LIVE DKC [96-2025] RABU, 6 AGUSTUS 2025 PUKUL 19:00 WIB: IDENTITAS BERAGAMA KRISTEN DI KTP (SOLA KTP) @patris_allegro
Identitas Beragama Kristen di KTP: Analisis Teologis dari Perspektif Katolik
Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Indonesia berfungsi sebagai dokumen resmi yang mencatat identitas warga negara, termasuk agama yang dianut. Kolom agama pada KTP, khususnya pencatatan “Kristen” untuk umat Protestan, menjadi fokus analisis dalam artikel ini. Label ini, meskipun sederhana, menyimpan kompleksitas teologis, historis, sosiologis, dan psikologis yang signifikan.
Artikel ini mengkaji fenomena identitas beragama Kristen di KTP dari perspektif teologi Katolik, dengan merujuk pada Alkitab, dokumen resmi Gereja Katolik, ajaran Bapa-Bapa Gereja, Konsili-Konsili Kekristenan dari Nicea hingga Vatikan II, serta jurnal dan studi empiris terbaru dari sumber kredibel, terpercaya, dan terverifikasi. Analisis ini mengeksplorasi implikasi penyederhanaan identitas Kristen, tantangan eklesiologis, dampak sosial dan psikologis, serta solusi ekumenis, dengan memasukkan perspektif teolog Protestan dan kasus konkret di Indonesia.
1. Identitas Kristen dalam Alkitab dan Tradisi Gereja
Identitas Kristen, menurut Alkitab, adalah panggilan hidup yang berakar pada hubungan intim dengan Kristus. Dalam Yohanes 15:5, Yesus berkata, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak” (TB LAI, 2020). Ayat ini menegaskan bahwa identitas Kristen melibatkan iman, sakramen, dan persekutuan dengan Gereja sebagai Tubuh Kristus (1 Korintus 12:27). Dalam tradisi Katolik, identitas ini diperkuat melalui Kredo Nicea-Konstantinopel (325 dan 381 M), yang menyatakan keyakinan akan “satu, kudus, katolik, dan apostolik Gereja” (Dokumen Konsili Nicea-Konstantinopel, terjemahan KWI, 2005, No. 1).
Bapa Gereja seperti St. Ignatius dari Antiokhia menegaskan pentingnya struktur eklesial. Dalam Surat kepada Jemaat Smirna, ia menulis, “Di mana ada uskup, di situ ada Gereja” (Ignatius, Surat kepada Smirna, terjemahan KWI, 2008, No. 8). Prinsip ini menunjukkan bahwa identitas Kristen tidak dapat dipisahkan dari komunitas apostolik. Namun, pencatatan “Kristen” pada KTP untuk umat Protestan cenderung mengabaikan dimensi eklesiologis ini, mereduksi iman menjadi label administratif. Teolog Protestan Jürgen Moltmann, dalam The Church in the Power of the Spirit (2022, hlm. 352), menegaskan bahwa identitas Kristen harus diwujudkan dalam komunitas yang hidup, sebuah pandangan yang selaras dengan eklesiologi Katolik meskipun dengan penekanan pada pneumatologi.
2. Identitas Beragama Kristen di KTP: Reduksi Teologis
Pencatatan “Kristen” pada KTP untuk umat Protestan mencerminkan upaya administratif negara untuk menyederhanakan identitas agama. Namun, penyederhanaan ini bermasalah secara teologis. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK, terjemahan KWI, 2023, No. 1814-1816), iman didefinisikan sebagai anugerah Allah yang menuntut respons aktif melalui kasih dan ketaatan pada ajaran Gereja. Label “Kristen” tidak mampu menangkap kompleksitas ini, terutama karena Protestanisme di Indonesia mencakup berbagai denominasi – Lutheran, Calvinis, Pentakostal, dan lainnya – dengan doktrin dan praktik yang berbeda.
Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium (Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan KWI, 2005, No. 14) menegaskan bahwa keanggotaan penuh dalam Gereja Kristus melibatkan sakramen, ketaatan pada otoritas apostolik, dan persekutuan iman. Label KTP gagal mencerminkan dimensi ini, terutama dalam konteks Protestan yang menekankan sola scriptura. Teolog Katolik Karl Rahner, dalam Foundations of Christian Faith (2021, hlm. 344), mengkritik pemisahan iman dari struktur eklesial. Teolog Protestan N.T. Wright, dalam The Challenge of Jesus (2023, hlm. 148), menyoroti pentingnya komunitas sebagai konteks iman, menekankan narasi Alkitab sebagai fondasi identitas Kristen. Penyederhanaan KTP ini berisiko mengesampingkan dimensi sakramental seperti Ekaristi, yang dalam tradisi Katolik adalah “puncak dan sumber kehidupan Kristen”
(KGK, terjemahan KWI, 2023, No. 1324).
3. Implikasi Teologis, Sosial, dan Psikologis
3.1 Implikasi Teologis
Label “Kristen” di KTP dapat memunculkan relativisme agama, di mana iman dipahami sebagai pilihan individu tanpa kaitan dengan komunitas eklesial. Bapa Gereja St. Cyprianus dalam De Unitate Ecclesiae menegaskan, “Tidak ada keselamatan di luar Gereja” (Cyprianus, De Unitate Ecclesiae, terjemahan KWI, 2007, No. 6). Dalam konteks Protestan, keragaman denominasi yang tidak terakomodasi dalam label KTP memperlemah kesadaran akan kesatuan eklesial. Studi teologi terbaru oleh Hans Küng dalam Christianity: Essence, History, and Future (2024, hlm. 512) menegaskan bahwa fragmentasi denominasi memperumit pemahaman kesatuan eklesial di era modern.
3.2 Implikasi Sosial
Secara sosial, perbedaan antara “Kristen” dan “Katolik” di KTP memperkuat persepsi pemisahan antarumat Kristen di Indonesia. Penelitian oleh John Prior dalam Mission Studies (2023, hlm. 72-89) menunjukkan bahwa perbedaan administratif ini memicu ketegangan, misalnya dalam kasus perkawinan campur antara Katolik dan Protestan.
Konsili Vatikan II dalam Unitatis Redintegratio (Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan KWI, 2005, No. 3) menyerukan dialog ekumenis untuk mengatasi perpecahan, namun label KTP cenderung menghambat semangat ini. Studi terbaru dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat (2024, hlm. 45-62) mencatat bahwa kolom agama di KTP sering memperkuat stereotip antarumat beragama di Indonesia.
3.3 Implikasi Psikologis
Dari perspektif psikologis, penyederhanaan identitas Kristen di KTP dapat memengaruhi persepsi diri umat. Studi oleh Maria Yulita Emiliana dalam Jurnal Psikologi Sosial (2024, hlm. 101-118) menunjukkan bahwa label agama di KTP dapat memengaruhi rasa identitas dan kepercayaan diri umat, terutama di kalangan minoritas agama. Bagi umat Protestan, label “Kristen” yang tidak mencerminkan denominasi spesifik dapat menimbulkan perasaan terpinggirkan, terutama bagi kelompok seperti Advent atau Saksi Yehuwa.
4. Kritik Teologis dari Perspektif Katolik
Dari sudut pandang Katolik, identitas beragama Kristen di KTP mencerminkan krisis eklesiologis. Dalam Gaudium et Spes (Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan KWI, 2005, No. 22), Gereja menegaskan bahwa Kristus adalah pusat hidup manusia, sebuah realitas yang tidak dapat direduksi menjadi label administratif. Penyederhanaan ini dapat dilihat sebagai cerminan prinsip Protestan sola scriptura, yang mengesampingkan Tradisi Suci dan Magisterium Gereja, sebagaimana ditegaskan dalam Dei Verbum (Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan KWI, 2005, No. 10). Teolog Katolik Yves Congar dalam Tradition and Traditions (2023, hlm. 412) menegaskan bahwa Tradisi adalah “napas hidup” yang menghubungkan iman dengan sejarah dan komunitas Gereja. Jürgen Moltmann (2022, hlm. 360) juga mengkritik sekulerisasi yang mereduksi agama menjadi kategori birokratis, sebuah pandangan yang relevan dalam konteks KTP.
