Analisis Historis Penggunaan Kitab Suci dalam Yudaisme Pra-Septuaginta

By Nugnug (Tim DKC)

43 menit bacaan

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Analisis Historis Penggunaan Kitab Suci dalam Yudaisme Pra-Septuaginta

Periode sebelum penerjemahan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani, yang dikenal sebagai Septuaginta, merupakan era yang mendasar namun sangat kompleks dalam sejarah kitab suci Yahudi. Pencarian untuk “kitab-kitab yang digunakan oleh orang Yahudi sebelum Septuaginta” tampak sederhana, karena berusaha mendefinisikan sebuah kanon pada masa ketika konsep koleksi yang tertutup dan otoritatif masih berkembang. Laporan ini memberikan analisis historis yang komprehensif berdasarkan penemuan arkeologi, bukti tekstual, dan sumber-sumber sastra kuno untuk menerangi lanskap kitab suci Yudaisme Bait Suci Kedua. Laporan ini mengeksplorasi teks-teks inti yang penting bagi kehidupan Yahudi, keberadaan berbagai tradisi tekstual, beragamnya karya non-kanonik yang digunakan, dan proses bertahap yang dilalui Tanakh untuk mencapai bentuk definitifnya. Memahami dunia pra-Septuaginta ini mengungkapkan budaya keagamaan yang dinamis yang didefinisikan bukan oleh daftar kitab yang statis, melainkan oleh keterlibatan yang dinamis dengan teks-teks suci dalam berbagai bentuk dan dengan tingkat otoritas yang berbeda-beda.

Teks Inti: Munculnya Kanon Tripartit

Fondasi kitab suci Yudaisme pra-Septuaginta dibangun atas kumpulan teks-teks otoritatif yang terus bertambah yang menyatu menjadi struktur tripartit yang dikenal sebagai Hukum, Nabi, dan Tulisan-tulisan.

Bukti dari akhir periode Bait Suci Kedua, khususnya tulisan cucu Ben Sira (sekitar 130 SM) dan sejarawan Josephus (sekitar 95 M), membuktikan adanya pembagian tiga bagian ini.

Namun, perkembangan pembagian kanonik ini merupakan proses bertahap yang berlangsung selama berabad-abad, dibentuk oleh pergolakan politik, pengaruh para imam, dan refleksi teologis. Lapisan paling awal dari kumpulan ini, Taurat, atau Pentateukh, mencapai status yang hampir universal sebagai kitab suci jauh lebih awal daripada bagian-bagian lainnya. Sentralitasnya ditegaskan oleh perannya yang krusial dalam reformasi Ezra dan Nehemia pada abad ke-5 SM, di mana pembacaan umum “kitab hukum Musa” menjadi landasan pembaruan nasional dan keagamaan.

Tradisi Rabbinik menempatkan kanonisasi resmi Taurat pada masa Ezra dan Nehemia, atau bahkan lebih awal di bawah Raja Yosia setelah “kitab hukum” ditemukan.

Pada abad ke-4 SM, Taurat sudah menjadi teks yang berwenang, sebagaimana dikutip dalam catatan sejarah seperti 2 Makabe, yang menyebutkan Yudas Makabe mengumpulkan kitab-kitab suci sekitar tahun 167 SM.

Setelah Taurat, kitab-kitab kenabian memperoleh otoritas yang signifikan. Kitab Sirakh, yang ditulis oleh Yeshua bin Sira pada awal abad ke-2 SM, secara eksplisit mengakui otoritas para Nabi terdahulu (Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja-raja) dan para Nabi akhir (Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan Dua Belas Nabi Kecil).

Hal ini menunjukkan bahwa Nevi’im, atau Kitab Nabi, merupakan kumpulan kitab suci yang berbeda dan mapan pada saat itu, kemungkinan besar diselesaikan pada tahun 200 SM.

Bagian terakhir, Kitab-Kitab Suci (Ketuvim), adalah yang paling fleksibel. Meskipun Kitab Mazmur, Amsal, Ayub, dan literatur hikmat sangat dihargai, penyertaan kitab-kitab lain masih diperdebatkan.

Misalnya, Sirakh menghilangkan Rut, Kidung Agung, Ester, dan Daniel dari daftar teks-teks yang dihormati, yang menunjukkan bahwa kanonisitas mereka belum ditetapkan.

Perdebatan terus berlanjut hingga abad pertama Masehi, sebagaimana dibuktikan oleh diskusi para rabi di Yavne (Jamnia) mengenai status buku-buku yang sama ini.

Pernyataan Josephus bahwa tidak ada buku baru yang dapat ditambahkan setelah masa Artaxerxes (akhir abad ke-5 SM) mencerminkan upaya untuk memperbaiki kanon, tetapi cita-cita ini tidak sepenuhnya sejalan dengan realitas praktik juru tulis dan komunal yang sedang berlangsung.

Kanon Ibrani yang terdiri dari 24 kitab, yang terdiri dari Taurat, Nevi’im, dan Ketuvim, kemungkinan lebih mapan daripada yang ditetapkan secara resmi sebelum penghancuran Bait Suci Kedua pada tahun 70 M, dengan Konsili Yavne sering berfungsi sebagai konfirmasi pasca-hoc daripada titik penciptaan.

PEMBAGIAN KANONIK BUKU TERKAIT/PERIODE PENDIRIAN BUKTI UTAMA
Taurat (Hukum) Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan Didirikan sebagai otoritas pada abad ke-5 SM
Nevi’im (Nabi) Yosua, Hakim-Hakim, Samuel, Raja-Raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Dua Belas Dikanonisasi sekitar tahun 200 SM
Ketuvim (Tulisan) Mazmur, Amsal, Ayub, Daniel, dll. Tetap menjadi koleksi yang terbuka dan diperdebatkan hingga abad ke-1 Masehi

Struktur tripartit ini bukan sekadar sistem klasifikasi; struktur ini mewakili berbagai tingkat otoritas dan fungsi kitab suci. Taurat adalah hukum perjanjian yang mendasar, para Nabi menafsirkan sejarah dan etika melalui sudut pandang ilahi, dan Kitab Suci menawarkan hikmat, puisi, dan refleksi tentang iman. Pergeseran dari koleksi berbasis gulungan ke format kodeks, yang memungkinkan kompilasi semua teks Alkitab menjadi satu volume, baru terjadi pada akhir zaman kuno, yang semakin menyoroti sifat segmentasi akses kitab suci selama periode Bait Suci Kedua.

Oleh karena itu, memahami dunia kitab suci pra-Septuaginta membutuhkan apresiasi terhadap kanon yang berlapis dan berkembang ini, yang otoritas utamanya terletak pada Hukum Imamat, sementara tradisi kenabian dan kebijaksanaan berkembang di sampingnya, berkontribusi pada warisan keagamaan yang kaya dan beragam.

Pluriformitas Tekstual: Berbagai Bentuk Alkitab Ibrani

Berlawanan dengan ekspektasi modern akan teks Alkitab yang tunggal dan terstandarisasi, Alkitab Ibrani berada dalam kondisi yang oleh para ahli disebut sebagai “pluriformitas tekstual” sebelum adanya standarisasi.

Penemuan Naskah Laut Mati pada pertengahan abad ke-20 merevolusi pemahaman kita tentang periode ini, mengungkapkan bahwa beberapa versi kitab suci, terkadang sangat berbeda, beredar berdampingan.

Gulungan-gulungan ini, yang ditemukan di gua-gua Qumran dan berasal dari abad ke-3 SM hingga abad ke-1 M, berisi manuskrip dari hampir setiap kitab dalam Alkitab kecuali Ester, yang merupakan salinan tertua dari kitab suci Ibrani yang diketahui.

Analisis perbandingan dari fragmen-fragmen ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun “teks asli” atau “teks Ur” yang menjadi asal muasal semua versi selanjutnya. Sebaliknya, para ahli telah mengidentifikasi beberapa keluarga teks utama, termasuk satu yang akan menjadi dasar Teks Masoret (MT), satu lagi yang tercermin dalam Septuaginta Yunani (LXX), sebuah Pentateukh Samaria (SP) yang unik, dan “jenis-jenis juru tulis Qumran” yang unik.

Keragaman tekstual ini tergambar jelas dengan membandingkan Gulungan Kitab Yesaya Agung (1QIsaa) dari Qumran dengan Teks Masoret standar. Meskipun isinya secara keseluruhan serupa, gulungan Qumran mempertahankan bacaan yang lebih unggul di beberapa bagian dan menunjukkan lapisan linguistik yang berbeda, menunjukkan bahwa MT bukan sekadar salinan dari naskah asli yang “lebih baik”, melainkan salah satu tradisi di antara banyak tradisi.

Perbedaan yang lebih dramatis muncul di kitab-kitab lain. Misalnya, versi LXX dari Kitab Yeremia jauh lebih pendek daripada Kitab Markus, dan tidak memuat bagian-bagian yang ditemukan di pasal 2–4 Kitab Markus.

Demikian pula, LXX dari Kitab Daniel memuat tambahan-tambahan, seperti Doa Azarya dan Nyanyian Tiga Anak Kudus, yang tidak ada dalam teks Ibrani.

Naskah Laut Mati memberikan bukti langsung untuk varian tekstual ini. Dalam Ulangan 32:8, sebuah manuskrip Qumran (4QDeutj) menyebutkan “anak-anak Allah” (bene elim), selaras dengan LXX, sementara MT menyebutkan “anak-anak Israel” ( bene yisrael).

Demikian pula, sebuah fragmen Qumran dari 1 Samuel (4QSama) menyebutkan secara spesifik “satu ekor lembu jantan berumur tiga tahun” sebagai kurban, yang memperjelas ambiguitas “tiga ekor lembu jantan” yang disebutkan dalam MT. Bukti ini dengan tegas membantah anggapan bahwa teks-teks Ibrani pra-Septuaginta bersifat seragam dan menyoroti fluiditas tradisi kitab suci.

Keragaman teks ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan hasil dari praktik penyalinan dan keterbatasan material pada masa itu. Para penyalin bukan sekadar penyalin dalam pengertian modern; mereka adalah penafsir aktif yang terkadang melakukan revisi untuk menyelaraskan bagian-bagian yang paralel atau mengoreksi kesalahan yang dirasakan.

Media fisik juga berperan. Gulungan Alkitab biasanya dibatasi panjangnya sekitar 10 meter, sehingga terdapat pemisahan alami antara buku-buku dan bahkan di dalamnya.

Karya-karya yang lebih panjang sering disalin ke gulungan-gulungan terpisah, yang berarti bahwa teks-teks seperti materi sumber Priestly mungkin telah ditransmisikan sebagai beberapa dokumen. Lebih jauh lagi, praktik “revisi dengan perluasan”, di mana materi baru ditambahkan di akhir gulungan, menghasilkan karya gabungan seperti penambahan pada Kitab Hakim-Hakim dan Kitab Samuel yang muncul kemudian dalam tradisi Masoret.

Bahkan naskah yang digunakan pun beragam; beberapa gulungan Qumran ditulis dalam bahasa Paleo-Ibrani, naskah kuno yang berkaitan dengan periode Bait Suci Pertama, sementara yang lain menggunakan naskah Aram persegi yang umum setelah pembuangan ke Babilonia.

Jaringan tradisi tekstual yang rumit ini menunjukkan bahwa Alkitab Ibrani adalah dokumen yang hidup, yang terus-menerus disalin, direvisi, dan diadaptasi di berbagai komunitas Yahudi jauh sebelum sistem penanda vokal dan peraturan ketat Masoret dikembangkan sekitar abad ke-7 hingga ke-10 Masehi.

Septuaginta sendiri diterjemahkan dari Vorlage Ibrani yang sudah tidak ada lagi, mewakili salah satu cabang dari pohon keluarga tekstual yang kaya dan beragam ini.

Elit Juru Tulis dan Peran Imamat

Transmisi, interpretasi, dan pelestarian teks-teks suci dalam Yudaisme pra-Septuaginta terutama merupakan domain elit juru tulis khusus, yang otoritasnya sangat terkait dengan lembaga keimaman. Bukti arkeologis dan tekstual secara meyakinkan menunjukkan para imam dan orang Lewi sebagai penjaga utama Taurat dan kitab suci lainnya.

Kitab-kitab dalam Alkitab, yaitu Ulangan, Ezra, dan Nehemia, secara konsisten menekankan peran imam dalam mengajarkan hukum dan menafsirkan Kitab Suci bagi masyarakat.

Hecataeus dari Abdera, seorang sejarawan Yunani pada abad ke-3 SM, menggambarkan imam besar sebagai otoritas peradilan dan keagamaan tertinggi, sebuah posisi yang secara inheren mencakup kendali atas teks-teks suci.

Monopoli imamat atas pengetahuan kitab suci ini semakin diperkuat oleh konteks terjemahan Septuaginta. Menurut Surat Aristeas , proyek penerjemahan di Aleksandria ditugaskan oleh seorang imam besar Yahudi dan dilaksanakan oleh tujuh puluh dua cendekiawan, enam dari masing-masing dua belas suku Israel, yang menunjukkan suatu proses yang dikelola dalam kerangka kerja imamat.

Kelas juru tulis, yang sering dikaitkan dengan imamat Harun, melihat anggotanya sebagai orang bijak terpelajar yang mengabdikan diri untuk mempelajari hukum dan kebijaksanaan kuno.

Ben Sira, menulis pada awal abad ke-2 SM, memuji sang juru tulis-bijak sebagai sosok saleh dan mandiri secara finansial yang berdedikasi untuk mempelajari Taurat dan tradisi lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas kepenulisan terpusat di kalangan aristokrat imam, dengan sedikit bukti adanya kelas juru tulis non-imam yang luas sebelum akhir periode Bait Suci Kedua.

Komunitas Qumran, yang diyakini terkait dengan sekte imam seperti Essenes, mencontohkan model ini dengan hierarki yang jelas yang dipimpin oleh para imam Zadokite, yang mengawasi studi Taurat kolektif dan produksi teks-teks sektarian.

Fokus pada lingkaran imam sebagai pusat transmisi kitab suci membantu menjelaskan mengapa teks-teks tertentu, seperti Kitab Yobel, yang menyajikan dirinya sebagai wahyu ilahi yang diberikan kepada Musa di Gunung Sinai, begitu mudah diterima sebagai otoritas oleh beberapa kelompok.

Klaim “torah mi-Sinai” (hukum dari Sinai) semacam itu memberikan bobot yang sangat besar pada sebuah teks, memposisikannya bukan sebagai karya manusia, melainkan sebagai wahyu ilahi yang dilestarikan dalam jalur tradisi yang sah.

Namun, gambarannya tidak sepenuhnya monolitik. Kebangkitan kaum Farisi, meskipun kemudian muncul sebagai gerakan tersendiri, mendorong kesalehan yang didasarkan pada “tradisi para penatua”, yang menunjukkan keterlibatan yang lebih luas dengan Kitab Suci di luar gerbang Bait Suci. Lembaga sinagoge, yang melembagakan pembacaan kitab suci di depan umum, mulai mendesentralisasikan otoritas kitab suci dari Bait Suci.

Namun, bahkan di Diaspora, pengaruh Bait Suci Yerusalem tetap dominan. Di Mesir, misalnya, lembaga-lembaga Yahudi awal yang disebut proseuchai kemungkinan besar merupakan pusat doa dan ritual, alih-alih sinagoge yang berfokus pada kitab suci, yang menekankan kultus kurban sebagai pilar utama identitas Yahudi di luar negeri. Secara bertahap, sinagoge, dengan pembacaan Taurat dan kitab-kitab para Nabi, menjadi tempat utama kehidupan keagamaan Yahudi.

Oleh karena itu, dunia kitab suci pra-Septuaginta didominasi oleh elit imam-juru tulis yang mengendalikan produksi dan penafsiran teks-teks suci, memastikan bahwa garis tradisi resmi mengalir dari Bait Suci di Yerusalem. Otoritas mereka ditantang dari waktu ke waktu, tetapi peran mendasar mereka dalam membentuk korpus kitab suci Yudaisme Bait Suci Kedua tetap tak terbantahkan.

Kitab Suci Sektarian: Teks Non-Kanon yang Digunakan

Meskipun teks-teks inti Taurat, Kitab Para Nabi, dan Kitab Suci membentuk dasar kitab suci Yahudi arus utama, era pra-Septuaginta ditandai oleh meluasnya penggunaan dan penghargaan yang tinggi terhadap sejumlah kitab non-kanonik. Teks-teks ini, yang sekarang dikategorikan sebagai Apokrifa atau Pseudepigrafa, tidak diterima secara universal sebagai bagian dari kanon suci, tetapi tetap dianggap otoritatif, diilhami, atau diwahyukan secara ilahi oleh komunitas-komunitas Yahudi yang signifikan.

Naskah Laut Mati memberikan bukti paling dramatis dari fenomena ini, yang berisi banyak salinan karya-karya seperti Kitab Henokh dan Kitab Yobel.

Komunitas Qumran, khususnya, sangat menjunjung tinggi teks-teks ini. Kitab Yobel, sebuah penceritaan ulang narasi Alkitab dari penciptaan hingga pemberian hukum di Sinai, diklaim sebagai wahyu ilahi yang diberikan kepada Musa di Gunung Sinai.

Komunitas memperlakukan Yubileum sebagai “Taurat”, yang mengikat anggotanya dengan aturan-aturan ketaatan.

Fragmen Kitab Yobel ditemukan di beberapa gua di Qumran, dengan lima belas hingga enam belas salinan ditemukan kembali, menunjukkan tempat sentralnya di perpustakaan mereka.

Demikian pula, Kitab Henokh banyak digunakan dan dihargai oleh kaum sektarian Qumran. Beberapa salinan Kitab Henokh ditemukan di Qumran, dan beberapa cendekiawan mencatat pentingnya kitab ini dalam teologi Eseni.

Meskipun Gereja Ortodoks Ethiopia saat ini menganggap Kitab 1 Henokh sebagai kitab kanonik, sumber-sumber ilmiah yang tersedia menunjukkan bahwa kitab ini tidak pernah dianggap sebagai kitab kanonik secara universal oleh Yudaisme Bait Suci Kedua.

Sebaliknya, penggunaannya oleh kelompok-kelompok seperti Eseni menunjukkan bahwa banyak komunitas Yahudi beroperasi dengan definisi “kitab suci” yang lebih luas daripada kanon Rabbinik yang lebih baru. Karya-karya non-kanonik lain yang ditemukan di Qumran termasuk Perjanjian Dua Belas Leluhur , Gulungan Bait Suci , dan Gulungan Perang.

Gulungan Bait Suci, salah satu manuskrip terpanjang yang ditemukan di Qumran (lebih dari delapan meter), menyajikan dirinya sebagai wahyu ilahi dari Sinai, yang merinci visi utopis tentang bait suci dan masyarakat yang diatur oleh hukum Tuhan.

Komunitas Qumran jelas menganggap teks ini sebagai kitab suci dasar, setara dengan Taurat itu sendiri.

Penerimaan teks-teks ini bervariasi di antara berbagai kelompok Yahudi. Philo dari Alexandria, seorang filsuf Yahudi terkemuka dari abad ke-1 Masehi, menggunakan Pentateukh Yunani dan karya-karya non-kanonik seperti Kebijaksanaan Sulaiman dalam tulisan-tulisan filosofisnya, yang menunjukkan integrasi keduanya ke dalam pemikiran Yahudi Alexandria.

Rabbi Akiva (abad ke-2 Masehi), seorang tokoh kunci dalam Yudaisme Rabbinik, dikatakan telah menggunakan Kitab Sirakh meskipun menentang pembacaan publiknya, yang menunjukkan bahwa ia memberikannya tingkat otoritas yang kurang dari kanonisitas penuh.

Hal ini menunjukkan adanya “kontinum otoritas yang bertahap” dalam Yudaisme Bait Suci Kedua, di mana beberapa teks dianggap sepenuhnya alkitabiah oleh kelompok tertentu, sementara yang lain digunakan untuk kebijaksanaan atau inspirasi tanpa mencapai status yang sama.

Bahkan Dokumen Damaskus, sebuah aturan sektarian dari Qumran, mengutip Kitab Yobel sebagai kitab suci, yang menunjukkan bagaimana karya-karya non-Alkitabiah ini dijalin ke dalam jalinan kehidupan dan kepercayaan masyarakat.

Teks-teks ini, yang seringkali dikaitkan dengan tokoh-tokoh kuno seperti Henokh atau Musa untuk memberikan otoritas, berfungsi sebagai sarana bagi komunitas untuk menafsirkan sejarah mereka sendiri, membenarkan praktik mereka, dan mengartikulasikan visi teologis mereka dengan cara yang melengkapi atau menyimpang dari tradisi kitab suci arus utama.

Kehadiran mereka di perpustakaan kelompok-kelompok seperti Eseni membuktikan bahwa lanskap kitab suci pra-Septuaginta jauh lebih luas dan pluralistik daripada yang tersirat dalam batasan-batasan Alkitab Ibrani modern.

Pengaruh Diaspora dan Penerjemahan Taurat

Kemunculan komunitas-komunitas Yahudi yang besar di luar Yudea, khususnya di dunia Helenistik setelah penaklukan Aleksander Agung, memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran kitab suci Yudaisme Bait Suci Kedua dan secara langsung memicu kebutuhan akan terjemahan Alkitab dalam bahasa Yunani. Penciptaan Septuaginta pada abad ke-3 SM bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan puncak dari tren lama keterlibatan kitab suci dalam bahasa Yunani.

Sebelum penerjemahan resmi seluruh Alkitab Ibrani, komunitas Yahudi berbahasa Yunani telah menghasilkan terjemahan awal Taurat. Kisah penerjemahan ini terkenal dalam Surat Aristeas , yang menggambarkan sebuah komisi dari Ptolemeus II Philadelphus dari Mesir untuk menerjemahkan hukum Yahudi untuk perpustakaannya di Alexandria.

Meskipun historisitas catatan ini masih diperdebatkan, catatan ini menunjukkan adanya proses penerjemahan yang nyata yang berpusat di Alexandria, pusat pembelajaran Yahudi dan budaya Helenistik.

Keputusan untuk menerjemahkan Taurat pertama-tama mencerminkan status dasarnya. Taurat merupakan fondasi identitas dan hukum Yahudi, dan terjemahannya memastikan bahwa prinsip-prinsip perjanjian tersebut dapat diakses oleh sebagian besar orang Yahudi berbahasa Yunani di Diaspora.

Keberhasilan penerjemahan Taurat membuka jalan bagi penerjemahan kanon Alkitab lainnya—Kitab Para Nabi dan Kitab Suci—selama dua abad berikutnya.

Septuaginta, sebutan untuk versi Yunani ini, dengan cepat diterima oleh komunitas Yahudi Aleksandria dan menjadi teks standar. Tokoh-tokoh seperti Philo dari Aleksandria, seorang filsuf abad ke-1 Masehi, menulis banyak komentar tentang LXX, menganggapnya sebagai kitab suci yang berwibawa dan terilhami.

Terjemahan ini sangat berpengaruh sehingga menjadi Perjanjian Lama gereja Kristen awal dan sering dikutip dalam Perjanjian Baru itu sendiri.

Fakta bahwa Septuaginta mencakup buku-buku dan variasi tekstual yang tidak ditemukan dalam Teks Proto-Masoret menggarisbawahi keberadaan tradisi tekstual yang berbeda dan berkembang yang digunakan oleh para penerjemah.

Pengaruh Diaspora melampaui sekadar penerjemahan. Kebutuhan untuk mempertahankan identitas dan praktik Yahudi di luar tanah Israel mendorong lahirnya bentuk-bentuk baru ekspresi keagamaan dan penggunaan kitab suci. Perkembangan sinagoge sebagai pusat doa dan pembacaan kitab suci, yang berbeda dari ritual pengorbanan di Bait Suci, merupakan inovasi kunci dalam pengalaman Diaspora.

Pergeseran ini memberikan penekanan lebih besar pada pembacaan dan pembelajaran Taurat di depan umum, sebuah praktik yang menjadi ciri khas ibadah di sinagoge.

Penerjemahan Taurat ke dalam bahasa Yunani dengan demikian memiliki dua tujuan: menyediakan teks suci bagi dunia berbahasa Yunani, dan membantu memperkuat sentralitas Taurat dalam komunitas Yahudi yang tersebar. Septuaginta merupakan pencapaian monumental bagi kajian Yahudi era Helenistik, menandai momen penting ketika kitab suci Ibrani melintasi batas bahasa dan budaya, yang tidak hanya memengaruhi perkembangan Yudaisme Rabbinik tetapi juga kelahiran Kekristenan. Keberadaannya membuktikan bahwa tradisi kitab suci Yahudi tidaklah statis; ia dinamis, adaptif, dan mampu berinteraksi dengan dunia yang lebih luas.

Kesimpulan: Tradisi Kitab Suci yang Dinamis dan Berkembang

Kesimpulannya, lanskap kitab suci Yudaisme sebelum Septuaginta bukanlah entitas yang tetap dan monolitik, melainkan lingkungan yang dinamis dan cair yang dicirikan oleh seperangkat teks inti yang otoritatif, keragaman tekstual yang mendalam, dan penggunaan aktif beragam karya non-kanonik. Analisis historis menunjukkan bahwa konsep kanon tertutup berkembang perlahan selama berabad-abad. Taurat ditetapkan sebagai hukum dasar pada abad ke-5 SM, diikuti oleh para Nabi yang memperoleh status kanonik pada abad ke-2 SM, sementara Kitab Suci tetap menjadi subjek perdebatan dan variasi hingga akhir periode Bait Suci Kedua.

Penemuan Naskah Laut Mati telah membuktikan bahwa berbagai tradisi tekstual Alkitab Ibrani hidup berdampingan, menantang gagasan tentang satu teks asli yang murni dan menyoroti tahap “pluriform” dalam sejarah Alkitab.

Lebih jauh lagi, periode ini ditandai oleh pengaruh signifikan dari elit imam-juru tulis yang mengendalikan transmisi kitab suci, memastikan kelangsungan tradisi yang berakar di Bait Suci di Yerusalem.

Pada saat yang sama, gerakan sektarian yang kuat seperti kaum Eseni di Qumran memanfaatkan dan menghormati teks-teks non-kanonik seperti Kitab Yobel dan 1 Henokh, menunjukkan pemahaman yang luas dan fleksibel tentang apa yang merupakan literatur suci.

Seluruh usaha kitab suci pada dasarnya diubah oleh penerjemahan Taurat ke dalam bahasa Yunani, sebuah respons terhadap kebutuhan Diaspora Helenistik yang menghasilkan Septuaginta.

Karya agung ini tidak hanya membuat kitab suci Ibrani dapat diakses oleh jutaan orang, tetapi juga menciptakan tradisi tekstual baru yang berpengaruh yang akan membentuk arah agama Barat. Pada akhirnya, sejarah kitab suci Yahudi sebelum Septuaginta adalah kisah tentang perkembangan yang dinamis, adaptasi, dan ekspresi yang beragam, yang meletakkan dasar penting bagi tradisi-tradisi keagamaan berikutnya.

Kanonisasi

Berikut adalah penjelasan mendalam mengenai proses kanonisasi kitab-kitab yang digunakan bangsa Yahudi sebelum munculnya Septuaginta , disusun secara historis dan teologis untuk memahami bagaimana kitab-kitab suci Yahudi terbentuk sebelum abad ke-3 SM, saat Septuaginta mulai diterjemahkan.

Pengantar: Apa Itu Kanonisasi?

Kanonisasi adalah proses di mana sebuah komunitas agama menentukan kitab-kitab mana yang dianggap suci, otoritatif, dan diilhami oleh Tuhan . Dalam konteks Yahudi, proses ini tidak terjadi sekaligus, melainkan bertahap selama ratusan tahun, terutama pada masa Periode Kedua (Second Temple Period) , yaitu sekitar 516 SM hingga 70 M.

Sebelum Septuaginta (terjemahan Alkitab Ibrani ke bahasa Yunani yang dimulai sekitar 280–250 SM), proses kanonisasi sudah berjalan , tetapi belum selesai. Kitab-kitab yang kemudian membentuk Tanakh (Taurat, Nabi-nabi, dan Kitab-kitab Suci) masih dalam tahap pengumpulan, penerimaan, dan pengakuan oleh komunitas Yahudi.

1. Tahap Pertama: Kanonisasi Taurat (Torah) – Abad ke-5 SM

Kitab yang paling awal dikanonkan adalah Taurat (Pentateuch) , yaitu lima kitab pertama Alkitab:

  • Kejadian
  • Keluaran
  • Imamah
  • Bilangan
  • Ulangan

Bukti Historis:

  • Kitab Ezra dan Nehemia (abad ke-5 SM) mencatat bahwa Ezra membaca “Kitab Taurat Musa” di hadapan seluruh rakyat Yehuda (Nehemia 8:1–8).
  • Peristiwa ini menunjukkan bahwa Taurat sudah dianggap otoritatif dan suci pada masa itu.
  • Taurat menjadi dasar hukum, identitas nasional, dan kehidupan keagamaan umat Yahudi setelah pembuangan ke Babel (586 SM).

Kapan Dikanonkan?

  • Banyak sarjana berpendapat bahwa Taurat telah dikodifikasikan sekitar abad ke-5 SM, mungkin di bawah kepemimpinan Ezra.
  • Taurat dianggap sebagai perjanjian antara Allah dan Israel, sehingga memiliki otoritas tertinggi.

Kesimpulan : Taurat sudah menjadi kitab suci yang diterima secara luas sebelum Septuaginta muncul.

2. Tahap Kedua: Kitab Nabi-nabi (Nevi’im) – Abad ke-4 hingga 2 SM

Setelah Taurat, kitab-kita berikutnya yang mulai diakui adalah Kitab Nabi-nabi (Nevi’im) , yang mencakup dua:

  • Nabi-nabi Awal : Yosua, Hakim-hakim, 1–2 Samuel, 1–2 Raja-raja
  • Nabi-nabi Akhir : Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan Dua Belas Nabi Kecil

Bukti Penerimaan:

  • Kitab Sirakh (Ekklesiastikus), ditulis oleh Ben Sirakh sekitar 180 SM, menyebutkan nama-nama nabi dan kitab mereka, menunjukkan bahwa kitab-kitab ini sudah dikenal dan dihormati .
  • 1 Makabe dan 2 Makabe (abad ke-2 SM) sering Merujuk pada perbuatan nabi dan hukum Tuhan, menunjukkan bahwa nubuatan dianggap bagian dari tradisi suci.

Apakah Sudah Dikanonkan Sebelum Septuaginta?

  • Sebagian besar kitab Nabi-nabi sudah diterima sebagai otoritatif sebelum 200 SM, meskipun belum ada daftar resmi.
  • Septuaginta menerjemahkan kitab Nabi-nabi setelah Taurat, menunjukkan bahwa kitab-kitab ini sudah dianggap penting.

Kesimpulan : Kitab Nabi-nabi sedang dalam proses kanonisasi dan sebagian besar sudah diakui sebelum atau pada awal masa Septuaginta.

3. Tahap Ketiga: Kitab-kitab Suci (Ketuvim) – Masih dalam Proses

Bagian terakhir dari Tanakh adalah Ketuvim (Tulisan) , yang mencakup:

  • Mazmur
  • Amsal
  • Ayub
  • Kidung Agung
  • Kebiasaan
  • Pengkhotbah
  • Ester
  • Daniel
  • Ezra-Nehemia
  • 1–2 Tawarikh
  • Ester

Status Sebelum Septuaginta:

  • Beberapa kitab seperti Mazmur, Amsal, dan Ayub sudah dihormati karena nilai sastra dan spiritualnya.
  • Namun, beberapa kitab masih diperdebatkan , misalnya:
    1. Kidung Agung : Apakah metafora cinta bisa dianggap suci?
    2. Pengkhotbah : Gaya filosofisnya membuat sebagian ragu.
    3. Ester : Tidak menyebut nama Allah, sehingga statusnya ditanyakan.
    4. Daniel : Ditulis dalam bentuk apokaliptik (nubuatan akhir zaman), dan gayanya lebih baru (abad ke-2 SM).

Bukti dari Kitab Sirakh:

Ben Sirakh tidak menyebut nama Daniel , Ester, atau Rut, yang menunjukkan bahwa kitab-kitab ini belum dianggap kanonik pada masa itu.

Kesimpulan: Ketuvim belum sepenuhnya dikanonkan sebelum Septuaginta. Prosesnya masih berlangsung.

4. Peran Septuaginta dalam Proses Kanonisasi

Septuaginta tidak menciptakan kanon, tetapi mencerminkan kitab-kitab yang sedang digunakan oleh umat Yahudi di diaspora (terutama di Aleksandria, Mesir).

Septuaginta mencakup lebih banyak kitab daripada Tanakh Ibrani, termasuk:

  • Tobit
  • Yudit
  • 1–2 Makabe
  • Sirakh
  • Baruk
  • Tambahan dalam kitab Daniel dan Ester

Hal ini menunjukkan bahwa komunitas Yahudi di luar Yudea memiliki pandangan yang lebih luas tentang kitab suci dibandingkan dengan tradisi Yerusalem.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kanonisasi

  1. Otoritas Penulis : Kitab yang dikaitkan dengan tokoh besar seperti Musa, Daud, atau para nabi lebih mudah diterima.

  2. Bahasa dan Gaya : Kitab dalam bahasa Ibrani klasik lebih dihargai daripada yang dalam bentuk Aram atau gaya baru.

  3. Konsistensi dengan Taurat : Kitab harus selaras dengan ajaran Taurat.

  4. Penggunaan dalam Ibadah : Kitab yang dibaca dalam ibadah (seperti Mazmur) lebih cepat diterima.

  5. Dukungan dari Pemimpin Agama : Imam besar, para ahli Taurat, dan kelompok seperti Saduki dan Farisi mempengaruhi proses ini.

Ringkasan Proses Kanonisasi Sebelum Septuaginta

KITAB STATUS SEBELUM SEPTUAGINTA KETERANGAN
Taurat (Torah) Sudah dikanonkan Diakui sebagai hukum suci sejak abad ke-5 SM
Nevi’im (Nabi-nabi) Sedang diterima Sebagian besar diakui, terutama Nabi-nabi Awal
Ketuvim (Tulisan) Masih dalam proses Beberapa diterima (Mazmur), beberapa diperdebatkan (Ester, Daniel)

Catatan Penting: Tidak Ada “Sidang Resmi” pada Masa Ini

  • Tidak ada bukti bahwa Konsili Yabne (Jamnia) pada abad ke-1 M (setelah kehancuran Bait Suci tahun 70 M) adalah tempat pertama kali kanon ditentukan.

  • Proses kanonisasi sudah berjalan sejak abad ke-5 SM, dan Septuaginta (abad ke-3–2 SM) adalah bukti bahwa banyak kitab sudah dianggap suci.

  • Yabne hanya mengonfirmasi apa yang sudah diterima secara luas oleh umat Yahudi.

Kesimpulan

Sebelum Septuaginta muncul:

  • Taurat sudah menjadi kitab suci yang diterima secara universal.

  • Kitab Nabi-nabi sedang dalam proses penerimaan dan sebagian besar dianggap otoritatif.

  • Kitab-kitab Suci (Ketuvim) masih dalam tahap evaluasi, dengan beberapa kitab belum diterima secara luas.

  • Proses kanonisasi adalah evolusi bertahap, bukan keputusan seketika.

  • Septuaginta bukan penyebab kanonisasi, tetapi cerminan dari kitab-kitab yang sedang digunakan oleh umat Yahudi, terutama di diaspora.

Dengan demikian, pada masa sebelum Septuaginta, umat Yahudi sudah memiliki inti kitab suci (Taurat dan Nabi-nabi), tetapi kanon lengkap Tanakh belum sepenuhnya terbentuk.

Sebelum munculnya Septuaginta (terjemahan Alkitab Ibrani ke bahasa Yunani, abad ke-3–2 SM), bangsa Yahudi tidak memiliki satu nama resmi seperti “Alkitab” atau “Perjanjian Lama”, karena konsep kanon tertutup (daftar kitab suci yang tetap) belum sepenuhnya terbentuk. Namun, mereka sudah mengenal dan menggunakan sejumlah kitab suci yang kemudian menjadi bagian dari Tanakh (sebutan Ibrani untuk Alkitab Perjanjian Lama).

Berikut adalah nama-nama kitab-kitab yang digunakan oleh bangsa Yahudi sebelum Septuaginta, disusun berdasarkan tiga bagian utama Tanakh, yaitu:

1. Taurat (Torah / Hukum)

Juga disebut “Kitab Musa” atau “Pentateuch” (lima kitab pertama). Merupakan bagian paling otoritatif dan paling awal dikanonkan.

NAMA IBRANI NAMA INDONESIA NAMA YUNANI (DALAM SEPTUAGINTA)
Bereshit Kejadian Γένεσις (Genesis)
Shemot Keluaran Keluaran (Exodus)
Vayikra Imamat Λευϊτικόν (Leuitikon)
Bamidbar Bilangan Ἀριθμοί (Arithmoi)
Devarim Ulangan Δευτερονόμιον (Ulangan)

Status sebelum Septuaginta: Sudah diakui sebagai kitab suci dan otoritatif sejak abad ke-5 SM (masa Ezra dan Nehemia).

2. Nabi-nabi (Nevi’im)

Dibagi menjadi Nabi-nabi Awal (sejarah teologis) dan Nabi-nabi Akhir (nubuatan).

A. Nabi-nabi Awal (Former Prophets)

NAMA IBRANI NAMA INDONESIA CATATAN
Yehoshua Yosua Kisah masuk Kanaan
Shoftim Hakim-hakim Era para hakim
Shemuel 1 dan 2 Samuel Samuel, Saul, Daud
Melakhim 1 & 2 Raja-raja Daud Kerajaan hingga pembuangannya

Dalam Septuaginta, kitab ini diterjemahkan sebagai Ἰησοῦς (Iesous) , Βασιλειῶν (Basileiōn) , dll.

B. Nabi-nabi Akhir (Latter Prophets)

NAMA IBRANI NAMA INDONESIA NAMA YUNANI
Yeshayahu Yesaya Ἠσαΐας (Esaias)
Yirmeyahu Yeremia Ἰερεμίας (Ieremias)
Yehezkiel Yehezkiel Ἰεζεκιήλ (Iezekiēl)
Trei Asar Dua Belas Nabi Kecil Δώδεκα (Dōdeka – “Dua Belas”)
→ Termasuk: Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi    

Status sebelum Septuaginta : Sudah dihormati sebagai nubuatan ilahi, terutama oleh abad ke-2 SM (terbukti dari Kitab Sirakh).

3. Kitab-kitab Suci (Ketuvim / Tulisan)

Bagian ini paling beragam dan paling lambat dikanonkan. Beberapa sudah dihormati, tetapi belum semua dianggap “suci” secara universal.

NAMA IBRANI NAMA INDONESIA JENIS KITAB STATUS SEBELUM SEPTUAGINTA
Tehillim Mazmur Pujian Sudah dihormati (sering dikutip)
Mishlei Amsal Hikmat Diakui sebagai Hikmat Daud/Salomo
Iyov Ayub Drama rohani Dihargai, tapi gaya filosofis
Shir HaShirim Kidung Agung Puisi cinta Diperdebatkan (metafora cinta)
Ruth Ruth Narasi Diakui, tapi tidak selalu dianggap suci
Eikhah Ratapan Puisi duka Dikaitkan dengan Yeremia
Qohelet Pengkhotbah Filsafat Gaya skeptis, diperdebatkan
Ester Ester Narasi sejarah Tidak menyebut nama Allah, status diragukan
Daniel Daniel Apokaliptik Ditulis abad ke-2 SM, gaya baru
Ezra-Nehemia Ezra-Nehemia Sejarah Dianggap penting, tapi bukan nubuatan
Divrei HaYamim 1 & 2 Tawarikh Sejarah Diterima, tapi ditulis akhir

Catatan :

  • Kitab Sirakh (180 SM) menyebut Mazmur, Amsal, Ayub, dan nabi-nabi, tapi tidak menyebut Ester, Daniel, atau Kidung Agung → menunjukkan belum semua diterima sebagai kanonik.

  • Daniel mungkin belum dianggap “nabi” saat Septuaginta pertama kali diterjemahkan, karena gayanya apokaliptik dan ditulis lebih baru.

Kitab-kitab Lain yang Digunakan (Non-Kanonik, tapi Diakui)

Sebelum Septuaginta, beberapa kitab di luar Tanakh juga digunakan, terutama oleh kelompok tertentu seperti Essene di Qumran:

NAMA KITAB BAHASA ASLI STATUS CATATAN
1 Henokh (Enoch) Aram/Geez Tidak kanonik Ditemukan di Qumran, dihormati oleh Essene
Tobit Aram/Ibrani Apokrif Digunakan di diaspora
Yudit Aram Apokrif kisah pahlawan perempuan
Sirakh (Ekklesiastikus) Ibrani Hikmat Ditulis Ben Sirakh, dihormati tapi tidak kanonik
Yubile Ibrani Pseudo-toras Diterima oleh Essene sebagai “wahyu Sinai”
1 Makabe Ibrani Sejarah Ditulis setelah masa ini, tapi mencatat tradisi

Septuaginta mencakup banyak kitab ini, menunjukkan bahwa komunitas Yahudi di diaspora (seperti Aleksandria) memiliki pandangan yang lebih luas tentang kitab suci dibandingkan Yerusalem.

Nama Kolektif untuk Kitab-kitab Ini Sebelum Septuaginta

Bangsa Yahudi belum memiliki satu nama seperti “Alkitab”, tetapi mereka menggunakan beberapa istilah untuk Merujuk pada kitab-kitab suci:

  1. “Torah dan Nabi-nabi” (תורה ונביאים) → Merujuk pada dua bagian utama yang sudah diakui (Yesus juga menggunakan istilah ini, Lukas 24:44).

  2. “Kitab Suci” (הכתובים – HaKetuvim ) → Istilah umum untuk teks-teks suci.

  3. “Kitab Hukum Musa dan Kitab Nabi-nabi” (2 Tawarikh 25:4; Lukas 24:44) → Menunjukkan Pembagian tiga bagian yang sedang berkembang.

  4. “Miqra” (מקרא – “yang dibacakan”) → Menekankan fungsi kitab suci sebagai teks yang dibaca dalam ibadah .

Kesimpulan: Daftar Kitab yang Sebelum Digunakan Septuaginta

KATEGORI KITAB-KITAB YANG SUDAH DIGUNAKAN
Taurat (Torah) Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan
Nevi’im (Nabi-nabi) Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Dua Belas Nabi
Ketuvim (Tulisan) Mazmur, Amsal, Ayub, Ratapan, Pengkhotbah (dengan kejadian), Kidung Agung, Rut, Ester (dengan keraguan), Daniel (baru muncul)
Lainnya (Apokrif/Pseudepigrapha) Sirakh, Tobit, 1 Henokh, Jubile (digunakan oleh kelompok tertentu)

Kesimpulan utama : Sebelum Septuaginta, Taurat dan Nabi-nabi sudah diakui sebagai otoritatif, sementara Kitab-kitab Suci (Ketuvim) masih dalam proses penerimaan, dan beberapa kitab di luar Tanakh juga digunakan secara luas, terutama di diaspora.

Proses kanonisasi belum selesai, tetapi inti kitab suci Yahudi sudah terbentuk sebelum abad ke-3 SM.

Berikut adalah penjelasan komprehensif mengenai siapa penulis kitab-kitab tersebut, berdasarkan tradisi Yahudi-Kristen, kritik alkitabiah modern, dan bukti sejarah.

1. Taurat (Torah / Pentateuch)

(Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan)

A. Pandangan Tradisional: Musa sebagai Penulis

  • Yahudi dan Kristen kuno meyakini bahwa Musa (Moses) adalah penulis utama Taurat.
  • Kitab Suci sendiri menyebut bahwa Musa menulis hukum Tuhan (Keluaran 24:4; Ulangan 31:9, 24).
  • Yesus menyebut “Kitab Musa” (Markus 12:26), menunjukkan pengakuan akan otoritas Musa. Nama tradisional: Musa

B. Pandangan Kritik Modern: Teori Sumber (JEDP)

Sarjana modern (terutama sejak abad ke-18) berpendapat bahwa Taurat bukan hasil tulisan satu orang, tetapi kompilasi dari beberapa sumber yang berbeda, disusun selama ratusan tahun.

SUMBER CIRI KHAS KEMUNGKINAN PENULIS/PENYEBAR
J (Yahwist) Gunakan nama YHWH (TUHAN) sejak Kejadian 2; gaya naratif Penulis Yudea (Selatan), abad ke-10–9 SM
E (Elohist) Gunakan Elohim sampai Keluaran 3; lebih formal Penulis Israel (Utara), abad ke-9–8 SM
D (Deuteronomist) Hanya dalam Ulangan; fokus pada hukum & perjanjian Imamat Yerusalem, abad ke-7 SM (masa Yosia)
P (Priestly) Gaya kering, ritual, silsilah; gunakan Elohim Imamat (Zadok), abad ke-6–5 SM (pembuangan Babel)

Penulis sebenarnya: Tidak diketahui secara pasti, tetapi para imam, nabi, dan penulis kerajaan dari berbagai generasi.

Proses: Sumber-sumber ini digabungkan oleh penyunting (redaktor) selama abad ke-6 hingga 5 SM.

Kesimpulan moderat:

Musa menerima wahyu dari Allah, tetapi bentuk akhir Taurat disusun oleh para imam dan penulis setelahnya, berdasarkan tradisi yang berasal dari Musa.

2. Kitab Nabi-nabi (Nevi’im)

A. Nabi-nabi Awal (Former Prophets)

(Yosua, Hakim-hakim, 1–2 Samuel, 1–2 Raja-raja)

  • Tidak ditulis oleh tokoh dalam kitab, tapi oleh penulis anonim yang merekam sejarah dari perspektif nubuatan.

  • Dikenal sebagai “Sekolah Nabi” atau “Teologi Deuteronomistik”, karena gaya dan teologi yang konsisten (fokus pada ketaatan terhadap Taurat).

Penulis: Penyusun Deuteronomistik (Dtr), mungkin nabi atau imam seperti Samuel, Natan, atau imam sezaman Yeremia.

Periode: Ditulis/diedit antara abad ke-7 hingga 6 SM.

B. Nabi-nabi Akhir (Latter Prophets)

KITAB PENULIS TRADISIONAL KRITIK MODERN
Yesaya Nabi Yesaya (abad ke-8 SM) Yesaya 1–39: Yesaya; Yesaya 40–55: “Deutero-Yesaya” (di Babel); Yesaya 56–66: “Trito-Yesaya”
Yeremia Nabi Yeremia (abad ke-6 SM) Ditulis oleh Yeremia, tetapi diedit oleh Baruk (muridnya)
Yehezkiel Nabi Yehezkiel (pembuangan Babel) Kemungkinan ditulis oleh Yehezkiel sendiri atau muridnya
Dua Belas Nabi Kecil Hosea, Yoel, Amos, dll. Masing-masing nabi dianggap penulis kitabnya, meski ada redaksi lanjutan

Penulis umum: Para nabi, tetapi diedit dan dikumpulkan oleh murid atau imam.

3. Kitab-kitab Suci (Ketuvim / Writings)

KITAB PENULIS TRADISIONAL CATATAN KRITIK
Mazmur Daud (sebagian besar) Beberapa disebut “milik Daud”, tetapi ditulis oleh banyak penulis (Asaf, Korah, Salomo, dll)
Amsal Salomo, Agur, Lemuel Koleksi hikmat dari berbagai sumber
Ayub Tidak diketahui Karya sastra kuno, mungkin dari tradisi Edom atau Yudea
Kidung Agung Salomo Gaya puisi cinta, mungkin simbolik perjanjian Allah-umat
Rut Tradisi: Samuel Narasi tanpa menyebut penulis; gaya mirip Deuteronomistik
Pengkhotbah Salomo Ditulis dalam nama Salomo, tetapi gaya filsafat menunjukkan abad ke-3 SM
Ester Tidak diketahui Mungkin oleh imam atau penulis di Persia
Daniel Nabi Daniel (abad ke-6 SM) Gaya apokaliptik dan bahasa menunjukkan ditulis abad ke-2 SM (masa Antiokhus IV)
Ezra-Nehemia Ezra dan Nehemia Mungkin ditulis oleh penulis kronikler, sama dengan 1–2 Tawarikh
1–2 Tawarikh Penulis Kronikler (tidak diketahui) Ditulis setelah pembuangan, fokus pada Bait Suci dan imamat

Penulis umum: Campuran tokoh sejarah dan penulis anonim, banyak hasil kompilasi dan redaksi oleh imam dan penulis suci.

4. Kitab-kitab Lain (Apokrif & Pseudepigrapha)

Yang digunakan oleh beberapa komunitas Yahudi sebelum Septuaginta:

KITAB DIKLAIM PENULIS PENULIS SEBENARNYA
Sirakh (Ekklesiastikus) Ben Sirakh (abad ke-2 SM) Ya, ditulis oleh Ben Sirakh, cucu penulisnya menerjemahkan ke Yunani
1 Henokh Nabi Henok (keturunan Adam) Ditulis oleh beberapa penulis anonim abad ke-3–2 SM
Tobit Tobit (tokoh dalam kitab) Fiksi religius, penulis tidak diketahui
Jubile Musa (diklaim sebagai wahyu dari Sinai) Ditulis oleh seorang imam sezaman Makabe, abad ke-2 SM
1 Makabe Seorang Yahudi Yudea Ditulis setelah peristiwa, mungkin oleh pendukung Hasmoni

Penulis: Anonim atau pseudonim (menggunakan nama tokoh kuno untuk memberi otoritas).

Ringkasan: Siapa Penulis Kitab-kitab Sebelum Septuaginta?

KITAB PENULIS TRADISIONAL PENULIS MENURUT KRITIK MODERN
Taurat Musa Redaktor dari sumber J, E, D, P (imam & nabi)
Yosua–Raja-raja Yosua, Samuel, dll. Penyusun Deuteronomistik (anonim)
Yesaya–Maleakhi Para nabi Para nabi + murid/imam yang mengedit
Mazmur, Amsal, dll. Daud, Salomo Berbagai penulis, dikompilasi
Ezra–Tawarikh Ezra, Nehemia Penulis Kronikler (anonim)
Apokrif (Sirakh, Henokh, dll.) Tokoh kuno Penulis anonim abad ke-3–2 SM

Kesimpulan

  1. Tidak ada satu penulis tunggal untuk seluruh kitab suci sebelum Septuaginta.
  2. Penulisan terjadi selama 800–1000 tahun (dari abad ke-12 hingga 2 SM).
  3. Penulisnya adalah campuran:
    • Tokoh besar seperti Musa, Daud, Salomo, para nabi,
    • Tetapi juga penulis anonim, imam, guru hikmat, dan penyunting.
  4. Banyak kitab adalah hasil redaksi dan kompilasi, bukan tulisan orisinal satu orang.
  5. Nama penulis sering digunakan secara tradisional untuk memberi otoritas, meskipun penulis sebenarnya tidak diketahui.

Yang lebih penting dari siapa penulisnya adalah keyakinan bahwa kitab-kitab ini adalah wahyu ilahi, disampaikan melalui manusia, dan diilhami oleh Allah — seperti dikatakan dalam 2 Timotius 3:16:

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat…”

Dengan demikian, penulisnya mungkin manusia anonim, tetapi otoritasnya dianggap berasal dari Allah.

Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai tulisan dan bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab Yahudi sebelum munculnya Septuaginta (abad ke-3 SM), mencakup perkembangan aksara (tulisan), bahasa utama, serta pergeseran linguistik yang terjadi selama Periode Kedua (Second Temple Period).

1. Bahasa yang Digunakan

Sebelum Septuaginta, kitab-kitab suci Yahudi ditulis dalam beberapa bahasa, tergantung pada periode, konteks, dan jenis teks.

A. Bahasa Ibrani Klasik (Biblical Hebrew)

  1. Bahasa utama dari sebagian besar Kitab Suci Perjanjian Lama.
  2. Digunakan terutama dalam:
    • Taurat (Pentateuch)
    • Kitab Nabi-nabi (Nevi’im)
    • Sebagian besar Kitab-kitab Suci (Ketuvim) seperti Mazmur, Amsal, Yosua, Raja-raja.

Ciri-ciri:

  • Gaya bahasa kuno, puitis, dan formal.
  • Dikenal sebagai Ibrani Perjanjian Lama atau Ibrani Klasik.
  • Digunakan secara luas dari abad ke-10 hingga abad ke-5 SM.

Contoh:

“Berawalah Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kejadian 1:1)

Dalam Ibrani: בְּרֵאשִׁית בָּרָא אֱלֹהִים אֵת הַשָּׁמַיִם וְאֵת הָאָרֶץ

B. Bahasa Aram (Imperial Aramaic)

  1. Menjadi bahasa umum (lingua franca) di Timur Dekat kuno setelah kerajaan Asyur dan Babel.
  2. Digunakan secara luas selama pembuangan ke Babel (586 SM) dan setelahnya.
  3. Beberapa bagian Kitab Suci ditulis dalam Aram:

Kitab-kitab atau bagian yang menggunakan Aram:

KITAB BAGIAN ALASAN
Daniel Daniel 2:4 – 7:28 Kisah tentang nabi di istana Babel/Persia
Ezra Ezra 4:8 – 6:18; 7:12–26 Surat resmi dari pemerintah Persia
Yeremia Yeremia 10:11 Satu ayat dalam Aram (peringatan kepada bangsa asing)
Tobit (Apokrif) Sebagian besar Ditulis dalam Aram atau diterjemahkan dari Aram

Catatan:

Bahasa Aram tidak menggantikan Ibrani, tetapi digunakan untuk komunikasi resmi, diplomasi, dan dalam konteks diaspora.

C. Bahasa Ibrani Pasca-Klasik (Late Biblical Hebrew)

  1. Gaya Ibrani yang lebih baru, muncul setelah pembuangan (abad ke-5–2 SM).
  2. Digunakan dalam kitab-kitab yang ditulis lebih akhir:
    • Ester
    • Pengkhotbah (Qohelet)
    • Kidung Agung
    • 1–2 Tawarikh
    • Ezra–Nehemia

Ciri-ciri:

  • Pengaruh kosakata dari Aram dan Persia.
  • Struktur kalimat lebih sederhana.
  • Menunjukkan evolusi bahasa Ibrani.

Contoh:

Kata “patshegen” (نموذج) dalam Ester 2:8 adalah pinjaman dari bahasa Persia, menunjukkan pengaruh budaya luar.

2. Tulisan (Aksara) yang Digunakan

A. Aksara Ibrani Kuno (Paleo-Hebrew Script)

  • Aksara tertua yang digunakan bangsa Ibrani, turunan dari aksara Kanaan.
  • Mirip dengan aksara Fenisia.
  • Digunakan dari sekitar abad ke-10 SM hingga abad ke-5 SM.

Bukti arkeologis:

  • Prasasti Siloam (abad ke-8 SM) – ditulis dalam Ibrani kuno.
  • Ostracon (pecahan tembikar) dari Lakhis dan Arad.
  • Koin Yehuda kuno.

Catatan penting:

  • Orang Samaritan terus menggunakan aksara ini hingga hari ini.
  • Di gulungan Laut Mati, beberapa naskah (terutama Taurat) ditulis dalam Paleo-Hebrew, menunjukkan penghormatan terhadap bentuk kuno.

B. Aksara Aram (Square Script / Ketav Ashuri)

  • Aksara persegi yang berasal dari tulisan Aram, digunakan oleh kerajaan Asyur, Babel, dan Persia.
  • Mulai digunakan oleh bangsa Yahudi selama pembuangan ke Babel (abad ke-6 SM).
  • Secara bertahap menggantikan aksara Ibrani kuno.

Kapan menjadi dominan?

  • Setelah zaman Ezra dan Nehemia (abad ke-5 SM), aksara Aram menjadi tulisan resmi umat Yahudi.
  • Semua naskah gulungan Laut Mati (kecuali beberapa) ditulis dalam aksara persegi.
  • Menjadi dasar tulisan Ibrani modern.

Contoh:

Tulisan dalam gulungan Besar Yesaya (1QIsaᵃ) dari Qumran — ditulis dalam aksara Aram (square script) abad ke-2 SM.

Perbandingan: Aksara Ibrani Kuno vs. Aksara Aram

FITUR PALEO-HEBREW (KUNO) KETAV ASHURI (ARAM/PERSEGI
Asal Kanaan/Fenisia Aram (kerajaan Asyur-Babel-Persia)
Waktu Penggunaan 1000–500 SM 500 SM – sekarang
Kemiripan Mirip huruf Fenisia Mirip huruf Ibrani modern
Contoh Kitab Prasasti, beberapa gulungan Laut Mati Sebagian besar Tanakh, Septuaginta (naskah Ibrani)
Pemakaian Sekarang Hanya oleh orang Samarit Standar dalam naskah Ibrani dan Alkitab

3. Transisi Menuju Septuaginta: Pengaruh Bahasa Yunani

Sebelum Septuaginta diterjemahkan (abad ke-3 SM), Yunani belum menjadi bahasa utama, tetapi:

  1. Setelah penaklukan Aleksander Agung (333 SM), budaya dan bahasa Yunani menyebar ke Timur.

  2. Komunitas Yahudi di Aleksandria (Mesir) mulai berbahasa Yunani, tetapi tetap mempertahankan Ibrani dan Aram dalam ibadah.

Maka lahirlah Septuaginta:

Terjemahan Taurat dari Ibrani/Aram ke bahasa Yunani, agar umat Yahudi di diaspora bisa memahami firman Allah.

4. Ringkasan: Bahasa dan Tulisan Sebelum Septuaginta

ASPEK KETERANGAN
Bahasa Utama Ibrani Klasik (Taurat, Nabi), Aram (Daniel, Ezra), Ibrani Akhir (Tawarikh, Ester)
Bahasa Tambahan Aram (untuk dokumen resmi), pengaruh Persia dalam kosakata
Tulisan Awal Paleo-Hebrew (hingga abad ke-5 SM)
Tulisan Dominan setelah 500 SM Aksara Aram (Square Script)
Bukti Fisik Gulungan Laut Mati, prasasti, ostracon
Transisi Bahasa Ibrani → Aram → Yunani (dengan Septuaginta)

Kesimpulan

Sebelum Septuaginta:

  1. Kitab-kitab suci ditulis terutama dalam Bahasa Ibrani Klasik, dengan bagian penting dalam Bahasa Aram.

  2. Tulisan yang digunakan beralih dari aksara Ibrani kuno (Paleo-Hebrew) ke aksara Aram (square script), yang kini menjadi standar.

  3. Perubahan ini mencerminkan pergeseran sejarah, politik, dan budaya: dari kerajaan Ibrani kuno, pembuangan ke Babel, hingga dominasi Persia dan Yunani.

  4. Septuaginta muncul sebagai respons terhadap kebutuhan komunitas Yahudi yang berbahasa Yunani tetapi ingin tetap mengakses firman Allah dalam bentuk yang dapat dipahami.

Dengan demikian, bahasa dan tulisan bukan hanya soal bentuk, tetapi cerminan identitas, iman, dan adaptasi umat Yahudi di tengah perubahan zaman.

Sumber:

Alter, Robert. (2004). The Five Books of Moses: A Translation with Commentary. New York: W.W. Norton & Company.

Friedman, Richard Elliott. (2005). The Bible with Sources Revealed. New York: HarperOne.

Collins, John J. (2018). Introduction to the Hebrew Bible (3rd ed.). Minneapolis: Fortress Press.

Charlesworth, James H. (Ed.). (1983–1985). The Old Testament Pseudepigrapha (2 vols.). New York: Doubleday.

Grossfeld, Bernard. (1988). The Multilingual Bible: The Greek, Hebrew, Aramaic, and Latin Bibles with English Translations. Michael Glazier.

Share: X (Twitter) Facebook LinkedIn Whatsapp Telegram

Artikel Lainnya