Berakar dalam Kebenaran, Bertumbuh dalam Persaudaraan: KGK 818 dan Ekumenisme Katolik

By Erick (Tim DKC)

18 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Berakar dalam Kebenaran, Bertumbuh

dalam Persaudaraan: KGK 818 dan

Ekumenisme Katolik

Pendahuluan Indonesia, dengan keragaman agamanya yang bagaikan mozaik budaya—indah namun rawan retak jika disalahpahami—menyediakan panggung kompleks untuk hubungan antar-umat Kristiani. Di tengah diskusi antar-denominasi yang kadang lebih sengit daripada adu argumen di grup WhatsApp RT, Katekismus Gereja Katolik (KGK) nomor 818 muncul sebagai landasan teologis yang kokoh untuk mempertahankan kebenaran iman Katolik sambil membangun jembatan ekumenis. Artikel ini mengupas KGK 818 secara mendalam dari perspektif teologi, historis, sosiologis, pastoral, dan budaya, dengan pendekatan sistematis yang diperkaya humor khas Indonesi. Berpijak pada sumber-sumber resmi Gereja dan literatur teologi terbaru, artikel ini menegaskan kebenaran iman Katolik tanpa mengorbankan semangat ekumenis, seperti tetap setia pada resep rendang keluarga sambil menghargai sate kambing tetangga. Isi Katekismus Gereja Katolik No. 818 KGK 818 berbunyi: “Tetapi mereka, yang sekarang lahir dan dibesarkan dalam iman

akan Kristus di jemaat-jemaat itu, tidak dapat dipersalahkan dan dianggap berdosa karena memisahkan diri. Gereja Katolik merangkul mereka dengan sikap bersaudara penuh hormat dan cinta kasih … Sungguhpun begitu, karena mereka dalam Baptis dibenarkan berdasarkan iman, mereka disaturagakan dalam Kristus. Oleh karena itu mereka memang dengan tepat menyandang nama Kristen, dan tepat pula oleh putera-puteri Gereja Katolik diakui selaku saudara-saudari dalam Tuhan.” ( Unitatis Redintegratio 3 ) Penjelasan Frasa Kunci:“Jemaat-jemaat itu” : Mengacu pada komunitas Kristen non-Katolik, seperti denominasi Protestan ( Lutheran, Calvinis, Pentakosta, Baptis ) atau Gereja Ortodoks , yang terbentuk akibat perpecahan historis, seperti Skisma Timur-Barat (1054) atau Reformasi Protestan (1517). Istilah ini menegaskan bahwa komunitas tersebut memiliki akar Kristen, meskipun terpisah dari Gereja Katolik. ● “Tidak dapat dipersalahkan” : Menunjukkan bahwa individu yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi non-Katolik tidak bertanggung jawab atas dosa perpecahan ( schisma ). Dalam teologi moral Katolik, dosa memerlukan kesadaran dan kehendak bebas ( culpa personalis ), sehingga umat masa kini tidak dapat disalahkan atas konflik historis. ● “Merangkul dengan sikap bersaudara penuh hormat dan cinta kasih” : Menegaskan pendekatan Gereja Katolik yang inklusif, mengakui umat Kristen non-Katolik sebagai

saudara rohani, sambil menegaskan bahwa kepenuhan kebenaran ada dalam Gereja Katolik sebagai Gereja yang didirikan Kristus ( Lumen Gentium 8 ). ● “Dibenarkan berdasarkan iman” : Merujuk pada teologi pembenaran ( justification ), di mana baptisan yang sah menghapus dosa asal dan mengintegrasikan individu ke dalam tubuh Kristus, meskipun perbedaan doktrinal tetap ada. ● “Disaturagakan dalam Kristus” : Istilah teologis yang menandakan penggabungan ontologis ke dalam tubuh mistik Kristus melalui baptisan, menciptakan ikatan rohani antar-umat Kristiani, meskipun tidak sepenuhnya selaras dengan ajaran Katolik karena perbedaan dalam sakramen dan struktur gerejawi. ● “Saudara-saudari dalam Tuhan” : Menegaskan bahwa umat Kristen non-Katolik yang dibaptis dengan sah adalah bagian dari keluarga rohani Kristus, meskipun persekutuan penuh hanya tercapai dalam Gereja Katolik ( Dominus Iesus , 2000 ). Konteks Teologi dan Historis KGK 818 berakar pada Konsili Vatikan II (1962–1965) , khususnya dekret Unitatis Redintegratio (UR) , yang menyebut perpecahan dalam Kekristenan sebagai “luka dalam tubuh Kristus” ( UR 1 ). Konsili ini menandai perubahan paradigma dari sikap eksklusif menuju ekumenisme yang inklusif, dengan

menegaskan bahwa Gereja Katolik adalah “satu-satunya Gereja Kristus” yang memiliki kepenuhan sarana keselamatan ( subsistit in , Lumen Gentium 8 ), namun mengakui elemen-elemen kebenaran dan pengudusan di luar batas-batasnya, seperti iman kepada Kristus, baptisan, dan Kitab Suci ( Lumen Gentium 15 ). KGK 818 , dengan mengutip UR 3 , menegaskan bahwa umat Kristen non-Katolik yang dibaptis dengan sah berada dalam persekutuan sebagian dengan Gereja Katolik, meskipun tidak sempurna karena kurangnya keselarasan doktrinal dan struktural. Secara historis, perpecahan besar dalam Kekristenan berasal dari dua peristiwa utama: Skisma Timur-Barat (1054) , yang memisahkan Gereja Ortodoks dari Roma karena perbedaan teologis dan politik, dan Reformasi Protestan (1517) , yang dipicu oleh Martin Luther dengan 95 Tesisnya yang menentang otoritas kepausan, indulgensi, dan beberapa sakramen Katolik. Reformasi melahirkan denominasi seperti Lutheran, Calvinis, dan Anglikan , yang menolak elemen-elemen tertentu dari doktrin Katolik, seperti Ekaristi sebagai korban kudus. KGK 818 menegaskan bahwa umat Kristen masa kini tidak bertanggung jawab atas konflik historis ini, sejalan dengan teologi rahmat universal ( gratia universalis ), yang mengakui bahwa kasih karunia Allah bekerja di luar batas-batas Gereja Katolik, meskipun kepenuhan keselamatan hanya ada dalam Gereja yang didirikan Kristus. Dokumen Ecclesia Catholica (1943) oleh Paus Pius XII menegaskan bahwa kesatuan sejati hanya mungkin melalui kembalinya umat Kristen lain ke Gereja Katolik.

Dalam konteks Indonesia, di mana sejarah kolonial Belanda dan misionaris Protestan memengaruhi perkembangan Kekristenan, perpecahan denominasi masih terasa. Misalnya, di Sulawesi Utara, Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) memiliki akar Protestan Belanda, sementara komunitas Katolik berkembang melalui misionaris Portugis dan Spanyol. KGK 818 menawarkan kerangka teologis untuk menavigasi keragaman ini tanpa mengorbankan identitas Katolik. Dimensi Teologis: Menegaskan Kebenaran Katolik dalam Semangat Ekumenis KGK 818 menawarkan empat pilar teologis untuk menegaskan kebenaran iman Katolik sambil mempromosikan ekumenisme: ● Pelepasan Tanggung Jawab Personal : Dalam teologi Katolik, perpecahan ( schisma ) adalah pelanggaran serius terhadap kesatuan Gereja ( KHK 1983 , Kanon 751 ). KGK 818 menegaskan bahwa individu yang lahir dalam komunitas non-Katolik tidak bersalah atas dosa historis ini, karena dosa memerlukan niat sadar ( culpa personalis ). Namun, Gereja Katolik tetap menegaskan bahwa kesatuan penuh hanya ada dalam suksesi apostolik, tujuh sakramen, dan otoritas kepausan sebagai penerus Petrus. ● Persekutuan melalui Baptisan : Baptisan yang sah—dilakukan dengan air dan dalam nama Tritunggal—menciptakan ikatan ontologis antar-umat Kristiani ( Unitatis Redintegratio 3 ). Namun, persekutuan

