebagai kurban sempurna yang menghadirkan Kristus secara nyata dalam setiap Misa.4