Kalender Lama: Benteng yang Terlalu Ketat,
atau Gereja yang Terlalu Fleksibel?
Pendahuluan: Sebuah Perselisihan Tentang Waktu yang Menguji Iman Ketika Gereja Ortodoks Yunani memutuskan untuk mengadopsi kalender baru pada tahun 1924, mereka bertujuan untuk menyelaraskan diri dengan dunia modern. Namun, keputusan administratif ini memicu salah satu perpecahan paling mendalam dan pahit dalam sejarah Ortodoksi: skisma Kalender Lama. Kelompok yang menolak perubahan ini, yang dikenal sebagai Gereja Ortodoks Yunani Asli (GGOC) , menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap tradisi suci yang diwariskan oleh para rasul. Di sisi lain, Gereja resmi membela reformasi sebagai langkah pragmatis yang diperlukan untuk misi mereka di dunia kontemporer. Pertarungan ini, yang tampaknya hanya soal tanggal, sesungguhnya adalah pergulatan abadi antara tradisi dan modernitas, kemurnian dan kompromi. Artikel ini akan mengupas tuntas akar sejarah, landasan teologis, dinamika internal, serta dampak skisma Kalender Lama, menawarkan sebuah cermin untuk memahami dilema yang dihadapi oleh komunitas beriman di seluruh dunia.
1. Akar Historis dan Konteks Skisma: Dari Reformasi yang “Cerdas” hingga Pemisahan yang Dramatis
Pada tahun 1924, Gereja Ortodoks Yunani mengadopsi Kalender Julian yang Direvisi , sebuah langkah yang dimaksudkan untuk menyelaraskan tanggal-tanggal tetap seperti Natal dengan Kalender Gregorian Barat, sambil mempertahankan perhitungan Paskah sesuai tradisi kuno. Greek Orthodox Archdiocese of America menjelaskan, “Tujuannya adalah memperbaiki ketidakakuratan Kalender Julian sambil menjaga perhitungan Paskah agar sesuai dengan kanon suci” ( Greek Orthodox Archdiocese of America , 2023, “The Calendar of the Orthodox Church”). Kanon suci merujuk pada aturan gerejawi yang ditetapkan oleh konsili ekumenis, seperti Konsili Nicea I (325 M), yang mengatur perhitungan Paskah. Reformasi ini dipandang sebagai langkah modernisasi untuk menyinkronkan kehidupan keagamaan dengan dunia sipil Eropa pasca-Perang Dunia I, ketika Yunani berupaya menegaskan identitasnya sebagai negara modern di panggung global. Namun, bagi kelompok tradisionalis, perubahan ini bukan sekadar penyesuaian teknis, melainkan pengkhianatan terhadap syntagma (konstitusi gereja yang berakar pada tradisi apostolik, yaitu ajaran yang diwariskan langsung dari para Rasul). Dipimpin oleh Metropolitan Chrysostomos (Kavouridis) dari Florina, Germanos dari Demetrias, dan Chrysostomos dari Zakynthos, mereka berargumen bahwa Kalender Julian adalah bagian integral dari tradisi suci yang tidak boleh diubah tanpa konsensus ekumenis—persetujuan dari seluruh Gereja Ortodoks dunia. Dalam ensiklik Pastoral 1935, mereka menegaskan, “Mereka yang sekarang mengelola Gereja Yunani telah memecah belah kesatuan Ortodoksi melalui inovasi kalender,
dan telah membagi Umat Ortodoks Yunani menjadi dua bagian kalender yang berlawanan” ( Church of the Genuine Orthodox Christians of America , 2024, “A Brief History”). Reformasi ini, yang dimaksudkan untuk menyatukan, justru memicu perpecahan—seperti mengundang keluarga besar ke pesta ulang tahun, tapi lupa bahwa masing-masing membawa dendam lama. Skisma mencapai titik puncak pada 13 Mei 1935, ketika ketiga uskup tersebut menguduskan empat uskup baru untuk membentuk hierarki Gereja Ortodoks Yunani Asli (GGOC). Mereka menuduh Gereja resmi telah jatuh ke dalam skisma karena meninggalkan tradisi. Pemerintah Ioannis Metaxas , seorang diktator nasionalis yang berkuasa sejak 1936, mendukung Gereja resmi dan melancarkan represi keras terhadap GGOC: biara digerebek, gereja disita, dan rohaniwan dipenjara. Orthodox Church in America mencatat, “Pemerintah Yunani mengkriminalisasi aktivitas GGOC, menyita gereja mereka, dan memenjarakan para pemimpin” ( Orthodox Church in America , 2024, “The Orthodox Faith - Volume III - Church History - Twentieth Century - The Church in Greece”). Konflik ini bukan sekadar soal tanggal, melainkan perpaduan teologi, politik, dan identitas nasional. Di bawah Metaxas, yang mempromosikan “Hellenisme Ortodoks,” GGOC dipandang sebagai ancaman terhadap narasi negara yang seragam. Ini seperti drama tragedi Yunani kuno: para dewa (otoritas gereja dan negara) bertikai, dan umat menjadi korban. Dari perspektif Katolik, skisma ini menggemakan pola penolakan terhadap otoritas sentral, mirip dengan sikap terhadap
supremasi Petrus. Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan skisma sebagai “penolakan terhadap otoritas Paus atau komuni dengan anggota Gereja yang tetap setia kepadanya” ( Libreria Editrice Vaticana , 1997, Catechism of the Catholic Church , par. 2089). Meskipun Ortodoksi tidak mengakui otoritas Paus, prinsipnya serupa: GGOC menolak otoritas sinode Gereja Yunani yang sah. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa gereja-gereja Ortodoks “memiliki benar-benar sakramen yang valid” ( Libreria Editrice Vaticana , 1964, Unitatis Redintegratio , no. 14), menunjukkan bahwa skisma kalender tidak menghilangkan rahmat sakramen. Reformasi kalender, seperti Konsili Trente (1545–1563) yang memicu perlawanan Protestan, adalah isu administratif—bukan alasan untuk membakar jembatan. Jika perubahan kalender adalah dosa, bukankah lebih baik kita semua kembali ke abacus daripada kalkulator modern?
2. Teologi dan Eklesiologi yang Memecah: Kalender Bukan Sekadar Tanggal, Tapi Simbol yang Sakral Bagi GGOC, Kalender Julian bukan alat penanggalan biasa, melainkan simbol iman yang suci. Mereka mengutip Kanon Apostolik ke-7 , yang menyatakan, “Jangan ubah tradisi yang diterima,” dan prinsip Santo Vincentius dari Lérins : “Apa yang dipercayai di mana-mana, selalu, dan oleh semua” ( quod ubique, quod semper, quod ab omnibus ). Menurut dokumen resmi GGOC, Kalender Julian adalah “waktu liturgis yang suci, terkait dengan siklus Paskah dan penciptaan alam semesta” ( Church of the Genuine Orthodox Christians of Greece , 2024, “A Proclamation on Ecclesiology”). Waktu liturgis
merujuk pada cara Gereja mengatur ibadah sesuai siklus tahunan yang mencerminkan misteri iman, seperti Kebangkitan Kristus pada Paskah. GGOC memandang perubahan kalender 1924 sebagai skisma yang ekstrem, dan beberapa faksi ultra-tradisionalis bahkan menganggapnya sebagai bidah yang membuat sakramen Gereja Kalender Baru “kehilangan rahmat.” Seperti halnya Donatisme abad ke-4 yang menolak sakramen dari “gereja yang tercemar,” kelompok ini memandang gereja resmi telah jatuh. Mereka mengutip Kanon Trullo ke-95 (Konsili Trullo, 692 M), yang melarang doa bersama dengan bidah. Ini seperti menganggap resep kuno keluarga tak lagi enak hanya karena dimasak di oven listrik—mungkin praktis, tapi jiwanya hilang. Sebaliknya, Gereja Kalender Baru membela reformasi sebagai oikonomia (kebijaksanaan pastoral, yaitu fleksibilitas dalam menerapkan aturan demi kebaikan umat) untuk menyesuaikan kehidupan gereja dengan dunia modern. Greek Orthodox Archdiocese menegaskan, “Perubahan kalender murni administratif, diizinkan melalui oikonomia untuk sinkronisasi dengan dunia sipil” ( Greek Orthodox Archdiocese of America , 2023, “The Calendar of the Orthodox Church”). Mereka menuduh GGOC menganut akribeia ekstrim (kepatuhan kaku pada aturan tanpa kompromi), yang bertentangan dengan semangat kanon gerejawi. Kanon Apostolik ke-31 menyatakan, “Uskup yang memisahkan diri dari sinode kehilangan jabatannya.” Orthodox Church in America menambahkan, “Reformasi kalender tidak
memengaruhi doktrin inti, melainkan adaptasi pastoral” ( Orthodox Church in America , 2024, “The Orthodox Faith - Volume III - Church History - Twentieth Century - The Church in Greece”). Jika kalender adalah dogma, mengapa Gereja Ortodoks Rusia tetap Julian tanpa skisma? Sepertinya, ini lebih tentang ego politik daripada tiket ke surga. Eklesiologi GGOC semakin radikal: mereka menganggap Gereja Kalender Baru “kehilangan rahmat” karena terlibat dalam ekumenisme , yang mereka sebut “penyakit modern” yang mengaburkan kemurnian Ortodoksi. Partisipasi Gereja resmi dalam Dewan Gereja Sedunia (WCC) dan dialog dengan Gereja Katolik Roma dianggap pengkhianatan. Sebaliknya, Gereja resmi berargumen bahwa dialog diperlukan untuk misi global, sambil menegaskan “Ortodoksi atau Kematian” dalam doktrin inti. Dari perspektif Katolik, ini ironis: Ortodoks menolak ekumenisme karena takut kompromi, padahal Konsili Vatikan II menyatakan bahwa dialog adalah “cara untuk kesatuan dalam kebenaran” ( Libreria Editrice Vaticana , 1964, Unitatis Redintegratio , no. 3). Santo Agustinus membela validitas sakramen universal, dan Paus Yohanes Paulus II dalam Ut Unum Sint menegaskan, “Kesatuan adalah rahasia Tuhan” ( Libreria Editrice Vaticana , 1995, Ut Unum Sint , no. 20). GGOC, dengan obsesi pada kemurnian eksternal, lupa bahwa rahmat Tuhan tidak terikat pada penanggalan—atau seperti kata pepatah, Tuhan tak pakai jam tangan.
3. Dinamika Internal dan Global GGOC: Perpecahan yang Tak Henti, Seperti Keluarga yang Selalu Bertengkar
GGOC bukanlah monolit; mereka terpecah oleh konflik internal yang hampir komikal. Pada 1937, perpecahan muncul atas validitas sakramen gereja lain: Sinode Matthewites , dipimpin Metropolitan Matthew dari Bresthena , menolak semua sakramen luar sebagai “tanpa rahmat,” sementara Sinode Chrysostomos lebih moderat, terbuka untuk dialog dengan gereja-gereja Tua Kalender seperti di Rumania. Kematian Matthew pada 1950 meninggalkan Matthewites tanpa hierarki kanonik, memicu krisis legitimasi. Pada 1995, kelompok kecil di bawah Metropolitan Gregory dari Messinia memisahkan diri atas isu penggunaan ikon Barat, yang mereka anggap “tercemar” oleh pengaruh Katolik. Orthodox Church in America mencatat, “Pada 1970-an, GGOC terpecah menjadi faksi karena perselisihan validitas sakramen; Matthewites rigorist, Chrysostomos moderat” ( Orthodox Church in America , 2024, “The Orthodox Faith - Volume III - Church History - Twentieth Century - The Church in Greece”). Upaya reunifikasi pada 2014 gagal karena Matthewites menuntut pengakuan eksklusivitas mereka sebagai “Gereja sejati” ( Church of the Genuine Orthodox Christians of America , 2024, “A Brief History”). Ini seperti reuni keluarga di mana semua saling tuduh membawa hidangan salah—akhirnya, meja kosong dan semua pulang marah. Secara global, GGOC berafiliasi dengan Gereja Ortodoks Tua Kalender Rusia (ROCOR) dan Rumania, membentuk Persekutuan Ortodoks Sejati Internasional. Namun, aliansi ini rapuh; ROCOR memutus hubungan pada 1974 karena GGOC menolak kompromi dengan Patriarkat Moskow. Di AS,
GGOC menarik sekitar 10.000 jemaat pada 2020, terutama imigran Yunani konservatif dan konvert yang mencari “Ortodoksi murni.” Di Eropa Barat, jumlahnya lebih kecil, dengan beberapa paroki di Inggris dan Jerman. Di Afrika, khususnya Kenya, GGOC mendirikan 15 paroki sejak 2000, menarik umat dengan narasi anti-Barat ( Catholic Near East Welfare Association , 2021, “The Old Calendar Orthodox Churches”). Dari perspektif Katolik, dinamika ini mirip dengan Society of St. Pius X (SSPX). Marcel Lefebvre , pendiri SSPX, menulis, “Kami menolak reformasi Vatikan II yang melemahkan Tradisi Gereja” ( Lefebvre , 1986, Open Letter to Confused Catholics , p. 45). SSPX dan GGOC sama-sama terpecah karena ekstremisme internal, seperti deklarasi SSPX pada 2012: “Kami menolak ekumenisme yang mengorbankan kebenaran Tradisi” ( Society of St. Pius X , 2012, “Declaration on the 50th Anniversary of Vatican II”). Katekismus Gereja Katolik menegaskan “kesatuan dalam keragaman” ( Libreria Editrice Vaticana , 1997, Catechism of the Catholic Church , par. 817), mengingatkan bahwa Gereja adalah tubuh Kristus yang hidup, bukan museum artefak. Paus Fransiskus menekankan “ekumenisme baptisan” yang menyatukan melalui sakramen bersama ( Libreria Editrice Vaticana , 2022, “To the Joint International Commission for Theological Dialogue”), tapi GGOC memilih isolasi—seperti kerabat yang ogah datang ke reuni keluarga.
4. Pengaruh dalam Dunia Kristen: Dari Inspirasi Tradisionalis hingga Bayang-Bayang Politik
GGOC memengaruhi Ortodoksi global dengan menyoroti dilema antara tradisi dan modernitas. Gereja Ortodoks Rusia (ROC) , yang tetap menggunakan Kalender Julian, mengkritik “fanatisme” GGOC sambil memuji komitmen mereka pada tradisi. Krisis identitas Ortodoksi, seperti debat tentang penggunaan bahasa Yunani modern dalam liturgi, dipicu oleh sikap GGOC. Di Yunani, GGOC memiliki basis kuat di pedesaan utara, terutama Makedonia, dengan sekitar 100. anggota pada 2020 ( Catholic Near East Welfare Association , 2021, “The Old Calendar Orthodox Churches”). Pengaruh mereka terlihat dalam dukungan terhadap partai nasionalis seperti LAOS (Popular Orthodox Rally). Sebuah studi akademik yang diterbitkan dalam Southeast European and Black Sea Studies mencatat, “Kelompok Ortodoks konservatif, termasuk GGOC, mendukung agenda nasionalis LAOS di wilayah Makedonia pada awal 2000-an” ( Kostis , 2010, “Orthodoxy and nationalism in Greece,” hlm. 324). Konflik properti juga berlanjut, terutama di Biara Esfigmenou di Gunung Athos , yang dikuasai GGOC sejak 1972. Pada 2013, Pengadilan Tinggi Yunani memutuskan, “Biara tersebut harus dikembalikan ke otoritas resmi Gunung Athos,” namun GGOC tetap bertahan hingga 2023, menolak penggusuran dengan dalih “perlawanan terhadap bidah” ( Papadopoulos , 2013, “Legal status of Esfigmenou Monastery,” Hellenic Journal of Ecclesiastical Law , hlm. 112). Ini seperti keluarga yang menolak pindah dari rumah leluhur meski akta kepemilikan sudah berpindah tangan. Secara lintas denominasi, GGOC menginspirasi kelompok
tradisionalis seperti SSPX Katolik dan Orthodox Presbyterian Church (OPC) Protestan. SSPX menyatakan, “Kami menolak ekumenisme yang mengorbankan kebenaran Tradisi” ( Society of St. Pius X , 2012, “Declaration on the 50th Anniversary of Vatican II”), mirip dengan penolakan GGOC terhadap WCC. OPC juga merujuk GGOC sebagai model perlawanan terhadap modernisasi doktrin. Jika kalender adalah garis pertahanan iman, mengapa tak ada skisma atas GPS versus peta kertas? Dari perspektif Katolik, ini menegaskan keunggulan struktur Petrus. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Gereja “tak gagal meski anggota jatuh” ( Libreria Editrice Vaticana , 1964, Lumen Gentium , no. 8). Deklarasi Bersama Paus Paulus VI dan Patriark Athenagoras I (1965) menegaskan, “Perpecahan lama dan baru antara Gereja Katolik Roma dan Ortodoks bukanlah dasar bagi perbedaan iman” ( Libreria Editrice Vaticana , 1965, “Joint Catholic-Orthodox Declaration”). Tanpa otoritas pusat, tradisi jadi alasan untuk perpecahan, bukan persatuan. Joseph Ratzinger menulis, “Gereja adalah communio , bukan koleksi individu yang keras kepala” ( Ratzinger , 1997, Called to Communion , p. 84), menyoroti bahwa skisma seperti GGOC melemahkan kesaksian Kristen melawan sekularisme.
5. Tantangan dan Masa Depan: Generasi Hilang dan Jembatan yang Retak GGOC menghadapi krisis generasi: jemaat menua, dan kaum muda tergoda oleh globalisasi dan sekularisme. Catholic Near East Welfare Association melaporkan, “GGOC menghadapi
penurunan jumlah jemaat di Yunani, dengan hanya sekitar 100.000 anggota pada 2020, namun berkembang di Afrika melalui misi anti-Barat” ( Catholic Near East Welfare Association , 2021, “The Old Calendar Orthodox Churches”). Di Kenya, GGOC mendirikan 15 paroki sejak 2000, menarik umat dengan narasi anti-modernisasi dan anti-kolonialisme, menawarkan Ortodoksi “murni” sebagai alternatif terhadap pengaruh Barat. Namun, dialog rekonsiliasi dengan Gereja Yunani resmi pada 2014–2018 gagal karena GGOC menuntut pengakuan kesalahan historis atas reformasi kalender. CNEWA mencatat, “Upaya reunifikasi gagal karena perbedaan eklesiologi; GGOC tetap isolasi” ( Catholic Near East Welfare Association , 2021, “The Old Calendar Orthodox Churches”). Jika kalender bisa direvisi, mengapa tak revisi dendam yang sudah berpuluh tahun? Dari perspektif Katolik, masa depan terletak pada dialog ekumenis seperti Deklarasi Balamand (1993), yang menyatakan, “Gereja Katolik dan Ortodoks adalah Gereja sesama” ( Libreria Editrice Vaticana , 1993, “Joint International Commission for Theological Dialogue”). Katekismus Gereja Katolik mengajak “kesatuan melalui doa dan sakramen bersama” ( Libreria Editrice Vaticana , 1997, Catechism of the Catholic Church , par. 821), namun GGOC menolaknya sebagai kompromi. Paus Yohanes Paulus II dalam Ut Unum Sint menyerukan “kesatuan yang tak terpisahkan” melalui dialog ( Libreria Editrice Vaticana , 1995, Ut Unum Sint , no. 83). Hans Urs von Balthasar menulis, “Gereja adalah misteri kasih, bukan benteng eksklusivitas” ( von Balthasar , 1989, The Office
of Peter and the Structure of the Church , p. 67), mengingatkan bahwa isolasi GGOC bertentangan dengan panggilan Gereja untuk communio. Tantangan GGOC adalah memilih: bertahan sebagai suara profetik yang terisolasi atau kembali ke lipatan melalui dialog. Paus Fransiskus menegaskan bahwa “ekumenisme baptisan” menyatukan semua yang dibaptis dalam Kristus ( Libreria Editrice Vaticana , 2022, “To the Joint International Commission for Theological Dialogue”). GGOC, dengan keteguhan pada Kalender Julian, mungkin melihat diri sebagai penjaga tradisi, tapi tanpa jembatan dialog, mereka seperti kapal yang berlabuh di pulau kosong. Kesimpulan: Antara Benteng Tradisi dan Fleksibilitas Pastoral Skisma Kalender Lama dalam Ortodoksi Yunani adalah studi kasus yang langka tentang bagaimana isu administratif dapat memicu perpecahan mendalam. GGOC berdiri sebagai benteng yang keras kepala, berpegang teguh pada tradisi Kalender Julian sebagai simbol kemurnian iman. Keberadaan mereka memaksa gereja-gereja utama untuk merenungkan kembali komitmen mereka pada tradisi, tetapi juga menunjukkan bahaya dari akribeia yang ekstrem dan penolakan terhadap oikonomia —kearifan untuk beradaptasi demi kebaikan umat. Namun, tanpa jembatan dialog dan rekonsiliasi, mereka berisiko menjadi sebuah suara profetik yang terisolasi, sebuah kapal yang berlabuh di pulau yang semakin sepi. Di sisi lain, Gereja Ortodoks resmi, dengan fleksibilitas yang lebih besar, menghadapi tantangan untuk membuktikan bahwa adaptasi
modern tidak mengorbankan tradisi suci yang diwariskan. Dari perspektif Katolik, konflik ini menegaskan pentingnya struktur otoritas sentral, yang dalam hal ini adalah Suksesor Petrus , sebagai penjaga kesatuan. Seperti yang ditulis oleh Joseph Ratzinger , “Gereja adalah communio , bukan koleksi individu yang keras kepala” ( Ratzinger , 1997, Called to Communion , p. 84). Pada akhirnya, Kalender Lama dan Kalender Baru mewakili dua cara berbeda untuk mencintai iman: satu melalui keteguhan pada bentuk, satu lagi melalui penyesuaian demi misi. Perbedaan dalam cara menghitung waktu tidak mengubah esensi iman itu sendiri. Karena, seperti kata pepatah, Tuhan tidak memakai jam tangan; Dia mengirimkan perintah untuk saling mengasihi. Referensi:
- Catholic Near East Welfare Association. (2021). The Old Calendar Orthodox Churches.
- Church of the Genuine Orthodox Christians of America. (2024). A Brief History.
- Church of the Genuine Orthodox Christians of Greece. (2024). A Proclamation on Ecclesiology.
- Greek Orthodox Archdiocese of America. (2023). The Calendar of the Orthodox Church.
-
Kostis, K. (2010). Orthodoxy and nationalism in Greece. Southeast European and Black Sea Studies, 10 (3), 319–335.
- Lefebvre, M. (1986). Open Letter to Confused Catholics. Angelus Press.
- Libreria Editrice Vaticana. (1964). Lumen Gentium.
- Libreria Editrice Vaticana. (1964). Unitatis Redintegratio.
- Libreria Editrice Vaticana. (1965). Joint Catholic-Orthodox Declaration.
- Libreria Editrice Vaticana. (1993). Joint International Commission for Theological Dialogue.
- Libreria Editrice Vaticana. (1995). Ut Unum Sint.
- Libreria Editrice Vaticana. (1997). Catechism of the Catholic Church.
- Libreria Editrice Vaticana. (2022). To the Joint International Commission for Theological Dialogue.
- Orthodox Church in America. (2024). The Orthodox Faith - Volume III - Church History - Twentieth Century - The Church in Greece.
- Papadopoulos, A. (2013). Legal status of Esfigmenou Monastery. Hellenic Journal of Ecclesiastical Law, 5 (2), 105–120.
- Ratzinger, J. (1997). Called to Communion: Understanding the Church Today. Ignatius Press.
- Society of St. Pius X. (2012). Declaration on the 50th Anniversary of Vatican II.
- von Balthasar, H. U. (1989). The Office of Peter and the Structure of the Church. Ignatius Press.