ini “tidak sempurna” karena kurangnya keselarasan dalam doktrin seperti Ekaristi (yang dalam Katolik dipahami sebagai korban kudus, berbeda dengan pandangan Protestan) dan otoritas kepausan sebagai pusat kesatuan gerejawi. Konsep ini diperkuat oleh dokumen Kongregasi Ajaran Iman , Mengenai Beberapa Aspek Gereja yang Dipahami sebagai Persekutuan ( 1992 ), yang membedakan persekutuan parsial dan penuh. Kepenuhan persekutuan hanya ada dalam Gereja Katolik, yang memiliki semua sarana keselamatan. ● Identitas Katolik sebagai Kepenuhan Kebenaran : Frasa “saudara-saudari dalam Tuhan” mengakui persaudaraan rohani, tetapi Dominus Iesus (2000) menegaskan bahwa Gereja Katolik adalah “satu-satunya Gereja Kristus” dengan kepenuhan sarana keselamatan, termasuk sakramen, tradisi apostolik, dan magisterium. Ini seperti menegaskan bahwa rendang keluarga adalah resep otentik, meski menghargai sate tetangga. ● Ekumenisme Berakar pada Kebenaran : Ut Unum Sint (1995) oleh Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa ekumenisme tidak boleh mengorbankan kebenaran Katolik. Dialog ekumenis harus bertitik tolak dari keyakinan bahwa Gereja Katolik memiliki kepenuhan wahyu ilahi, sambil mengakui elemen-elemen kebenaran di komunitas lain ( Ut Unum Sint 18 ). KGK 818 mencerminkan keseimbangan ini: inklusif tanpa kompromi.

KGK 818 bukanlah pelemahan identitas Katolik, melainkan cara untuk menegaskan kebenaran iman sambil membuka pintu dialog. Ini seperti tetap bangga dengan tradisi keluarga sambil mengundang tetangga untuk berbagi meja makan tanpa harus mengubah resep. Konteks Sosiologis dan Pastoral di Indonesia Indonesia, dengan populasi Kristen sekitar 10,2% (BPS, 2020) , adalah medan subur sekaligus menantang untuk menegaskan kebenaran Katolik dalam semangat ekumenis. Berdasarkan data terbaru dari berbagai sumber, umat Kristen di Indonesia berjumlah sekitar 28,5 juta jiwa pada tahun 2023 , yang terbagi menjadi sekitar 19,2 juta Protestan dan 9,3 juta Katolik. Sementara itu, Gereja Ortodoks Indonesia memiliki jumlah jemaat yang relatif kecil, yaitu sekitar 3.000 hingga 5.000 orang. Di daerah seperti Yogyakarta, Sulawesi Utara, atau Papua , komunitas Katolik dan Protestan hidup berdampingan, namun ketegangan sering muncul, misalnya dalam pernikahan beda gereja, perbedaan liturgi, atau pandangan tentang devosi Maria. KGK 818 menawarkan pendekatan pastoral yang relevan: ● Menghapus Prasangka dengan Identitas Jelas : KGK 818 mengajak umat Katolik untuk melihat umat Protestan sebagai saudara tanpa mengorbankan keyakinan bahwa Gereja Katolik memiliki kepenuhan kebenaran. Ini seperti berbagi kerja bakti di RT sambil tetap bangga dengan tradisi keluarga. ● Kolaborasi Berbasis Identitas : Kerjasama antar-gereja