5. Solusi Teologis, Ekumenis, dan Praktis
Untuk mengatasi tantangan identitas beragama Kristen di KTP, beberapa solusi diusulkan:
- Dialog Ekumenis: Gereja Katolik dan komunitas Protestan perlu memperkuat dialog berbasis baptisan sebagai dasar kesatuan (KGK, terjemahan KWI, 2023, No. 1271). Unitatis Redintegratio (Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan KWI, 2005, No. 11) mendorong pendekatan yang fokus pada kebenaran bersama.
- Pendidikan Teologi: Pendidikan tentang Tradisi dan sakramen dapat membantu umat memahami identitas Kristen secara utuh (Prior, 2023, hlm. 85).
- Reformasi Administratif: Penghapusan kolom agama dari KTP, sebagaimana dibahas dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan (2024, hlm. 150-167), dapat mengurangi penyederhanaan identitas agama.
- Dukungan Psikologis dan Sosial: Konseling pastoral, seperti yang dilakukan Keuskupan Agung Jakarta, dapat mengurangi konflik identitas (Komisi Kateketik KWI, 2024).
6. Studi Kasus: Perkawinan Campur di Indonesia
Kasus perkawinan campur antara umat Katolik dan Protestan sering terhambat oleh perbedaan label KTP. Menurut laporan Komisi Keluarga KWI (2024, hlm. 22), pasangan menghadapi kendala pencatatan pernikahan karena keharusan memilih satu agama untuk dokumen resmi. Pendampingan pranikah ekumenis, seperti di Keuskupan Agung Jakarta, menjadi solusi efektif, sebagaimana didokumentasikan dalam Jurnal Teologi Pastoral (2025, hlm. 34-50).
Kesimpulan
Identitas beragama Kristen di KTP, khususnya untuk umat Protestan, mereduksi kekayaan teologis, eklesiologis, sosiologis, dan psikologis iman Kristen. Dari perspektif Katolik, identitas ini tidak dapat dipisahkan dari persekutuan eklesial, sakramen, dan Tradisi Suci. Dengan dialog ekumenis, pendidikan teologi, dan reformasi administratif, umat Kristen diajak melampaui batasan KTP menuju kesatuan dalam Kristus, sebagaimana dalam Yohanes 17:21, “Supaya mereka semua menjadi satu” (TB LAI, 2020).1
Kristen Vs Katolik (?): Kelirumologi yang Harus Dibongkar
Di Indonesia, frasa “Kristen dan Katolik” masih saja bergema, seolah Katolik adalah alien di luar galaksi kekristenan. Fenomena yang dengan sinis disebut “kelirumologi” ini bukan sekadar kesalahan istilah, melainkan kekacauan logika yang telah mendarah-daging, bahkan di kalangan umat Katolik sendiri. Ketika ditanya, “Apakah Anda Kristen?” banyak umat Katolik menjawab, “Bukan, saya Katolik,” seolah mereka bukan pengikut Kristus. Kekeliruan ini diperparah oleh formulir KTP yang memisahkan “Kristen” (alias Protestan) dari “Katolik,” menciptakan ilusi bahwa keduanya adalah agama berbeda.
Artikel ini akan membongkar kesalahpahaman tersebut dengan landasan teologis, historis, dan linguistik, menggunakan sumber-sumber resmi Gereja Katolik, Alkitab, dan dokumen mutakhir. Dengan pendekatan yang terstruktur, artikel ini mengajak umat Katolik untuk menegaskan identitas mereka sebagai Kristen sejati (otentik) dengan penuh keyakinan.
Kekeliruan Istilah dan Implikasinya
Menganggap Katolik bukan Kristen bukan sekadar salah kaprah, melainkan blunder teologis. Dengan menolak label “Kristen,” umat Katolik tanpa sengaja:
- Menyangkal identitas mereka sebagai pengikut Yesus Kristus, inti dari kekristenan.
