Banyak gereja & pendeta tdk sehat, bingung saya! ‪@EDISTV‬ ‪@edisTV_sang_debaters‬, live#76 -06-2025

Konsep “makelar iman” tidak disebut secara eksplisit dalam dokumen resmi Gereja Katolik, tetapi dapat dipahami sebagai kritik terhadap pendekatan individualistik dan subjektif terhadap iman, yang sering diasosiasikan dengan tradisi Protestantisme, terutama prinsip “sola scriptura.” Dalam pandangan Katolik, iman adalah anugerah ilahi yang disampaikan melalui tiga pilar: Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja. Pendekatan Protestantisme, yang mengutamakan otoritas tunggal Kitab Suci dan penafsiran pribadi, dipandang berpotensi merusak keutuhan iman, membuka peluang bagi subjektivisme, fragmentasi, dan penyimpangan doktrinal.

By Manuel (Tim DKC)

26 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

LIVE DKC [76-2025] JUMAT, 13 JUNI 2025 PUKUL 19:00 WIB: BANYAK GEREJA & PENDETA TIDAK SEHAT, BINGUNG SAYA! @EDIS TV‬ @edisTV_sang_debaters

Tayangan VT @EDIS TV Senin, 09 Juni 2025 tentang Banyak Gereja & Pendeta Tidak Sehat

Dalam VT ini EDIS TV menanggapi teman-teman Muslim yang bertanya ingin pindah ke Kristen dan disarankan mencari gereja yang benar karena banyak yang gak benar dan gembalanya yang sehat.

Tanggapan Tim DKC

EDIS TV bukan apologet, melainkan makelar iman, yang apabila diikuti akan menjadi gelandangan iman. Apa parameter yang tepat terkait gereja Kristen yang benar? Contohnya dogma Tritunggal menjadi ”cemilan” di kalangan Protestan dengan sekte yang berbeda-beda.

Makelar Iman dalam Protestantisme: Penjelasan dan Bukti Menurut Ajaran Gereja Katolik

Konsep “makelar iman” tidak disebut secara eksplisit dalam dokumen resmi Gereja Katolik, tetapi dapat dipahami sebagai kritik terhadap pendekatan individualistik dan subjektif terhadap iman, yang sering diasosiasikan dengan tradisi Protestantisme, terutama prinsip “sola scriptura.” Dalam pandangan Katolik, iman adalah anugerah ilahi yang disampaikan melalui tiga pilar: Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja. Pendekatan Protestantisme, yang mengutamakan otoritas tunggal Kitab Suci dan penafsiran pribadi, dipandang berpotensi merusak keutuhan iman, membuka peluang bagi subjektivisme, fragmentasi, dan penyimpangan doktrinal.

Artikel ini menguraikan perspektif Gereja Katolik, menyajikan bukti dari dokumen resmi, sejarah, dan teologi, serta menyoroti implikasi dari pendekatan tersebut dalam konteks keimanan Kristen.

1. Landasan Ajaran Katolik tentang Iman

Gereja Katolik memandang iman sebagai karunia Allah yang diwahyukan melalui Kitab Suci, diperdalam oleh Tradisi Suci, dan diawasi oleh Magisterium, otoritas pengajar Gereja. Konsili Vatikan II, dalam konstitusi dogmatis Dei Verbum, menegaskan keterkaitan ketiga elemen ini:
“Tradisi Suci dan Kitab Suci membentuk satu depositum suci Firman Allah, yang dipercayakan kepada Gereja. Dengan berpegang teguh pada ini, seluruh umat suci, yang bersatu dengan para uskupnya, tetap setia dalam ajaran, kehidupan, dan ibadat, serta dalam mewariskan warisan iman yang sama kepada semua generasi.” (Konferensi Waligereja Indonesia, Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: KWI, 2003, hlm. 44).

Katekismus Gereja Katolik (KGK) menambahkan:
“Iman bukanlah suatu tindakan terisolasi. Tidak seorang pun dapat beriman sendirian, sebagaimana tidak seorang pun dapat hidup sendirian. Iman diterima dari Gereja dan disampaikan melalui Gereja, yang adalah ibu dan guru kita.” (Konferensi Waligereja Indonesia, Katekismus Gereja Katolik, Jakarta: KWI, 1995, hlm. 54, no. 166).

Jelaslah bahwa iman, dalam pandangan Katolik, bukan urusan pribadi yang dapat dibentuk sekehendak hati. Menganggapnya demikian berisiko menjadikan seseorang “makelar iman,” yang seenaknya menentukan isi keimanan tanpa bimbingan otoritas apostolik.

2. Prinsip “Sola Scriptura” dalam Protestantisme

Reformasi Protestantisme abad ke-16, yang dipelopori Martin Luther, mengusung prinsip “sola scriptura,” menegaskan Kitab Suci sebagai otoritas tunggal dalam iman dan praktik keagamaan. Sejarawan James Atkinson mencatat pandangan Luther:
“Luther menegaskan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber kebenaran ilahi, dan setiap orang Kristen, dengan bimbingan Roh Kudus, berhak menafsirkannya tanpa campur tangan otoritas eksternal seperti Gereja atau tradisi.” (Atkinson, James, Luther and the Reformation, London: Penguin Books, 1962, hlm. 112).

Meski bertujuan membebaskan umat dari penyalahgunaan otoritas Gereja pada masa itu, pendekatan ini, menurut Katolik, membuka celah berbahaya. Tanpa Magisterium, penafsiran pribadi Alkitab rentan menghasilkan pandangan yang saling bertentangan. Teolog Katolik Louis Bouyer menyoroti:
“Dengan menolak Magisterium, Protestantisme telah menyerahkan iman kepada kehendak individu, menciptakan situasi di mana kebenaran ilahi menjadi subjek penafsiran pribadi, sering kali dipengaruhi oleh bias, emosi, atau kurangnya pengetahuan historis dan teologis.” (Bouyer, Louis, The Spirit and Forms of Protestantism, Westminster: The Newman Press, 1956, hlm. 190).

Di sinilah muncul bayangan “makelar iman”: individu atau kelompok yang mengklaim otoritas tanpa dasar apostolik, membentuk keimanan seolah-olah barang dagangan yang disesuaikan dengan selera pribadi.

3. Bukti Sejarah: Fragmentasi dan Perpecahan

Konsekuensi nyata dari “sola scriptura” adalah pecahnya kesatuan iman. Sejak Reformasi, ribuan denominasi Protestan bermunculan – Lutheran, Calvinis, Baptis, Pentakosta, dan lainnya—masing-masing mengklaim kebenaran berdasarkan penafsiran Alkitab mereka. Sejarawan Lewis W. Spitz mencatat:
“Dalam kurun waktu satu abad setelah Luther, ratusan sekte dan denominasi muncul, masing-masing dengan doktrin yang berbeda tentang pembaptisan, Perjamuan Kudus, predestinasi, dan struktur gereja, menunjukkan bahwa ‘sola scriptura’ tidak menghasilkan kesatuan, tetapi perpecahan.” (Spitz, Lewis W., The Protestant Reformation, St. Louis: Concordia Publishing House, 1985, hlm. 321).

Gereja Katolik menanggapi tantangan ini melalui Konsili Trente (1545–1563). Dalam Decree on Sacred Scripture and Tradition, konsili menegaskan:
“Kebenaran dan disiplin yang terkandung dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci, yang diterima dari para Rasul, harus dipegang dengan hormat yang sama, dan Gereja, melalui otoritasnya, berwenang untuk menafsirkannya demi menjaga kesatuan iman.” (Tanner, Norman P., Decrees of the Ecumenical Councils, Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1990, hlm. 657).

Fragmentasi ini menjadi bukti bahwa, tanpa otoritas pengajar, iman berisiko menjadi komoditas di pasar rohani, di mana “makelar” bebas menawarkan versi-versi kebenaran yang saling berselisih.

4. Iman sebagai Anugerah Ilahi

Gereja Katolik menegaskan bahwa iman adalah karunia Allah, bukan produk manusia yang dapat dibentuk sesuka hati. Katekismus Gereja Katolik menyatakan:
“Untuk hidup, bertumbuh, dan bertahan dalam iman, kita harus memeliharanya dengan Firman Allah; kita harus memohon kepada Tuhan agar menumbuhkannya; iman harus bekerja melalui kasih, didukung oleh harapan, dan berakar dalam iman Gereja.” (Konferensi Waligereja Indonesia, Katekismus Gereja Katolik, Jakarta: KWI, 1995, hlm. 54, no. 162).

Teolog Yves Congar menambahkan:
“Iman yang sejati tidak dapat dipisahkan dari Gereja, karena Kristus telah menitipkan wahyu-Nya kepada para Rasul dan penerus mereka. Ketika seseorang mengabaikan Tradisi dan otoritas Gereja, iman berisiko menjadi cerminan dari ego manusia, bukan cerminan kehendak Allah.” (Congar, Yves, The Meaning of Tradition, New York: Hawthorn Books, 1964, hlm. 75).
Kontras dengan ini, beberapa kalangan Protestan cenderung mengemas iman berdasarkan penafsiran pribadi, menyesuaikannya dengan kebutuhan emosional atau budaya. Hasilnya, iman menjadi seperti barang di toko rohani, di mana “makelar” menjajakan versi-versi berbeda: satu menolak sakramen, yang lain menciptakan doktrin baru, merendahkan anugerah ilahi menjadi produk sesaat.

5. Peran Magisterium: Benteng Iman

Magisterium, yang terdiri dari Paus dan para uskup dalam kesatuan dengannya, bertugas menjaga dan menafsirkan depositum iman. Dalam ensiklik Humani Generis, Paus Pius XII menulis:
“Tuhan telah mempercayakan kepada Gereja tugas untuk menafsirkan Kitab Suci dan Tradisi Suci secara otentik, sehingga kebenaran ilahi dapat dijaga dari kesalahan dan disampaikan kepada semua generasi tanpa tercemar.” (Pius XII, Humani Generis, Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1950, no. 21).

Sejarawan Philip Hughes menyoroti bahaya tanpa otoritas ini:
“Protestantisme, dengan menolak Magisterium, telah menciptakan situasi di mana setiap orang menjadi paus bagi dirinya sendiri, menafsirkan Alkitab sesuai kehendaknya, sehingga menghasilkan perpecahan yang tak terhitung jumlahnya.” (Hughes, Philip, A History of the Church, vol. 3, London: Sheed & Ward, 1947, hlm. 289).

Tanpa Magisterium, “makelar iman” bebas mengubah kebenaran, menciptakan kekacauan di mana iman kehilangan sifat universal dan objektifnya.

6. Implikasi Teologis dan Praktis

Pendekatan Protestantisme yang mengutamakan penafsiran pribadi melemahkan kesatuan iman Kristen. Konsili Vatikan II, dalam Lumen Gentium, menegaskan peran Gereja:
“Gereja, dalam Kristus, adalah seperti sakramen, yaitu tanda dan alat untuk persatuan mesra dengan Allah dan untuk kesatuan seluruh umat manusia.” (Konferensi Waligereja Indonesia, Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: KWI, 2003, hlm. 15, no. 1).

Jika iman dibiarkan di tangan “makelar” yang menawarkan versi-versi berbeda, visi kesatuan ini runtuh. Kebingungan muncul ketika doktrin inti – Trinitas, sakramen, keselamatan – diinterpretasikan secara kontradiktif.

Gereja Katolik, dengan Magisteriumnya, menawarkan fondasi kokoh: iman yang dipandu Roh Kudus, terjaga dari subjektivisme.

7. Kesimpulan

Dari perspektif Katolik, pendekatan Protestantisme, khususnya “sola scriptura” dan penafsiran pribadi, membuka peluang bagi “makelar iman” – mereka yang merendahkan iman menjadi komoditas yang dibentuk sesuai kehendak manusia. Bukti sejarah menunjukkan ribuan denominasi yang terpecah, masing-masing mengklaim kebenaran subjektif. Dokumen seperti Dei Verbum, Katekismus Gereja Katolik, dan dekrit Konsili Trente menegaskan iman sebagai anugerah ilahi, dijaga oleh Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium. Tanpa ketiganya, iman menjadi barang di pasar rohani yang kacau, di mana kebenaran diperjualbelikan. Gereja Katolik, berpijak pada warisan apostolik, menawarkan jalan pasti: iman yang utuh, universal, dan setia pada wahyu Kristus, bukan produk murahan dari pedagang rohani.1

Gelandangan Iman dalam Protestantisme Berdasarkan Ajaran Gereja Katolik: Sebuah Analisis

Istilah “gelandangan iman” secara kiasan mengacu pada ketidakstabilan, inkonsistensi, atau penyimpangan dari kebenaran iman yang utuh, sebuah konsep yang relevan untuk mengevaluasi Protestantisme dari perspektif ajaran Gereja Katolik.

Artikel ini menyelidiki akar sejarah, bukti teologis, dan implikasi praktis dari fenomena ini, dengan merujuk pada sumber-sumber kredibel seperti dokumen Gereja, tulisan Bapa Gereja, dan literatur akademis.
Analisis ini menyoroti fragmentasi doktrinal, penolakan terhadap Tradisi Suci dan Magisterium, serta dampaknya pada kehidupan spiritual, sambil mengetengahkan pandangan Gereja Katolik sebagai jalan menuju keutuhan iman.

1. Akar Historis: Reformasi dan Fragmentasi Iman

Reformasi Protestan, dipicu pada 1517 oleh 95 tulisan Martin Luther, menandai perpecahan besar dalam Kekristenan Barat. Luther menentang praktik indulgensi, otoritas Paus, dan sejumlah ajaran Gereja, mengusung prinsip sola scriptura (hanya Alkitab) sebagai otoritas tunggal. Gerakan ini diikuti oleh Yohanes Kalvin, Ulrich Zwingli, dan tokoh lain, yang menghasilkan interpretasi iman Kristen yang beragam. Akibatnya, lahirlah denominasi seperti Lutheran, Calvinis, Anglikan, dan Anabaptis, yang terus terpecah menjadi ribuan kelompok.

Berdasarkan World Christian Encyclopedia (edisi kedua, Oxford University Press, 2001), pada awal abad ke-21, terdapat lebih dari 33.000 denominasi Kristen, sebagian besar berasal dari Protestantisme. David B. Barrett dan rekan-rekannya menulis: “Perpecahan dalam Protestantisme telah menghasilkan keragaman doktrinal yang tak tertandingi, dengan kelompok-kelompok yang berbeda dalam teologi, praktik, dan pemerintahan” (Barrett et al., 2001, hlm. 16). Fragmentasi ini berlawanan dengan visi kesatuan Gereja Katolik, sebagaimana ditegaskan Konsili Vatikan II: “Gereja ini, yang didirikan dan diatur di dunia ini sebagai persekutuan, berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh penerus Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya” (Lumen Gentium, no. 8, Dokumen-Dokumen Konsili Vatikan II, Penerbit Obor, 1993, hlm. 32).

Tanpa otoritas terpusat, Protestantisme laksana rombongan pengelana yang terserak di persimpangan, masing-masing mengklaim Alkitab sebagai peta, namun berselisih tentang tujuannya. Lutheran menerima baptisan bayi, Anabaptis menolaknya. Zwingli memandang Perjamuan Kudus sebagai simbol, sementara Luther memberi makna semi-sakramental. Ketidakstabilan ini mencerminkan sifat “gelandangan iman”: tanpa kompas pasti, iman rentan menjadi subjektif dan terpecah.

2. Penolakan Tradisi Suci: Memutus Akar Sejarah

Gereja Katolik mengajarkan bahwa iman Kristen bersumber pada Kitab Suci dan Tradisi Suci. Katekismus Gereja Katolik menyatakan: “Tradisi Suci dan Kitab Suci saling berkaitan dan berhubungan erat. Karena keduanya berasal dari wahyu ilahi yang sama, keduanya membentuk satu kesatuan suci” (KGK, no. 80, Katekismus Gereja Katolik, Konferensi Waligereja Indonesia, 1995, hlm. 34). Tradisi Suci meliputi ajaran lisan para Rasul, praktik liturgi, dan pengajaran Gereja mula-mula, yang membentuk Kekristenan sebelum kanon Alkitab disahkan. Proses ini dimulai pada Konsili Roma (382 M) di bawah Paus Damasus I, yang menyusun daftar awal kitab-kitab kanonik, kemudian diteguhkan oleh Konsili Hippo (393 M) dan Kartago (397 M).

Protestantisme, lewat sola scriptura, menolak otoritas setara Tradisi Suci, menganggapnya sebagai tambahan manusiawi. Ini mengesampingkan kesaksian Bapa Gereja seperti St. Ignatius dari Antiokhia, yang sekitar 107 M menulis: “Ekaristi adalah daging Penyelamat kita Yesus Kristus, yang menderita untuk dosa-dosa kita, dan yang oleh kasih Bapa dibangkitkan” (Epistle to the Smyrnaeans, bab 7, The Ante-Nicene Fathers, Vol. 1, Eerdmans, 1985, hlm. 89).

Kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi, yang dijunjung Gereja mula-mula, ditolak atau disederhanakan menjadi simbol oleh banyak Protestan, seperti Zwingli dan denominasi modern.

Dengan mengabaikan Tradisi, Protestantisme bagaikan gelandangan yang membakar catatan leluhur, kehilangan konteks berharga untuk memahami Kitab Suci. Konsili Trente (1545-1563) menegaskan: “Gereja dengan hormat yang sama menerima dan menghormati Kitab Suci dan Tradisi Suci, dan mengutuk siapa saja yang menolak tradisi-tradisi yang disampaikan oleh para Rasul” (Sesi IV, Canons and Decrees of the Council of Trent, TAN Books, 1978, hlm. 17). Tanpa akar ini, iman Protestan riskan terombang-ambing, terputus dari warisan apostolik.

3. Tanpa Magisterium: Kekacauan Interpretasi

Gereja Katolik meyakini Magisterium—otoritas mengajar Paus dan para Uskup, dipimpin Roh Kudus – menjaga kebenaran iman. Yesus berjanji: “Roh Kebenaran, yang diutus Bapa dalam nama-Ku, akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan” (Yohanes 14:26, Alkitab Deuterokanonika, Lembaga Alkitab Indonesia, 2004). Konsili Vatikan II menjelaskan: “Tugas menafsirkan Sabda Allah yang tertulis atau disampaikan secara lisan dipercayakan hanya kepada Magisterium Gereja yang hidup, yang otoritasnya dijalankan atas nama Yesus Kristus” (Dei Verbum, no. 10, Dokumen-Dokumen Konsili Vatikan II, Penerbit Obor, 1993, hlm. 125).

Protestantisme menolak Magisterium, menyerahkan penafsiran Alkitab kepada individu atau pemimpin lokal. Hasilnya, doktrin bervariasi drastis: Kalvin mengajarkan predestinasi ganda, Luther menentangnya; beberapa denominasi mendukung pernikahan sesama jenis, yang lain mengutuknya. Tanpa otoritas pembimbing, iman laksana pasar ide, di mana tiap “pedagang” menawarkan tafsiran pribadi. Teolog Katolik Karl Keating menulis: “Sola scriptura mengundang anarki teologis, karena tanpa otoritas yang ditetapkan Kristus, manusia menjadi hakim terakhir kebenaran” (Keating, Catholicism and Fundamentalism, Ignatius Press, 1988, hlm. 154). Ini mencerminkan gambaran gelandangan iman: mengembara tanpa tujuan, tanpa mercusuar untuk pulang.

4. Implikasi Teologis dan Praktis: Kemiskinan Spiritual

Penolakan Protestantisme terhadap lima dari tujuh sakramen Katolik – Pengakuan Dosa, Pengurapan Orang Sakit, Tahbisan Suci, Pernikahan sebagai sakramen, dan Ekaristi sebagai kehadiran nyata – mengurangi akses kepada rahmat ilahi. Katekismus Gereja Katolik menegaskan: “Sakramen-sakramen adalah tanda-tanda yang efektif dari rahmat, ditetapkan oleh Kristus dan dipercayakan kepada Gereja, yang melaluinya kehidupan ilahi diberikan kepada kita” (KGK, no. 1131, Katekismus Gereja Katolik, Konferensi Waligereja Indonesia, 1995, hlm. 289). Banyak denominasi Protestan hanya mengakui Baptisan dan Perjamuan Kudus, sering ditafsirkan secara simbolis, mengabaikan kekayaan rahmat dari sakramen lain.

Praktisnya, ini laksana gelandangan yang menolak ransel berisi bekal, memilih bertahan hanya dengan sepotong roti dan segelas air di perjalanan panjang. Tanpa Pengakuan Dosa, kurang sarana formal untuk pengampunan; tanpa Pengurapan Orang Sakit, hilang dukungan rohani bagi yang menderita. Penghormatan kepada Bunda Maria dan doa untuk orang kudus, yang kaya dalam tradisi Katolik, sering lenyap, meninggalkan umat tanpa persekutuan surgawi. Jurnal Theological Studies mencatat: “Kehilangan praktik-praktik ini di kalangan Protestan mencerminkan pergeseran menuju individualisme, yang melemahkan dimensi komunal iman” (Vol. 55, No. 3, 1994, hlm. 492).

5. Pandangan Gereja Katolik: Jalan Kembali ke Keutuhan

Gereja Katolik menawarkan jalan keluar: iman yang utuh, berpijak pada Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium. Konsili Vatikan II menegaskan: “Gereja, yang kepadanya dipercayakan harta iman, menjaga dan menyampaikan kebenaran wahyu dengan setia” (Lumen Gentium, no. 25, Dokumen-Dokumen Konsili Vatikan II, Penerbit Obor, 1993, hlm. 54). Gereja Katolik tidak sekadar menyoroti perpecahan, tetapi mengundang kembali ke kesatuan, menyediakan sakramen, bimbingan rohani, dan otoritas apostolik untuk melindungi iman dari kekacauan.

Kesimpulan

Protestantisme, dengan fragmentasi doktrinal, penolakan terhadap Tradisi Suci dan Magisterium, serta pengurangan sakramen, menyerupai gelandangan iman – terombang-ambing tanpa arah, akar, atau bekal memadai. Bukti historis, teologis, dan praktis, yang didukung dokumen Gereja dan kesaksian awal, mengungkap kelemahan ini. Gereja Katolik, dengan fondasi apostolik dan kesatuan iman, menawarkan jalan pasti menuju kebenaran dan keselamatan, melindungi umat dari pengembaraan rohani.2

Tayangan Video Romo Katolik di Vatikan tentang Reklame Kampanye Keluarga Lesbian oleh Kaum Protestan

Tayangan Beberapa Video Pendukung Kaum Protestan:

  • HUT PGI ke-75,
  • Philip Mantofa ”Curi Domba VS Curi Rumput”,
  • Charismatic tentang Money Politic dalam Pemilihan Ketua Sinode,
  • Gereja yang Asli, yang Hasilkan Perpuluhan/ Kolekte Bersebelahan (Gereja Harapan Baru/ GBBI, Gereja Bethel Indonesia, GKRI, GNAHKH, HKBP),
  • Patris Smith Tidak Mengaku Protestan,
  • Pendeta HKBP tentang ”Lebih Terhormat Penjahat yang Menolong Temannya daripada Pendeta yang Menipu Jemaatnya”,
  • Tentang ”Rebutan Mimbar”,
  • Tentang ”Protestan: Pecah, Pecah, Pecah!!!, Katolik Mayoritas di Dunia”

Menyembah Kertas atau Kebenaran? Mengupas Tuntas Kelemahan Sola Scriptura dalam Protestantisme

Doktrin Sola Scriptura, pilar sentral Reformasi Protestan, mengklaim Alkitab sebagai otoritas tunggal dan tertinggi dalam iman Kristen, dengan congkak menyingkirkan Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Tuduhan bahwa Protestan adalah “penyembah buku” bukan sekadar sindiran, melainkan cerminan dari pengagungan berlebihan terhadap Alkitab sebagai sumber kebenaran satu-satunya, seolah tradisi apostolik dan otoritas Gereja adalah relik usang yang tak layak dihiraukan.

Dengan pendekatan Katolik yang sistematis dan berbasis sumber akademik kredibel, analisis ini mengupas tuntas kontradiksi internal Sola Scriptura, fragmentasi doktrinal yang ditimbulkannya, ketergantungan pada interpretasi subjektif, dan ketidakselarasan dengan realitas historis.
Argumen ini menunjukkan bahwa Sola Scriptura bukan hanya cacat teologis, tetapi juga jebakan yang mengundang kekacauan iman, seraya menegaskan pendekatan Katolik yang lebih utuh dan konsisten.

1. Akar dan Makna Sola Scriptura

Sola Scriptura – “hanya Alkitab” – muncul dari Reformasi abad ke-16, dipelopori Martin Luther sebagai reaksi terhadap otoritas Gereja Katolik yang dianggapnya korup. Doktrin ini menegaskan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber otoritas yang tidak dapat keliru, dan semua tradisi atau otoritas lain harus tunduk padanya. Yohanes Adrie Hartopo dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan menjelaskan, “Prinsip penting yang ditegakkan dalam gerakan Reformasi adalah sola Scriptura (hanya percaya kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab yang adalah firman Tuhan, karena hanya Alkitab yang memiliki otoritas tertinggi)” (Hartopo, 2002, hlm. 12).

Namun, Alkitab tidak pernah mengklaim sebagai otoritas tunggal. Sebaliknya, 2 Tesalonika 2:15 menegaskan, “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.” Ayat ini menunjukkan bahwa tradisi lisan apostolik memiliki otoritas setara dengan tulisan. John E. Colwell dalam The Study of the Bible menegaskan, “Paulus dengan jelas mengakui otoritas tradisi lisan sebagai pelengkap Kitab Suci, sebuah fakta yang sering diabaikan oleh pendukung Sola Scriptura” (Colwell, 2006, hlm. 45). Dengan mengabaikan tradisi ini, Sola Scriptura menempatkan Alkitab sebagai idola kertas yang berdiri sendiri, sebuah fondasi yang rapuh untuk iman yang seharusnya hidup dan terhubung dengan warisan apostolik.

2. Fragmentasi Doktrinal: Kekacauan di Bawah Panji Alkitab

Sola Scriptura seolah “menjanjikan” kejelasan “doktrinal”, tetapi yang terjadi justru melahirkan perpecahan yang memalukan. Dengan menjadikan Alkitab sebagai otoritas tunggal, setiap individu atau kelompok merasa berhak menafsirkan teks suci sesuai pemahaman pribadi, menghasilkan ribuan denominasi Protestan yang saling bertentangan. Journal of Ecumenical Studies mencatat, “Sola Scriptura telah menghasilkan lebih dari 30.000 denominasi Protestan, masing-masing mengklaim kebenaran berdasarkan interpretasi Alkitab mereka sendiri, dari doktrin Ekaristi hingga baptisan” (JES, 2019, hlm. 245). Data dari Pew Research Center memperkirakan jumlah denominasi Protestan global mencapai lebih dari 40.000 pada 2020 (Pew Research Center, 2020).

Contoh klasik adalah Temu Wicara Marburg (1529), di mana Luther dan Zwingli gagal menyepakati makna Ekaristi. Luther memegang konsubstansiasi berdasarkan Matius 26:26 (“Inilah tubuh-Ku”), sementara Zwingli menafsirkannya secara simbolis. Alister McGrath dalam Reformation Thought menjelaskan, “Kegagalan Marburg menunjukkan bahwa Sola Scriptura tidak mampu menyatukan umat Kristen, karena teks Alkitab, meskipun otoritatif, memerlukan interpretasi yang otoritatif pula” (McGrath, 2012, hlm. 103). Jika Alkitab begitu jelas, mengapa para reformator sendiri bertikai?

Tuduhan “penyembah buku” menemukan pijakan di sini:
Protestan memuja Alkitab sebagai teks suci, tetapi tanpa otoritas penafsir, mereka terjebak dalam kekacauan doktrinal yang mengguncang fondasi iman mereka.

3. Kontradiksi Internal: Kanon Alkitab dan Ketergantungan pada Tradisi

Sola Scriptura bergantung pada Tradisi Suci yang ditolaknya untuk menentukan kanon Alkitab, sebuah kontradiksi yang mencolok. Alkitab tidak menyediakan daftar kitab-kitab yang terilhami. Kanon Perjanjian Baru pertama kali dirumuskan pada Konsili Roma (382 M) di bawah Paus Damasus I, kemudian dikonfirmasi oleh Konsili Hippo (393 M) dan Carthage (397 M). Everett Ferguson dalam Church History menegaskan, “Kanon Alkitab adalah produk dari Tradisi Suci dan Magisterium Gereja, yang menentukan kitab-kitab mana yang terilhami melalui konsili-konsili seperti Roma dan Carthage” (Ferguson, 2005, hlm. 89). Catholic Answers menambahkan, “Kanon Kitab Suci ditetapkan oleh otoritas Gereja Katolik melalui konsili-konsili pada abad ke-4, termasuk Konsili Roma tahun 382 M, yang menetapkan 27 kitab Perjanjian Baru” (Catholic Answers, 2020).

Ironisnya, Protestan menerima kanon ini, tetapi menolak otoritas Gereja yang menetapkannya. Mark A. Noll dalam The Scandal of the Evangelical Mind menyoroti, “Sola Scriptura secara paradoksikal bergantung pada keputusan Gereja Katolik untuk menentukan kanon, sebuah fakta yang melemahkan klaimnya sebagai otoritas tunggal” (Noll, 1994, hlm. 112). Tanpa Tradisi Suci, bagaimana Protestan bisa yakin bahwa Injil Yohanes lebih sah daripada Injil Thomas? Joseph A. Fitzmyer dalam Scripture and Tradition menegaskan, “Kanon Alkitab adalah hasil dari proses historis yang dipandu oleh Gereja, bukan wahyu langsung dari Alkitab itu sendiri” (Fitzmyer, 1992, hlm. 78).

Sola Scriptura runtuh di bawah kontradiksi ini, memperkuat tuduhan bahwa Protestan memuja Alkitab sebagai benda fisik tanpa menghormati akar historisnya yang berpijak pada Gereja Katolik.

4. Interpretasi Individu: Relativisme di Balik Kedok Otoritas

Sola Scriptura mendorong interpretasi individu, yang berujung pada relativisme doktrinal yang merusak. Luther menyatakan, “Alkitab adalah penafsir bagi Alkitab sendiri, Scriptura sui ipsius interpres” (Theological Studies, 2018). Namun, 2 Petrus 3:16 memperingatkan, “Ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri.” Ayat ini menegaskan bahwa Alkitab membutuhkan otoritas penafsir yang sah, seperti Gereja yang didirikan Kristus (Matius 16:18-19).

Brad S. Gregory dalam The Unintended Reformation menegaskan, “Sola Scriptura telah memunculkan keragaman interpretasi yang tidak terkendali, dari kelompok yang menolak Trinitas hingga yang mempraktikkan poligami, karena tidak adanya otoritas penafsir yang mengikat” (Gregory, 2012, hlm. 97). Journal of Theological Studies menambahkan, “Interpretasi individual yang dipicu Sola Scriptura telah menghasilkan bidah modern seperti Arianisme baru dan teologi kemakmuran” (JTS, 2021, hlm. 156). John T. Ford dalam Theological Studies mencatat, “Ketidakmampuan Sola Scriptura untuk menyediakan kerangka interpretasi yang konsisten telah menyebabkan fragmentasi teologis yang berkelanjutan” (Ford, 2017, hlm. 203).

Tuduhan “penyembah buku” relevan karena Protestan tampak terpaku pada teks Alkitab, tetapi tanpa kompas teologis, mereka tersesat dalam labirin interpretasi subjektif yang melemahkan kesatuan iman.

5. Realitas Historis: Melek Huruf dan Akses Alkitab

Sola Scriptura mengasumsikan akses universal ke Alkitab, tetapi realitas historis membuktikan sebaliknya. Rodney Stark dalam The Rise of Christianity mencatat bahwa tingkat melek huruf pada abad-abad awal Kekristenan hanya sekitar 10-20% (Stark, 1996, hlm. 34). Jika Alkitab adalah satu-satunya otoritas, bagaimana umat Kristen selama 15 abad pertama dapat bertahan tanpa akses langsung ke teks? New Advent Catholic Encyclopedia menegaskan, “Selama berabad-abad, iman Kristen disebarkan melalui tradisi lisan dan pengajaran Gereja, bukan melalui Alkitab yang belum tersedia secara luas” (New Advent, 2019).

Sebelum penemuan mesin cetak Gutenberg (1450-an), Alkitab disalin tangan dan hanya dimiliki oleh gereja atau elit terpelajar. Richard P. McBrien dalam Catholicism menegaskan, “Sola Scriptura mengabaikan fakta bahwa Gereja awal berfungsi tanpa Alkitab yang lengkap, bergantung pada tradisi apostolik untuk menjaga iman” (McBrien, 1994, hlm. 67). Catholic Answers menambahkan, “Gereja Katolik, melalui Tradisi Suci dan pengajaran lisan, memastikan iman tetap hidup sebelum Alkitab dicetak massal” (Catholic Answers, 2020).

Dengan mengabaikan realitas ini, Sola Scriptura menempatkan Alkitab sebagai idola kertas yang tidak relevan bagi mayoritas umat Kristen awal.

6. Pendekatan Katolik: Keseimbangan Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium

Gereja Katolik menawarkan kerangka yang lebih kokoh: Kitab Suci dan Tradisi Suci sebagai dua sumber wahyu yang saling melengkapi, diinterpretasikan oleh Magisterium. Dokumen Konsili Vatikan II, Dei Verbum, menyatakan, “Tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan satu depositum suci Firman Allah, yang dipercayakan kepada Gereja” (DV 10, 1965). Pendekatan ini menghindari literalisme dan subjektivisme, memberikan konsistensi teologis yang telah terbukti selama dua milenium.

Avery Dulles dalam Models of the Church menegaskan, “Tanpa Magisterium, Sola Scriptura mengarah pada anarki teologis, karena setiap individu menjadi otoritas bagi dirinya sendiri” (Dulles, 2002, hlm. 89). Frederick J. Cwiekowski dalam The Beginnings of the Church menambahkan, “Gereja Katolik, melalui Magisterium, menjaga kesatuan iman dengan mengintegrasikan Kitab Suci dan Tradisi, sebuah pendekatan yang telah menjaga Gereja dari perpecahan doktrinal” (Cwiekowski, 1988, hlm. 102).

Tuduhan “penyembah buku” mencerminkan realitas bahwa Protestan sering memuja Alkitab sebagai teks terisolasi, mengabaikan konteks Gereja yang memberi teks itu otoritas dan makna.

Kesimpulan

Sola Scriptura adalah fondasi yang retak, penuh kontradiksi dan konsekuensi yang merusak. Doktrin ini melahirkan fragmentasi doktrinal, bergantung pada Tradisi Suci yang ditolaknya – terutama melalui Konsili Roma (382 M) yang menetapkan kanon Alkitab – dan memicu relativisme melalui interpretasi subjektif. Tuduhan “penyembah buku” bukan sekadar ejekan, tetapi cerminan teologis: dengan mengagungkan Alkitab sebagai otoritas tunggal, Protestan memuja teks sebagai idola kertas, mengabaikan warisan apostolik yang memberi teks itu makna. Pendekatan Katolik, yang mengintegrasikan Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium, menawarkan jalan yang lebih utuh, menjaga iman dari jebakan literalisme, relativisme, dan perpecahan.3

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya