LIVE DKC [77-2025] SABTU, 14 JUNI 2025 PUKUL 19:00 WIB: KITAB MAKABE DASAR MENDOAKAN ORANG MATI??? Pdt. Hendry Ongkowidjojo @Reformed21TV
Tayangan Podcast Pdt. Hendry Ongkowidjojo tentang Kitab Makabe Dasar Mendoakan Orang Mati? | FOKUS Q\&A #38
Dalam podcast ini, Vik. Chias Wuysang (Reformed 21) menjadi pewawancara Pdt. Hendry Ongkowidjojo, Th.D. (Dosen Perjanjian Baru STT Reformed Injili Internasional) merespon pertanyaan dari video di TikTok: “Mengenai Protestan yang hanya menerima Alkitab dan tidak menerima tradisi. Bukankah sebelum Alkitab Perjanjian Baru ada, orang-orang Kristen bersandar pada tradisi?
Pdt. Hendry mengatakan Gereja Reformed sangat menghargai tradisi, dan harus dinilai dengan Alkitab sebagai standard. Tidak pernah ada masa dimana Gereja/ Kekristenan tidak mempunyai Alkitab sama sekali, sebelum Perjanjian Baru, Perjanjian Lama sudah digunakan oleh Yesus pada saat mengajar di sinagog (membacakan Kitab Yesaya). Sama juga dengan Rasul Paulus dalam Kitab Galatia yang banyak merujuk kepada Perjanjian Lama. Setiap nubuat nabi juga merujuk kepada Taurat. Hari ini kitab-kitab para nabi (Raja-Raja, Samuel, dll) dikenal sebagai kitab sejarah. Tradisi tidak pernah menjadi penentu, ada Kitab yang dirujuk.
Tanggapan Tim DKC
Protestan selalu menggaungkan Rasul Paulus, yang bukan 12 murid langsung dan tidak pernah bertemu dengan Yesus. Mereka selalu “cherry picking.”
Bagaimana dengan konsili-konsili Gereja? Konsili harus dilihat apa yang diterima oleh Kitab Suci. Bagaimana kita bisa menyamakan Bapa Gereja manapun dengan Para Rasul? Alkitab tidak bisa salah, konsili juga mengalami revisi.
Tanggapan Tim DKC
Konsili tidak pernah melakukan revisi, konsili selalu menegaskan apa yang dilakukan konsili sebelum-sebelumnyanya. Sebagai seorang Pendeta, sangat disayangkan kredibilitas anda. Konsili selalu berpijak pada penegasan-penegasan.
Dikatakan setelah Yesus mati dan bangkit, tidak langsung ada Perjanjian Baru. Selain dari 12 rasul, yang dilakukan rasul lainnya kita tidak pernah tahu lalu kenapa Yesus harus memanggil kedua belas rasul? Mereka berfungsi sebagai saksi mata/ formal control.
Tanggapan Tim DKC
Protestan kebanyakan dari Calvinist tidak pernah langsung menjawab pertanyaan, melainkan ngalor-ngidul dulu sebelum menjawab pertanyaan tentang Kitab Makabe.
Kenapa hanya Mathias yang layak menggantikan Yudas? Karena Paulus tidak qualified/ menjadi saksi mata (level kedua). Timotius juga rasul tetapi level ketiga.
Tanggapan Tim DKC
Sejak kapan Timotius menjadi rasul? Dr. Protestan selalu mengarang. Lalu bagaimana Matius dan Yohanes sebagai penulis jantung Kitab Suci (Injil)? Markus dan Lukas berarti juga rasul tingkat ke-berapa?
Kenapa manusia terbang = dongeng, kalau manusia berjalan di atas air = kebenaran. Kalau ini dipercaya berarti Kitab Suci = dongeng, Kitab Suci dipercaya karena ada saksi mata.
Tanggapan Tim DKC
Protestan tidak pernah mempunyai saksi mata, sudah dibuang oleh Luther, termasuk Tradisi Suci Apostolik Bapa-bapa Gereja.
Sebelum ada Injil, ada Perjanjian Lama, beda antara tradisi lisan dari para rasul dengan yang dari pemimpin gereja siapapun itu, bahkan Paulus atau Yakobus, karena mereka bukan saksi mata.
Tanggapan Tim DKC
Yakobus siapa yang dimaksud? Yang tua atau yang muda? Yakobus muda sebagai saudara Tuhan Yesus tidak menjadi saksi mata? Paulus juga bukan saksi mata tetapi mendapatkan penampakan Yesus. Sebelum bertobat, Paulus pasti tahu apa yang dilakukan Tuhan Yesus pada saat melakukan penganiayaan kepada murid-murid Yesus.
Kita harus belajar dari Paulus yang di dalam surat Galatia menganggap penting bertemu dengan para rasul Yerusalem.
Tanggapan Tim DKC
Katanya Paulus bukan saksi mata, kenapa disuruh belajar dari Paulus?
Sangat salah kalau dikatakan Protestan pengikut Paulus bukan pengikutnya Yesus, karena Petrus bukan pengikutnya Paulus.
Tanggapan Tim DKC
Faktanya yaitu Paulus dibaptis oleh Ananias yang diutus oleh Petrus.
Status Petrus diantara para rasul sebagai apa, kenapa Yakobus yang menjadi Ketua Sinode Gereja Yerusalem? Petrus adalah “Primus inter pares”, berperan lebih menonjol daripada rasul lainnya. Penginjilan pertama oleh Petrus, Paulus sebagai perluasannya. Kunci kerajaan surga tidak hanya diserahkan kepada Petrus saja, melainkan kepada para murid lainnya.
Tanggapan Tim DKC
Narasi Pdt. Hendry mirip dengan Yonathan Purnomo yang selalu bermain di kritik teks, sementara kita, umat Katolik, berdasarkan tradisi Bapa Gereja dan tidak bisa dibantah. Kenapa Protestan bermain di kritik teks (hermenetika), karena tidak memiliki kontinuitas Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Lalu jawaban terhadap Kitab Makabe mana???
Jangan hanya melihat Petrus saja, melainkan harus kepada para murid lainnya. Petrus dan Yakobus juga berperan besar dalam sidang Yerusalem terkait sunat.
Tanggapan Tim DKC
Yakobus tidak pernah berbicara di sidang Yerusalem, dalilmu mana Pak Hendry?
Ada beberapa dugaan kenapa Yakobus bisa menjadi Ketua Sinode? Bukan hanya karena saudara Yesus tetapi sejarah mencatat Yakobus sangat dihormati di Yerusalem, sehingga ada seorang imam besar yang sampai dikucilkan.
Pada saat itu gereja ada berapa banyak? Pada saat itu Gereja Roma dan Yerusalem dalam penganiayaan, tidak seperti sekarang yang bisa mengekskomunikasi ajaran lain. Petrus juga harus mempertanggungjawabkan penginjilannya kepada Gereja Yerusalem sebagai formal control. Sama dengan Gereja Anthiokia pertama kali disebut Kristen, mix antara Yahudi dan non-Yahudi. Gereja Yerusalem juga mengutus Barnabas.
Tanggapan Tim DKC
Gereja Yerusalem didirikan bersama oleh kedua belas murid tetapi yang diberikan tanggung jawab adalah Yakobus, bukan Barnabas. Maksudnya apa Gereja Yerusalem mengutus Barnabas, disuruh apa? Siapa Uskup Yerusalem pada saat itu? Apakah Yakobus mengutus Barnabas dan untuk apa?
Pada saat menobatkan orang Samaria, Gereja Yerusalem mengutus Petrus dan Yohanes sebagai formal control. Paulus juga menjadi suatu teladan dengan menggalang bantuan bagi Gereja Yerusalem.
Tanggapan Tim DKC
Barnabas sebenarnya diutus untuk mengawasi dan meresmikan gereja baru di Anthiokia yang tumbuh pesat setelah pemberitaan Injil (lih. Kisah Para Rasul 11:22).
Kaitan Paulus menggalang bantuan bagi Yerusalem konteksnya darimana?
Lihat Kisah Para Rasul 11:29-30 terkait dengan bantuan kepada Gereja di Anthiokia, Roma 15:25-27 terkait bantuan kepada orang-orang kudus di Yerusalem, Galatia 2:10 terkait Paulus dan Barnaba diminta untuk mengingat orang-orang miskin di Yerusalem, dan 1 Korintus 16:1-4 terkait Paulus meminta jemaat Korintus mengumpulkan sumbangan bagi orang-orang kudus di Yerusalem (bdk. 2 Korintus 8-9).
Gereja-gereja di abad pertama selalu dilengkapi dengan penatua, seperti Gereja Anthiokia. Yang menumpang tangan kepada Barnabas adalah penatua-penatua tersebut sebagai informal control.
Tanggapan Tim DKC
Uraian Pdt. Hendry ngalor-ngidul kemana-mana dan tidak menjawab pertanyaan tentang Kitab Makabe.
Protestan tidak mendoakan orang mati karena tidak menerima Kitab Makabe. Sebenarnya tidak sesederhana itu, kita menerima Makabe tidak harus berarti mendoakan orang mati benar ketika masih dipraktekkan di jaman Perjanjian Baru. Contohnya Katolik menjalankan imamat tetapi tidak lagi mempersembahkan kurban.
Tanggapan Tim DKC
Katolik setiap hari di seluruh dunia mempersembahkan kurban di dalam Ekaristi, apakah di Protestan ada penyembahan dan kurban???
Kurban Kristus menggenapkan, tidak sama dengan membatalkan. Hari ini kalau kita tetap mempersembahkan kurban hewan, maka itu tidak tepat.
Tanggapan Tim DKC
Jangan menyenggol Islam dalam Idul Qurban, Katolik mempersembahkan kurban dalam Ekaristi. Kurban Salib Kristus memang hanya sekali untuk selama-lamanya, bagaimana dengan manusia-manusia yang hidup di abad ke-21, apakah tidak harus mempersembahkan kurban misa dalam Ekaristi yang dihadirkan kembali dalam Gereja Katolik?
Protestan menggenapkan bukan menggantikan Kurban Kristus, setelah orang meninggal apa yang harus kita doakan?
Tanggapan Tim DKC
Tubuh/ raga memang mati, tetapi jiwa manusia tetap hidup dalam ajaran Kristiani karena itu masih wajib kita doakan.
Kitab Makabe sudah ada sebelum Kristus mati dan bangkit, kalau Kurban Kristus sudah final kenapa kita harus mendoakan orang yang sudah mati?
Tanggapan Tim DKC
Alkitab yang anda gunakan adalah Alkitab yang tidak kanon, karena itu interpretasi anda seperti ini!
Bagaimana dengan orang yang berbuat salah sebelum meninggal, bagaimana dengan keadilan Allah? Betulkah realita surga dan neraka seperti itu? Di dalam Alkitab dosa tidak saja mendatangkan maut tetapi juga kegelisahan, kekuatiran, ketakutan dan akibat-akibatnya selama manusia masih hidup. Tetap ada keadilan Tuhan selama manusia masih hidup di dunia. Hukuman terbesar adalah pikiran-pikiran manusia selama hidup di dunia.
Tanggapan Tim DKC
Dalam hal ini Pdt. Hendry gak nyambung dan telah membatalkan doktrin “sola fide”-nya.
Pembahasan mengenai Video Podcast Pdt. Hendry tentang beberapa perbedaan utama antara Protestan dan Katolik, khususnya mengenai Kitab Suci, tradisi, dan praktik mendoakan orang mati.
Berikut adalah poin-poin penting dari diskusi:
1. Sola Scriptura dan Tradisi
- Protestan (khususnya tradisi Reformed) menghargai dan menerima tradisi, tetapi tidak menempatkannya setara dengan Alkitab [02:28:39]. Alkitab adalah standar tertinggi untuk menilai tradisi [02:39:10].
- Tidak pernah ada masa di mana umat Allah tidak memiliki kitab suci tertulis [05:16:10]. Perjanjian Lama sudah ada sebelum Perjanjian Baru ditulis [03:19:07].
- Yesus dan para rasul, seperti Paulus, merujuk pada Perjanjian Lama untuk mengkonfirmasi ajaran mereka [03:32:00].
- Konsili gereja dihormati, tetapi keputusannya harus dinilai berdasarkan Kitab Suci [07:57:07]. Alkitab tidak bisa salah, sedangkan konsili bisa direvisi [08:31:00].
2. Peran Para Rasul dan Tradisi Lisan
- Para rasul, terutama 12 rasul, berfungsi sebagai saksi mata langsung dari pelayanan Yesus [10:13:00]. Ini penting untuk membedakan tradisi lisan dari rasul dengan tradisi lisan dari pemimpin gereja lainnya [14:46:00].
- Penggantian Yudas dengan Matias memiliki syarat utama: menjadi saksi mata sejak baptisan Yohanes hingga kenaikan Yesus [12:17:00]. Paulus tidak memenuhi syarat ini untuk menjadi pengganti Yudas [11:37:00].
- Petrus memiliki peran yang menonjol sebagai “primus interpares” (yang utama di antara yang setara) di antara para rasul, memimpin penginjilan kepada Yahudi dan non-Yahudi [16:59:09].
- Yakobus, saudara Yesus, dihormati sebagai pemimpin gereja Yerusalem karena perannya sebagai saudara Yesus dan kesalehannya [19:27:00].
3. Struktur dan Kontrol Gereja Awal
- Gereja-gereja awal tidak terikat secara formal seperti sinode modern, tetapi ada “formal control” melalui Gereja Yerusalem yang diawaki oleh para rasul dan penatua [22:28:39]. Contohnya, Petrus harus mempertanggungjawabkan penginjilannya kepada Kornelius di Yerusalem [23:10:00].
- Paulus juga menghormati dan mendukung Gereja Yerusalem, mengumpulkan bantuan materi untuk mereka [24:09:00].
- Penatua di gereja-gereja awal menjalankan fungsi “informal control” [24:42:00], memastikan ajaran yang benar dan menjaga tatanan gereja.
4. Kitab Makabe dan Doa bagi Orang Mati
-Protestan tidak menerima Kitab Makabe sebagai kitab suci, yang sering menjadi dasar bagi praktik Katolik dalam mendoakan orang mati [26:10:00].
- Meskipun sebuah praktik atau kitab ada di Perjanjian Lama (seperti persembahan korban hewan), itu tidak berarti harus dilanjutkan di Perjanjian Baru [27:14:00]. Korban Kristus menggenapi korban Perjanjian Lama, bukan membatalkannya [28:16:00].
- Gereja Protestan tidak mendoakan orang mati karena percaya pada penebusan Kristus yang final [30:25:00]. Jika seseorang sudah percaya kepada Yesus dan diselamatkan secara final, tidak perlu lagi didoakan setelah meninggal [31:53:00].
5. Keadilan Allah dan Konsekuensi Dosa
- Diskusi menyentuh kekhawatiran tentang keadilan Allah jika orang yang berbuat dosa besar bertobat sebelum meninggal dan langsung masuk surga [32:39:00].
- Dosa mendatangkan kegelisahan, ketidaknyamanan, dan masalah bahkan dalam hidup di dunia [33:42:00]. Seseorang yang bertobat sebelum meninggal tetap menanggung akibat dosa mereka di dunia ini [34:54:00].
- Hukuman terberat dari Tuhan adalah menyerahkan seseorang pada pikiran berdosa [35:26:00], seperti yang disebutkan dalam Surat Roma.
Tanggapan terhadap Video Podcast Pd. Hendry: Menyingkap Kelemahan Protestan dengan Kebenaran Katolik
Video yang membahas perbedaan antara Protestan dan Katolik – mengenai Kitab Suci, tradisi, dan doa bagi orang mati – memamerkan narasi Protestan yang angkuh, mengagungkan Alkitab sebagai otoritas tunggal seolah tradisi gereja adalah sampah abad pertengahan yang layak dibuang. Katolik, dengan kebijaksanaan dua milenium, menghadirkan kerangka yang jauh lebih utuh, menyatukan wahyu tertulis dengan tradisi suci yang telah menjaga iman dari kekacauan interpretasi pribadi.
Dengan ketegasan, tanggapan ini membongkar klaim Protestan yang rapuh tentang Sola Scriptura, otoritas rasuli, struktur gereja awal, status Kitab Makabe, doa bagi orang mati, serta keadilan Allah dan dosa, menggunakan argumen yang diperkuat oleh Alkitab dan literatur teologis. Mari kita lihat bagaimana Protestan tersandung dalam obsesi teks yang sempit, sementara Katolik berdiri kokoh sebagai penjaga kebenaran sejati.
1. Sola Scriptura dan Tradisi: Alkitab Tanpa Gereja Adalah Jalan Buntu
Protestan memuja Sola Scriptura, seolah Alkitab adalah orakel ajaib yang menjawab segala pertanyaan tanpa bantuan gereja, sementara tradisi suci dianggap noda manusiawi yang mengotori teks murni. Katolik memahami bahwa Alkitab dan tradisi adalah dua pilar yang tak terpisahkan: “Kitab Suci dan Tradisi Suci saling berkaitan erat dan berhubungan. Keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama” (Katekismus Gereja Katolik, Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia, 2000, no. 80). Alkitab sendiri membenarkan tradisi lisan: “Saudara-saudara, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran yang telah kami ajarkan kepadamu, baik secara lisan maupun melalui surat kami” (2 Tesalonika 2:15, Alkitab Terjemahan Baru, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia). Protestan lupa bahwa gereja awal, melalui konsili seperti Roma (382 M), Hippo (393 M), dan Kartago (397 M), menetapkan kanon Alkitab. Tanpa tradisi, mereka takkan punya Alkitab untuk diagungkan – sungguh ironis.
Protestan mungkin memamerkan Louis Berkhof: “Kitab Suci adalah satu-satunya standar iman dan praktik yang tidak dapat salah” (Sistematika Teologi, Surabaya: Momentum, 2005, hlm. 135). Namun, tanpa gereja yang memelihara kanon, Sola Scriptura hanyalah jargon kosong. Konsili seperti Trent adalah penegasan iman di bawah bimbingan Roh Kudus, sesuatu yang Protestan sulit pahami karena terpaku pada teks tanpa konteks. Katolik, dengan tradisi yang hidup, bukan sekadar membaca Alkitab, melainkan menghidupi warisan yang telah disucikan waktu.
2. Peran Para Rasul dan Tradisi Lisan: Suksesi Apostolik Bukan Dongeng
Protestan membatasi otoritas rasuli pada saksi mata Yesus, seolah tradisi lisan lenyap begitu para rasul meninggal, meninggalkan gereja dalam kekosongan otoritas. Katolik mengakui suksesi apostolik, di mana otoritas rasul diteruskan melalui penahbisan: “Melalui Tradisi Suci, Gereja yang hidup di dalam Roh Kudus menjaga dan meneruskan ajaran yang diterima dari para rasul” (Katekismus Gereja Katolik, 2000, no. 78). Eusebius mencatat: “Yakobus, yang disebut saudara Tuhan, menerima pemerintahan gereja bersama dengan para rasul karena kesalehannya yang luar biasa” (Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001, hlm. 78), menunjukkan kelanjutan kepemimpinan. Petrus, sebagai fondasi gereja – “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku” (Matius 16:18, Alkitab Terjemahan Baru) – bukan sekadar figur sementara, melainkan pilar hierarki ilahi. Protestan mempersempit syarat rasul seperti penggantian Yudas (Kisah Para Rasul 1:21-22), tetapi lupa bahwa Paulus, yang bukan saksi mata, menjadi rasul melalui panggilan langsung (Galatia 1:1). Jika Paulus bisa, mengapa penerus apostolik tidak? Pendekatan Protestan adalah fantasi abad pertama yang mengabaikan gereja yang terus hidup dan berkembang.
3. Struktur Gereja Awal: Hierarki Ilahi, Bukan Perkumpulan Amatir
Protestan menggambarkan gereja awal sebagai komunitas longgar tanpa struktur, seolah itu hanya segerombolan pengikut yang berkumpul tanpa rencana. Katolik melihat otoritas formal yang jelas, seperti dalam Konsili Yerusalem (Kisah Para Rasul 15), di mana Petrus dan penatua mengeluarkan keputusan mengikat. Paulus menghormati otoritas ini: “Mereka telah berkenan demikian, asal kami ingat akan orang-orang miskin, dan hal itu sudah sejak semula dengan sungguh-sungguh kuusahakan” (Galatia 2:10, Alkitab Terjemahan Baru). Alister E. McGrath mungkin berkata, “Gereja awal ditandai oleh fleksibilitas struktural” (Teologi Kristen: Pengantar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016, hlm. 432), tetapi Katolik mengenali benih kepausan dalam peran Petrus.
Tanpa hierarki, bagaimana Protestan menjaga kesatuan di tengah ribuan denominasi yang saling bertolak belakang? Katolik, dengan suksesi apostoliknya, adalah benteng ilahi, bukan kumpulan amatir yang berdebat tentang ayat-ayat seperti yang Protestan lakukan.
4. Kitab Makabe dan Doa bagi Orang Mati: Kasih yang Melampaui Kubur
Protestan dengan enteng menolak Kitab Makabe, menyebutnya non-kanonik karena Yesus tidak mengutipnya, seolah gereja awal tak punya otoritas menentukan kanon. Katolik menghargai Makabe: “Ia mengadakan pengumpulan derma sebesar dua ribu drakhma perak untuk mengadakan korban penghapus dosa bagi orang-orang yang telah gugur itu” (2 Makabe 12:43, Alkitab Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia). Tradisi suci mendukung kanonisasi Makabe: “Gereja telah menerima kitab-kitab deuterokanonika sebagai bagian dari kanon Kitab Suci melalui otoritasnya” (Katekismus Gereja Katolik, 2000, no. 120). Konsili Roma (382 M), Hippo (393 M), dan Kartago (397 M) menegaskan kanon termasuk Makabe, menunjukkan otoritas gereja dalam menentukan wahyu. Norman Geisler dan Ralph MacKenzie mengklaim, “Kitab-kitab deuterokanonika tidak pernah dikutip sebagai otoritas dalam Perjanjian Baru” (Katolik dan Protestan: Persamaan dan Perbedaan, Bandung: Kalam Hidup, 2004, hlm. 158), tetapi ini mengabaikan konsili-konsili tersebut. Doa bagi orang mati adalah tindakan kasih yang mencerminkan iman hidup, bukan penyangkalan salib Kristus.
Protestan bersikeras: “Dengan satu korban itu Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang dikuduskan” (Ibrani 10:14, Alkitab Terjemahan Baru). Tapi, menolak doa untuk orang mati? Itu seperti menutup pintu kasih bagi saudara yang telah pergi, seolah kasih karunia Kristus berhenti di liang kubur.
5. Keadilan Allah dan Dosa: Purgatorium sebagai Rahmat, Bukan Hukuman
Protestan membatasi keadilan Allah pada konsekuensi duniawi, seolah dosa hanya berdampak di bumi: “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Galatia 6:7, Alkitab Terjemahan Baru). Katolik memahami keadilan Allah secara lebih luas, dengan purgatorium sebagai rahmat pemurnian: “Semua orang yang mati dalam kasih karunia Allah, tetapi masih belum sempurna, menjalani pemurnian untuk mencapai kekudusan” (Katekismus Gereja Katolik, 2000, no. 1030). Alister E. McGrath mungkin berkata, “Doktrin purgatorium berkembang sebagai respons terhadap kekhawatiran teologis abad pertengahan” (2016, hlm. 406), tetapi Katolik melihat akarnya pada tradisi gereja awal, seperti doa untuk orang mati dalam Makabe. Protestan menolak purgatorium, mengklaim keselamatan final melalui iman: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman” (Efesus 2:8, Alkitab Terjemahan Baru).
Namun, bagaimana menjelaskan keadilan Allah bagi pendosa yang bertobat di detik terakhir? Protestan terjebak dalam pandangan dangkal yang mengabaikan rahmat pemurnian, sementara Katolik menawarkan visi keadilan ilahi yang penuh kasih, bukan hukuman duniawi yang terbatas.
Kesimpulan
Video tersebut, dengan nada Protestan yang angkuh, mencoba mereduksi iman Kristen ke dalam Sola Scriptura dan penolakan tradisi, seolah gereja awal hanyalah kumpulan individu tanpa fondasi. Katolik menghadirkan kebenaran yang lebih lengkap: Alkitab dan tradisi suci, suksesi apostolik, hierarki gereja, Kitab Makabe, dan purgatorium sebagai wujud kasih dan keadilan Allah. Pendekatan Protestan, dengan obsesi teks yang kaku, tersandung dalam kekacauan denominasi dan interpretasi pribadi. Katolik, dengan deposit iman yang utuh, berdiri sebagai penjaga warisan ilahi, bukan sekadar penggemar teks yang memetik ayat seenaknya.1
Konsili Umum Trente: Sesi Keenam, Bapa Konsili – 1547
KANON XVI. – Jika seseorang berkata, bahwa ia akan dengan pasti, dengan keyakinan yang mutlak dan tidak dapat salah, memperoleh karunia ketekunan yang besar itu sampai akhir, - kecuali ia telah mempelajarinya melalui wahyu khusus; terkutuklah ia.
KANON XXX. – Jikalau ada orang berkata, bahwa setelah rahmat Pembenaran diterima, maka setiap orang berdosa yang bertobat akan diampuni kesalahannya, dan utang hukuman kekal akan dihapuskan sedemikian rupa, sehingga tidak tersisa lagi utang hukuman duniawi yang harus dilunasi, baik di dunia ini maupun di akhirat di Api Penyucian, sebelum pintu masuk ke Kerajaan Surga dapat dibukakan (baginya); terkutuklah dia.2
Alasan Klasik Penolakan Kitab-Kitab Deuterokanonika oleh Protestan
Penolakan kitab-kitab Deuterokanonika – Tobit, Yudit, 1 dan 2 Makabe, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, serta tambahan pada Ester dan Daniel – oleh kalangan Protestan hingga saat ini berpijak pada alasan-alasan klasik yang lahir dari Reformasi abad ke-16. Argumen historis, teologis, dan praktis ini, diwarisi dari para reformator, mengungkapkan lebih banyak tentang keberanian manusia yang memotong warisan suci ketimbang kebenaran Kitab Suci itu sendiri.
Analisis berikut menelanjangi rapuhnya logika mereka yang mengira wahyu ilahi bisa disaring dengan saringan buatan sendiri:
1. Kanon Ibrani sebagai “Standar Emas” yang Dipertanyakan
Protestan kerap bersikukuh bahwa kanon Ibrani, distandarisasi oleh rabi-rabi Yahudi di Yavneh sekitar 90-100 M, adalah tolok ukur “asli” untuk Perjanjian Lama, hanya mencakup 24 kitab (setara 39 kitab dalam pengelompokan modern). Kitab-kitab Deuterokanonika, yang menonjol dalam Septuaginta—terjemahan Yunani abad ke-3 SM—ditolak karena tidak seluruhnya ada dalam teks Ibrani. F.F. Bruce mencatat, “The Reformers preferred the Hebrew canon… as it was seen as the original and authoritative tradition of the Jewish people,” yang berarti, “Para reformator lebih memilih kanon Ibrani… karena dianggap sebagai tradisi asli dan otoritatif bangsa Yahudi” (Bruce, 1988, hlm. 98).
Benarkah? Bukankah lucu, mereka mempercayai keputusan rabi pasca-Kristus, dibuat setelah Gereja lahir, ketimbang Septuaginta yang dipakai Yesus dan para rasul? Gulungan Laut Mati membuktikan Sirakh dan Tobit ada dalam bahasa Ibrani dan Aram, menghancurkan mitos teks “Yunani belaka.” Mengapa memuja kanon Yavneh, lahir dari konteks pasca-kuil, sembari mengabaikan warisan 300 tahun sebelumnya yang dipeluk Gereja awal? Logika ini bagaikan memilih menu warteg abad ke-1 ketimbang resep asli yang disajikan di meja Kristus!
2. Keraguan Otoritas Kanonik: Salah Kaprah dari Awal
Banyak Protestan mengklaim kitab-kitab Deuterokanonika kurang otoritas kanonik sejak awal, menunjuk pada keraguan St. Hieronimus, penerjemah Vulgate. Ia menulis, “Quaecumque extra hos sunt, inter apocrypha ponenda sunt,” yang berarti, “Apa pun di luar ini [kanon Ibrani] harus ditempatkan di antara apokrifa” (Jerome, Prologus Galeatus, dalam Migne, Patrologia Latina, Vol. 28, hlm. 553). Ironisnya, Hieronimus tetap menerjemahkan kitab-kitab ini atas perintah Paus Damasus I. Konsili Roma (382 M), Hippo (393 M), dan Kartago (397 M) mengukuhkan kitab-kitab ini sebagai kanonik, ditegaskan kembali oleh Konsili Trente (1545-1563).
Protestan menyebut pengakuan Trente sebagai “reaksi terlambat” terhadap Reformasi. Geisler dan Nix menegaskan, “The Council of Trent’s affirmation… was a response to Protestant criticism, not a universal tradition from the start,” yang berarti, “Pengukuhan Konsili Trente… adalah respons terhadap kritik Protestan, bukan tradisi universal sejak awal” (Geisler & Nix, 1986, hlm. 270). Sungguh? Jadi, konsili-konsili abad ke-4 cuma iseng? Bukankah menggelikan, mereka mengabaikan 1.000 tahun tradisi Gereja, lalu menuduh pengakuan resmi “terlambat,” seolah wahyu ilahi harus buru-buru ikut jadwal reformator?
3. Ketidaksesuaian Teologis: Alasan yang Dibuat-Buat
Secara teologis, Protestan menolak Deuterokanonika karena ayat-ayat tertentu bertentangan dengan doktrin mereka. 2 Makabe 12:44-45 menyatakan, “Sebab jika ia tidak mengharapkan orang-orang yang telah gugur bangkit kembali, sia-sia dan bodoh rasanya mendoakan orang mati,” mendukung doa untuk orang mati—dasar purgatorium yang dibenci Reformasi. Kebijaksanaan Kebijaksanaan Salomo 2:23-24 menegaskan, “Allah menciptakan manusia untuk kekal… tetapi karena iri hati iblis, maut masuk ke dunia,” selaras dengan dosa asal. Ini mengusik teologi “sola fide” dan “sola scriptura.”
R.C. Sproul mengklaim, “These books contain teachings inconsistent with the clear doctrines of justification by faith alone,” yang berarti, “Kitab-kitab ini berisi ajaran yang tidak konsisten dengan doktrin jelas tentang pembenaran hanya oleh iman” (Sproul, 1992, hlm. 23).
Benar-benar lucu! Jadi, karena teks suci tak cocok dengan rumus abad ke-16, mereka dibuang begitu saja? Bukankah aneh, mereka yang bersumpah setia pada Kitab Suci justru memotong bagian tak sesuai selera, bagaikan anak kost membuang kuah soto karena tak suka kunyit, lalu ngotot itu “soto murni”?
4. Sola Scriptura: Pisau Reformasi yang Memotong Sendiri
Prinsip “sola scriptura”—Kitab Suci sebagai otoritas tunggal—mendorong Protestan menolak apa yang dianggap kurang “terinspirasi.” Karena Deuterokanonika tidak dikutip langsung di Perjanjian Baru (meski gagasan kebangkitan di 2 Makabe bergema di Ibrani 11:35), mereka dipandang rendah. Luther menulis, “Haec libri non tenentur aequales Scripturis, sed sunt utiles et bonus legendi,” yang berarti, “Kitab-kitab ini tidak dianggap setara dengan Kitab Suci, tetapi berguna dan baik untuk dibaca” (Luther, 1960, hlm. 352).
Logikanya rapuh. Jika “sola scriptura” begitu suci, mengapa Luther menerima 27 kitab Perjanjian Baru, dikanonisasi Gereja abad ke-4, tetapi menolak otoritas serupa untuk Perjanjian Lama? Bukankah ini seperti memesan bakso komplit di warung, lalu membuang kuah, seledri, dan sambal, sambil berteriak, “Ini bakso asli, hanya daging!”? Tradisi apostolik, yang membentuk kanon, tiba-tiba tak berlaku hanya karena reformator mengidamkan resep baru.
5. Praktik Pencetakan: Kebiasaan yang Mengikat
Sejak abad ke-19, British and Foreign Bible Society (BFBS) memutuskan mencetak Alkitab hanya dengan 66 kitab, menghapus Deuterokanonika demi efisiensi dan keyakinan Protestan. BFBS menyatakan, “Our policy is to distribute the Scriptures without the Apocrypha, as these are not deemed canonical by the majority of our supporters,” yang berarti, “Kebijakan kami adalah mendistribusikan Kitab Suci tanpa Apokrifa, karena ini tidak dianggap kanonik oleh mayoritas pendukung kami” (British and Foreign Bible Society, 1827, hlm. 15). Keputusan sekitar 1826-1827 ini menjadi standar, membentuk Alkitab Protestan modern.
Lucu, bukan? Mereka yang mengklaim membela “kemurnian” Kitab Suci tunduk pada keputusan penerbit abad ke-19, seolah wahyu ilahi bisa dipangkas demi anggaran cetak. Dan hingga kini, kebiasaan ini mengikat, membuat umat Protestan terbiasa dengan 66 kitab, seolah nenek moyang mereka tak pernah menyantap soto suci lengkap dengan “bumbu Deuterokanonika” yang kini dibuang.
Kesimpulan: Rapuhnya Penolakan
Alasan klasik Protestan – kanon Ibrani, keraguan awal, teologi, sola scriptura, dan praktik cetak – mencerminkan lebih pada agenda Reformasi daripada kebenaran. Mereka memotong warisan Septuaginta, mengabaikan konsili Roma, Hippo, dan Kartago, demi kanon rabi pasca-Kristus dan selera abad ke-16. Bukankah menggelikan, mereka yang bersorak “Kitab Suci saja” justru membuang bagian yang Yesus kenal, bagaikan menolak sambal di soto karena tak ada di resep tetangga? Kebenaran tak bisa dipotong seenak perut.3