- Memperkuat mitos bahwa Gereja Katolik adalah entitas asing, seolah hanya Protestan yang berhak disebut “Kristen.”
- Menyulut kebingungan di kalangan non-Katolik, yang mungkin bertanya-tanya apakah Katolik benar-benar bagian dari kekristenan.
Kesalahan ini diperparah oleh sistem administratif Indonesia, seperti kolom agama pada KTP, yang memisahkan “Kristen” dan “Katolik” seperti apel dan jeruk. Akibatnya, banyak umat Katolik terjebak dalam kebiasaan yang keliru, mengira “Kristen” hanya milik Protestan. Padahal, Katolik adalah bentuk mula-mula dan otentik dari kekristenan, yang berakar pada Gereja yang didirikan Yesus Kristus.
Penjelasan Teologis: St. Pacianus tentang Identitas Katolik
Isu identitas Kristen bukan barang baru. St. Pacianus, Uskup Barcelona (310–391 M), telah menyinggungnya dalam suratnya kepada Sympronianus:
“Kristen adalah nama saya, sedangkan Katolik adalah penanda khusus saya. Yang pertama memberi saya identitas, yang kedua membedakan saya. Melalui yang satu saya diterima, melalui yang lainnya saya ditandai” (Pacianus, 1999, hlm. 45).
St. Pacianus menjelaskan bahwa “Katolik” berasal dari bahasa Yunani katholikos, yang berarti “universal” atau “ketaatan pada segala perintah Allah.” Ia merujuk pada Alkitab, mengutip 2 Korintus 2:9, “Sebab untuk itulah aku menulis surat kepada kamu, supaya aku tahu, apakah kamu taat dalam segala sesuatu” (Alkitab TB LAI, 2017, hlm. 321), dan Roma 5:19, “Sebab sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar” (Alkitab TB LAI, 2017, hlm. 297). Ia menyimpulkan:
“Karena itu, setiap orang Katolik adalah orang yang taat, dan setiap orang yang taat adalah Kristen. Dengan demikian, Katolik adalah Kristen” (Pacianus, 1999, hlm. 46).
Pernyataan ini menegaskan bahwa Katolik adalah bagian integral dari kekristenan, bukan entitas terpisah.
Asal Usul Istilah “Katolik” dalam Konteks Historis
Nama “Katolik” lahir sebagai benteng melawan ajaran-ajaran sesat seperti Marcionisme, Apolinarisme, dan Novasianisme, yang mengaku Kristen tetapi menyimpang dari iman apostolik. St. Pacianus menjelaskan:
“Setelah masa Para Rasul, ajaran sesat menyebar dengan berbagai nama untuk memecah belah kesatuan Gereja. Bukankah umat apostolik memerlukan nama sendiri untuk menandai kesatuan orang-orang yang tidak rusak? Jika saya memasuki sebuah kota dan menemukan Marcionit, Apolinarian, Katafrigian, Novasian, dengan nama apa saya mengenal jemaat saya sendiri jika bukan Katolik?” (Pacianus, 1999, hlm. 47).
Lebih awal, St. Ignatius dari Antiokhia (meninggal sekitar 107 M) menggunakan istilah “Gereja Katolik” dalam Surat kepada Jemaat di Smirna:
“Di mana pun uskup hadir, di situlah umat berhimpun; sama seperti di mana pun Yesus Kristus berada, ada Gereja Katolik” (Ignatius, 2007, hlm. 255).
Istilah katholikos menegaskan kesatuan dan universalitas Gereja Kristus, membedakannya dari kelompok sesat seperti Doketisme atau Yudaisme. Katekismus Gereja Katolik menegaskan:
“Gereja disebut katolik karena ia diutus oleh Kristus untuk seluruh umat manusia” (KGK, 2003, no. 831).
Ciri Khas Gereja Katolik: Persatuan dengan Paus
Gereja Katolik ditandai oleh persatuan dengan Uskup Roma, Paus, sebagai penerus St. Petrus. Katekismus Gereja Katolik menyatakan:
“Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik ini dipimpin oleh penerus Petrus dan para uskup dalam persekutuan dengannya” (KGK, 2003, no. 882).
J.N.D. Kelly menambahkan:
“Gereja Katolik dikenali dari kesatuannya dengan Uskup Roma, yang dianggap sebagai pusat kesatuan iman dan disiplin” (Kelly, 1978, hlm. 192).
Persatuan ini berakar pada Matius 16:18-19: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku… Aku akan memberikan kepadamu kunci Kerajaan Sorga” (Alkitab TB LAI, 2017, hlm. 25). Kelompok yang menyebut diri “Katolik” tetapi tidak bersatu dengan Paus bukan bagian dari Gereja Katolik sejati.
Implikasi Praktis: Menegaskan Identitas Kristen Katolik
Menolak label “Kristen” sama saja dengan melemahkan identitas sebagai pengikut Kristus. Katekismus Gereja Katolik menegaskan:
“Gereja Katolik adalah Gereja Kristus, yang di dalamnya Ia terus bekerja melalui Roh Kudus” (KGK, 2003, no. 811).
Umat Katolik harus menjawab pertanyaan “Apakah Anda Kristen?” dengan: “Ya, saya Kristen Katolik, pengikut Kristus dalam Gereja yang Ia dirikan, yang merayakan Ekaristi sesuai tradisi apostolik.” Konsili Vatikan II dalam
Lumen Gentium menyatakan:
“Gereja ini, yang dibentuk dan diatur sebagai masyarakat di dunia ini, terwujud dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh penerus Petrus dan para uskup dalam persekutuan dengannya” (Lumen Gentium, 1964, no. 8).
Dokumen Vatikan terbaru, Fiducia Supplicans, juga menegaskan identitas Katolik sebagai bagian dari kekristenan yang universal, dengan menekankan peran Gereja sebagai “sakramen keselamatan” bagi semua umat (Dikasteri untuk Ajaran Iman, 2023, no. 20).
Tantangan di Indonesia: Membongkar Kebiasaan Keliru
Di Indonesia, kolom agama pada dokumen resmi memisahkan “Kristen” dan “Katolik,” memperkuat kesalahpahaman. Kurangnya katekese membuat umat Katolik sering kali tidak paham identitas mereka. Untuk mengatasi ini, Gereja Katolik di Indonesia perlu:
- Mengintensifkan pendidikan katekese tentang identitas Katolik sebagai kekristenan sejati.
- Mengklarifikasi istilah dalam komunikasi resmi keuskupan.
- Mendorong umat menggunakan “Kristen Katolik” dalam percakapan sehari-hari.
Kesimpulan: Hentikan Kelirumologi, Tegaskan Kebenaran
Frasa “Kristen dan Katolik” adalah kekeliruan yang harus dibuang. Umat Katolik adalah Kristen, pengikut Kristus dalam Gereja Katolik yang universal, yang didirikan oleh Yesus dan diteruskan para rasul. Dengan merujuk pada St. Pacianus, St. Ignatius, Katekismus Gereja Katolik, Konsili Vatikan II, dan dokumen mutakhir seperti Fiducia Supplicans, kita paham bahwa “Katolik” menandakan kesatuan dan kebenaran iman Kristen. Saat ditanya, “Apakah Anda Kristen?” jawablah dengan tegas: “Ya, saya Kristen Katolik.”
Sudahi kebiasaan keliru yang membuat Katolik seolah bukan Kristen. Dengan memahami sejarah dan teologi Gereja, umat Katolik dapat menegaskan iman mereka dalam Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.2
Kriteria Menjadi Kristen Sejati Menurut Ajaran Resmi Gereja Katolik
Berdasarkan ajaran resmi Gereja Katolik, sebagaimana diuraikan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK), dokumen Konsili Vatikan II (Lumen Gentium dan Unitatis Redintegratio), serta Kodeks Hukum Kanonik 1983, dengan merujuk pada Kitab Suci, berikut adalah penjelasan tentang kriteria menjadi Kristen sejati menurut ajaran Gereja Katolik.
1. Sakramen Baptisan sebagai Fondasi Kehidupan Kristen Sejati
Menjadi Kristen sejati dimulai dengan Sakramen Baptisan, yang menjadi pintu masuk ke dalam kehidupan Kristen. Dalam KGK nomor 1213, dinyatakan: “Baptisan Kudus adalah dasar dari seluruh kehidupan Kristen, pintu masuk menuju kehidupan dalam Roh, dan pintu yang membuka akses kepada sakramen-sakramen lain.” Baptisan menghapus dosa asal, memberikan rahmat pengudusan, dan menggabungkan seseorang ke dalam Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus.
- Dasar Kitab Suci: Yesus memerintahkan baptisan dalam Matius 28:19 (TB-LAI): “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” KGK nomor 1239 menegaskan: “Baptisan diberikan dengan mencurahkan air sambil mengucapkan kata-kata: ‘Aku membaptis engkau dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.’”
- Makna Baptisan: Baptisan melambangkan kelahiran kembali secara rohani, sebagaimana dalam Yohanes 3:5 (TB-LAI): “Jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.” KGK nomor 1265 menyatakan: “Baptisan tidak hanya menyucikan dari segala dosa, tetapi juga menjadikan yang dibaptis ‘manusia baru’, anak angkat Allah, yang menjadi ‘sahabat Kristus’.”
Baptisan yang sah, baik dalam Gereja Katolik maupun dalam komunitas Kristen lain yang menggunakan formula Trinitaris, diakui oleh Gereja Katolik. KGK nomor 1271 menyatakan: “Baptisan merupakan ikatan rohani kesatuan di antara semua orang Kristen.”
Namun, untuk menjadi Kristen sejati dalam pengertian Katolik, seseorang harus dibaptis dalam persekutuan dengan Gereja Katolik atau secara resmi bergabung melalui proses katekumenat (KGK nomor 1231: “Katekumenat bertujuan mempersiapkan katekumen untuk menerima sakramen-sakramen inisiasi Kristen”).
2. Iman kepada Yesus Kristus sebagai Inti Kehidupan Kristen Sejati
Seorang Kristen sejati harus memiliki iman yang hidup kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. KGK nomor 150 menjelaskan: “Iman adalah tindakan manusiawi yang dengan bebas menyerahkan diri kepada Allah, dengan penuh kebebasan menyetujui dan bekerja sama dengan rahmat Allah.” Iman ini mencakup penerimaan kebenaran ilahi, terutama tentang Yesus sebagai Putra Allah yang menjelma, mati, dan bangkit untuk keselamatan umat manusia.
- Dasar Kitab Suci: Yohanes 3:16 (TB-LAI) menyatakan: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” KGK nomor 184 menegaskan: “Untuk menjadi Kristen, seseorang harus percaya dan dibaptis, sebagaimana ditetapkan dalam Markus 16:16.”
- Pengakuan Iman: Seorang Kristen sejati mengakui iman secara publik, misalnya melalui pembaruan janji baptis pada Vigili Paskah atau dalam Sakramen Krisma. KGK nomor 1289 menyatakan: “Sakramen Krisma memperkuat rahmat baptisan dan memberikan anugerah Roh Kudus untuk memperdalam ikatan dengan Gereja.”
3. Hidup sesuai dengan Ajaran Moral dan Hukum Allah
Seorang Kristen sejati dipanggil untuk hidup sesuai dengan ajaran Yesus dan hukum moral Gereja. KGK nomor 1691 menyatakan:
“Kristen, sadarilah martabatmu. Karena sekarang engkau mengambil bagian dalam kodrat ilahi, jangan kembali kepada keadaan yang rendah dengan hidup yang tidak bermoral.” Hidup ini mencakup ketaatan pada Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 20:1-17, TB-LAI) dan perintah kasih Yesus dalam Matius 22:37-39 (TB-LAI): “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu… Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
- Kebajikan Kristen: KGK nomor 1804 menjelaskan: “Kebajikan-kebajikan manusiawi… adalah sikap mantap dan tetap untuk melakukan yang baik.” Ini mencakup kebajikan teologal (iman, harap, kasih) dan kebajikan kardinal (kebijaksanaan, keadilan, ketabahan, pengendalian diri).
- Menghindari Dosa: KGK nomor 1457 menegaskan: “Menurut perintah Gereja, ‘setiap umat beriman yang telah mencapai usia penilaian budi wajib mengaku dosa-dosa beratnya setidaknya sekali setahun.’” Seorang Kristen sejati berusaha menghindari dosa berat dan bertobat melalui Sakramen Pengakuan Dosa jika berdosa.
4. Partisipasi dalam Kehidupan Sakramental
Kehidupan Kristen sejati tidak terpisahkan dari sakramen-sakramen, yang merupakan sarana rahmat ilahi. Selain Baptisan, dua sakramen utama adalah:
- Sakramen Ekaristi: KGK nomor 1324 menyatakan: “Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Kristen.” Seorang Kristen sejati diwajibkan menghadiri Misa Kudus pada hari Minggu dan hari raya wajib, serta menerima Komuni Kudus setidaknya sekali setahun pada masa Paskah. KGK nomor 1389 menegaskan: “Setiap umat beriman wajib mengambil bagian dalam Ekaristi pada hari-hari yang ditentukan.”
- Sakramen Pengakuan Dosa: KGK nomor 1457 menyatakan bahwa seorang Kristen yang berdosa berat harus “mengaku dosa-dosanya kepada imam dalam Sakramen Tobat” untuk kembali ke keadaan rahmat.
Sakramen lain, seperti Krisma atau Perkawinan, memperkuat panggilan khusus seorang Kristen. KGK nomor 1210 menyatakan: “Sakramen-sakramen Gereja… ditujukan untuk pengudusan manusia, pembangunan Tubuh Kristus, dan akhirnya untuk mempersembahkan ibadat kepada Allah.”
5. Kesatuan dengan Gereja Katolik
Seorang Kristen sejati dalam pengertian Katolik harus berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik. KGK nomor 816 mengutip Lumen Gentium 8: “Gereja Kristus… terwujud dalam Gereja Katolik yang dipimpin oleh penerus Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya.” Ini mencakup penerimaan otoritas Paus dan ajaran Magisterium.
- Penerimaan Ajaran Gereja: KGK nomor 88 menyatakan: “Magisterium Gereja… mengajarkan hanya apa yang telah diwariskan kepadanya.” Seorang Kristen sejati menerima ajaran tentang Trinitas, Inkarnasi, keselamatan, dan moral Kristen.
- Ketaatan pada Otoritas: KGK nomor 891 menegaskan: “Paus… memiliki kuasa penuh, tertinggi, dan universal atas seluruh Gereja.” Ketaatan ini adalah tanda persekutuan penuh.
6. Hubungan dengan Umat Kristen Lain
Gereja Katolik mengakui mereka yang dibaptis secara sah dalam komunitas Kristen lain sebagai bagian dari Tubuh Kristus, meskipun tidak dalam persekutuan penuh. KGK nomor 818 mengutip Unitatis Redintegratio 3: “Orang-orang yang sekarang dilahirkan dalam komunitas-komunitas itu dan dibesarkan dalam iman kepada Kristus tidak dapat dituduh melakukan dosa pemisahan.” Namun, untuk menjadi Kristen sejati dalam pengertian Katolik, seseorang harus bergabung dengan Gereja Katolik melalui proses resmi (KGK nomor 1231).
7. Panggilan Universal untuk Kekudusan
Seorang Kristen sejati dipanggil untuk hidup kudus. KGK nomor 2013 menyatakan: “Semua umat beriman, dalam keadaan hidup apa pun, dipanggil oleh Tuhan, masing-masing menurut jalannya
sendiri, untuk mencapai kekudusan.” Hal ini didasarkan pada 1 Petrus 1:15-16 (TB-LAI): “Tetapi hendaklah kamu kudus di dalam segala tingkah lakumu, sama seperti Dia yang memanggil kamu adalah kudus… ‘Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.’”