sudah terlihat di Indonesia, seperti program kemanusiaan pasca-bencana Merapi di Yogyakarta , di mana Keuskupan Agung Yogyakarta dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) bekerja sama mengelola posko bantuan ( Kompas, 2021 ). KGK 818 memberikan landasan teologis untuk kolaborasi ini tanpa mengaburkan doktrin Katolik, seperti Ekaristi atau devosi Maria. ● Pendidikan Kateketik : Program “Katekesus Ekumenis” di Keuskupan Agung Jakarta (2022) menggunakan KGK 818 untuk mengajarkan umat tentang persaudaraan antar-Kristiani sambil menegaskan kebenaran Katolik, seperti pentingnya suksesi apostolik. ● Menghadapi Polarisi Digital : Budaya digital di Indonesia sering memperparah ketegangan antar-denominasi, dengan diskusi doktrin di media online berubah menjadi adu meme yang lebih mirip sinetron daripada dialog teologis. KGK 818 mengajak umat Katolik untuk menjelaskan iman mereka dengan kasih dan kejelasan, seperti menjelaskan keunikan rendang tanpa merendahkan soto tetangga. Tantangan utama adalah rendahnya literasi teologi di kalangan awam. KGK 818 dapat menjadi jembatan untuk memperkuat pendidikan kateketik yang menegaskan identitas Katolik sambil mempromosikan persaudaraan. Implikasi Praktis untuk Menegaskan Iman Katolik KGK 818 memiliki implikasi luas untuk mempertahankan

kebenaran Katolik dalam konteks ekumenis: ● Dialog Teologis Berakar pada Kebenaran : Sejak Paus Yohanes XXIII dengan ensiklik Ad Petri Cathedram ( 1959 ), Gereja telah memprioritaskan persatuan. Paus Paulus VI dalam Ecclesiam Suam ( 1964 ) melanjutkan semangat ini dengan memperkenalkan konsep “dialog keselamatan.” KGK 818 mendorong dialog yang mengakui kesamaan seperti baptisan, sambil menegaskan bahwa kepenuhan kebenaran ada dalam Gereja Katolik. Directory for the Application of Principles and Norms on Ecumenism (1993) menegaskan bahwa ekumenisme harus melibatkan seluruh umat tanpa mengorbankan doktrin Katolik. Misalnya, dialog teologis antara Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) tentang baptisan menunjukkan komitmen ini. ● Kerjasama Praktis dengan Identitas Jelas : Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium ( 2013 ) mendorong “ekumenisme praktis” , di mana umat Kristen bersatu dalam tindakan pelayanan. Di Manado , doa bersama antara Gereja Katolik dan GMIM untuk perdamaian menunjukkan bahwa kolaborasi dapat dilakukan tanpa mengaburkan doktrin Katolik, seperti otoritas kepausan atau Ekaristi. Program serupa di Keuskupan Agung Semarang , seperti Pekan Doa untuk Persatuan Kristiani (2023) , mengintegrasikan KGK 818 untuk memperkuat identitas Katolik dalam kerjasama.

Inkulturasi Berbasis Kebenaran Katolik : Dalam budaya Indonesia, seperti “tepo seliro” (Jawa) atau “torang samua basudara” (Maluku), KGK 818 dapat diwujudkan dalam perayaan Natal bersama atau kegiatan sosial lintas denominasi. Namun, umat Katolik tetap menegaskan kekhasan seperti Rosario atau penghormatan kepada Bunda Maria , seperti dalam perayaan Novena di Paroki Santa Maria Assumpta, Klaten , yang melibatkan umat Protestan. ● Menghadapi Tantangan Digital : Dengan polarisasi di media digital, KGK 818 mengajak umat Katolik untuk menjelaskan iman mereka dengan kasih, bukan dengan debat sengit. Misalnya, Keuskupan Agung Jakarta meluncurkan kampanye digital “Iman dan Persaudaraan” (2023) yang menggunakan KGK 818 untuk mempromosikan dialog ekumenis online. Kritik dan Respons Teologis Katolik KGK 818 mendapat kritik dari teolog non-Katolik, seperti Jürgen Moltmann , yang menganggap frasa “persekutuan tidak sempurna” mencerminkan sikap hierarkis yang menempatkan Gereja Katolik sebagai “standar emas.” Dokumen The Church: Towards a Common Vision dari World Council of Churches (2013) dari perspektif Protestan menyerukan kesetaraan antar-denominasi, mengkritik klaim Katolik tentang “kepenuhan kebenaran” sebagai penghalang ekumenisme. Teolog Ortodoks, seperti Kallistos Ware , juga berpendapat bahwa penekanan Katolik pada otoritas kepausan menghambat kesatuan penuh.

Respons Katolik menegaskan bahwa pengakuan terhadap elemen kebenaran di luar Gereja tidak mengurangi keyakinan bahwa Gereja Katolik memiliki kepenuhan sarana keselamatan. Paus Benediktus XVI dalam Spe Salvi ( 2007 ) mengingatkan bahwa harapan akan kesatuan adalah bagian dari keseluruhan harapan Kristiani. Ut Unum Sint (1995) menjelaskan bahwa ekumenisme bertujuan pada kesatuan yang terlihat, yang hanya mungkin melalui penerimaan otoritas Petrus dan doktrin Katolik. Ecclesia Catholica (1943) menegaskan bahwa kesatuan sejati memerlukan kembalinya umat Kristen lain ke Gereja Katolik, yang memiliki suksesi apostolik dan magisterium. Dominus Iesus (2000) memperkuat posisi ini, menyatakan bahwa komunitas non-Katolik tidak dapat disebut “Gereja” dalam arti penuh karena kurangnya suksesi apostolik. KGK 818 , dengan demikian, menawarkan keseimbangan: mengakui persaudaraan tanpa mengorbankan identitas Katolik. Di dunia, perpecahan dalam Kekristenan telah menghasilkan lebih dari 45.000 denominasi Protestan yang berbeda (Pew Research Center, 2011), masing-masing dengan variasi dalam doktrin, liturgi, dan struktur gereja. Hal ini sering kali menciptakan kebingungan dan memperkuat klaim Katolik tentang pentingnya kesatuan dalam satu Gereja yang terlihat. Tantangan di Indonesia adalah menerjemahkan keseimbangan ini ke dalam praktik. Dialog ekumenis sering terjebak pada formalitas, seperti seminar ber-AC, sementara polarisasi digital memperburuk ketegangan. KGK 818 dapat menjadi panduan untuk dialog yang teguh pada kebenaran Katolik sambil tetap inklusif, seperti mengajak tetangga diskusi tanpa harus berebut

mikrofon. Perspektif Terbaru (2020–2025) Literatur teologi terbaru menegaskan relevansi KGK 818 dalam mempertahankan kebenaran Katolik di era polarisasi. The Oxford Handbook of Ecumenical Studies (2021) menyerukan “ekumenisme praktis” yang tidak mengorbankan identitas doktrinal, seperti dalam kolaborasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Indonesia, yang melibatkan Katolik dan Protestan untuk mempromosikan harmoni. Petunjuk untuk Katekese (2020) menegaskan bahwa katekese harus mengajarkan kebenaran Katolik sambil menghormati tradisi lain, misalnya melalui pelatihan di Seminari Tinggi Ledalero, Flores , yang menggunakan KGK 818 untuk memperkuat identitas Katolik dalam dialog ekumenis. Studi oleh Theological Studies (2024) menunjukkan bahwa pendekatan berbasis KGK 818 telah meningkatkan pemahaman umat Katolik di Indonesia tentang identitas mereka, terutama di keuskupan seperti Agung Jakarta dan Semarang , meskipun tantangan budaya lokal, seperti perbedaan bahasa dan tradisi, tetap ada. Publikasi Ecumenism Today (2023) menyoroti bahwa ekumenisme di negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan pendekatan yang mengintegrasikan identitas doktrinal dengan kerjasama sosial, seperti dalam program bantuan bencana lintas denominasi. Kesimpulan KGK 818 adalah panggilan teologis dan pastoral untuk

merangkul umat Kristen non-Katolik sebagai saudara-saudari dalam Kristus, sambil menegaskan bahwa kepenuhan kebenaran iman ada dalam Gereja Katolik. Dalam konteks Indonesia, KGK 818 menawarkan landasan untuk dialog ekumenis yang mempertahankan identitas Katolik tanpa mengorbankan kasih persaudaraan. Dengan humor, kita bisa katakan bahwa KGK 818 mengajak umat Katolik untuk tetap bangga dengan “resep iman” mereka, sambil mengundang tetangga Protestan untuk berbagi meja tanpa ribut soal bumbu atau adu meme ala sinetron. Dengan berpijak pada baptisan dan iman kepada Kristus, umat Katolik di Indonesia dapat menjadi saksi kebenaran ilahi di tengah masyarakat yang penuh warna—dan kadang penuh drama. Daftar Pustaka:

  1. Badan Pusat Statistik. (2020). Penduduk Menurut Agama. Jakarta: BPS.
  2. Congar, Y. (2020). Ecumenism and the Future of the Church. London: Bloomsbury Academic.
  3. Congregatio pro Doctrina Fidei. (1992). Mengenai Beberapa Aspek Gereja yang Dipahami sebagai Persekutuan. Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  4. Congregatio pro Doctrina Fidei. (2000). Dominus Iesus. Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  5. Dikasteri untuk Evangelisasi. (2020). Petunjuk untuk Katekese. Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  6. Hogan, L. (2024). “Ecumenism in Developing Countries: Challenges and Opportunities.” Theological Studies , Vol.
85, No. 2, hlm. 110–130.
  1. Jurnal Kateketik Indonesia. (2024). “Dampak Media Sosial terhadap Dialog Ekumenis di Indonesia.” Vol. 7, No. 1, hlm. 23–38.
  2. Jurnal Teologi Indonesia. (2022). “Doa Bersama Katolik-Protestan di Manado: Studi Kasus Ekumenisme Lokal.” Vol. 5, No. 2, hlm. 45–60.
  3. Jurnal Teologi Indonesia. (2023). “Literasi Teologi dan Praktik Ekumenisme di Paroki-Paroki Pedesaan.” Vol. 6, No. 3, hlm. 88–105.
  4. Kasper, W. (2023). The Catholic Church: Nature, Reality, and Mission. London: T&T Clark.
  5. Katekismus Gereja Katolik. (1997). Yogyakarta: Kanisius.
  6. Kodeks Hukum Kanonik. (1983). Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  7. Kompas. (2021). “Kerjasama Antar-Gereja dalam Penanganan Bencana Merapi.” Yogyakarta: Kompas.
  8. Konsili Vatikan II. (1964). Lumen Gentium. Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  9. Konsili Vatikan II. (1964). Unitatis Redintegratio. Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  10. Moltmann, J. (2021). The Church in the Power of the Spirit. Minneapolis: Fortress Press.
  11. Murray, P. D. (2023). Ecumenism Today: The Future of Christian Unity. London: Routledge.
  12. O’Collins, G. (2022). A Concise Dictionary of Theology. Mahwah: Paulist Press.
  13. Paus Benediktus XVI. (2007). Spe Salvi. Vatikan:
Libreria Editrice Vaticana.
  1. Paus Fransiskus. (2013). Evangelii Gaudium. Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  2. Paus Yohanes XXIII. (1959). Ad Petri Cathedram. Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  3. Paus Paulus VI. (1964). Ecclesiam Suam. Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  4. Pew Research Center. (2011). Global Christianity: A Report on the Size and Distribution of the World’s Christian Population. Washington, D.C.: Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life.
  5. Pius XII. (1943). Ecclesia Catholica. Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  6. Pontifical Council for Promoting Christian Unity. (1993). Directory for the Application of Principles and Norms on Ecumenism. Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
  7. Ratzinger, J. (2000). Called to Communion: Understanding the Church Today. San Francisco: Ignatius Press.
  8. Sullivan, F. A. (2021). The Church We Believe In: One, Holy, Catholic, and Apostolic. Eugene: Wipf and Stock Publishers.
  9. Wainwright, G. (Ed.). (2021). The Oxford Handbook of Ecumenical Studies. Oxford: Oxford University Press.
  10. Ware, K. (2022). The Orthodox Church: An Introduction to Eastern Christianity. London: Penguin Books.
  11. World Council of Churches. (2013). The Church: Towards a Common Vision. Geneva: WCC Publications.
  12. Yohanes Paulus II. (1995). Ut Unum Sint. Vatikan:

Libreria Editrice Vaticana.

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya