Kristen-Muslim Menyembah Tuhan yang Sama? (Vatikan 2) ‪@VerbumVeritatisApologetics‬, live#82 07-2025

By Manuel (Tim DKC)

24 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

LIVE DKC [82-2025] RABU, 2 JULI 2025 PUKUL 19:00 WIB: KRISTEN – MUSLIM MENYEMBAH TUHAN YANG SAMA? (VATIKAN II) @VerbumVeritatisApologetics

Merespon Video Decky Nggadas @VerbumVeritatisApologetics VV-256 ”Kristen-Muslim Menyembah Tuhan Yang Sama? (Vatikan 2)”

https://www.youtube.com/live/4dF5dkjGXzM?si=zWdcdZPXVUBZwLfX

Video tersebut membahas apakah orang Kristen dan Muslim menyembah Tuhan yang sama, dengan fokus pada sikap resmi Gereja Katolik Roma, khususnya dari Konsili Vatikan Kedua [03:33].

Pembicara menguraikan beberapa poin berikut:
- Sanggahan dan Tujuan [03:41]: Pembicara mengklarifikasi bahwa tujuannya bukan untuk menciptakan perdebatan “Kristen versus Islam”, melainkan untuk menganalisis dokumen resmi Gereja Katolik Roma. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan bahwa penegasan positif dari Vatikan II mengenai topik ini bertentangan dengan Alkitab dan pernyataan-pernyataan Paus sebelumnya [04:02].

- Posisi Vatikan II [05:51]: Pembicara merujuk pada dua dokumen Vatikan II, yaitu Nostra Aetate (Poin 3) [05:59] dan Lumen Gentium (Bab 2, Poin 16) [14:39], yang menyatakan bahwa Gereja menghormati umat Islam yang “menyembah Tuhan yang satu, yang hidup dan berkuasa” [14:12] dan “bersama kami menyembah Tuhan yang satu dan maha penyayang” [15:07]. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam Katekismus Gereja Katolik, No. 841 [19:28], dan ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1985 [20:39].

- Kontradiksi dengan Paus-Paus Sebelumnya [26:26]: Pembicara kemudian menyajikan kutipan dari Paus-Paus sebelumnya, dengan alasan bahwa pandangan mereka bertentangan dengan penegasan Vatikan II.

  • Paus Urbanus II (abad ke-11) [29:55] menyebut umat Islam sebagai “ras yang hina dan rendah” yang “menyembah setan” [30:12], yang disorot sebagai kontradiksi yang jelas dengan sikap Vatikan II [30:34].
  • Paus Inosensius III (abad ke-13) [31:12] menggambarkan Muhammad sebagai “anak kebinasaan, seorang nabi palsu” dan secara metaforis menghubungkannya dengan “binatang” dari Kitab Wahyu [33:34].
  • Paus Klemens V (abad ke-14) [34:26], melalui Konsili Wina, mencela praktik-praktik Islam di tanah Kristen sebagai “penghinaan terhadap nama suci dan noda bagi iman Kristen” dan melarangnya [34:54].

- Pembelaan Teologis Vatikan II [39:19]: Pembicara menyebutkan bahwa beberapa teolog Katolik membela posisi Vatikan II dengan menggunakan perbedaan filosofis antara “makna” (deskripsi) dan “acuan” (entitas sebenarnya yang dirujuk) [41:22]. Argumen ini menunjukkan bahwa meskipun deskripsi tentang Tuhan dalam agama Kristen dan Islam mungkin berbeda atau bahkan bertentangan (misalnya, mengenai Tritunggal atau Inkarnasi), keduanya tetap merujuk pada wujud ilahi tertinggi yang sama [43:01].

- Bantahan Pembicara [44:26]: Pembicara membantah argumen “makna dan acuan”, dengan menyatakan bahwa argumen tersebut mengandaikan adanya kesamaan entitas yang dimaksud [45:36]. Pembicara berpendapat bahwa kita harus kembali ke wahyu (Alkitab) untuk menentukan apakah Yahweh dan Allah adalah pribadi yang sama [46:54].

- Argumen Alkitabiah: Tritunggal dan Inkarnasi [47:11]:

  • Tritunggal [47:19]: Alkitab mendefinisikan keesaan Tuhan sebagai Tritunggal – Bapa, Anak, dan Roh Kudus – tiga pribadi berbeda yang berbagi satu esensi ilahi [47:32]. Monoteisme Islam, sebaliknya, tidak mencakup Tritunggal [50:07].
  • Inkarnasi (Yesus Kristus) [50:25]: Pembicara menekankan bahwa Yesus Kristus adalah “bait suci eskatologis,” tempat ibadah yang sebenarnya [51:29]. Ibadah dan keselamatan yang sejati hanya mungkin melalui Dia [52:09]. Umat Islam menolak Yesus sebagai Tuhan dan konsep Inkarnasi [53:01].

- Kesimpulan [56:07]: Pembicara menyimpulkan bahwa berdasarkan doktrin Tritunggal dan Inkarnasi, tidak mungkin untuk mengklaim bahwa orang Kristen dan Muslim menyembah Tuhan yang sama. Melakukan hal tersebut dianggap sebagai “pengkhianatan terhadap Injil” dan “penghinaan terhadap akal sehat” [57:18]. Pembicara menegaskan bahwa Tuhan yang sejati, seperti yang diajarkan dalam Alkitab, adalah Tuhan Tritunggal, dan ibadah yang sejati hanya “di dalam Kristus” (en Christo) [58:44].

Konsili Vatikan II dan Pengakuan bahwa Umat Islam Menyembah Tuhan yang Sama: Tanggapan Teologis Katolik terhadap Kritik

Video yang dibahas menyerang pernyataan Konsili Vatikan II bahwa umat Kristen dan Muslim menyembah Tuhan yang sama, dengan mengklaim bahwa posisi ini bertentangan dengan Alkitab, ajaran paus-paus sebelumnya, dan doktrin inti seperti Tritunggal dan Inkarnasi. Pembicara merujuk pada Nostra Aetate (Poin 3), Lumen Gentium (Bab 2, Poin 16), dan Katekismus Gereja Katolik (KGK) No. 841 sebagai bukti penyimpangan, membandingkannya dengan pernyataan polemik paus-paus abad pertengahan seperti Urbanus II, Inosensius III, dan Klemens V. Ia menolak argumen filosofis tentang “makna” dan “acuan” serta berargumen bahwa perbedaan doktrinal menunjukkan bahwa umat Kristen dan Muslim menyembah entitas berbeda.

Tanggapan ini membantah kritik tersebut dengan berpijak pada Alkitab, ajaran Bapa-Bapa Gereja, dokumen resmi Katolik, dan sumber akademis kredibel, termasuk jurnal populer, untuk menegaskan otoritas magisterial Vatikan II.

1. Posisi Vatikan II: Pengakuan Teologis dalam Tradisi Abrahamik

Konsili Vatikan II, melalui Nostra Aetate, menyatakan: “Gereja juga memandang dengan hormat umat Islam yang menyembah Tuhan yang satu, yang hidup dan berkuasa, penuh belas kasih dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah berbicara kepada manusia” (Konsili Vatikan II, 1965, Nostra Aetate, 3). Lumen Gentium menegaskan: “Rencana keselamatan juga mencakup mereka yang mengakui Sang Pencipta, terutama umat Islam, yang menyatakan bahwa mereka berpegang pada iman Abraham, dan bersama-sama dengan kita menyembah Tuhan yang satu dan penuh belas kasih, yang akan menghakimi manusia pada hari kiamat” (Konsili Vatikan II, 1965, Lumen Gentium, 16). KGK No. 841 mengulang: “Umat Islam… bersama-sama dengan kita menyembah Tuhan yang satu dan penuh belas kasih” (Gereja Katolik, 1994, Katekismus Gereja Katolik, 841).

Pembicara menuduh pernyataan ini sebagai pengkhianatan terhadap iman Kristen. Namun, dokumen-dokumen ini tidak menyamakan teologi Kristen dan Islam, melainkan mengakui bahwa umat Muslim, dalam tradisi monoteisme Abrahamik, mengarahkan ibadah mereka kepada Tuhan yang sama yang menyatakan diri kepada Abraham. Teolog Jesuit Francis Sullivan menjelaskan bahwa Nostra Aetate mengakui intensi ibadah umat Muslim terhadap Pencipta yang satu, tanpa menyatakan bahwa Islam memiliki kebenaran penuh (Sullivan, 1992, Salvation Outside the Church?, hlm. 142). Ini sejalan dengan Roma 1:19-20: “Karena apa yang dapat diketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab sejak dunia diciptakan, sifat-sifat-Nya yang tidak kelihatan… dapat dilihat dengan jelas” (Alkitab Terjemahan Baru, 1974). Roma 2:14-15 memperkuat argumen ini: “Apabila bangsa-bangsa yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan kodratnya melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka mereka… menjadi hukum bagi diri mereka sendiri… karena mereka menunjukkan bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka” (Alkitab Terjemahan Baru, 1974). Ayat ini menegaskan bahwa hati nurani manusia, termasuk umat Muslim, dapat mengenal dan menyembah Tuhan melalui hukum moral yang tertulis di hati mereka. Lebih lanjut, 1 Yohanes 4:8 menyatakan: “Allah adalah kasih” (Alkitab Terjemahan Baru, 1974), menegaskan bahwa kasih Tuhan yang universal menjadi landasan bagi dialog antaragama, yang memungkinkan umat Muslim untuk menyembah Tuhan yang sama dengan tulus meskipun pemahaman mereka berbeda.

Bapa Gereja Yustinus Martir (abad ke-2) mendukung pandangan ini dalam Apologi Pertama: “Kami diajarkan bahwa Kristus adalah Putra Sulung Allah, dan kami telah menyatakan bahwa Ia adalah Logos, yang di dalamnya setiap bangsa memiliki bagian” (Yustinus Martir, Apologi Pertama, 46). Konsep logos spermatikos ini menunjukkan bahwa elemen kebenaran tentang Tuhan dapat ditemukan di luar Kekristenan, termasuk dalam monoteisme Islam. Artikel dalam jurnal Theological Studies oleh Daniel Madigan SJ menegaskan bahwa Nostra Aetate mengakui kesamaan acuan teologis dalam tradisi Abrahamik tanpa menyamakan doktrin (Madigan, 2002, Theological Studies, 63(4), hlm. 781-796).

2. Paus-Paus Abad Pertengahan: Retorika Historis, Bukan Dogma

Pembicara mengutip Paus Urbanus II yang menyebut umat Islam sebagai “ras yang hina dan rendah” yang “menyembah setan” (dikutip dalam video, 30:12), Inosensius III yang menggambarkan Muhammad sebagai “anak kebinasaan” (33:34), dan Klemens V yang melalui Konsili Wina mencela praktik Islam sebagai “penghinaan terhadap nama suci” (34:54). Ia menyajikan ini sebagai kontradiksi dengan Vatikan II. Namun, pernyataan ini harus dilihat dalam konteks sejarahnya.

Sejarawan John O’Malley menjelaskan bahwa pernyataan paus abad pertengahan mencerminkan konflik geopolitik, seperti Perang Salib, dan menggunakan retorika polemik yang umum pada zamannya (O’Malley, 2008, What Happened at Vatican II, hlm. 45). Urbanus II berbicara pada 1095 untuk memobilisasi Perang Salib Pertama, Inosensius III menggunakan bahasa metaforis abad ke-13, dan Klemens V berfokus pada disiplin pastoral. Tidak satu pun dari pernyataan ini memiliki otoritas dogmatis, seperti pernyataan ex cathedra atau konsili ekumenis. Sebaliknya, Vatikan II, sebagai konsili ekumenis, memiliki otoritas magisterial tertinggi.

Paus modern seperti Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI menegaskan semangat Vatikan II. Yohanes Paulus II, dalam pidatonya pada 1985, menghormati umat Muslim sebagai penyembah Tuhan yang satu (dikutip dalam video, 20:39). Benediktus XVI, dalam Truth and Tolerance, menegaskan bahwa dialog antaragama tidak mengurangi keunikan Kekristenan (Ratzinger, 2006, Truth and Tolerance, hlm. 104). Mengabaikan otoritas magisterial modern demi kutipan polemik abad pertengahan adalah distorsi terhadap Tradisi Suci, yang hidup di bawah bimbingan Roh Kudus (Yohanes 16:13: “Roh Kebenaran… akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran”).

3. Makna dan Acuan: Logika Teologis yang Kokoh

Pembicara menolak argumen tentang “makna” (deskripsi) dan “acuan” (entitas yang dirujuk), menyatakan bahwa ini mengandaikan kesamaan entitas tanpa bukti (45:36). Namun, distingsi ini berakar dalam tradisi Katolik. Thomas Aquinas, dalam Summa Theologiae, berargumen bahwa berbagai nama Tuhan merujuk pada esensi ilahi yang sama, meskipun deskripsinya berbeda (Aquinas, 1265-1274, Summa Theologiae, I, Q. 13, A. 5). Teolog Karl Rahner menjelaskan bahwa umat Muslim, melalui monoteisme Abrahamik, merujuk pada Tuhan yang sama, meskipun pemahaman mereka tidak mencakup Tritunggal (Rahner, 1978, Foundations of Christian Faith, hlm. 316).

Jurnal Theological Studies oleh Daniel Madigan SJ menegaskan bahwa Nostra Aetate mengakui kesamaan acuan teologis dalam tradisi Abrahamik tanpa menyamakan doktrin (Madigan, 2002, Theological Studies, 63(4), hlm. 781-796). Jika pembicara menolak argumen ini, ia juga harus menolak bahwa umat Yahudi menyembah Tuhan yang sama, karena mereka menolak Tritunggal. Namun, Alkitab menegaskan kontinuitas antara Yahweh dan Tuhan Tritunggal (Matius 22:32: “Akulah Allah Abraham, Ishak, dan Yakub”). Logika pembicara gagal karena menyamakan perbedaan deskripsi dengan perbedaan entitas.

4. Tritunggal dan Inkarnasi: Kebenaran Penuh dalam Kasih Karunia Universal

Pembicara menegaskan bahwa doktrin Tritunggal dan Inkarnasi, yang ditolak oleh Islam, membuktikan bahwa umat Kristen dan Muslim menyembah entitas berbeda, menyebut Yesus sebagai “bait suci eskatologis” (51:29-52:09). Katolik menegaskan: “Misteri Tritunggal Mahakudus adalah misteri utama iman dan kehidupan Kristen” (Gereja Katolik, 1994, Katekismus Gereja Katolik, 234). Yohanes 14:6 menyatakan: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”

Namun, Gereja tidak membatasi ibadah kepada Tuhan hanya pada mereka yang menerima Tritunggal secara eksplisit. KGK No. 847-848 menyatakan: “Orang-orang yang, tanpa kesalahan mereka sendiri, tidak mengenal Injil Kristus atau Gereja-Nya, tetapi dengan tulus mencari Allah… dapat memperoleh keselamatan kekal” (Gereja Katolik, 1994, Katekismus Gereja Katolik, 847). KGK No. 1260 menambahkan: “Karena Kristus telah wafat untuk semua orang… kita harus berpegang teguh pada keyakinan bahwa Roh Kudus memberikan kepada semua orang kemungkinan untuk, dengan cara yang hanya diketahui oleh Allah, turut mengambil bagian dalam misteri Paskah” (Gereja Katolik, 1994, Katekismus Gereja Katolik, 1260). Ini menegaskan bahwa kasih karunia Kristus, yang berpuncak pada kasih Tuhan (1 Yohanes 4:8: “Allah adalah kasih”), dapat bekerja secara misterius melalui hati nurani, termasuk bagi umat Muslim yang menyembah Tuhan dengan tulus.

Bapa Gereja Klemens dari Aleksandria menegaskan bahwa kasih karunia Tuhan bekerja di luar wahyu eksplisit (Klemens dari Aleksandria, Stromata, VI, 5). Jurnal New Blackfriars oleh Edward Kessler menegaskan bahwa Vatikan II mengakui kebenaran parsial dalam agama lain tanpa mengorbankan keunikan Kristus (Kessler, 2015, New Blackfriars, 96(1063), hlm. 305-320). Prinsip extra Ecclesiam nulla salus tidak mengecualikan kasih karunia Kristus yang bekerja secara misterius (Lumen Gentium, 16).

5. Kritik terhadap Vatikan II: Tradisionalisme versus Magisterium

Pembicara menyebut Vatikan II sebagai “pengkhianatan terhadap Injil” (57:18). Kritik ini sering dikaitkan dengan pandangan tradisionalis yang mengutip pernyataan seperti Paus Pius IX (Konsili Vatikan I, Sesi 3) atau Paus Gregorius XVI (Summo Iugiter Studio, 1832). Namun, pernyataan ini menegaskan pengetahuan tentang Tuhan melalui ciptaan, bukan eksklusivitas ibadah dalam Gereja Katolik. Roma 2:14-15, seperti disebutkan di atas, mendukung bahwa hukum Tuhan tertulis di hati semua manusia, termasuk mereka yang tidak mengenal Injil. Bapa Gereja Agustinus dari Hippo, dalam De Civitate Dei, menyatakan bahwa Tuhan “tidak jauh dari kita masing-masing” (Kisah Para Rasul 17:27, dikutip dalam De Civitate Dei, X, 29), menegaskan bahwa pencarian Tuhan oleh non-Kristen dapat diarahkan kepada-Nya.

Jurnal Journal of Ecumenical Studies oleh Paul F. Knitter menegaskan bahwa Vatikan II memperluas pengakuan terhadap kasih karunia Tuhan dalam agama lain, sejalan dengan semangat dialog antaragama yang berakar pada kasih Kristiani, yang mencerminkan hakikat Tuhan sebagai kasih (1 Yohanes 4:8) (Knitter, 2013, Journal of Ecumenical Studies, 48(2), hlm. 171-189). Vatikan II, dengan semangat aggiornamento, menawarkan pendekatan yang inklusif tanpa mengorbankan kebenaran Kekristenan.

6. Kesimpulan: Vatikan II sebagai Penggenapan Kasih dan Kebenaran

Vatikan II bukan pengkhianatan, melainkan penggenapan perintah Kristus untuk mengasihi sesama (Matius 22:39) dan mewartakan Injil kepada semua makhluk (Markus 16:15). Lumen Gentium 16 menyatakan: “Mereka yang belum menerima Injil… diarahkan kepada umat Allah” (Konsili Vatikan II, 1965, Lumen Gentium, 16). Dengan mengakui bahwa umat Muslim menyembah Tuhan yang sama, Gereja menegaskan kasih karunia Tuhan yang universal, sebagaimana dikatakan dalam 1 Timotius 2:4: “Allah menghendaki supaya semua orang diselamatkan.” Prinsip ini berpuncak pada keyakinan bahwa “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:8), yang menjadi landasan teologis untuk menghormati intensi ibadah umat Muslim.

Kritik pembicara gagal karena mengabaikan konteks historis pernyataan abad pertengahan, otoritas magisterial Vatikan II, dan logika teologis tentang makna dan acuan. Gereja Katolik, melalui Nostra Aetate dan Lumen Gentium, memilih dialog dan keterbukaan, bukan karena lemah, tetapi karena iman kepada Kristus sebagai “Terang yang menerangi setiap orang” (Yohanes 1:9). Tradisi Katolik, yang dipimpin oleh Roh Kudus, menawarkan jalan yang lebih luas dan mendalam daripada dikotomi sempit yang ditawarkan pembicara.1

Akar Kesalahpahaman Bidat Protestan Terhadap Pernyataan: ”Islam Juga Menyembah Pencipta Yang Satu dan Sama”

Pendahuluan

Pernyataan Gereja Katolik, sebagaimana tercantum dalam KGK 841 dan Deklarasi Konsili Vatikan II Nostra Aetate, bahwa umat Kristen dan Muslim ”bersama kita menyembah Allah yang Esa, Allah yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasih dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi”2, seringkali menjadi titik serangan sengit dari berbagai kelompok Protestan, terutama yang beraliran konservatif, Injili, fundamentalis, Baptis dan Calvinis. Mereka menuduh Gereja Katolik mengkompromikan keunikan Kristus, mempromosikan sinkretisme, atau bahkan menyembah ”ilah” Muslim. Namun ironisnya kritik keras ini justru merupakan manifestasi dari kesalahpahaman fundamental yang berakar pada warisan filosofis Nominalisme abad ke-14, yang secara inheren mendorong strawman fallacy dan akhirnya menempatkan para penyerang dalam posisi teologis yang kontradiktif dan bahkan politeistik.

Mengungkap Penyebab Strawman Fallacy Protestan atas Pernyataan KGK 841: Warisan Nominalisme

Untuk memahami mengapa Protestantisme modern sering salah memahami pernyataan KGK 841, kita harus menelusuri kembali ke akar epistemologis Reformasi abad ke-16 yaitu Nominalisme Ockham.

  • Nominaisme Ockham dan Reduksi Realitas:

William dari Ockham, seorang tokoh sentral nominalisme, secara radikal mereduksi realitas universal (konsep-konsep umum seperti ”kemanusiaan’, ”kebaikan”, atau ”ketuhanan” itu sendiri) menjadi sekedar nama (nomina) atau tanda-tanda mental yang diciptakan oleh akal manusia untuk mengkategorikan pengalaman partikular. Bagi nominalis, yang benar-benar nyata hanyalah entitas individual dan konkret. Konsep-konsep umum tidak memiliki realitas ontologis di luar pikiran.3

  • Implikasi Nominalisme pada Pemahaman Allah:

Ketika diterapkan pada konsep Allah, nominalisme cenderung menekankan bahwa Allah yang sejati hanya dapat dikenal melalui wahyu proporsional yang spesifik dan partikular (yaitu Kitab Suci, dan secara eksklusif dalam Kristus yang diakui secara verbal). Pengenalan Allah melalui akal (teologi natural) atau melalui manifestasi umum dalam ciptaan cenderung diremehkan atau bahkan ditolak. Akibatnya Allah menjadi dikenal hanya melalui definisi dan konsep yang diwahyukan secara verbal, bukan melalui esensi ontologis yang dapat diakses secara umum oleh akal.

  • Strawman Fallacy Protestan:

Dengan gaya berpikir nominalis ini ketika KGK 841 menyatakan ”bersama kita menyembah Allah yang Esa… Sang Pencipta’, para kritikus Protestan modern secara otomatis mereduksi ”Sang Pencipta” menjadi sekedar definisi atau konsep teologis Islam tentang Allah (yaitu ”Allah SWT” dengan segala atribut dan narasi Al-Qur’annya). Mereka gagal memahami bahwa Gereja Katolik dengan akar filsafat realisme (terutama Thomisme) yang teguh, menempatkan istilah ”Sang Pencipta” pada Being Yang Maha Esa yang transenden dan universal – yaitu realitas ontologis dari Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu.4

  • Katolik (Realisme):

Ketika Katolik mengatakan ”Sang Pencipta”, ia merujuk pada realitas onkologis dari satu-satunya Tuhan yang ada, yang keberadaan-Nya dapat diketahui secara rasional (lih. Roma 1:20 – ”Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran secara objektif merujuk pada Being yang sama ini, meskipun pemahaman mereka tentang Being tersebut tidak lengkap dan berbeda secara dramatis dalam hal esensi personal (Trinitas) dan rencana keselamatan.

  • Protestan (Nominalisme):

Para penyerang Protestan, karena jebakan nominalisme gagal melihat perbedaan antara Being universal Sang Pencipta dan konsep/ definisi partikular tentang Sang Pencipta. Bagi mereka, jika konsepnya berbeda, maka Being-nya pun harus berbeda. Oleh karena itu, mereka membuat strawman dengan menuduh Katolik menyembah”ilah SWT” Muslim, padahal Katolik merujuk pada realitas onkologis Sang Pencipta yang satu dan universal yang melampaui definisi-definisi konseptual semata.

Serangan Balik atas Tuduhan Protestan: Pengakuan Terselubung Terhadap ”Ilah” Muslim yang Eksis dan Politeisme Akut

Ketika kelompok-kelompok Protestan (juga Ortodoks tertentu dan Tradisionalis ekstrem) menyerang pernyataan KGK 841, mereka secara tidak sadar mengungkap kontradiksi serius dalam posisi teologis mereka sendiri.

  • Pengakuan Terselubung atas Eksistensi ”Ilah” Muslim:

Ketika mereka menolak bahwa ”Sang Pencipta” dalam KGK 841 adalah Allah Kristen dan malah menuduh bahwa ini merujuk pada ”ilahnya kaum Muslimin (SWT)”, mereka secara paradoks justru mengakui bahwa ”ilah” kaum Muslim itu sungguh eksis (real) sebagai entitas ilahi yang berbeda dari Allah Kristen.5

  • Jika mereka benar-benar percaya bahwa Allah Islam adalah ilusi atau tidak ada, mengapa mereka begitu marah dan takut bahwa Gereja Katolik akan ”menyamakan” Allah yang ada dengan”ilah ” yang tidak ada? Ketakutan mereka hanya masuk akal jika mereka percaya bahwa ”Allah SWT” Muslim adalah suatu realitas yang ada, sebuah tuhan yang rival dan palsu, bukan sekedar konsep yang keliru.

  • Dengan demikian, mereka sendirilah yang menempatkan ”ilah SWT” Muslim sebagai entitas yang nyata di alam semesta, yang kemudian harus diperangi secara teologis. Ini jauh lebih mengkhawatirkan daripada pernyataan Katolik yang sederhana tentang satu Pencipta yang melampaui batas-batas agama.

  • Jatuh pada Politeisme Akut:

Kegagalan mereka untuk membedakan antara Being Allah yang ontologis dan konsep-konsep tentang Dia secara epistemologis membawa mereka pada posisi politeisme teologis akut.

  • Jika setiap perbedaan doktrinal atau epistemologis tentang Allah (misalnya Kristen Trinitas vs Islam Tauhid) berarti ada Allah yang berbeda secara ontologis, maka akan ada banyak Allah yang eksis di alam semesta, sesuai dengan jumlah dan variasi doktrin tentang ketuhanan yang ada di dunia. Ini adalah inti dari politeisme

  • Logika mereka menyiratkan bahwa pemahaman manusia tentang Allah-lah yang menentukan jumlah Allah yang eksis. Ini bertentangan dengan monoteisme sejati yang menyatakan bahwa hanya ada satu Being Ilahi yang unik dan tak terbatas.

Penjelasan Final atas ”Islam dan Kristen Menyembah Pencipta Yang satu dan Sama”: Konsistensi Monoteisme Sejati Katolik

Gereja Katolik, sebagai pembela monoteisme sejati tetap konsisten pada Being Yang Maha Esa. Tidak ada Pencipta yang terpisah untuk masing-masing agama atau kelompok manusia. Hanya ada satu Pencipta tunggal alam semesta.

  • Kesamaan dengan Kasus Anak Lembu Emas

Peristiwa bangsa Isarel di padang gurun (lih. Keluaran 32) adalah analogi yang sempurna. Ketika Israel membuat patung anak lembu emas, mereka tidak bermaksud menyembah dewa Mesir yang baru. Harun sendiri berkata – ”Hari Raya untuk TUHAN besok!” (lih. Keluaran 32:5). Mereka ingin menyembah YHWH, Allah yang telah membawa mereka keluar dari Mesir, tetapi mereka melakukannya melalui saran dan konsep yang menyimpang – yakni patung lembu emas. Patung itu sendiri adalah bentuk ekspresi dan representasi mereka yang salah tentang YHWH.

  • Aplikasi:

Dalam kasus Mulsim, ”Ilah SWT” mereka dengan segala kisah dan atribut dalam Al-Qur’an dapat dipahami seperti ”patung lembu emas” bagi bangsa Israel. Itu adalah sarana, konsep dan epistemologi yang keliru, tidak lengkap atau menyimpang dalam upaya mereka untuk menyembah Sang Pencipta Yang Esa.

  • Muslim menyembah Allah yang mereka kenal melalui Al-Qur’an sebagai ”Allah” (kata Arab untuk Tuhan), Tuhan Abraham, Musa dan Yesus, Pencipta alam smesta. Mereka merujuk pada Being yang sama.

  • Namun, pemahaman mereka tentang Being itu (yakni secara tegas non-Trinitaris, tanpa inkaransi Ilahi, dll) sangat berbeda dan tidak sesuai dengan wahyu Kristiani yang penuh dan benar.

  • Kesimpulan:

Yang berbeda adalah pada konsep (epistenologi) dan sarana penyembahan, sedangkan Realitas (Being) Pencipta tetaplah Satu dan Sama bagi seluruh umat manusia. Gereja Katolik tidak mengatakan bahwa ajaran Islam tentang Allah adalah benar, melainkan bahwa Allah yang mereka coba kenal dan sembah adalah secara ontologis Allah yang sama yang diwahyukan dalam Kristus.

Kesimpulan Akhir

Serangan dan ketakutan Protestan terhadap pernyataan KGK 841 bahwa Kristen dan Muslim menyembah Pencipta yang satu dan sama, bukanlah tanda kemurnian teologis melainkan cerminan dari akar filososfis nominalis mereka yang cacat. Warisan ini menjebak mereka dalam strawman fallacy dimana mereka mereduksi Being Universal Sang Pencipta menjadi sekedar konsep atau ”ilah” spesifik Muslim, sehingga secara paradoks mereka justru meyakini eksistensi ”ilah SWT” sebagai entitas nyata dan terpisah. Lebih jauh logika mereka yang mengaitkan perbedaan epistemologi denga perbedaan ontologi Tuhan, secara tak terhindarkan menjerumuskan mereka pada posisi politeisme teologis akut.

Gereja Katolik, yang berpegang teguh pada realisme filosofis dan monoteisme sejati, secara konsisten membedakan antara satu Being Allah yang unik dan tak terbagi, dengan berbagai cara manusia memahami dan mendekati Being tersebut. Sama seperti Israel kuno yangmenyembah YHWH melalui sarana anak lembu emas, Muslim menyembah Sang Pencipta yang Esa melalui pemahaman dan wahyu mereka sendiri yang berbeda. Ini adalah sebuah pengakuan akan realitas ontologis dan universal Sang Pencipta, bukan sebuah kompromi teologis. Dengan demikian tuduhan Protestan tidak hanya keliru tetapi juga mengungkapkan inkonsistensi serius dalam kerangka pemikiran mereka sendiri.

  1. Katekismus Gereja Katolik (KGK) Artikel 841. Tersedia di https://www.vatican.va/archive/ENG0015/ P29.HTM atau terjemahan Indonesia 

  2. Untuk detil mengenai Nominalisme Ockman dan dampaknya pada epistemologi dan metafisika: 

  3. Mengenai realisme filosofis Katolik dan pengenalan Allah melalui akal: 

  4. Untuk analisis lebih lanjut tentang bagaimana penolakan “Allah yang sama” dapat mengarah pada politeisme: 

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya