PENGANTAR
Dalam Nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus … Amen !!! Salam SSCE .. Mari Satu nafas dengan Gereja !!! Salve saudara/iku seiman …Dominus Nobiscum
Pada video SSCE sebelumnya, kita telah membahas bahwa kategorirasi pandangan soteriologis yakni: pandangan eksklusif, inklusif, dan pluralis pada dasarnya adalah sistematisasi teologis yang baru terjadi, atau berlaku di zaman modern. Kemudian, kita pula telah melihat bahwa pandangan yang dinilai sebagai teologi inklusif yang ditujukan terhadap pandangan teologisnya Karl Rahner, sesunguhnya berdasar pada ajaram dari Tuhan Yesus Kristus sendiri yang dilanjutkan oleh Para rasul dan dipertahankan oleh para Bapa Gereja.Pandangan itulah yang dimantapkan oleh Konsili Vatikan II tepatnya dalam LG 16.
Secara faktual inklusifitas yang dipelihara oleh Konsili Vatikan II dalam LG 16 dengan otoritas yang tak dapat salah ini, telah memicu banyak kesalahpahaman/persepsi di kalangan umat Katolik sendiri.
Padahal setelah era Patristik dan Skolastik usai, jauh sebelum dicetuskannya konsep tentang “Kristen Anonim” dari Karl Rahner dan sebelum dirumuskannya LG 16 dalam Konsili Vatikan II, sikap dan pandangan yang diistilahkan sebagai teologi-inklusif itu sendiri telah diteruskan oleh Gereja Roma. Baik oleh teolog-teolog kenamaannya, para misionarisnya, maupun oleh para Pausnya di era sebelum KV II itu berlangsung.
Seperti misalnya, Domingo de Soto, OP, seorang teolog pra-KV II. Ia berpendapat bahwa, bagi orang yang belum diinjili, iman yang implisit di dalam Kristus akan cukup untuk keselamatan itu sendiri. Atau juga pandangan dari Albert Pighius seorang misionaris, yang mendasarkan pendapatnya pada Ibrani 11: 6, dengan mengemukakan bahwa bagi orang-orang yang belum diinjili, mereka bisa diselamatkan oleh wahyu umum dan rahmat meskipun tidak ada misionaris yang datang untuk menginjili mereka.
Pandangan inklusif yang sama turut dianut oleh dua Uskup Roma di zaman Pra-Konsili Vatikan II sendiri, yakni Paus Pius IX dan Paus Pius XII.
Paus Pius IX dalam Ensikliknya Singulari Quadam pada 9 Desember 1854, menyatakan bahwa meskipun tidak ada keselamatan di luar Gereja Roma Apostolik, di sisi lain perlu dipastikan bahwa mereka yang bekerja dalam ketidaktahuan akan agama yang benar, jika ketidaktahuan ini tak dapat diatasi [invicta ignorantia], tidak ternoda oleh kesalahan apa pun dalam hal ini di mata Tuhan.
Nada yang sama diungkapkan juga oleh Paus Pius XII, melalui ensiklik kepausannya, yakni Mystici Corporis 103, 29 Juni 1943. Dalam ensikilnya itu Bapa Suci, tidak serta-merta mengutuk mereka yang masih berada di luar Gereja Kristus. Melainkan, Bapa Suci Paus Pius XII malah mendoakan mereka agar dapat bergabung ke dalam kesatuan Katolik, sehingga, bisa bertekun dalam doa kepada Roh kasih dan kebenaran, bersama dengan anggota Gereja Kristus sendiri.
Akan tetapi, fakta-fakta historis tersebut kerap dilupakan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja oleh oknum-oknum yang menyalahpahami tentang sikap Konsili Vatikan II sendiri terhadap kebenaran.
Bukan hanya kelompok penolak/Anti Konsili Vatikan II saja yang salah paham mengenai “inklusifitas” yang ada dalam KV II (yang di tanah air kita direpresentasikan oleh CN dkk), yang mana mereka menuduh LG 16 telah menghapuskan prinsip EENS dalam Gereja Roma, tetapi juga terdapat sebagian dari kita yang berpikiran liberal, yang karena terdorong untuk mentoleransikan iman Katolik dengan cara mengeneralisasi atau menyamaratakan Kebenaran Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik dengan keyakinan/kepercayaan lainnya, akhirnya menyebabkan diri, jatuh dalam sikap indiferentisme.
ISI MATERI
- FENOMENA INDIFERENTISME DALAM GEREJA KATOLIK
Pandangan dasar atau utama dari mereka yang jatuh dalam sikap/posisi indiferentisme ialah suatu kepercayaan bahwa tidak penting manusia menganut agama apapun, ia tetap bisa diselamatkan. Sehingga, dengan sikap yang demikian, mereka ini turut membenarkan tuduhan dari para kelompok anti KV II, bahwa Gereja Katolik Pasca-KV II telah mengakui adanya kebenaran-kebenaran yang lain dan terdapat keselamatan di dalamnya. Mereka ini memandang LG 16 sebagai pembenaran sepihak bagi sikap indiferentisme mereka yang keliru. Bahkan pandangan yang semacam ini telah banyak tersebar atau muncul secara massif di Gereja Katolik Nusantara.
Berikut ini beberapa contoh/kasus bentuk-bentuk sikap-pandangan indiferentis yang berkembang ada eksis dari beberapa kalangan yang ada di dalam Gereja Katolik:
- Kebenaran Kekristenan Setara dengan Agama-Agama Lain
Pandangan ini berpendapat bahwa antara Kekristenan dan agama-agama lainnya, tidak terdapat perbedaan yang hakiki, tegas, dan spesifik dalam hal KEBENARAN (RELATIVISME)
Contoh:
Salah Seorang pakar dalam teologi agama-agama zaman kontemporer (Pasca-Konsiili Vatikan II) yang juga merupakan seorang klerus Gereja Katolik, yakni Raimundo Panikkar, pernah berpendapat bahwa Allah menjadi manusia tidak hanya melalui Kristus atau dengan kata lain, Allah tidak berinkarnasi di dalam Yesus saja tetapi juga dalam agama lain, seperti di dalam agama Hindu. Menurut Panikkar Kristus dan Yesus adalah dua tokoh yang berbeda. Kristus adalah misteri ilahi, dan bukan satu realitas yang memiliki banyak nama, tetapi dalam setiap nama yang berbeda-beda di masing-masing agama, Kristus ada dan menyelamatkan (inilah salah satu pernyataannya dari bukunya The Unknown Christ of Hinduism).
- Penolakan Akan Eksistensi Agama + Prioritas Terhadap “Humanisme” (“Irenisme”/Kedamaian Palsu – Subyektivisme - Individualistis)
Pandangan ini meyakini bahwa agama-agama (termasuk Kekristenan) tidaklah mengandung suatu KEBENARAN yang mutlak dan bersifat asasi. Melainkan, Kebenaran Mutlak dan Sejati terletak pada Individu/Person di dalam agama.
Contoh:
Salah seorang Imam Yesuit asal India yang kenamaan, sekaligus seorang spiritualis, yakni Pater Anthony de Mello, SJ dalam salah satu tulisan imajinernya, tertulis: “Yesus mengangguk setuju. “Itulah sebabnya Aku tidak mendukung agama; Aku mendukung orang-orangnya,” katanya. “Orang lebih penting daripada agama. Manusia lebih penting dari hari Sabat”… “Tuhan berhati-hatilah dengan kata-kata-Mu, kata salah seorang di antara kami dengan was-was… “Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu”. “Ya dan bahkan hal itu dilakukan oleh orang-orang beragama,” kata Yesus sambil tersenyum.
Kardinal Ratzinger (saat itu adalah Prefek dari Kongregasi Ajaran Iman (CDF) sekarang Paus Benediktus XVI) secara khusus menulis komentar tentang karya R. Mello, pada tahun 1998, yang keseluruhan teksnya dapat dibaca di link http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_19980624_demello_en.html Menarik untuk disimak bahwa Notifikasi dari Vatikan tentang tulisan Fr. Anthony de Mello dibuat beberapa tahun setelah wafatnya di tahun 1987.
Kardinal Ratzinger mengatakan demikian, “…. in certain passages in [Father de Mello’s] early works and to a great degree in his later publications, one notices a progressive distancing from the essential contents of Christian faith”
Terjemahannya:“…. di beberapa perikop dalam karya-karya awal Fr. de Mello dan dalam derajat yang besar di karya-karyanya kemudian, seseorang dapat melihat perkembangan pergeseran yang menjauh dari isi dasar ajaran iman Kristiani.”
Lanjutan
“…..menurut pengarang [Fr. de Mello] apapun kepercayaan dan pengakuan iman entah di dalam Tuhan atau di dalam Kristus, tidak dapat tidak, hanya menghalangi sampainya seseorang kepada kebenaran. Gereja, dengan menjadikan sabda Tuhan dalam Kitab Suci sebagai sebuah berhala, telah akhirnya membuang Tuhan dari bait-Nya. Ia [Gereja] telah secara konsisten kehilangan otoritas untuk mengajar di dalam nama Kristus. Dengan Notifikasi ini, demi untuk melindungi kebaikan umat beriman Kristiani, Kongregasi ini menyatakan bahwa pandangan-pandangan di atas adalah tidak sesuai dengan iman Katolik dan dapat sangat membahayakan.
- Penyelarasan Radikal Antara Keimanan Katolik Fundamental dengan “Unsur-Unsur Asing”: Ideologi, Paham, Trend-Budaya, Perilaku-perilaku Zaman
Contoh:
Teologi Pembebasan (Menggunakan Marxisme Sebagai Metodologi Iman); Inkulturasi-Inkulturasi yang menggeser posisi wahyu dengan kearifan-kearifan local/Sinkretisme (Mis. Praktik Santeria, Upacara Lucumi;dan praktik-praktik sinkretisme lainnya); Asosiasi Katolik Patriotik China atau Chinese Patrotic Catholic Association (CPCA) (Lembaga Keagamaan Gereja Katolik yang dihasilkan dari perpaduan antara Sistem-Ideologi Komunisme Tiongkok dengan. Gereja Katolik Roma); “Unsur-Unsur tertentu dalam PDKK” (Karunia Bahasa lida, Penyembuhan Ilahi, Spiritualitas-Kerohanian bebas, dlsb)
- Pandangan Skeptis Terhadap Originalitas (Keaslian) Wahyu Ilahi (Kitab Suci dan Tradisi Apostolik)
Contoh:
Robert W. Funk, Roy W. Hoover, and The Jesus Seminar: “Delapan puluh dua persen dari kata-kata yang dianggap berasal dari Yesus di Injil-Injil sebenarnya tidak dikatakan oleh-Nya” (The Five Gospels, Harper One, 1996, hlm. 5); Dan Brown, Da Vinci Code: “(Alkitab) telah berevolusi melalui banyak sekali terjemahan, penambahan dan revisi. Sejarah tidak pernah memiliki satu versi definitive buku tersebut” – Sir Leigh Teabing.
Maka dengan berbagai realita menyedihkan dari indiferentis ini, menjadi pertanyaan sentral yang penting untuk kita jawab ialah, apakah benar akar dari indiferentis ini ialah KV II dengan seruan aggiornamento itu sendiri???
ASAL-USUL OTENTIK PANDANGAN LIBERALISME DALAM KEKRISTENAN
Sesungguhnya, sejarah Gereja telah mencatat bahwa, Gereja Katolik telah mengutuk gagasan ini sebagai kesesatan dalam bahasa yang tegas, karena gagasan tersebut merupakan penyangkalan terhadap dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus (Di luar Gereja tidak ada keselamatan). Berikut ini kutipan singkat dari Mirari Vos, oleh Paus Gregorius XVI (15 Agustus 1832), penakanan miring dan tebal berasal dari saya.
Sekarang kita memikirkan sumber kejahatan berlimpah yang menyusahkan Gereja sekarang :_ indiferentisme. Opini jahat yang tersebar luas di seluruh sisi oleh tipuan orang jahat yang mengklaim bahwa keselamatan kekal mungkin diperoleh jiwa melalui pengakuan terhadap agama apapun, selama moralitas dipertahankan_. Tentu,_ engkau dengan komitmenmu akan mendorong kesalahan yang mematikan ini jauh -jauh dari orang-orang yang kau pedulikan. Dengan peringatan rasul bahwa “ada satu Allah, satu iman, satu baptisan”[16], semoga mereka [merasa] takut, [mereka] yang merencanakan gagasan bahwa pelabuhan keselamatan yang aman terbuka bagi seseorang dengan agama apapun. Mereka harus memperhatikan kesaksian Kristus sendiri bahwa “mereka yang tidak bersama Kristus berarti menentang Ia”[17] dan bahwa mereka memisahkan secara tidak bahagia mereka yang tidak berkumpul dengan-Nya. Karenanya “tanpa keraguan, mereka akan binasa selamanya, kecuali mereka memegang iman katolik yang menyeluruh dan suci” [18] Biarkan mereka mendengarkan Jerome yang mengatakan pada kita ketika Gereja terbelah menjadi tiga karena skisma, “Ia yang berada untuk tahta Petrus berada untukku”[19]. Seorang skismatik merayu dirinya sendiri dengan keliru ketika ia menyatakan bahwa ia juga telah dibasuh dalam air regenerasi. Agustinus akan menjawab kepada manusia tersebut :”Ranting memiliki bentuk yang sama ketika ia dipisahkan dari pokok anggur, tapi apa yang menguntungkan bagi ranting tersebut, bila ia tidak hidup dari akar?”[20]
Wadah indiferentisme yang memalukan ini muncul dari proposisi yang tidak masuk akal dan keliru bahwa_ kebebasan suara hati harus dipertahankan bagi setiap orang. Ia menyebarkan kehancuran dalam urusan sipil dan suci, walaupun beberapa orang semakin mengulangi dengan ketidaksopanan yang besar bahwa suatu keuntungan bertambah bagi agama darinya. “Tapi kematian jiwa lebih buruk daripada kebebasan dari kesalahan”, seperti yang tidak akan dikatakan olehAgustinus[21], Ketika semua penghalang dihapus yang melaluinya manusia dijaga di jalan kebenaran yang sempit, kodrat mereka, yang cenderung kepada hal yang jahat, mendorong mereka kepada kehancuran. Maka “lubang yang tak berdasar” sungguh terbuka, saat Yohanes melihat asap muncul untuk mengaburkan matahari, dan keluar jenis tanaman yang menghancurkan bumi. Karenanya muncul tranformasi pikiran, korupsi pada orang-orang muda, hinaan pada hukum dan hal-hal yang kudus dan suci – di lain kata, wabah yang lebih mematikan bagi sebuah situasi daripada yang lain. Pengalaman menunjukkan dari masa paling awal, bahwa kota-kota yang terkenal karena kekayaan, kekuasaan, dan kemuliaan musnah sebagai akibat dari kejahatan tunggal, yaitu kebebasan berpendapat yang di luar batas, izin untuk berbicara secara bebas, dan keinginan untuk hal-hal baru.
Maka, jika Sejarah Gereja mencatat bahwa Gereja pernah atau bahkan telah mengutuk indiferentisme di zaman pra-KV II, itu berarti tuduhan yang mengatakan kalau KV II tak lain adalah asal-usul penyebab bagi indeferentisme, langsung GUGUR DENGAN SENDIRINYA. Karena, sebelum diadakannya KV II dengan adagiumnya “aggiornamento”, sikap indefentisme sendiri telah eksis dan sudah dikutuk oleh bulla Mirari Vos, dari Paus Gregorius XVI (15 Agustus 1832).
Maka, apakah penyebab utama/asal-ausul dari sikap sesat ini?
Dalam lingkup global, pandangan liberal-indiferentis ini telah ditunjukkan oleh para teolog, yang digolongkan Alan Race sebagai para teolog pluralis (sebagaimana Alan Race sendiri termasuk di dalamnya).
Seperti yang telah kita ketahui dari video sebelumnya bahwa,
Alan Race inilah dalam karya teologisnya yang berjudul “Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology “ telah merumuskan yang namanya tipologi-tripolar yang tak lain adalah pengelompokkan pandangan teologis-soteriologis Kekristenan ke dalam 3 macam pandangan, yakni: eksklusifisme, inklusifisme, dan juga pluralisme.
Jika kita meminjam pembagian atau kategorisasi dari tipologi-tripolar dari Alan Race ini, rupanya mereka yang jatuh dalam sikap liberal-indiferentisme sangat tepat dan cocok digolongkan ke dalam tipe teologi-pluralisme itu sendiri. Di mana antara liberalisme dan pluralism itu sendiri pada dasarnya saling terkait erat satu dengan yang lain.
Menurut kamus teologi karangan Gerald O‟ Collins dan Edward G. Farrugia dua imam Yesuit yang sekaligus merupakan teolog, yakni, tepatnya “Kamus Teologi” hlm. 178, tertulis arti dari Liberalisme sebagai berikut. Ialah kata yang berasal dari bahasa latin “liberalis” yang merupakan turunan dari kata liber yang artinya „bebas‟, „merdeka‟, „tak terikat‟, „tak tergantung‟. Liberalisme adalah kecenderungan luas dalam politik dan agama yang megikuti pandangan zaman pencerahan dalam mendukung kebebasan dan perkembangan dalam menerima pandangan-pandangan baru dalam ilmu kebudayaan sezaman. Dalam arti positif, liberalisme mendorong sistem pendidikan yang terbuka dan terciptanya keadilan sosisal. Dalam arti negatif, liberalisme menjadi satu bentuk humanisme sekular yang menolak kewibawaan agama. (Lihat Gerald O‟ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi…,hlm 178 )
Pula, di kamus yang sama, dipaparkan juga pengertian dari pluralisme
Yakni, sebagai pandangan filosofis yang tidak mereduksikan segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, melainkan menerima adanya keragaman. Pluralisme dapat menyangkut bidang kultural, politik dan religius (Lihat Gerald O‟ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi… hlm 257 )
Maka, bertolak dari pengertian tersebut, pandangan dari mereka yang jatuh dalam sikap indiferentis, dapat dimengerti sebagai suatu pandangan teologis kristiani yang menerima keragaman secara luas dan bebas, yang bertujuan untuk menyamaratakan iman kristiani (khususnya Kekatolikan) dengan keyakinan agama yang lain. Sehingga, keunikan dan kekhususan sejati dari Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik, menjadi pudar, sirnah, dan musnah.
LAHIR DARI RAHIM PROTESTANTISME
Dalam sejarah dunia teologi, pandangan pluralis yang menjadi kegemaran bagi mereka yang jatuh dalam sikap indiferentis ini, awalnya lahir dan berkembang secara subur di kalangan para non-Katolik sendiri. Gerakan “liberalisme” dalam Kekristenan, secara khusus pertama kali dipelopori oleh para teolog Protestan. Hal tersebut, ditandai dengan adanya gerakan “Protestantisme Liberal” Abad ke 19 yang diprakarsai oleh seorang teolog Kristen Reformasi dari Prusia yakni Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Menurut M. Legenhausen, dalam bukunya Pluralitas dan Pluralisme agama hlm. 17, “Protestanisme liberal adalah bentuk modernisme dalam bidang agama yang di dalamnya terdapat doktrin bahwa inti agama terletak pada pengalaman religius pribadi daripada dogma, aturan, komunitas dan ritual.
Pada halaman 19 dalam bukunya, Legenhausen melanjutkan bahwa, Schleiermacher menyatakan kalau hakikat dari agama terletak pada jiwa manusia yang melebur dalam perasaan dekat dengan Yang Tak Terbatas, agama tidak terletak pada doktrin keagamaan maupun penampakan secara lahiriah tertentu. Pengalaman religius batiniah adalah saripati dari semua agama. Menurut Schleiermacher, berlipat gandanya agama merupakan hasil dari berbagai perasaan dan pengalaman keberagamaan manusia, oleh karena itu semua agama mengandung kebenaran Ilahi.”
Karakteristik liberal dalam Kekeristenan non-Katolik tersebut, semakin dimantapkan lagi oleh seorang teolog protestan Lutheran sekaligus pakar keagamaan, yakni Rudolf Otto Dalam karyanya yang berjudul Das Heilige (1917). Dalam karyanya itu, Otto menegaskan bahwa semua agama memiliki esensi yang sama. Menurutnya, esensi dari semua agama adalah kesucian, dan konsep kesucian ini mencakup elemen rasional dan non-rasional.
Otto menyebut bahwa elemen non-rasional itu ialah sebagai “nominous”. Istilah nominous sendiri diambil dari bahasa latin numen yang bermakna menujukan adanya kekuatan atau kehadiran Tuhan. Perasaan nominous yang disertai dengan rasa takjub, takzim, dan cinta, merupakan respon terhadap ketuhanan.
Karakteristik liberal yang sedemikian berkembang dalam teologi protestantisme abad modern, rupanya merasuk dan turut ikut mempengaruhi beberapa teolog Gereja Anglikan.
Tokoh Anglikan pertama yang menunjukkan kecenderungan liberal dalam pandangan teologisnya ialah John Hick. Orang inilah, yang kategorikan oleh Allan Race sebagai bagian dari teolog pluralis, dan kemudian oleh Paul. F Knitter di dalam bukunya yang berjudul “No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions”di golongkan sebagai “Model Teosentris, yang mana merupakan posisi yang dianut Knitter sendiri. Model teosentris percaya bahwa ada banyak jalan menuju pusat yang satu, yaitu Allah sendiri…
Secara perlahan-lahan, karakteristik liberal yang terkandung dalam teologi pluralisme ini pun, ternyata turut menghiasi pemikiran beberapa teolog Katolik sendiri.
Inilah yang lebih patut disebut sebagai awal dari jatuhnya sebagian orang Katolik ke dalam sikap indiferentisme, atau hilangnya kekhususan Kebenaran Kekatolikan (kesesatan menyamakan Iman Katolik dengan iman yang lain), ketimbang menilai Konsili Vatikan II sebagai penyebab atas itu yang pada faktanya sangat berbanding terbalik dengan tuduhan miring tersebut. Sehingga, bertolak dari adanya fenomena indiferentisme ini, perlu kita tanyakan dengan sungguh, benarkah bahwa Konsili Vatikan II SAMA-SEKALI tidak mempertahankan pengajaran soteriologis Katolik yang fundamental yakni Prinsip Extra Ecclesia Nulla Sallus, yang kalau kita meminjam istilah dari Allan Race yakni teologis yang sifatnya “eksklusif”???
- Konsistensi (Ketaatan) KV II Terhadap Ajaran Fundamental-Tradisional Gereja Katolik
Melanjutkan Prinsip/Aphorisma EENS
Pengajaran atau Prnsip EENS sendiri ditegaskan dalam Konsili Lateran keempat [1215], dengan seruan: “Sungguh hanya ada satu Gereja universal bagi umat berima)n universal, yang di luarnya tidak ada seorang pun yang diselamatkan [DS
802]. Penegasan dalam Konsili Lateran IV tersebut, semakin dikukuhkan lagi oleh Paus Bonifasius VIII, dalam bulla Unam Sanctam, yakni: “Kami menyatakan, mendefinisikan, dan menyatakan kepada setiap manusia bahwa untuk keselamatan, mereka harus sepenuhnya bersatu dengan Paus Roma [DS 873].
Atas dasar inilah semakin dipahami bahwa keselamatan hanyalah tercakup dan final di dalam Gereja Roma secara eksklusif. Bunyi penegasan yang sama dari seruan Konsili Lateran dan Bulla Unam Sanctam, itu dilihat hilang dalam poin-poin dari KV II.
Apalagi KV II dalam GS no 22, terkesan hanya seperti mengulangi bunyi inklusifitas dari Rasul Paulus (dlm Rom 2:14-16) , ketimbang seperti bunyi eksklusif yang terdapat dalam Konsili Lateran IV dan Bulla Unam Sanctam dari Paus Bonifasius VIII.
Berkenaan dari semua pembahasan ini, pada faktanya di dalam KV II sendiri terdapat yang namanya Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium) Dalam Lumen Gentium sendiri, selain terdapat kelanjutan dari sikap inklusif yang berakar sejak Tuhan Yesus Kristus, yakni dalam LG 16, terdapat pula kebenaran eksklusif tentang Kebenaran Tuhan kita Yesus Kristus dan Gereja-Nya sebagai satu-satunya PENGANTARA dan JALAN KESELAMATAN yang khas dan khusus bagi umat manusia. Dalam LG 14, terdapat seruan yang berbunyi:
“Berdasarkan Kitab suci dan Tradisi konsili mengajarkan, bahwa Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. la hadir bagi kita dalam TubuhNya, yakni Gereja. Dengan jelasjelas menegaskan perlunya iman dan baptis (lih. Mrk. 16:16; Yoh. 3:5) Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu, andaikata ada orang, yang benar benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.(Lumen Gentium 14).”
Menegaskan Eksklusifitas Yesus Kristus di antara Agama-Agama
Selain “seruan ekslusif” yang terdapat dalam LG 14 tentang Kebenaran Kekatolikan di dalam Yesus Kristus, seruan yang sama pun kembali dipertegas oleh KV II. Sekali lagi, dalam dekret atau poin yang sering disalah pahami sebagai ajaran kesesatan, yakni dalam Nostra Aetate. Di dalam NA 2 tertulis:
“Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya” (NA 2)
Menonjolkan Kebenaran Gereja Katolik Sebagai Satu-Satunya Agama Sejati
Selanjutnya, kesetiaan KV II terhadap eksklusifitas ajaran tradisional Gereja Katolik pun sangat tampak, justru sekali lagi di dalam bagian/dokumen yang sering disalahpahami sebagai dokumen kompromistis atau indeferentis, yakni dalam Pernaytaan Dignitatis Humanae art. I. Di mana KV II sambil memberikan pandangan terbuka atas sikap manusia terhadap keyakinan dan ajaran-ajaran iman lainnya, juga pertama-tama menegaskan spesifikasi Gereja Katolik sbg satu-satunya Agama yang Benar dan Sejati :
“Oleh karena itu Konsili suci pertama-tama menyatakan, bahwa Allah sendiri telah menunjukkan jalan kepada umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya, dan dengan demikian memperoleh keselamatan dan kebahadiaan dalam Kristus. Kita percaya, bahwa satu-satunya Agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik dan apostolic, yang oleh Tuhan Yesus diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang, ketika bersabda kepada para Rasul: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20). Adapun semua orang wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya” (DH art 1.)
Menegaskan Keabsahan dan Originalitas Wahyu Ilahi
Dari mereka yang berpandangan bahwa KV II adalah asal-usul dari indiferentis dan spirit liberalis dalam keimanan kristiani, banyak yang menuduh bahwa KV II telah mendorong banyak jiwa untuk bersikap relative terhadap kebenaran Katolik dihadapan keyakinan dan ajaran-ajaran asing. Di samping itu, mereka menuduh bahwa KV II mau membuat Gereja berkompromi dengan dunia modern, sehingga bersikap skeptic terhadap keabsahan dan originalitas + otentisitas dari Wahyu Ilahi. Maka, benarkah demikian? *_Konstitusi Dogmatis dari KV II yakni Dei Verbum (DV)_
- dengan segera langsung membantah tuduhan-tuduhan miring tersebut.
Pertama, melalui DV 4 KV II menegaskan secara bulat dan definitive bahwa Yesus Kristus adalah KEPENUHAN WAHYU ILAHI:
“Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (lih. 1Tim6:14 dan Tit2:13)” (DV 4.)
Kedua, di dalam DV pun ditegaskan originalitas atau otentisitas dari Kitab Suci dan Tradisi Apostolik sebagai sumber valid dan abash bagi Kebenaran Wahyu Ilahi:
“Jadi Tradisi suci dan Kitab suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. . Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui kitab suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun Kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama” (DV 9)
- Mempertahankan Litugi Sebagai Puncak dan Sumber Kehidupan Gereja
Kesetiaan KV II terhadap eksklusifitas ajaran tradisional Gereja Katolik, diperlihatkan pula dalam hal sikap atau pandangan Konsili sendiri terhadap LITURGI GEREJA (yakni LITURGI KEKATOLIKAN). KV II secara terang-terangan mempertahankan prinsip Gereja sejak Para Rasul (Perjanjian Baru) bahwa Liturgi adalah Puncak sekaligus Sumber bagi kehidupan dari Gereja itu sendiri. Melalui Konstitusi Tentang Liturgi (Sacrosanctum Concillium), KV II menyatakan bahwa:
“Akan tetapi liturgi itu puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala daya-kekuatannya. Sebab usah-usaha kerasulan mempunyai tujuan ini: supaya semua orang melalui iman dan baptis menjadi putera-putera Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam Kurban dan menyantap perjamuan Tuhan.
Di lain pihak liturgi sendiri mendorong umat beriman, supaya sesudah dipuaskan “dengan Sakramen-sakramen Paska menjadi sehati-sejiwa dalam kasih”[26] . Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman”[27] . Adapun pembaharuan perjanjian Tuhan dengan manusia dalam Ekaristi menarik dan mengobarkan Umat beriman dalam cinta kasih Kristus yang membara. Jadi dari liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya”.
(SC 10)
Kesetiaan dalam Militansi Penginjilan/Pengenalan akan Allah Tritunggal Bagi Setiap Maklhuk
Masih dalam dokumen konstitusi yang sama, yang berbucara mengenai Liturgi yakni SC, KV II pun secara otomatis telah menepis tuduhan-tuduhan miring seputar penyebab sikap sesat indiferentis sekaligus asal-usul bagi spirit liberalisme (Antara lain: KV II berkompromi dengan iman/agama lain, menyamaratakan ketuhanan dalam setiap agama, menghentikan penginjilan dan menggantikannya dengan ekumenisme dan dialog, menghapus EENS, dlsb). Hal mana, tepatnya pada SC 9 yang berbicara tentang “Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja”, KV II pun menegaskan militansi Penginjilan sebagai salah satu dari Kegiatan Gereja yang bersifat wajib dan mutlak:
“Liturgi suci tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebab sebelum manusia dapat mengikuti liturgi, ia perlu dipanggil untuk beriman dan bertobat: “bagaimana ia akan berseru kepada Dia yang tidak mereka imani? Atau bagaimana mereka akan mengimani-Nya bila mereka tidak mendengar tentang Dia? Dan bagaimana mereka akan mendengar bila tidak ada pewarta? Lalu bagaimana mereka akan mewartakan kalau tidak diutus?” (Rom 10:14-15).
Oleh karena itu Gereja mewartakan berita keselamatan kepada kaum tak beriman, supaya semua orang mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya lalu bertobat dari jalan hidup mereka seraya menjalankan ulah tapa[24] . Tetapi kepada Umat beriman pun Gereja selalu wajib mewartakan iman dan pertobatan; selain itu harus menyiapkan mereka untuk menerima sakramen-sakramen, mengajar mereka mengamalkan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Kristus[25] , dan mendorong mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Berkat karya-karya itu akan menjadi jelas bahwa kaum beriman Kristiani memang bukan dari dunia ini, melainkan menjadi terang dunia dan memuliakan Bapa di hadapan orang-orang” (SC 9)
KESIMPULAN
Dengan adanya fakta-fakta pengajaran, penegasan, serta pernyataan fundamental dalam dokumen-dokumen KV II sendiri, terjawab sudah bahwa Konsili Vatikan II sungguh meneruskan eksklusifitas Pengajaran dan Kekhasan Gereja Kuno sepanjang masa; sekaligus ditepisnya juga tuduhan dan kesalahpahaman bahwa Konsili Vatikan II sesungguhnya SAMA SEKALI bukan merupakan asal-usul bagi sikap sesat liberal-indiferentisme.
Sehingga, sekali lagi Konsili Vatikan II bersaksi kepada dunia bahwa Yesus Kristus dan Gereja-Nya adalah Satu-satunya jalan dan Sarana keselamatan yang sejati… sebagaimana tertulis secara jelas dalam dokumen-dokumennya.
Dengan demikian, hal yang patut dapat kita katakana secara bersama dan final ialah: “Apa yang diajarkan oleh Gereja sepanjang masa: mulai dari Gereja Perdana hingga Gereja Pasca-Konsili Vatikan II” ini adalah sungguh-sungguh KEBENARAN yang hakiki. Dan di luar Kebenaran ini, tak ada keselamatan
Mari kembangkan terus sikap ketaatan kita pada Bunda Gereja, bersedia sehati dan senafas dengan Gereja, karena hanya dengan selaras bersama Gereja kita bisa SELAMAT !!! AMEN.