Apologetika dan Iman Kristen
Beberapa orang Katolik tidak suka pada apologetika (dan, juga, kepada para apologis). Mereka secara salah menilai argumentasi apologetik membuat orang menjadi fanatik dan akan merugikan iman itu sendiri. Tapi adalah suatu kesalahan fatal untuk meremehkan apologetik dengan alasan yang seperti ini. Disamping itu, adalah hal yang kontradiktif, ketika kita justru berdebat untuk melarang perdebatan tentang iman.
Kritik terhadap Argumen Keberadaan Tuhan
Orang atheis bisa mengkritik argumen terhadap keberadaan Tuhan, tapi menemukan suatu dugaan kesalahan dalam argumen orang lain tidak berarti telah memberikan bukti terhadap argumennya sendiri. Orang atheis tersebut hanya bisa mengatakan bahwa bukti-bukti yang diketemukannya mengarahkan ia pada kesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Jika ia melangkah lebih jauh dan kemudian dengan berani menyatakan bahwa, “Tuhan tidak ada,” maka ia telah membuat suatu pernyataan iman yang juga tidak memiliki dasar/bukti.
Kalaupun orang atheis memiliki iman, masalahnya di sini bukanlah apakah mereka memiliki iman tapi iman seperti apa yang dimiliki oleh mereka. Iman memiliki dua wujud dasar: iman yang memiliki dasar/alasan dan iman yang buta – iman yang bisa dijelaskan dan iman yang melawan penjelasan/alasan.
Mungkin beberapa orang akan terkejut bila mereka mengetahui bahwa Kristen yang ortodoks sangat tidak setuju dengan iman yang buta – yaitu, menolak untuk mempercayai hal-hal yang tidak masuk akal. Kekristenan Ortodoks memiliki iman yang beralasan. Ini paling tidak memiliki dua arti:
- Prinsip-prinsipnya secara intelektual bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan.
- Penjelasan/alasan/logika pun juga membantu kita untuk melihat bahwa Tuhan sedang berkarya dalam Kekristenan dan bahwa kita sebaiknya juga mempercayainya, meskipun kita tidak bisa, secara tegas mengatakan, memiliki bukti.
Apa Itu Apologetika?
Apologetika, suatu bidang yang memberikan alasan bagi Iman Kristen, berasal dari kata Yunani apologia, yang berarti apologi (maaf). Tentu saja, ini bukan permintaan maaf seperti ketika kita mengucapkan, “Saya minta maaf,” tapi memiliki arti berusaha memberikan alasan/penjelasan untuk membela sesuatu atau seseorang.
Dahulu, istilah apology mengacu kepada seorang pengacara yang sedang mempertahankan kasus dari kliennya. Apologetika adalah salah satu cabang teologi yang berusaha untuk mempertahankan kasus-kasus tentang iman Kristen dengan cara yang rasional, dengan memberikan argumen-argumen untuk membuktikan bahwa Kekristenan itu beralasan/memiliki dasar dan menjawab kritik-kritik melawannya, sama seperti seorang pengacara menyusun pembelaan untuk kliennya.
Meskipun apologetika sebagai sebuah cabang ilmu teologi mengalami penurunan setelah Konsili Vatikan II, namun sekarang apologetika sedang berusaha untuk kembali. Jika bisa dimengerti dan diterapkan dengan baik, maka apologetik bisa benar-benar berguna, terutama dalam paroki evangelisasi dan program katekese.
Tiga Kategori Apologetika
Secara tradisional, para teolog telah membagi apologetika ke dalam tiga kategori:
-
Apologetik Alamiah
Apologetik alamiah mempertahankan kebenaran yang mendasari iman – seperti keberadaan Tuhan, unsur spiritual dari jiwa manusia, realita objektif dari kebenaran dan kesalahan. Kebenaran-kebenaran ini secara alamiah bisa didapatkan dari penjelasan/alasan, karenanya diberi nama apologetik “alamiah”.Dengan cara pandang yang sangat kolot, apologetik alamiah sama sekali bukan apologetik, tetapi hanya salah satu aspek dari filosofi Kristen. Kebenaran yang dikandung adalah kebenaran filosofis, karena dapat dilihat secara manusiawi tanpa memerlukan pengungkapan ilahi. Walaupun dengan bantuan wahyu, kebenaran ini lebih mudah dikenali atau dimengerti dengan lebih jelas. Sehingga apologetika alamiah lebih baik disebut “pra-apologetik,” karena digunakan sebagai dasar berpijak bagi diskusi apologetik.
-
Apologetik Kristen
Apologetik Kristen mengusulkan argumen-argumen yang mendukung kebenaran Kekristenan seperti kebenaran dari keajaiban alkitabiah, ketuhanan Kristus, kebangkitan-Nya, dan sebagainya. -
Apologetik Katolik
Apologetik Katolik menyangkut hal-hal mengenai klaim Gereja Katolik sebagai penerus Kristus dan doktrin-doktrin Katolik seperti kepausan, sakramen-sakramen, Dikandung tanpa Noda (Immaculate Conception), dan sebagainya.
Sebagai contoh, apologetik Kristen menyusun bukti melawan penjelasan-penjelasan yang murni alamiah terhadap Kebangkitan Yesus, seperti ide bahwa para rasul mengambil tubuh Kristus dari makam. Kemudian berusaha mendemonstrasikan, dengan menggunakan sejarah dan logika, bahwa sangat tidak mungkin para rasul akan melakukan kebohongan seperti ini dan kemudian mengalami penyiksaan serta mati karenanya.
Apologetik Katolik, di sisi lain, memperlihatkan kontradiksi dalam doktrin Sola Scriptura – bahwa hanya Alkitab yang menjadi dasar iman bagi orang Kristen. Alkitab tidak pernah mengajarkan Sola Scriptura, sehingga orang Kristen seharusnya tidak percaya pada ajaran ini.
Tidak Perlu Ada Permintaan Maaf
Aneh sekali, bahwa beberapa orang katholik tidak suka pada apologetika (dan, juga, kepada para apologis). Mereka secara salah menilai argumentasi apologetik membuat orang menjadi fanatik dan akan merugikan iman itu sendiri. Mereka bersikeras, bahwa iman, tidak lebih adalah penerimaan kesimpulan yang ditarik dari argument-argument dan bukti-bukti.
Tentu saja, kritik-kritik seperti ini benar – sampai pada tahap tertentu. Iman berada diluar jangkauan argumen/alasan. Iman adalah, kesimpulan akhirnya, merupakan hasil dari rahmat Tuhan, tidak merupakan keberhasilan argumentasi dari seorang apologist. Merupakan pemberian dari Tuhan sehingga bersifat Supernatural. Tapi adalah suatu kesalahan fatal untuk meremehkan apologetik dengan alasan ini. Disamping itu, adalah hal yang kontradiktif, ketika kita justru berdebat untuk melarang perdebatan tentang iman.
Ya, Iman adalah hal yang supernatural – sesuatu yang berada di luar kekuatan manusia. Dan, dengan percaya (iman) sama sekali tidak merusak nature kita sebagai manusia yang berpikir; (pemikiran kita) dibangun diatasnya (iman) untuk menafsirkan penjelasan/alasan sehinga kita bisa mempertimbangkan dan mengerti hal-hal yang berada diatas kekuatan intelektual kita. Ingatlah apa yang dilakukan Sang Perawan yang Diberkati dengan misteri iman yang dialamnya ? Ia “menyimpan segala itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Lukas 2:19). Dengan kata lain, ia menggunakan pikirannya untuk mengerti lebih baik hal-hal yang berada di dalam hatinya, dan kita juga harus melakukan hal yang sama.
Tentu saja, orang yang percaya dan tidak percaya sering melihat suatu hal secara berbeda.
Uskup Fulton Sheen pernah berkata:
“Kamu melihat dengan mata yang sama pada malam dan siang hari, tapi kamu tidak bisa melihat pada malam hari, karena kamu tidak memiliki cahaya matahari. Sama juga demikian, biarkanlah dua pikiran yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama, kapasitas mental yang sama, dan penghakiman yang sama, melihat sebuah Hosti diatas sebuah altar. Satu orang melihat roti, dan yang lain melihat Kristus, tidak, tentu saja, dengan mata daging, tapi dengan mata iman…Jadi perbedaannya terletak pada: yang satu memiliki sinar yang tidak dimiliki oleh yang lain, yaitu sinar iman.”
Tapi cahaya itu sendiri tidak bisa melihat; mata juga diperlukan. Sama juga, cahaya iman memerlukan “mata” yang cerdik, artinya memerlukan pikiran. Apa yang kita mengerti dengan iman paling tidak harus bisa dimengerti oleh pikiran; anda tidak bisa benar-benar mengerti sesuatu jika anda tidak memiliki pengertian dasar terhadap hal tersebut. Dan untuk mengerti, dibutuhkan pemikiran sekaligus juga hati kita. Disamping itu, jika Tuhan sudah bersusah payah untuk meletakkan tanda-tanda kehadiranNya sehingga umat manusia bisa merasakannya – dan Alkitab berkata bahwa ia memang telah meletakkannya (lihat Roma 1) – sehingga akan menjadi sangat tidak hormat jika kita tidak menggunakan akal kita untuk mengenal mereka (tanda-tanda Allah). Tuhan memberikan otak kepada manusia; Ia pasti menginginkan kita untuk menggunakannya. (Dengan cara pandang seperti ini, para apologist bisa mengadopsi perkataan Descartes yang terkenal “Cogito ergo sum” – “Saya berpikir, dengan demikian saya ada” – dan menekankan, “Saya berpikir, dengan demikian Saya telah mempertahankan Iman.”)
Kristus memberikan tugas pada para muridNya untuk mewartakan kabar gembira ke segenap penjuru dunia (Matius 28:19-20; Markus 16:15). Apologetika memainkan peran yang penting dalam membantu kita melaksanakan tugas ini. Dengan kata lain, apologetik adalah sisi lain dari evangelisasi. Evangelisasi artinya mewartakan kebenaran Kristus. Kadangkala kebenaran (Kristus) ini menghasilkan banyak pertanyaan dan keberatan mengenai Iman dalam pikiran orang banyak. Apologetik adalah jawaban bagi keberatan dan pertanyaan-pertanyaan ini, menghilangkan penghalang bagi iman seperti seorang dokter bedah mata, kembali ke analogi pengelihatan kita, mengeluarkan katarak atau halangan pengelihatan lainnya dari mata seorang pasien. Opthamology tidak menganugerahkan pengelihatan, tentu saja, dan demikian juga seorang dokter bedah mata tidak menghasilkan cahaya yang dibutuhkan bagi seorang pasien untuk melihat. Ia hanya menghilangkan halangan untuk melihat, sebaik yang ia mampu.
Demikian juga, dengan seorang apologist. Tugasnya adalah untuk menghilangkan halangan mental yang dialami seseorang terhadap imannya. Ia tidak bisa menghasilkan iman, hanya membantu menghasilkan kondisi yang membuat seseorang bisa percaya. Setelah tugasnya selesai, tugas selanjutnya diserahkan kepada Roh Kudus untuk menyentuh hati dan pikiran orang tersebut untuk percaya.
Applied apologetics
Seseorang bisa berkata, “semuanya baik”.”Tapi bisakan apologetika digunakan di tempat yang diperlukan – misalnya dalam paroki?” Tanpa perlu mengakui bahwa paroki adalah tempat satu-satunya “dimana Apologetika dapat bermanfaat,” ijinkanlah saya mengatakan bahwa apologetika tidak hanya bisa tapi harus digunakan di dalam paroki. Saya akan menuliskan disini dua pendekatan mendasar dari subjek ini. Yang pertama diarahkan agar umat paroki memiliki jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut Iman yang mereka miliki atau dialami. Pendekatan kedua lebih ambisius: untuk melatih umat paroki agar bisa masuk kedalam apologetika itu sendiri.
Tempat yang paling nyata untuk pendekatan pertama adalah lembaga paroki di dunia, dan penanggung jawab utama (walaupun tidak bersifat eksklusif) adalah para romo. Misa hari Minggu menyediakan kesempatan yang sangat baik untuk apologetika, meskipun homili tidak dapat diubah menjadi sebuah kelas apologetik. Ini adalah salah satu alasan mengapa seminari harus mengajarkan apologetik dan menyediakan workshop bagi imam-imam untuk mengembangkan pengetahuan dan keahlian apologetik mereka. Tentu saja, jika para imam tidak dibekali untuk menjelaskan dan mempertahankan Iman Katholik, maka umat parokinya pun sulit diharapkan untuk melakukannya.
Namun demikian presentasi dan pelatihan yang formal tentang apologetik seharusnya tidak dibatasi hanya untuk para imam saja. Program katekese bagi orang dewasa juga, perlu menyediakan sesi apologetik, dengan pembicara-pembicara, yang berasal dari golongan imam atau awam, membahas pertanyaan-pertanyaan formal atau informal tentang Iman. Dan khususnya, apologetik harus menjadi komponen penting bagi program-program RCIA. Sumber informasi yang selalu bertambah – buku-buku, video dan kaset, traktat dan majalah – tersedia bagi para katekumen dalam RCIA untuk belajar tentang Iman Katholik. Material-material seperti ini harus digunakan dalam program-program paroki.
Terakhir, apologetik harus dikembalikan kedalam pengajaran Katholik, di paroki maupun di dalam rumah. Orang muda perlu mendapatkan argumen-argumen untuk mendukung iman mereka, bukan supaya mereka bersikap “defensif” terhadap Katholikisme, kata yang disalah artikan oleh orang-orang kebanyakan, namun supaya mereka bisa maju terus dalam iman yang kuat terhadap kebenaran. Kadang orang muda yang tidak tertarik pada agama bisa ‘diajak’ ketika mereka mengetahui bahwa Iman Katholik memiliki alasan/penjelasan, dan bukan sesuatu yang harus ditelan mentah-mentah.
Pendekatan kedua apologetik di dalam paroki bisa memiliki arti yang luas. Termasuk memberikan latihan bagi umat-umat biasa, melengkapi mereka untuk masuk dalam apologetika dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan membuat suatu formasi umat yang kokoh untuk melakukan evangelisasi. Umat paroki harus diajarkan cara yang benar untuk bertanya kepada orang lain, dan juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka.
Sekarang saya tahu apa yang bisa kita katakan, terutama para romo, tentang hal ini. Mereka yang merasa sulit untuk membuat umat yang biasa-biasa saja untuk mengikuti diskusi apologetik. Membuat mereka berpartisipasi dalam kelas-kelas khusus supaya mereka benar-benar dapat menjadi seorang apologis, seperti yang selalu dikatakan, sekarang bukan menjadi alasan lagi.
Saya ingin menekankan. Saya tidak mengatakan ini adalah hal yang mudah, namun umat kebanyakan atau wanita pun bisa belajar untuk berapologetik. Sebagai seseorang yang telah berbicara mengenai apologetik di beratus-ratus paroki di seluruh negeri, saya tahu bahwa ini bisa dilaksanakan karena memang sudah dilaksanakan di banyak tempat.
Salah satu contoh yang bagus untuk mengilustrasikan pikiran saya. Saya telah mengunjungi Maine untuk melakukan beberapa seminar apologetik, dan saya bertemu di airport dan diantarkan ke paroki oleh seorang Katholik, seorang pengemudi truk, yang hanya memiliki sedikit pendidikan formal. Selama perjalanan, apologist amatir ini, sederhana tapi antusias memperkuat iman, menjelaskan bagaimana ia telah mempelajari theologi para Bapa Gereja. Ia mengetahui argument-argument yang melawan ajaran Gereja dan jawabannya. Lebih dari itu, ia mampu menjelaskan pandangan Katholik dengan kejernihan yang sulit ditandingi oleh theolog-theolog yang terlatih. Pelajaran apologetik telah memberikannya pengertian yang jernih dan kepercayaan yang mendalam tentang Iman dari Gereja.
Pengertian dan kepercayaan yang sama seharusnya dimiliki oleh setiap orang Katholik. Kebenaran yang telah dibukakan oleh Tuhan kepada kita harus digumuli dan menjadi milik kita masing-masing. Kebenaran tersebut diberikan untuk menerangi kita sehingga, pada gilirannya, kita juga bisa menerangi orang-orang lain. Apologetik di dalam paroki bisa membantu misi penerangan ini, meskipun ini bukan satu-satunya sumber cahaya ataupun cara untuk memberikan penerangan.
Pelayan apologetik khusus, akan sangat berguna. Ia tidak bisa ‘membuktikan’ kebenaran keKristenan atau Katholikisme, seperti seorang ahli matematika membuktikan theorema Pitagoras – yang juga bukan menjadi tujuannya. Tapi bisa membantu orang-orang untuk mempelajari iman mereka – orang non Kristen untuk mempertimbangkan Kristus dan Iman Kristen, Kristen non Katholik mempelajari Gereja Katholik, dan orang-orang Katholik mengerti dengan lebih baik apa yang mereka percayai dan mengapa.
Sumber : Apologetics without Apology by Mark Brumley