LIVE DKC [100-2025] SELASA, 12 AGUSTUS 2025 PUKUL 19:00 WIB: KITAB SUCI KATOLIK VS ALKITAB PROTESTAN??? @EsraAlfredSoru
Merespon Video Pdt. Esra Soru ”Alkitab Katolik vs Alkitab Protestan, Apa Bedanya?”
Kitab Suci Martin Luther yang masih ada Kitab Makabe (73 Kitab)
Kitab Suci John Calvin yang masih ada Kitab Makabe (73 Kitab)
Kitab Suci Protestan (King James Version) yang juga masih ada Kitab Makabe (73 Kitab)
Tanggapan Akademis terhadap Video “Alkitab Katolik vs Alkitab Protestan: Apa Bedanya?” oleh Pdt. Dr. Esra Alfred Soru
Video berjudul “Alkitab Katolik vs Alkitab Protestan: Apa Bedanya?” yang diunggah di kanal YouTube Pdt. Dr. Esra Alfred Soru, S.Th, M.Pd.K, berupaya menjelaskan perbedaan antara Alkitab Katolik dan Protestan, dengan fokus pada jumlah kitab, latar belakang historis, dan implikasi teologis. Meskipun informatif dalam beberapa aspek, video ini mengandung penyederhanaan, bias Protestan, dan kekeliruan yang memerlukan koreksi dari perspektif Katolik.
Tanggapan ini bertujuan untuk menegaskan otoritas kanon Alkitab Katolik, menjelaskan signifikansi kitab-kitab Deuterokanonika, mengklarifikasi implikasi doktrinal, serta memberikan konteks sejarah yang lengkap. Tanggapan ini disusun secara untuk menyoroti kelemahan argumen dalam video, dan merujuk pada dokumen resmi Gereja Katolik serta literatur teologi otoritatif.
I. Otoritas Kanon Alkitab Katolik dan Kitab-Kitab Deuterokanonika
Pdt. Esra Soru menyebutkan bahwa Alkitab Katolik terdiri dari 73 kitab, sedangkan Alkitab Protestan memiliki 66 kitab, dengan perbedaan utama terletak pada kitab-kitab Deuterokanonika: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, 1 dan 2 Makabe, serta tambahan pada Ester dan Daniel. Namun, pernyataannya bahwa “Deuterokanonika” berarti “kanon kedua” dan dianggap sebagai “tambahan” oleh Gereja Katolik adalah keliru.
Istilah “Deuterokanonika” merujuk pada kitab-kitab yang diterima dalam kanon melalui proses pengakuan resmi Gereja setelah kanon Perjanjian Lama Ibrani (Protokanonika) ditetapkan, bukan menunjukkan status sekunder. Kitab-kitab ini dianggap sebagai bagian integral dari Kitab Suci yang diilhamkan oleh Allah.
Dokumen resmi Gereja Katolik, Dei Verbum dari Konsili Vatikan II, menegaskan otoritas kanon ini: “Gereja Suci menerima dan menghormati kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru, secara keseluruhan dan dengan segala bagiannya, sebagai suci dan kanonik, karena ditulis di bawah inspirasi Roh Kudus, memiliki Allah sebagai pengarangnya, dan telah diserahkan sebagai sedemikian kepada Gereja” (Dei Verbum 11, terjemahan resmi KWI, 1965).
Kanon 73 kitab ini mulai ditegaskan dalam Konsili Roma (382 M) di bawah Paus Damasus I, yang menghasilkan daftar kanonik yang mencakup kitab-kitab Deuterokanonika, sebagaimana tercatat dalam Decretum Gelasianum (meskipun atribusi dokumen ini masih diperdebatkan). Keputusan ini diperkuat oleh Konsili Hippo (393 M) dan Kartago (397 M), serta secara definitif ditegaskan dalam Konsili Trente (1546 M) sebagai respons terhadap penolakan Reformasi Protestan.
Decree on the Canonical Scriptures dari Konsili Trente menyatakan: “Jika ada yang tidak menerima sebagai suci dan kanonik kitab-kitab ini, secara keseluruhan dengan semua bagiannya… biarlah ia dikutuk” (terjemahan akurat dari Canons and Decrees of the Council of Trent, ed. H.J. Schroeder, 1941, hlm. 17).
Penolakan Protestan terhadap kitab-kitab Deuterokanonika, seperti yang disampaikan Pdt. Esra Soru, didasarkan pada preferensi terhadap kanon Yahudi (Tanakh), yang hanya mencakup 39 kitab Perjanjian Lama. Namun, kanon Yahudi baru difinalisasi sekitar tahun 90 M di Yavne, setelah Gereja mula-mula telah menggunakan Septuaginta—terjemahan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani yang mencakup kitab-kitab Deuterokanonika—sebagai teks otoritatif. Daniel J. Harrington dalam Invitation to the Apocrypha (1999) menjelaskan: “Septuaginta adalah Alkitab Gereja mula-mula, dan kitab-kitab Deuterokanonika di dalamnya digunakan secara luas dalam liturgi, pengajaran, dan tulisan-tulisan Bapa Gereja seperti Agustinus dan Origenes” (hlm. 12).
Bukti arkeologi, seperti manuskrip Gulungan Laut Mati, menunjukkan bahwa kitab-kitab seperti Tobit dan Yesus bin Sirakh beredar di kalangan komunitas Yahudi sebelum kanon Yavne, sehingga klaim bahwa kitab-kitab ini adalah “tambahan” belaka tidak berdasar.
II. Asal-Usul Istilah “Deuterokanonika”
Istilah “Deuterokanonika” diciptakan pada abad ke-16 oleh teolog Katolik Sixtus dari Siena dalam karyanya Bibliotheca Sancta ex Praecipuis Catholicae Ecclesiae Auctoribus Collecta (1566). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani deuteros (kedua) dan kanon (aturan atau standar), merujuk pada kitab-kitab yang diterima dalam kanon
Gereja setelah proses pengakuan yang lebih panjang dibandingkan kitab-kitab Protokanonika.
Edward Sri dalam A Guide to the Deuterocanonical Books of the Old Testament (2021) menjelaskan: “Istilah Deuterokanonika menunjukkan bahwa kitab-kitab ini diterima sebagai kanonik melalui konsili-konsili Gereja setelah beberapa komunitas awal memperdebatkan statusnya, tetapi tidak mengindikasikan inferioritas” (hlm. 29).
Sebelum abad ke-16, kitab-kitab Deuterokanonika tidak dibedakan secara eksplisit dari kitab-kitab lain dalam Septuaginta. Namun, dengan munculnya Reformasi dan penolakan terhadap kitab-kitab ini oleh para Reformator, istilah “Deuterokanonika” digunakan untuk menegaskan status kanoniknya dalam tradisi Katolik, berbeda dengan istilah Protestan “Apokrifa,” yang merendahkan status kitab-kitab ini dengan menyiratkan bahwa mereka tidak diilhamkan.
III. Sejarah Pembentukan Kanon 66 Kitab Protestan
Pembentukan kanon 66 kitab Protestan berakar pada Reformasi abad ke-16, khususnya melalui pengaruh Martin Luther. Dalam terjemahan Alkitabnya ke dalam bahasa Jerman (1534), Luther memisahkan kitab-kitab Deuterokanonika dan menempatkannya dalam bagian berjudul “Apokrifa,” dengan catatan bahwa kitab-kitab ini “berguna dan baik untuk dibaca, tetapi tidak dianggap setara dengan Kitab Suci” (Luther, Preface to the Apocrypha, 1534, dikutip dalam Pelikan, 1996, hlm. 45). Keputusan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor:
- Preferensi terhadap Kanon Yahudi: Luther dan reformator lain mengadopsi kanon Tanakh, yang hanya mencakup 39 kitab Perjanjian Lama, sebagaimana ditetapkan oleh rabi-rabi Yahudi pasca-Yavne. Mereka berargumen bahwa kanon Ibrani lebih “asli” karena ditulis dalam bahasa Ibrani, meskipun fragmen kitab-kitab Deuterokanonika seperti Tobit dan Yesus bin Sirakh dalam bahasa Ibrani ditemukan di antara Gulungan Laut Mati.
- Prinsip Sola Scriptura: Reformasi menekankan sola scriptura sebagai otoritas tertinggi, menolak Tradisi Gereja sebagai sumber otoritas. Karena kitab-kitab Deuterokanonika didukung oleh Tradisi Gereja dan konsili-konsili seperti Roma, Hippo, dan Kartago, Luther menganggapnya kurang otoritatif.
- Kontroversi Doktrinal: Kitab-kitab Deuterokanonika, seperti 2 Makabe, mendukung doktrin-doktrin Katolik seperti api penyucian, yang ditolak oleh Luther. Dengan mengecualikan kitab-kitab ini, Luther berupaya melemahkan dasar tekstual untuk ajaran-ajaran tersebut.
Meskipun Luther tidak sepenuhnya menolak kitab-kitab Deuterokanonika untuk pembacaan rohani, komunitas Protestan lainnya, seperti Gereja Anglikan dan Calvinis, secara bertahap menghapus kitab-kitab ini dari Alkitab resmi mereka. Pada abad ke-19, British and Foreign Bible Society memutuskan untuk hanya menerbitkan Alkitab tanpa kitab-kitab Deuterokanonika, sehingga menetapkan kanon 66 kitab sebagai standar Protestan.
Brant Pitre dalam Introduction to the Old Testament (2021) menegaskan: “Penolakan Protestan terhadap kitab-kitab Deuterokanonika adalah keputusan teologis dan polemik, bukan sekadar filologis, yang mengabaikan penggunaan kitab-kitab ini oleh Gereja mula-mula” (hlm. 65).
IV. Susunan Perjanjian Lama dan Konteks Historis Septuaginta
Pdt. Esra Soru keliru menyatakan bahwa Alkitab Protestan mengikuti susunan Septuaginta. Sebenarnya, Alkitab Protestan mengikuti kanon Tanakh dalam hal jumlah kitab (39 kitab Perjanjian Lama), meskipun susunan kitabnya dipengaruhi oleh Septuaginta. Septuaginta, yang disusun pada abad ke-3 hingga ke-2 SM, mencakup kitab-kitab Deuterokanonika dan digunakan oleh komunitas Yahudi diaspora serta Gereja mula-mula. Tanakh menggabungkan beberapa kitab (misalnya, 1 dan 2 Raja-raja menjadi satu buku) sehingga terdiri dari 24 kitab, meskipun isinya setara dengan 39 kitab dalam Alkitab Protestan.
Matthew Levering dalam The Theology of Wisdom (2020) menjelaskan: “Septuaginta bukan hanya terjemahan, tetapi juga kanon yang diterima oleh komunitas Yahudi berbahasa Yunani dan Gereja mula-mula. Banyak kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru berasal dari Septuaginta” (hlm. 89).
Contohnya, dalam Ibrani 1:6, kutipan dari Ulangan 32:43 mencerminkan versi Septuaginta, bukan teks Ibrani Masoretik. Keputusan Protestan untuk hanya menerima kanon Tanakh adalah inovasi abad ke-16 yang memutuskan hubungan dengan Tradisi Gereja yang telah menerima Septuaginta selama lebih dari seribu tahun.
V. Nilai Teologis dan Rohani Kitab-Kitab Deuterokanonika
Pdt. Esra Soru menyoroti pentingnya kitab-kitab Deuterokanonika, seperti 1 dan 2 Makabe, dalam memahami periode Intertestamental (sekitar 400 tahun antara Maleakhi dan Perjanjian Baru). Kitab-kitab ini memang memberikan wawasan sejarah tentang pemberontakan Makabe dan peralihan kekuasaan dari Persia ke Yunani dan Romawi. Namun, pernyataannya bahwa kitab-kitab ini hanya berfungsi sebagai “jembatan sejarah” meremehkan nilai teologis dan rohani mereka.
Kitab Kebijaksanaan Salomo, misalnya, menawarkan refleksi tentang kebijaksanaan ilahi dan keadilan Allah. Pasal 2:12-20 menggambarkan penderitaan orang benar, yang menubuatkan penderitaan Yesus.
Edward Sri dalam A Guide to the Deuterocanonical Books of the Old Testament (2021) menegaskan: “Kebijaksanaan Salomo memberikan wawasan kristologis yang kaya, menghubungkan penderitaan orang benar dengan misteri Paskah Kristus” (hlm. 45).
Yesus bin Sirakh memberikan ajaran tentang kebajikan, doa, dan hubungan dengan Allah, yang relevan dalam liturgi Katolik. Penggunaan kitab-kitab ini dalam Liturgy of the Hours dan Misa menegaskan status kanoniknya, sebagaimana ditegaskan dalam Sacrosanctum Concilium (Konsili Vatikan II, 1963): “Kitab Suci, dalam kelimpahan dan kekayaannya, harus menjadi sumber utama dalam liturgi” (par. 24, terjemahan resmi KWI).
VI. Implikasi Doktrinal: Kasus Api Penyucian dan Lainnya
Pdt. Esra Soru menghubungkan doktrin api penyucian (purgatorium) dengan 2 Makabe 12:39-46, yang menceritakan praktik berdoa untuk orang mati agar dibebaskan dari dosa, dan menyatakan bahwa doktrin ini ditolak oleh Protestan karena mereka tidak mengakui kitab ini. Meskipun benar secara faktual, penjelasannya menyederhanakan dasar doktrinal api penyucian.
Katekismus Gereja Katolik (KGK) menjelaskan: “Mereka yang meninggal dalam rahmat dan persahabatan dengan Allah, tetapi belum sepenuhnya dimurnikan, meskipun telah dijamin keselamatan kekalnya, menjalani pemurnian setelah kematian, untuk mencapai kekudusan yang diperlukan untuk masuk ke dalam sukacita surga” (KGK 1030, terjemahan resmi KWI, 1995).
Selain 2 Makabe 12:46, yang menyatakan bahwa “adalah suatu perbuatan yang baik dan saleh untuk berdoa bagi orang-orang mati,” doktrin ini didukung oleh 1 Korintus 3:13-15 (karya yang diuji oleh api) dan Matius 12:32 (dosa yang tidak diampuni “di dunia yang akan datang”). Peter Kreeft dalam Catholic Christianity (2001) menegaskan: “Purgatorium adalah eksposisi logis dari keadilan dan belas kasih Allah, yang memungkinkan jiwa-jiwa untuk disucikan sebelum masuk ke hadirat-Nya” (hlm. 145).
Kitab-kitab Deuterokanonika juga mendukung doktrin-doktrin lain, seperti perantaraan orang kudus (Tobit 12:12) dan keutamaan amal (Yesus bin Sirakh 3:30).
VII. Kritik terhadap Bias dan Kelemahan Video
Video ini memiliki beberapa kelemahan yang mencerminkan bias Protestan:
- Bias terhadap Kanon Yahudi: Penekanan pada Tanakh sebagai standar kanon mengabaikan otoritas Gereja Katolik dalam menetapkan kanon melalui konsili-konsili seperti Roma (382 M), Hippo (393 M), Kartago (397 M), dan Trente (1546 M).
- Penyederhanaan Kitab Deuterokanonika: Menggambarkan kitab-kitab ini sebagai “jembatan sejarah” merendahkan nilai teologis dan rohani mereka.
- Penyederhanaan Doktrin Api Penyucian: Mengaitkan doktrin ini hanya dengan 2 Makabe menunjukkan kurangnya pemahaman tentang pendekatan holistik Katolik.
Seolah-olah Pdt. Esra Soru ingin meyakinkan penonton bahwa kanon Protestan adalah “asli,” sementara kanon Katolik adalah hasil “tambal sulam” abad pertengahan. Padahal, Gereja Katolik telah menjaga kanon Septuaginta sejak Konsili Roma, jauh sebelum Luther memutuskan untuk “memangkas” kitab-kitab yang telah diterima selama lebih dari seribu tahun.
VIII. Relevansi Kontemporer dan Dialog Ekumenis
Kitab-kitab Deuterokanonika tetap relevan dalam teologi, spiritualitas, dan dialog ekumenis. Paus Yohanes Paulus II dalam Ut Unum Sint (1995) menyerukan: “Dialog ekumenis harus didasarkan pada penghormatan terhadap kebenaran, yang mencakup pengakuan akan Tradisi Apostolik yang hidup dalam Gereja” (par. 18, terjemahan resmi KWI).
Verbum Domini (2010) oleh Paus Benediktus XVI menegaskan: “Kitab Suci harus menjadi jiwa teologi dan spiritualitas Kristen” (par. 29, terjemahan resmi KWI).
IX. Kesimpulan
Video Pdt. Dr. Esra Soru memberikan gambaran umum tentang perbedaan antara Alkitab Katolik dan Protestan, tetapi gagal memahami otoritas Gereja Katolik dalam menetapkan kanon sejak Konsili Roma (382 M) dan meremehkan nilai teologis kitab-kitab Deuterokanonika. Kanon 73 kitab Katolik diakui sebagai Sabda Allah yang diilhamkan melalui Tradisi Apostolik dan Magisterium.
Penolakan Protestan terhadap kitab-kitab Deuterokanonika adalah inovasi abad ke-16 yang memutuskan hubungan dengan praktik Gereja mula-mula. Doktrin seperti api penyucian didukung tidak hanya oleh 2 Makabe, tetapi juga oleh Tradisi dan Perjanjian Baru. Seperti ditegaskan dalam Dei Verbum 8: “Melalui Tradisi Suci, Gereja, dalam pengajarannya, hidupnya, dan ibadatnya, melestarikan dan mewariskan kepada setiap generasi segala yang ia sendiri miliki, yaitu segala yang ia percayai” (terjemahan resmi KWI).1
Kanon 24. (Yunani xxvii.)
Bahwa tidak ada yang dibaca di gereja selain Kitab Suci Kanonik
Pasal, bahwa selain Kitab Suci Kanonik tidak boleh dibacakan apa pun di gereja atas nama Kitab Suci ilahi .
Namun Kitab Suci Kanonik adalah sebagai berikut:
- Asal.
- Keluaran.
- Imamat.
- Angka.
- Ulangan.
- Yosua Putra Nun.
- Para Hakim.
- Rut.
- Buku-buku The Kings, iv.
- The Chronicles, ij. buku.
- Pekerjaan.
- Kitab Mazmur.
- Lima Kitab Sulaiman.
- Dua Belas Kitab Para Nabi.
- Yesaya.
- Yeremia.
- Yehezkiel.
- Daniel.
- Tobit.
- Judith.
- Ester.
- Ezra, ij. buku.
-
Macchabees, ij. buku.
- Perjanjian Baru.
Biarlah ini dikirimkan kepada saudara kita dan sesama uskup , Bonifasius, dan kepada para uskup lain di daerah itu, agar mereka dapat meneguhkan kanon ini, karena inilah hal-hal yang telah kita terima dari para bapa kita untuk dibacakan di gereja.2
KGK 120 mengatakan:
“Dalam tradisi apostolik Gereja menentukan, kitab-kitab mana yang harus dicantumkan dalam daftar kitab-kitab suci Bdk. DV 8,3.. Daftar yang lengkap ini dinamakan “Kanon” Kitab Suci. Sesuai dengan itu Perjanjian Lama terdiri dari 46 (45, kalau Yeremia dan Lagu-lagu Ratapan digabungkan) dan Perjanjian Baru terdiri atas 27 kitab Bdk. DS 179:1334-1336:1501-1504..Perjanjian Lama: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-Hakim, Rut, dua buku Samuel, dua buku Raja-Raja, dua buku Tawarikh, Esra dan Nehemia, Tobit, Yudit, Ester, dua buku Makabe, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan, Yesus Sirakh, Yesaya, Yeremia, Ratapan, Barukh, Yeheskiel, Daniel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi.Perjanjian Baru: Injil menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, Kisah para Rasul, surat-surat Paulus: kepada umat di Roma, surat pertama dan kedua kepada umat Korintus, kepada umat di Galatia, kepada umat di Efesus, kepada umat di Filipi, kepada umat di Kolose, surat pertama dan kedua kepada umat di Tesalonika, surat pertama dan kedua kepada Timotius, surat kepada Titus, surat kepada Filemon, surat kepada orang Ibrani, surat. Yakobus, surat pertama dan kedua Petrus, surat pertama, kedua, dan ketiga Yohanes, surat Yudas, dan Wahyu kepada Yohanes.
KEPUTUSAN TENTANG KITAB SUCI KANONIK
Bahasa Indonesia: Sinode Trent yang sakral dan kudus, ekumenis, dan umum,–yang secara sah berkumpul dalam Roh Kudus, dengan ketiga utusan dari Sekret Apostolik yang sama memimpin di dalamnya,–selalu mengingat hal ini [Halaman 18] bahwa, dengan disingkirkannya kesalahan-kesalahan, kemurnian Injil itu sendiri harus dipertahankan dalam Gereja; yang (Injil), sebelumnya dijanjikan melalui para nabi dalam Kitab Suci, Tuhan kita Yesus Kristus, Putra Allah, pertama-tama diumumkan dengan mulut-Nya sendiri, dan kemudian diperintahkan untuk dikhotbahkan oleh para Rasul-Nya kepada setiap makhluk, sebagai sumber dari semua, baik kebenaran yang menyelamatkan, maupun disiplin moral; dan melihat dengan jelas bahwa kebenaran dan disiplin ini terkandung dalam buku-buku tertulis, dan tradisi-tradisi tidak tertulis yang, diterima oleh para Rasul dari mulut Kristus sendiri, atau dari para Rasul sendiri, dengan Roh Kudus yang mendiktekan, telah sampai kepada kita, ditransmisikan seolah-olah dari tangan ke tangan; (Sinode) mengikuti contoh para Bapa Gereja ortodoks, menerima dan memuliakan dengan kasih sayang kesalehan dan rasa hormat yang sama, semua kitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru–menyadari bahwa satu Tuhan adalah pengarang keduanya–begitu pula tradisi-tradisi tersebut, demikian pula yang berkaitan dengan iman maupun moral, sebagaimana telah didiktekan, baik oleh sabda Kristus sendiri, maupun oleh Roh Kudus, dan dilestarikan dalam Gereja Katolik melalui suksesi yang berkesinambungan. Dan dianggap pantas jika suatu daftar kitab suci dicantumkan dalam dekrit ini, jangan sampai timbul keraguan dalam benak siapa pun, kitab-kitab mana saja yang diterima oleh Sinode ini. Kitab-kitab tersebut adalah sebagaimana tercantum di bawah ini: dari Perjanjian Lama: lima kitab Musa, yaitu, Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan; Yosua, Hakim-Hakim, Rut, empat kitab Raja-Raja, dua kitab Paralipomenon, kitab pertama Ezra, dan yang kedua yang berjudul Nehemia; Tobias, Judith, Esther, Ayub, Pemazmur Daud, terdiri dari seratus lima puluh mazmur; Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Hikmat, Pengkhotbah, Yesaya, Yeremia, dan Barukh; Yehezkiel, Daniel; dua belas nabi kecil, yaitu, Osee, Joel, Amos, Abdias, Jonas, Micheas, Nahum, Habacuc, Sophonias, Aggaeus, Zacharias, Malachias; dua kitab Machabee, yang pertama dan yang kedua. Dari Perjanjian Baru: keempat Injil, menurut [Halaman 19] kepada Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes; Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Lukas sang Penginjil; empat belas surat rasul Paulus, (satu) kepada jemaat di Roma, dua kepada jemaat di Korintus, (satu) kepada jemaat di Galatia, kepada jemaat di Efesus, kepada jemaat di Filipi, kepada jemaat di Kolose, dua kepada jemaat di Tesalonika, dua kepada Timotius, (satu) kepada Titus, kepada Filemon, kepada jemaat di Ibrani; dua dari rasul Petrus, tiga dari rasul Yohanes, satu dari rasul Yakobus, satu dari rasul Yudas, dan Wahyu dari rasul Yohanes. Akan tetapi, jika ada yang tidak menerima kitab-kitab tersebut secara lengkap beserta seluruh bagiannya, sebagaimana yang lazim dibaca di Gereja Katolik, dan sebagaimana terdapat dalam edisi Vulgata Latin kuno, sebagai kitab suci dan kanonik; dan dengan sengaja dan sadar menghina tradisi-tradisi tersebut di atas; terkutuklah dia. Oleh karena itu, hendaklah semua orang mengerti, dalam tata tertib apa, dan dengan cara apa, Sinode tersebut, setelah meletakkan dasar Pengakuan Iman, akan melanjutkan kegiatannya, dan kesaksian serta wewenang apa yang terutama akan digunakannya dalam meneguhkan dogma-dogma, dan dalam memulihkan moral dalam Gereja.3